"Iya, Bu. Kemarin aku pesan Mbak Mila. Rasanya kok pengen sekali makan jeruk sama melon," ucap Iren tersenyum. Sesekali ia melirik Mas Hasan. Mataku terbelalak mendengar jawaban Iren. Kapan-kapan dia pesan samaku. Ada yang tidak beres ini!"Jangan-jangan kamu hamil lagi," tembak ibu. Aku membelalakkan mata. Drama apa lagi yang ingin Iren mainkan? Aku menapaki lantai mendekat ke pintu pembatas antara ruang nonton dan dapur.Di meja makan sudah duduk ibu, Mas Hasan, dan Iren. Mereka sudah sarapan. Entah jam berapa mereka keluar membeli sarapan itu. Yang jelas porsinya hanya untuk tiga orang, aku dan Zulfa tidak ada jatahnya, tapi tak apa ... itu bukan masalah."Dengar tuh, San. Kalau memang Iren hamil, cepat-cepat daftarkan pernikahan kalian. Apa kamu mau, anakmu nggak punya akte karena nikah siri?"Iren mengangkat kepalanya, lalu tersenyum tipis. Namun senyumnya sirna seketika saat mata kami bertabrakan. Wajah Iren menjadi gugup, tapi dalam sekejap wanita itu bisa menguasai dirinya.Ma
Iren melangkah mendekati Pak Asep yang sedang memegangi ibu."Lepasin! Kami bisa turun sendiri," bentaknya pada Pak Asep. Setelah Pak Asep melepaskan cengkeramannya di tangan ibu, kedua wanita beda usia itu menuruni tangga dengan menghentakkan kaki.Aku menarik nafas panjang. Aku ke toko demi untuk menghindari mereka, walaupun badanku masih lemah, tapi tetap saja mereka menyusul ke sini dan menggangguku.****POV Author Di dalam taksi online, sepanjang jalan Bu Tuti bak cacing kepanasan. Hatinya gunda–gulana, usahanya ingin membawa Zulfa hari ini gagal. Mila semakin menunjukkan taringnya. Sudah seperti singa liar saja. Dengan cara baik- baik tidak bisa, apalagi dengan cara bab-bar.Rencananya, hari ini Iren dan Bu Tuti ingin membawa Zulfa jalan-jalan. Meskipun itu mustahil, karena bukan saja Mila yang akan menolak, Zulfa pun pasti akan menolak, tapi kedua wanita itu tetap mencoba. Semua, hanya untuk satu tujuan. Ingin mengambil hati Zulfa, agar jika Hasan dan Mila berpisah, merek
"Wa'alaikumsalam," jawab suara bariton seorang laki-laki dari ujung telpon. "Em ... saya sedang di toko, mau jemput Lili, tapi kata Lita, sedang jalan bersama Bu Mila," ucap suara itu terdengar canggung. "Oh, iya, Pak. Tadi anak-anak minta di bawa ke taman. Tadi saya sudah WA bapak dan kirim lokasi. Mau telpon tapi nggak enak. Tunggu sebentar ya, Pak. Saya sama anak-anak pulang sekarang." "Nggak usah, Bu," ucap Revan cepat. "Biar saya saja yang susul ke sana," sambungnya lagi. "Oh gitu ya, Pak. Ok ... baiklah saya tunggu." Setelah berucap Mila segera memutus sambungan telpon, dan memasukkan kembali benda pipih itu kedalam tas. Sekitar lima belas menit, Revan pun tiba. Ayah dari Lili itu menyeret langkah pelan mendekati tempat duduk Mila. Dari arah parkiran, dia sudah melihat wanita yang bergelar istri orang tapi bisa menggetarkan hatinya itu duduk. "Assalamu'alaikum, Bu Mila," salamnya setelah berdiri persis di samping kursi. "Wa'alaikumsalam." Sontak Mila me
