Apa yang wanita itu lakukan di sini? Ku perhatikan dari jauh, istri siri suamiku itu marah-marah sambil tangannya menunjuk tepat di depan muka Linda.Kuseret langkah kaki mendekat."Ada apa ini?" tanyaku menatap Linda dan Iren bergantian.Spontan Iren dan Linda menoleh padaku secara bersamaan. "Nah, ini nih ... Mbak, kalau memang Mbak Mila benar pemilik toko ini, bilang sama dia dong siapa aku. Masak aku mau ambil roti aja, dia suruh bayar." Iren mendelik pada Linda, spontan gadis yang baru saja berkerja di toko roti ku itu menundukkan wajahnya."Hei! Aku ini istrinya Mas Hasan. Yang punya toko ini," ucapnya pongah. kugelengkan kepala melihat tingkahnya yang tidak tau malu."Maaf, Bu," ucap Linda. Terlihat ketakutan dari sorot matanya."Nggak apa-apa, Lin. Kamu lanjutin aja kerjaan kamu," ucapku seraya mengukir senyum kecil pada Linda.Linda berlalu menuju dapur. Mataku liar melihat sekeliling setelah kepergian Linda. Ternyata Iren menjadi pusat perhatian pengunjung lain. Dasar muka t
Pelan kubuka pesan WA dari Maya.[Angkat, Mas!]Ponsel berdering kembali. Kutarik nafas panjang sebelum menggeser tombol hijau."Halo–""Mas! Kok lama banget sih ngangkat telpon!" cerocos Maya menyambar ucapanku dengan nada jengkel."Iya, Maya. Maaf aku lagi di jalan. Kenapa?""Di jalan mana, Mas?" tanyanya. Sekali lagi aku menarik nafas lalu menyentaknya kasar. Haruskah aku melapor padanya, setiap aku ada di mana?"Jalan ... dari pengadilan agama. Ada sidang," ucapku datar."Oh," jawabnya dari seberang sana. "Mas temani aku ya. Nanti malam aku ada undangan, temanku ulang tahun," sambung Maya lagi dengan gaya manja. Bukan karena apa, aku menolak ajakan Maya. Malas rasanya pergi berdua dengannya, nanti dia akan mengenalkan aku sebagai tunangannya, padahal kami tidak punya ikatan."Maaf, May. Nanti malam aku ada acara," ucapku berbohong. Nyatanya aku tidak punya acara apapun. Ini hanya lantaran mau menghindarinya."Ya ... nggak bisa gitu dong, Mas. Masak aku pergi sendiri," protesnya d
"Zulfa sudah sholat, Nak?" tanyaku. Kulirik jam di layar ponsel. Hampir jam dua siang. Astaga ... aku belum sholat zuhur."Sudah, Bunda." Kuangkat badan berdiri dari duduk. "Bunda sholat dulu ya. Bunda lupa, belum sholat zuhur.Kulangkahkan kaki lebar masuk ke dalam kamarku, lalu masuk ke kamar mandi mengambil wudhu.Setelah keluar dari kamar mandi, gagas aku menuju tempat sholat lalu menunaikan empat roka'at siangku.Setelah salam, aku duduk di atas sajadah. Sesaat merenungi semua yang terjadi dalam hidupku.Setelah mengangkat tangan dan melangitkan doa, kuangkat badan berdiri dari atas sajadah."Loh, kamu di sini, Lit?" tanyaku saat membuka pintu kamar, Lita sudah duduk di sofa. Zulfa sudah tidak ada di tempat tadi."Iy, Bu. Ada Pak Revan sama Lili dibawah," ucapnya. Kuanggukkan kepala tanda mengerti."Iya, Lit. Ayo turun," ajakku pada Lita. Gadis itu mengangkat badannya berdiri, lalu menungguku yang menyeret langkah ke arah tangga, karena menuju tangga melewati sofa.Aku dan Lita
Siang berganti malam, tanpa terasa hari yang sangat aku takutkan pun tiba. Hari ini adalah sidang pertama perceraianku dengan Mas Hasan. Sidangnya jam sebelas nanti. Rencananya aku akan mengantar Zulfa ke toko dulu, barulah setelah itu berangkat ke pengadilan.Hari ini aku mengajak Lita menemaniku. Meskipun aku yakin Mas Hasan atau ibu tidak akan ada di sana, tapi Iren pasti datang. Bukannya takut dengan Iren, aku membawa Lita, tapi aku butuh teman. Jujur ini terlalu sulit bagiku. Untung kemarin aku tidak mencantumkan nomer telpon Mas Hasan di daftar gugatan. Jadi Ayah dari putriku itu tidak tau sidang yang aku jalani hari ini. Pria itu sama sekali tidak tau–menau tentang gugatanku. Dia tidak perlu tau dan hadir di setiap sidang, karena jika dia datang, pasti sulit bagiku untuk lepas dari ikatan palsu.Biarlah nanti menjadi kejutan buatnya. Aku akan memberinya hadiah terindah saat nanti akan angkat kaki dari rumah itu. Rumah yang penuh dengan kenangan menyakitkan.Pasti laki-laki i
