"Hai, Mbak," sapa seseorang dari belakang. Aku sangat mengenal siapa pemilik suara itu.Iren!Aku dan Lita menoleh. Iren sedang menatap kami dengan senyum di bibirnya. Senyum puas!Aku dan Lita hanya diam, tidak menjawab sapaan Iren. Perlahan madu siriku itu menyeret kakinya mendekat."Terimakasih ya, Mbak. Semoga kamu menepati janjimu. Tidak akan membawa apa-apa ... toh toko rotimu juga ramai. Jadi cukuplah untukmu dan anakmu itu. Jangan pernah minta apa-apa dari suamiku," ucap Iren panjang lebar. kuulas senyum padanya."Kamu tenang aja, Ren. Nggak perlu khawatir, aku tidak akan meminta apa-apa asal kamu bisa jamin, Mas Hasan tidak akan menggangguku dan Zulfa. Ambil lah Mas Hasan beserta seluruh hartanya," balasku.Iren tersenyum lebar mendengar ucapanku. Raut wajahnya terlihat senang."Ok, deal," ucapnya menyodorkan tangan kanannya. "Deal," ucapku menyambut uluran tangan Iren.Setelah melepas tangan Iren, aku menyeret langkah menuju mobil, tapi belum sampai ke mobil, kepalaku teras
Jari ini liar mencari nomer kontak seseorang yang sepertinya bisa ku mintai tolong.Tut!Panggilan tidak diangkat. Hatiku mulai kesal, kenapa disaat seperti ini semuanya seakan tidak mendukungku? Kucoba lagi hingga panggilan ketiga, barulah panggilan diangkat."Halo," ucap seseorang dari seberang sana saat telpon tersambung."Halo, kenapa lama sekali," ucapku kesal."Maap-maap, dari kamar mandi."Kuputar bola mata malas mendengar alasannya. Alasan umum!"Ada apa? Perlu bantuan apa? Tumben-tumbennya nelpon," cerocos dari seberang telpon. "Kita ketemuan aja. Nggak enak ngomong di telpon." Setelah memberikan alamat klinik, kuputuskan panggilan telpon. Aku menarik nafas dalam, lalu menghembuskannya perlahan. Mencoba menetralkan perasaan, yang entah bagaimana bentuknya.Sekitar dua puluh menit, akhirnya orang yang aku telpon tadi pun tiba. Aku melangkah masuk ke dalam mobilnya."Kusut amat tuh muka," ucapnya. Dia Jesy, temanku sekaligus orang yang biasa membantuku jika aku punya masalah.
"Ya nggak pa-palah, Bu. Orang Ibu bosnya," ucap Lita sembari terkekeh.Aku mencabik bibirku mendengar ucapannya. "Ya nggak gitu juga, Lita. Kita itu partner kerja semuanya. Nggak ada bos-bosan," ujarku.Gadis itu terkekeh. Dapat kutangkap ekor matanya melirikku. "Keren," ucapnya sembari mengangguk kecil. Aku bersandar seraya memejamkan mata, saat Lita mulai menjalankan mobil. Rasanya badanku masih lemas, ditambah otakku yang terus berpikir, membuat aku semakin lelah.Sampai di toko, Lita memarkirkan mobil di parkiran. "Lit, saya tunggu di mobil aja ya. Kamu panggilin Zulfa, kamu langsung antar saya pulang," ucapku. Belum sempurna gadis itu menapakkan kakinya ke aspal."Ibu nggak ikut turun. Nggak makan dulu?" tanyanya. Aku menggelengkan kepala pelan."Nggak, Lit. Saya makan di rumah aja," jawabku.Lita mengangguk lalu menutup pintu mobil. Dari balik kaca, aku memperhatikan Lita yang berjalan masuk ke dalam toko. Aku menunggu Lita di dalam mobil. Kupejamkan mata untuk untuk mengur