Suaraku mulai naik beroktaf-oktaf. Bagaimana tidak, aku yang hampir setahun ini mengejar cintanya, tersisihkan hanya dengan seorang wanita yang menurutku tidak pantas untuknya. "Mau aku dekat dengan siapapun itu bukan urusanmu. Aku laki-laki bebas, yang tidak memiliki komitmen dengan siapapun," ucap Mas Revan. Kueratkan semua gigi, geram rasanya menghadapi sok jual mahalnya. Harusnya dia bersyukur aku mengejar-ngejarnya. "Sudahlah, May. Lebih baik sekarang kamu pulang," sambungnya sembari mengulurkan tangan hendak menggapai pintu mobil."Baiklah, Mas! Kalau begitu lebih baik aku mati saja," ancamku. Biasanya laki-laki akan takut saat diancam, apalagi bunuh diri.Mas Revan turun dari mobilnya lalu menutup pintu mobil dengan cara dibanting. Meskipun sedikit kaget karena dentuman yang kuat, tapi aku tetap tersenyum karena pria itu turun. Mungkin dia takut dengan ancaman ku.Dia menarik tanganku menjauh dari mobil."Dengar ya Maya. Sekali lagi aku katakan ... jangan pernah menggangguku
Kumandang azan magrib menggema saat aku baru saja memarkirkan mobilku di depan rumah mewah Mas Hasan. Rumah yang dulu kutau adalah rumah kedua orang tuaku, tapi karena tidak bisa membayar hutang, sekarang jadi rumah Mas Hasan.Rumah dua lantai yang terlihat mewah meski baru melihat luarnya saja. Halaman parkirnya yang luas, serta samping rumahnya juga luas, hingga menyambung ke halaman belakang, tapi sayang, aku tidak pernah menikmati selain membersihkannya."Sayang, langsung masuk kamar ya, Nak. Siap-siap sholat," ucapku pada Zulfa setelah menurunkannya dari atas mobil. Perlahan kami menyeret langkah menuju teras. Pintu rumah tertutup rapat, mungkin penghuninya sedang di kamar masing-masing.Kudorong daun pintu setelah memutar handle. Diruang tamu sepi, tidak ada siapa-siapa. Aku melangkah masuk ke ruang nonton. Karena letak kamarku dan Zulfa di belakang, maka kami akan melewati ruang santai tersebut. Sementara kamar yang Mas Hasan tempati dulu bersebelahan dengan kamar tamu dan me
Tanpa peduli aku berjalan menuju kamar Zulfa. "Punya menantu ... tidak ada fungsinya." Suara sumbang ibu menyapa pendengaranku sebelum menutup pintu kamar Zulfa.Hurf! Memang aku harus segera keluar dari rumah yang seperti neraka ini. Untuk menjaga kewarasanku, agar calon anak yang ada di dalam perutku bisa tumbuh dengan baik. Jika terus bertahan di sini, aku takut, tumbuh kembang janinku terganggu."Sayang, sudah sholat?" tanyaku pada Zulfa yang duduk di atas tempat tidur memeluk bonekanya."Sudah, Bu," jawab Zulfa pelan. Putriku itu menatapku dengan raut sedih. "Bunda ..." ucapnya lagi, namun seperti ragu-ragu."Apa, Sayang? Zulfa mau bilang apa?" Aku ikut naik ke atas tempat tidur. Kutatap putriku yang menundukkan kepalanya. "Ada apa, Nak? Hem," tanyaku seraya mengangkat dagunya."Bunda ... Ufa nggak mau tinggal di sini lagi. Ayah jahat ... Ufa liat Ayah pukul Bunda."Deg!Bagai dihantam palu, hatiku hancur mendengar ucapan Zulfa. Entah ini sudah kali keberapa anakku menyaksik
Iren mencabik mulutnya. "Harusnya ... Mbak itu masak dulu sebelum pergi. Anggap aja itu tugas terakhirmu," cetusnya lagi. Kutarik nafas panjang lalu membuangnya kasar, seraya menggelengkan kepala.Dasar perempuan kurang. Bukan saja pakaiannya yang kurang, sikap dan pikirannya juga kurang seons. "Masak aja sendiri, Ren. Assalamu'alaikum."Kugandeng tangan Zulfa melanjutkan langkah."Ya udah ... pergi sana, jangan datang lagi ya." Masih bisa kudengar ucapan Iren dengan gaya meledeknya, tapi aku tidak menghiraukannya. Kakiku terus melangkah keluar dari rumah.Hampir satu jam mobil membawaku merayap, akhirnya sampai di toko rotiku. Tadi aku sempat singgah beli sarapan, itulah kenapa aku tiba di toko saat jarum jam sudah jam setengah delapan pagi.Aku juga tadi sudah menelpon Lita dan Pak Asep, setelah sholat subuh. Menyuruh agar keduanya datang lebih awal dari biasanya, karena aku membutuhkan keduanya.Saat mobilku masuk ke parkiran toko, aku melihat Pak Asep dan Lita juga sudah ada di