"Hai, Mbak," sapa seseorang dari belakang. Aku sangat mengenal siapa pemilik suara itu.Iren!Aku dan Lita menoleh. Iren sedang menatap kami dengan senyum di bibirnya. Senyum puas!Aku dan Lita hanya diam, tidak menjawab sapaan Iren. Perlahan madu siriku itu menyeret kakinya mendekat."Terimakasih ya, Mbak. Semoga kamu menepati janjimu. Tidak akan membawa apa-apa ... toh toko rotimu juga ramai. Jadi cukuplah untukmu dan anakmu itu. Jangan pernah minta apa-apa dari suamiku," ucap Iren panjang lebar. kuulas senyum padanya."Kamu tenang aja, Ren. Nggak perlu khawatir, aku tidak akan meminta apa-apa asal kamu bisa jamin, Mas Hasan tidak akan menggangguku dan Zulfa. Ambil lah Mas Hasan beserta seluruh hartanya," balasku.Iren tersenyum lebar mendengar ucapanku. Raut wajahnya terlihat senang."Ok, deal," ucapnya menyodorkan tangan kanannya. "Deal," ucapku menyambut uluran tangan Iren.Setelah melepas tangan Iren, aku menyeret langkah menuju mobil, tapi belum sampai ke mobil, kepalaku teras
Jari ini liar mencari nomer kontak seseorang yang sepertinya bisa ku mintai tolong.Tut!Panggilan tidak diangkat. Hatiku mulai kesal, kenapa disaat seperti ini semuanya seakan tidak mendukungku? Kucoba lagi hingga panggilan ketiga, barulah panggilan diangkat."Halo," ucap seseorang dari seberang sana saat telpon tersambung."Halo, kenapa lama sekali," ucapku kesal."Maap-maap, dari kamar mandi."Kuputar bola mata malas mendengar alasannya. Alasan umum!"Ada apa? Perlu bantuan apa? Tumben-tumbennya nelpon," cerocos dari seberang telpon. "Kita ketemuan aja. Nggak enak ngomong di telpon." Setelah memberikan alamat klinik, kuputuskan panggilan telpon. Aku menarik nafas dalam, lalu menghembuskannya perlahan. Mencoba menetralkan perasaan, yang entah bagaimana bentuknya.Sekitar dua puluh menit, akhirnya orang yang aku telpon tadi pun tiba. Aku melangkah masuk ke dalam mobilnya."Kusut amat tuh muka," ucapnya. Dia Jesy, temanku sekaligus orang yang biasa membantuku jika aku punya masalah.
"Ya nggak pa-palah, Bu. Orang Ibu bosnya," ucap Lita sembari terkekeh.Aku mencabik bibirku mendengar ucapannya. "Ya nggak gitu juga, Lita. Kita itu partner kerja semuanya. Nggak ada bos-bosan," ujarku.Gadis itu terkekeh. Dapat kutangkap ekor matanya melirikku. "Keren," ucapnya sembari mengangguk kecil. Aku bersandar seraya memejamkan mata, saat Lita mulai menjalankan mobil. Rasanya badanku masih lemas, ditambah otakku yang terus berpikir, membuat aku semakin lelah.Sampai di toko, Lita memarkirkan mobil di parkiran. "Lit, saya tunggu di mobil aja ya. Kamu panggilin Zulfa, kamu langsung antar saya pulang," ucapku. Belum sempurna gadis itu menapakkan kakinya ke aspal."Ibu nggak ikut turun. Nggak makan dulu?" tanyanya. Aku menggelengkan kepala pelan."Nggak, Lit. Saya makan di rumah aja," jawabku.Lita mengangguk lalu menutup pintu mobil. Dari balik kaca, aku memperhatikan Lita yang berjalan masuk ke dalam toko. Aku menunggu Lita di dalam mobil. Kupejamkan mata untuk untuk mengur