"Ayo, masuk, Lita," ucapku mempersilahkan Lita masuk tanpa menghiraukan tatapan ibu dan Iren."Sudah berani sekarang. Sudah kayak yang punya rumah aja." Suara sinis ibu menyapa indera pendengaranku. Kuberi kode pada Lita dengan menggelengkan kepala agar gadis itu diam. Jika diladeni, nanti ibu semakin panjang ayatnya. Lebih baik cuek seakan tidak mendengar apa-apa. Apalagi, aku yakin Lita pasti membalas jika nanti ibu bertingkah.Kami melangkah terus menuju dapur. Setelah meletakkan bawaan ke atas meja makan, aku menuju wastafel mencuci tangan."Bun, Ufa ke kamar dulu ya.""Iya, Sayang."Aku dan Lita menyiapkan makanan yang kami beli tadi, lalu duduk ingin menyantap makan siang yang sudah kesorean. "Dasar perempuan kampungan." Lagi-lagi kami mendengar makian ibu. Ternyata dia dan Iren menyusul duduk di sofa depan TV. Lita menatapku sejenak lalu melanjutkan makannya.Lita memang sudah tau sifat ibu dari suamiku itu. Sudah sering dia mendengar ibu mencaci–maki, jadi sudah tidak heran l
"Iya, Bu. Kemarin aku pesan Mbak Mila. Rasanya kok pengen sekali makan jeruk sama melon," ucap Iren tersenyum. Sesekali ia melirik Mas Hasan. Mataku terbelalak mendengar jawaban Iren. Kapan-kapan dia pesan samaku. Ada yang tidak beres ini!"Jangan-jangan kamu hamil lagi," tembak ibu. Aku membelalakkan mata. Drama apa lagi yang ingin Iren mainkan? Aku menapaki lantai mendekat ke pintu pembatas antara ruang nonton dan dapur.Di meja makan sudah duduk ibu, Mas Hasan, dan Iren. Mereka sudah sarapan. Entah jam berapa mereka keluar membeli sarapan itu. Yang jelas porsinya hanya untuk tiga orang, aku dan Zulfa tidak ada jatahnya, tapi tak apa ... itu bukan masalah."Dengar tuh, San. Kalau memang Iren hamil, cepat-cepat daftarkan pernikahan kalian. Apa kamu mau, anakmu nggak punya akte karena nikah siri?"Iren mengangkat kepalanya, lalu tersenyum tipis. Namun senyumnya sirna seketika saat mata kami bertabrakan. Wajah Iren menjadi gugup, tapi dalam sekejap wanita itu bisa menguasai dirinya.Ma
Iren melangkah mendekati Pak Asep yang sedang memegangi ibu."Lepasin! Kami bisa turun sendiri," bentaknya pada Pak Asep. Setelah Pak Asep melepaskan cengkeramannya di tangan ibu, kedua wanita beda usia itu menuruni tangga dengan menghentakkan kaki.Aku menarik nafas panjang. Aku ke toko demi untuk menghindari mereka, walaupun badanku masih lemah, tapi tetap saja mereka menyusul ke sini dan menggangguku.****POV Author Di dalam taksi online, sepanjang jalan Bu Tuti bak cacing kepanasan. Hatinya gunda–gulana, usahanya ingin membawa Zulfa hari ini gagal. Mila semakin menunjukkan taringnya. Sudah seperti singa liar saja. Dengan cara baik- baik tidak bisa, apalagi dengan cara bab-bar.Rencananya, hari ini Iren dan Bu Tuti ingin membawa Zulfa jalan-jalan. Meskipun itu mustahil, karena bukan saja Mila yang akan menolak, Zulfa pun pasti akan menolak, tapi kedua wanita itu tetap mencoba. Semua, hanya untuk satu tujuan. Ingin mengambil hati Zulfa, agar jika Hasan dan Mila berpisah, merek
"Wa'alaikumsalam," jawab suara bariton seorang laki-laki dari ujung telpon. "Em ... saya sedang di toko, mau jemput Lili, tapi kata Lita, sedang jalan bersama Bu Mila," ucap suara itu terdengar canggung. "Oh, iya, Pak. Tadi anak-anak minta di bawa ke taman. Tadi saya sudah WA bapak dan kirim lokasi. Mau telpon tapi nggak enak. Tunggu sebentar ya, Pak. Saya sama anak-anak pulang sekarang." "Nggak usah, Bu," ucap Revan cepat. "Biar saya saja yang susul ke sana," sambungnya lagi. "Oh gitu ya, Pak. Ok ... baiklah saya tunggu." Setelah berucap Mila segera memutus sambungan telpon, dan memasukkan kembali benda pipih itu kedalam tas. Sekitar lima belas menit, Revan pun tiba. Ayah dari Lili itu menyeret langkah pelan mendekati tempat duduk Mila. Dari arah parkiran, dia sudah melihat wanita yang bergelar istri orang tapi bisa menggetarkan hatinya itu duduk. "Assalamu'alaikum, Bu Mila," salamnya setelah berdiri persis di samping kursi. "Wa'alaikumsalam." Sontak Mila me