"Aku jemput sekarang ya. Mami mau ketemu. Ada yang mau pake jasamu, dia bayar mahal. Aku jemput ya!""Tapi, Jes ...."Belum sempat aku bertanya lebih lanjut, Jesy sudah mematikan telponnya. Dasar! Kuangkat badan dari atas sofa, lalu melangkah ke kamar."Ada yang mau make? Dibayar mahal? What not!" ucapku lirih, seraya tersenyum melihat pentulan diriku di dalam cermin. Aku akan melakukan pekerjaan ini secara diam-diam. Jangan sampai Ibu dan Mas Hasan tau. Jika semua harta ini tidak jatuh ke tangan Mas Hasan, aku masih punya uang sendiri. Namun aku berharap, semoga Mila tidak mengambil semua ini, jadi aku bisa tenang dengan harta dihari tuaku.Meskipun aku melakukan pekerjaan ini, tapi aku ingin dihari tua, aku bahagia bersama suami. Walaupun kehadiran seorang anak Mustahil, tapi aku sangat berharap menua bersama Mas Hasan. Setelah selesai bersiap, aku melangkah keluar dari kamar. Kutarik nafas panjang lalu menghembuskannya pelan. Otakku berpikir, merangkai kata untuk alasan pada ib
Aku duduk sendiri di balkon yang ada di lantai atas sembari menikmati bintang yang berkedip di tengah pekatnya malam. Masih dengan memakai mukenah, kunikmati saat terakhirku tinggal di toko ini. Rencananya, besok aku akan pindah kembali ke rumah orang tuaku.Ketegangan yang terjadi akhir-akhir ini terobati dengan melihat cahaya bintang yang berkedip. Dari dulu, aku suka sekali menengadah ke langit melihat benda yang terlihat kecil berkelap–kelip itu. Dengan melihat bintang, aku bisa mengalihkan rasa sakit untuk sementara.Aku meminta Lita ikut tinggal menemaniku di rumah itu nanti. Dalam keadaanku yang sudah hamil besar seperti ini, memang harus ada yang menemaniku di rumah. Takut nanti ada apa-apa di malam hari, jika aku hanya tinggal berdua dengan Zulfa."Iya, Bu, aku mau. Aku nggak mau, nanti nenek lampir itu ke sini trus ngapa-ngapain Ibu," ucapnya tadi siang saat ku ajak tinggal bersamaku. Hatiku geli mengingat Lita memberi gelar Mak Lampir pada Iren. Katanya nama itu cocok s
Maya! Saat teringat nama Maya, cepat kurogoh tas mencari ponselku. Sembari menunggu Mas Hasan, aku akan menghubungi Maya. Kemarin di toilet hotel, aku sempat menyimpan nomernya.Kutekan nomer Maya lalu menempelkan benda pipihku ke telinga. Tut! Tut! Tut! Nada dering terdengar menyapa indera pendengaranku."Halo," sapa suara di ujung sana. Suaranya terdengar malas-malasan."Halo ... ini aku, Iren," balasku tanpa basa–basi."Iya, aku tau. Ada apa? Kamu sudah berhasil menyingkirkan Mila?" tanyanya to the point. Aku mencabik bibir. Dasar ... pantas saja tidak dilirik Revan, sinisnya minta ampun."Belum ... justru aku menghubungimu untuk membuat kerjasama.""Kerjasama?" tanyanya. Sejenak aku terdiam. Mataku menatap ke jalan raya. Dari jauh, kulihat Mas Hasan muncul dengan memapah Ibu, tapi tunggu! Kenapa dia sama Aina.Hem!"Aku tidak bisa memberitahu sekarang. Rencana ini tidak bisa dibicarakan di telpon harus bertemu.""Oke ... ketemu di mana?" tanya Maya."Terserah kamu," balasku cep