"Ayo, masuk, Lita," ucapku mempersilahkan Lita masuk tanpa menghiraukan tatapan ibu dan Iren."Sudah berani sekarang. Sudah kayak yang punya rumah aja." Suara sinis ibu menyapa indera pendengaranku. Kuberi kode pada Lita dengan menggelengkan kepala agar gadis itu diam. Jika diladeni, nanti ibu semakin panjang ayatnya. Lebih baik cuek seakan tidak mendengar apa-apa. Apalagi, aku yakin Lita pasti membalas jika nanti ibu bertingkah.Kami melangkah terus menuju dapur. Setelah meletakkan bawaan ke atas meja makan, aku menuju wastafel mencuci tangan."Bun, Ufa ke kamar dulu ya.""Iya, Sayang."Aku dan Lita menyiapkan makanan yang kami beli tadi, lalu duduk ingin menyantap makan siang yang sudah kesorean. "Dasar perempuan kampungan." Lagi-lagi kami mendengar makian ibu. Ternyata dia dan Iren menyusul duduk di sofa depan TV. Lita menatapku sejenak lalu melanjutkan makannya.Lita memang sudah tau sifat ibu dari suamiku itu. Sudah sering dia mendengar ibu mencaci–maki, jadi sudah tidak heran l
Aku duduk sendiri di balkon yang ada di lantai atas sembari menikmati bintang yang berkedip di tengah pekatnya malam. Masih dengan memakai mukenah, kunikmati saat terakhirku tinggal di toko ini. Rencananya, besok aku akan pindah kembali ke rumah orang tuaku.Ketegangan yang terjadi akhir-akhir ini terobati dengan melihat cahaya bintang yang berkedip. Dari dulu, aku suka sekali menengadah ke langit melihat benda yang terlihat kecil berkelap–kelip itu. Dengan melihat bintang, aku bisa mengalihkan rasa sakit untuk sementara.Aku meminta Lita ikut tinggal menemaniku di rumah itu nanti. Dalam keadaanku yang sudah hamil besar seperti ini, memang harus ada yang menemaniku di rumah. Takut nanti ada apa-apa di malam hari, jika aku hanya tinggal berdua dengan Zulfa."Iya, Bu, aku mau. Aku nggak mau, nanti nenek lampir itu ke sini trus ngapa-ngapain Ibu," ucapnya tadi siang saat ku ajak tinggal bersamaku. Hatiku geli mengingat Lita memberi gelar Mak Lampir pada Iren. Katanya nama itu cocok s
Maya! Saat teringat nama Maya, cepat kurogoh tas mencari ponselku. Sembari menunggu Mas Hasan, aku akan menghubungi Maya. Kemarin di toilet hotel, aku sempat menyimpan nomernya.Kutekan nomer Maya lalu menempelkan benda pipihku ke telinga. Tut! Tut! Tut! Nada dering terdengar menyapa indera pendengaranku."Halo," sapa suara di ujung sana. Suaranya terdengar malas-malasan."Halo ... ini aku, Iren," balasku tanpa basa–basi."Iya, aku tau. Ada apa? Kamu sudah berhasil menyingkirkan Mila?" tanyanya to the point. Aku mencabik bibir. Dasar ... pantas saja tidak dilirik Revan, sinisnya minta ampun."Belum ... justru aku menghubungimu untuk membuat kerjasama.""Kerjasama?" tanyanya. Sejenak aku terdiam. Mataku menatap ke jalan raya. Dari jauh, kulihat Mas Hasan muncul dengan memapah Ibu, tapi tunggu! Kenapa dia sama Aina.Hem!"Aku tidak bisa memberitahu sekarang. Rencana ini tidak bisa dibicarakan di telpon harus bertemu.""Oke ... ketemu di mana?" tanya Maya."Terserah kamu," balasku cep
"Tidak, Mas! Aku nggak mau turun, aku nggak mau tinggal di sini! Di sini itu sempit, Mas!" Suaraku mulai meninggi. Mana mungkin aku mau tinggal di tempat sempit seperti ini. Dapur di rumah yang dulu saja masih luas dari rumah ini."Ya sudah ... kalau kamu nggak mau sana jadi gembel, tinggal di jalan." Ibu berucap dengan nada sinis. Aku meneguk ludahku. Gembel ... tidak! Aku tidak mau jadi gembel."Ini semua gara-gara Mbak Mila! Dia sudah janji tidak akan mengambil apa-apa, tapi dia bohong. Lihat saja aku akan buat perhitungan dengannya!""Sudahlah, Ren. Kamu jangan menyalakan Mila ... itu harta orang tuanya wajar dia ambil. Jangan coba-coba kamu ngelakuin hal bodoh, Ren. Mila sedang hamil anakku."Kupingku rasanya panas! Bisa-bisanya Mas Hasan masih memikirkan Mila, sedangkan nasib kami sudah seperti ini. "Tidak, Mas! Semua itu berkat kamu! Kamu yang buat perusahaan itu maju. Jadi sudah sepantasnya itu jadi milik kamu. Kamu jangan terlalu bodoh jadi orang. Jangan karena terlalu mem