Suaraku mulai naik beroktaf-oktaf. Bagaimana tidak, aku yang hampir setahun ini mengejar cintanya, tersisihkan hanya dengan seorang wanita yang menurutku tidak pantas untuknya. "Mau aku dekat dengan siapapun itu bukan urusanmu. Aku laki-laki bebas, yang tidak memiliki komitmen dengan siapapun," ucap Mas Revan. Kueratkan semua gigi, geram rasanya menghadapi sok jual mahalnya. Harusnya dia bersyukur aku mengejar-ngejarnya. "Sudahlah, May. Lebih baik sekarang kamu pulang," sambungnya sembari mengulurkan tangan hendak menggapai pintu mobil."Baiklah, Mas! Kalau begitu lebih baik aku mati saja," ancamku. Biasanya laki-laki akan takut saat diancam, apalagi bunuh diri.Mas Revan turun dari mobilnya lalu menutup pintu mobil dengan cara dibanting. Meskipun sedikit kaget karena dentuman yang kuat, tapi aku tetap tersenyum karena pria itu turun. Mungkin dia takut dengan ancaman ku.Dia menarik tanganku menjauh dari mobil."Dengar ya Maya. Sekali lagi aku katakan ... jangan pernah menggangguku
Aku duduk sendiri di balkon yang ada di lantai atas sembari menikmati bintang yang berkedip di tengah pekatnya malam. Masih dengan memakai mukenah, kunikmati saat terakhirku tinggal di toko ini. Rencananya, besok aku akan pindah kembali ke rumah orang tuaku.Ketegangan yang terjadi akhir-akhir ini terobati dengan melihat cahaya bintang yang berkedip. Dari dulu, aku suka sekali menengadah ke langit melihat benda yang terlihat kecil berkelap–kelip itu. Dengan melihat bintang, aku bisa mengalihkan rasa sakit untuk sementara.Aku meminta Lita ikut tinggal menemaniku di rumah itu nanti. Dalam keadaanku yang sudah hamil besar seperti ini, memang harus ada yang menemaniku di rumah. Takut nanti ada apa-apa di malam hari, jika aku hanya tinggal berdua dengan Zulfa."Iya, Bu, aku mau. Aku nggak mau, nanti nenek lampir itu ke sini trus ngapa-ngapain Ibu," ucapnya tadi siang saat ku ajak tinggal bersamaku. Hatiku geli mengingat Lita memberi gelar Mak Lampir pada Iren. Katanya nama itu cocok s
Maya! Saat teringat nama Maya, cepat kurogoh tas mencari ponselku. Sembari menunggu Mas Hasan, aku akan menghubungi Maya. Kemarin di toilet hotel, aku sempat menyimpan nomernya.Kutekan nomer Maya lalu menempelkan benda pipihku ke telinga. Tut! Tut! Tut! Nada dering terdengar menyapa indera pendengaranku."Halo," sapa suara di ujung sana. Suaranya terdengar malas-malasan."Halo ... ini aku, Iren," balasku tanpa basa–basi."Iya, aku tau. Ada apa? Kamu sudah berhasil menyingkirkan Mila?" tanyanya to the point. Aku mencabik bibir. Dasar ... pantas saja tidak dilirik Revan, sinisnya minta ampun."Belum ... justru aku menghubungimu untuk membuat kerjasama.""Kerjasama?" tanyanya. Sejenak aku terdiam. Mataku menatap ke jalan raya. Dari jauh, kulihat Mas Hasan muncul dengan memapah Ibu, tapi tunggu! Kenapa dia sama Aina.Hem!"Aku tidak bisa memberitahu sekarang. Rencana ini tidak bisa dibicarakan di telpon harus bertemu.""Oke ... ketemu di mana?" tanya Maya."Terserah kamu," balasku cep