"Tidak, Mas! Aku nggak mau turun, aku nggak mau tinggal di sini! Di sini itu sempit, Mas!" Suaraku mulai meninggi. Mana mungkin aku mau tinggal di tempat sempit seperti ini. Dapur di rumah yang dulu saja masih luas dari rumah ini."Ya sudah ... kalau kamu nggak mau sana jadi gembel, tinggal di jalan." Ibu berucap dengan nada sinis. Aku meneguk ludahku. Gembel ... tidak! Aku tidak mau jadi gembel."Ini semua gara-gara Mbak Mila! Dia sudah janji tidak akan mengambil apa-apa, tapi dia bohong. Lihat saja aku akan buat perhitungan dengannya!""Sudahlah, Ren. Kamu jangan menyalakan Mila ... itu harta orang tuanya wajar dia ambil. Jangan coba-coba kamu ngelakuin hal bodoh, Ren. Mila sedang hamil anakku."Kupingku rasanya panas! Bisa-bisanya Mas Hasan masih memikirkan Mila, sedangkan nasib kami sudah seperti ini. "Tidak, Mas! Semua itu berkat kamu! Kamu yang buat perusahaan itu maju. Jadi sudah sepantasnya itu jadi milik kamu. Kamu jangan terlalu bodoh jadi orang. Jangan karena terlalu mem
Saat Kulihat Lita muncul dari balik gorden, cepat kuangkat badanku berdiri dan berjalan menuju pintu utama.Di sini aku berdiri saat pertama kali Iren datang, di sini jugalah aku berdiri untuk menyaksikannya pergi."Aku akan membalasmu wanita sialan!" ucap Iren saat melewatiku. Dia berbalik lalu mendorong hingga kepalaku terbentur daun pintu. Dengan cepat Lita menghampiri. " Ibu nggak apa-apa?" tanyanya. Kugelengkan kepala berbohong, padahal kepalaku terasa pusing akibat benturan. "Pergi sana." Lita mendorong bahu Iren hingga mantan maduku itu terhuyung ke belakang lalu dengan cepat menarik tanganku masuk lalu menutup pintu. Aku mengintip dari balik tirai. Di teras rumah Iren terus saja berteriak memaki, meskipun suaminya sudah memintanya untuk masuk ke dalam mobil, tapi wanita itu tetap berteriak histeris memakiku.Astaghfirullah ... aku mengucap istighfar sembari mengurut dada."Begitulah, Bu ... kalau berteman dengan setan ... ya akhirnya jadi hantu 'kan!"Miris sekali! Begitulah
"Sejak kapan kamu menjadi pemilik rumah ini? Kamu lupa, kamu datang ke sini sebagai tamu dan akan keluar dari rumah ini juga sebagai tamu," ucapku santai sembari melipat kedua tangan di dada. Menghadapi orang seperti Iren tidak harus dengan cara bar-bar. Lagipula, aku bukan dia yang dikit- dikit emosi."Aku sekarang istri sah Mas Hasan. Jadi jelas aku nyonya di sini. Nggak usah banyak cing–cong cepat kalian pergi dari sini" ucapnya mengusirku lagi dan Lita. Kasian sekali, sebegitu pinginnya di akui Nyonya.Dari arah dalam muncul sosok mantan mertua. Mungkin mendengar teriakan Iren yang seperti suara Nenek Lampir itu."Mi–Mila ...." Ucapannya tergantung. Mungkin saking kagetnya melihatku hingga wanita paruh baya itu kehabisan kata-kata."Iya, Bu. Ini Mila. Ibu apa kabar?" tanyaku seraya menyungging senyum manis untuknya."Ma–mau ngapain kamu ke sini?" ucapnya tergagap, suaranya bergetar. Meskipun berusaha terlihat baik, tapi aku atau dalam hatinya sangat resah sekali."Mila datang in
"Kamu ...."Ucapan pak Ilham terputus. Baru saja pria paruh baya itu mau menjelaskan, Lita datang dengan nampan di tangannya. Laki-laki paruh baya yang baru kutau adalah teman Ayahku itu, terpaksa menutup kembali mulut menghentikan ucapan."Silahkan diminum, Pak,' ucap Lita sopan. Aku tersenyum melirik Lita. Gadis itu sedikit menunduk dan berlalu meninggalkan aku dan Pak Ilham.Pak Ilham membetulkan posisi duduknya, lalu berdeham sebelum melanjutkan bicara. "Semua aset yang ada itu milik Pak Gunawan, Ayah Kamu. Apa Pak Hasan tidak memberitahumu?" Aku menggeleng pelan. Dalam hati rasanya ingin memaki. Teganya mereka!"Aku tidak tau, Om. Kata mereka Ayah tidak mampu membayar hutang-hutangnya, maka semua harta jatuh ke tangan Mas Hasan.""Astagfirullah," ucap Pak Ilham sembari memegang dadanya. Mungkin dia kaget, sama sepertiku."Semua itu milik Ayahmu, termasuk rumah yang sekarang masih mereka tempati. Pak Hasan hanya diberi kuasa mengelolanya saja, tapi tetap milik kamu sebagai ahli w