"Tidak, Mas! Aku nggak mau turun, aku nggak mau tinggal di sini! Di sini itu sempit, Mas!" Suaraku mulai meninggi. Mana mungkin aku mau tinggal di tempat sempit seperti ini. Dapur di rumah yang dulu saja masih luas dari rumah ini."Ya sudah ... kalau kamu nggak mau sana jadi gembel, tinggal di jalan." Ibu berucap dengan nada sinis. Aku meneguk ludahku. Gembel ... tidak! Aku tidak mau jadi gembel."Ini semua gara-gara Mbak Mila! Dia sudah janji tidak akan mengambil apa-apa, tapi dia bohong. Lihat saja aku akan buat perhitungan dengannya!""Sudahlah, Ren. Kamu jangan menyalakan Mila ... itu harta orang tuanya wajar dia ambil. Jangan coba-coba kamu ngelakuin hal bodoh, Ren. Mila sedang hamil anakku."Kupingku rasanya panas! Bisa-bisanya Mas Hasan masih memikirkan Mila, sedangkan nasib kami sudah seperti ini. "Tidak, Mas! Semua itu berkat kamu! Kamu yang buat perusahaan itu maju. Jadi sudah sepantasnya itu jadi milik kamu. Kamu jangan terlalu bodoh jadi orang. Jangan karena terlalu mem
Saat Kulihat Lita muncul dari balik gorden, cepat kuangkat badanku berdiri dan berjalan menuju pintu utama.Di sini aku berdiri saat pertama kali Iren datang, di sini jugalah aku berdiri untuk menyaksikannya pergi."Aku akan membalasmu wanita sialan!" ucap Iren saat melewatiku. Dia berbalik lalu mendorong hingga kepalaku terbentur daun pintu. Dengan cepat Lita menghampiri. " Ibu nggak apa-apa?" tanyanya. Kugelengkan kepala berbohong, padahal kepalaku terasa pusing akibat benturan. "Pergi sana." Lita mendorong bahu Iren hingga mantan maduku itu terhuyung ke belakang lalu dengan cepat menarik tanganku masuk lalu menutup pintu. Aku mengintip dari balik tirai. Di teras rumah Iren terus saja berteriak memaki, meskipun suaminya sudah memintanya untuk masuk ke dalam mobil, tapi wanita itu tetap berteriak histeris memakiku.Astaghfirullah ... aku mengucap istighfar sembari mengurut dada."Begitulah, Bu ... kalau berteman dengan setan ... ya akhirnya jadi hantu 'kan!"Miris sekali! Begitulah
"Sejak kapan kamu menjadi pemilik rumah ini? Kamu lupa, kamu datang ke sini sebagai tamu dan akan keluar dari rumah ini juga sebagai tamu," ucapku santai sembari melipat kedua tangan di dada. Menghadapi orang seperti Iren tidak harus dengan cara bar-bar. Lagipula, aku bukan dia yang dikit- dikit emosi."Aku sekarang istri sah Mas Hasan. Jadi jelas aku nyonya di sini. Nggak usah banyak cing–cong cepat kalian pergi dari sini" ucapnya mengusirku lagi dan Lita. Kasian sekali, sebegitu pinginnya di akui Nyonya.Dari arah dalam muncul sosok mantan mertua. Mungkin mendengar teriakan Iren yang seperti suara Nenek Lampir itu."Mi–Mila ...." Ucapannya tergantung. Mungkin saking kagetnya melihatku hingga wanita paruh baya itu kehabisan kata-kata."Iya, Bu. Ini Mila. Ibu apa kabar?" tanyaku seraya menyungging senyum manis untuknya."Ma–mau ngapain kamu ke sini?" ucapnya tergagap, suaranya bergetar. Meskipun berusaha terlihat baik, tapi aku atau dalam hatinya sangat resah sekali."Mila datang in
"Kamu ...."Ucapan pak Ilham terputus. Baru saja pria paruh baya itu mau menjelaskan, Lita datang dengan nampan di tangannya. Laki-laki paruh baya yang baru kutau adalah teman Ayahku itu, terpaksa menutup kembali mulut menghentikan ucapan."Silahkan diminum, Pak,' ucap Lita sopan. Aku tersenyum melirik Lita. Gadis itu sedikit menunduk dan berlalu meninggalkan aku dan Pak Ilham.Pak Ilham membetulkan posisi duduknya, lalu berdeham sebelum melanjutkan bicara. "Semua aset yang ada itu milik Pak Gunawan, Ayah Kamu. Apa Pak Hasan tidak memberitahumu?" Aku menggeleng pelan. Dalam hati rasanya ingin memaki. Teganya mereka!"Aku tidak tau, Om. Kata mereka Ayah tidak mampu membayar hutang-hutangnya, maka semua harta jatuh ke tangan Mas Hasan.""Astagfirullah," ucap Pak Ilham sembari memegang dadanya. Mungkin dia kaget, sama sepertiku."Semua itu milik Ayahmu, termasuk rumah yang sekarang masih mereka tempati. Pak Hasan hanya diberi kuasa mengelolanya saja, tapi tetap milik kamu sebagai ahli w
Senyum sinis terukir di bibirnya yang merah menyala itu. Beraninya dia mengancam! "Terserah kamu, Ren. Aku tetap akan rujuk sama Mila. Jika kamu tidak setuju, kita bercerai saja."Mendengar kata cerai dari mulut Hasan spontan aku menoleh pada anak laki-lakiku itu."Kamu serius?" tanyaku menatap lekat matanya. Aku ingin mencari kebenaran di dalam sana. Dulu dia sangat mencintai Iren. Iren adalah cinta pertamanya, tapi kenapa sekarang dengan mudah ingin melepaskan wanita itu.Kutarik nafas panjang saat mendapati sesuatu di mata anakku. Memang tak ada lagi cinta untuk Iren di sana. Sebenarnya, aku sudah lama curiga, tepatnya saat Mila pergi dari rumah ini. Saat itu aku tau Hasan sudah mulai mencintai anak dari temanku itu."Tidak, Mas! Kamu tidak bisa memperlakukanku seperti ini. Kamu jahat, Mas! Kamu jahat!"Iren mengamuk membanting semua barang yang ada di dekatnya. Sesekali dia menjambak rambut pirangnya, hingga rambut sebahu itu menjadi acak-acakan. Aku sampai ngeri melihatnya seper
"Bentar, Bu Mila." Suara berat Pak Ilham spontan menghentikan langkahku. Aku membalikkan badan, lalu menatap pada lelaki yang baru kutahu adalah teman Ayahku. Kubalas tatapan teduhnya dengan seulas senyum tipis."Iya, Om.""Hati-hati ya, Nak. Jaga kandungan kamu."Senyumku melebar mendengar kata perhatiannya. "Iya, Om, terimakasih," balasku.Kupandangi semua yang ada di depan mata satu per satu. Mulai dari Ibu yang wajahnya terlihat tegang. Entah kenapa wajahnya seperti itu, padahal dulu wajah tua itu selalu saja angkuh. Mas Hasan yang menatapku dengan tatapan lembut, entahlah ... mungkin itu perasaanku saja, lagipula, aku sudah tidak berharap lagi. Iren ... apalagi wanita itu, dia menatapku dengan senyum penuh kemenangan. Seperti baru saja mendapat piala Oscar.Setelah puasa menatap, aku membalikkan badan sebelymnya mengucap salam. Kulangkahkan kaki seraya menggandeng tangan Zulfa keluar melewati pintu."Pak bisa pulang. Terimakasih sudah menunggu saya," ucapku pada Pak Asep yang se
"Mila sehat aja, Pak. Dia dan Hasan lagi menunggu bayi mereka yang sebentar lagi lahir." Bukan aku yang menjawab tapi Ibu. Wanita bertubuh sedikit berisi itu tersenyum sumringah pada Pak Ilham. Seolah bahagia menunggu kehadiran cucu. Kubuang pandangan pada Mas Hasan, pria itu hanya menunduk."Saya hanya ingin memastikan saja. Apakah Bu Mila bahagia.""Jelaslah bahagia, Pak. Orang sudah hamil besar begitu, kenapa pula tidak bahagia." Lagi-lagi Ibu yang menjawab.Aku menatap Pak Ilham. Dia sudah tau, jika aku dan Mas Hasan sudah bercerai, tapi kenapa masih berpura-pura."Baguslah, Bu, jika Bu Mila bahagia. Sesuai dengan keinginan Pak Gunawan."Kulihat Ibu tersenyum tipis. Senyuman tidak ikhlas. "Maaf, Om. Sebenarnya apa maksud saya dipanggil ke sini?" Kulirik dari ekor mata Ibu menatapku tajam, tapi aku tidak peduli. Aku hanya ingin tahu, apa maksud mereka menyuruhku datang dan berpura-pura seolah masih suami istri dengan Mas Hasan."Loh ... bukankah ini rumah Bu Mila? Apa maksudnya