Senyum sinis terukir di bibirnya yang merah menyala itu. Beraninya dia mengancam! "Terserah kamu, Ren. Aku tetap akan rujuk sama Mila. Jika kamu tidak setuju, kita bercerai saja."Mendengar kata cerai dari mulut Hasan spontan aku menoleh pada anak laki-lakiku itu."Kamu serius?" tanyaku menatap lekat matanya. Aku ingin mencari kebenaran di dalam sana. Dulu dia sangat mencintai Iren. Iren adalah cinta pertamanya, tapi kenapa sekarang dengan mudah ingin melepaskan wanita itu.Kutarik nafas panjang saat mendapati sesuatu di mata anakku. Memang tak ada lagi cinta untuk Iren di sana. Sebenarnya, aku sudah lama curiga, tepatnya saat Mila pergi dari rumah ini. Saat itu aku tau Hasan sudah mulai mencintai anak dari temanku itu."Tidak, Mas! Kamu tidak bisa memperlakukanku seperti ini. Kamu jahat, Mas! Kamu jahat!"Iren mengamuk membanting semua barang yang ada di dekatnya. Sesekali dia menjambak rambut pirangnya, hingga rambut sebahu itu menjadi acak-acakan. Aku sampai ngeri melihatnya seper
"Bentar, Bu Mila." Suara berat Pak Ilham spontan menghentikan langkahku. Aku membalikkan badan, lalu menatap pada lelaki yang baru kutahu adalah teman Ayahku. Kubalas tatapan teduhnya dengan seulas senyum tipis."Iya, Om.""Hati-hati ya, Nak. Jaga kandungan kamu."Senyumku melebar mendengar kata perhatiannya. "Iya, Om, terimakasih," balasku.Kupandangi semua yang ada di depan mata satu per satu. Mulai dari Ibu yang wajahnya terlihat tegang. Entah kenapa wajahnya seperti itu, padahal dulu wajah tua itu selalu saja angkuh. Mas Hasan yang menatapku dengan tatapan lembut, entahlah ... mungkin itu perasaanku saja, lagipula, aku sudah tidak berharap lagi. Iren ... apalagi wanita itu, dia menatapku dengan senyum penuh kemenangan. Seperti baru saja mendapat piala Oscar.Setelah puasa menatap, aku membalikkan badan sebelymnya mengucap salam. Kulangkahkan kaki seraya menggandeng tangan Zulfa keluar melewati pintu."Pak bisa pulang. Terimakasih sudah menunggu saya," ucapku pada Pak Asep yang se
"Mila sehat aja, Pak. Dia dan Hasan lagi menunggu bayi mereka yang sebentar lagi lahir." Bukan aku yang menjawab tapi Ibu. Wanita bertubuh sedikit berisi itu tersenyum sumringah pada Pak Ilham. Seolah bahagia menunggu kehadiran cucu. Kubuang pandangan pada Mas Hasan, pria itu hanya menunduk."Saya hanya ingin memastikan saja. Apakah Bu Mila bahagia.""Jelaslah bahagia, Pak. Orang sudah hamil besar begitu, kenapa pula tidak bahagia." Lagi-lagi Ibu yang menjawab.Aku menatap Pak Ilham. Dia sudah tau, jika aku dan Mas Hasan sudah bercerai, tapi kenapa masih berpura-pura."Baguslah, Bu, jika Bu Mila bahagia. Sesuai dengan keinginan Pak Gunawan."Kulihat Ibu tersenyum tipis. Senyuman tidak ikhlas. "Maaf, Om. Sebenarnya apa maksud saya dipanggil ke sini?" Kulirik dari ekor mata Ibu menatapku tajam, tapi aku tidak peduli. Aku hanya ingin tahu, apa maksud mereka menyuruhku datang dan berpura-pura seolah masih suami istri dengan Mas Hasan."Loh ... bukankah ini rumah Bu Mila? Apa maksudnya