Saat Kulihat Lita muncul dari balik gorden, cepat kuangkat badanku berdiri dan berjalan menuju pintu utama.Di sini aku berdiri saat pertama kali Iren datang, di sini jugalah aku berdiri untuk menyaksikannya pergi."Aku akan membalasmu wanita sialan!" ucap Iren saat melewatiku. Dia berbalik lalu mendorong hingga kepalaku terbentur daun pintu. Dengan cepat Lita menghampiri. " Ibu nggak apa-apa?" tanyanya. Kugelengkan kepala berbohong, padahal kepalaku terasa pusing akibat benturan. "Pergi sana." Lita mendorong bahu Iren hingga mantan maduku itu terhuyung ke belakang lalu dengan cepat menarik tanganku masuk lalu menutup pintu. Aku mengintip dari balik tirai. Di teras rumah Iren terus saja berteriak memaki, meskipun suaminya sudah memintanya untuk masuk ke dalam mobil, tapi wanita itu tetap berteriak histeris memakiku.Astaghfirullah ... aku mengucap istighfar sembari mengurut dada."Begitulah, Bu ... kalau berteman dengan setan ... ya akhirnya jadi hantu 'kan!"Miris sekali! Begitulah
"Sejak kapan kamu menjadi pemilik rumah ini? Kamu lupa, kamu datang ke sini sebagai tamu dan akan keluar dari rumah ini juga sebagai tamu," ucapku santai sembari melipat kedua tangan di dada. Menghadapi orang seperti Iren tidak harus dengan cara bar-bar. Lagipula, aku bukan dia yang dikit- dikit emosi."Aku sekarang istri sah Mas Hasan. Jadi jelas aku nyonya di sini. Nggak usah banyak cing–cong cepat kalian pergi dari sini" ucapnya mengusirku lagi dan Lita. Kasian sekali, sebegitu pinginnya di akui Nyonya.Dari arah dalam muncul sosok mantan mertua. Mungkin mendengar teriakan Iren yang seperti suara Nenek Lampir itu."Mi–Mila ...." Ucapannya tergantung. Mungkin saking kagetnya melihatku hingga wanita paruh baya itu kehabisan kata-kata."Iya, Bu. Ini Mila. Ibu apa kabar?" tanyaku seraya menyungging senyum manis untuknya."Ma–mau ngapain kamu ke sini?" ucapnya tergagap, suaranya bergetar. Meskipun berusaha terlihat baik, tapi aku atau dalam hatinya sangat resah sekali."Mila datang in
"Kamu ...."Ucapan pak Ilham terputus. Baru saja pria paruh baya itu mau menjelaskan, Lita datang dengan nampan di tangannya. Laki-laki paruh baya yang baru kutau adalah teman Ayahku itu, terpaksa menutup kembali mulut menghentikan ucapan."Silahkan diminum, Pak,' ucap Lita sopan. Aku tersenyum melirik Lita. Gadis itu sedikit menunduk dan berlalu meninggalkan aku dan Pak Ilham.Pak Ilham membetulkan posisi duduknya, lalu berdeham sebelum melanjutkan bicara. "Semua aset yang ada itu milik Pak Gunawan, Ayah Kamu. Apa Pak Hasan tidak memberitahumu?" Aku menggeleng pelan. Dalam hati rasanya ingin memaki. Teganya mereka!"Aku tidak tau, Om. Kata mereka Ayah tidak mampu membayar hutang-hutangnya, maka semua harta jatuh ke tangan Mas Hasan.""Astagfirullah," ucap Pak Ilham sembari memegang dadanya. Mungkin dia kaget, sama sepertiku."Semua itu milik Ayahmu, termasuk rumah yang sekarang masih mereka tempati. Pak Hasan hanya diberi kuasa mengelolanya saja, tapi tetap milik kamu sebagai ahli w
Senyum sinis terukir di bibirnya yang merah menyala itu. Beraninya dia mengancam! "Terserah kamu, Ren. Aku tetap akan rujuk sama Mila. Jika kamu tidak setuju, kita bercerai saja."Mendengar kata cerai dari mulut Hasan spontan aku menoleh pada anak laki-lakiku itu."Kamu serius?" tanyaku menatap lekat matanya. Aku ingin mencari kebenaran di dalam sana. Dulu dia sangat mencintai Iren. Iren adalah cinta pertamanya, tapi kenapa sekarang dengan mudah ingin melepaskan wanita itu.Kutarik nafas panjang saat mendapati sesuatu di mata anakku. Memang tak ada lagi cinta untuk Iren di sana. Sebenarnya, aku sudah lama curiga, tepatnya saat Mila pergi dari rumah ini. Saat itu aku tau Hasan sudah mulai mencintai anak dari temanku itu."Tidak, Mas! Kamu tidak bisa memperlakukanku seperti ini. Kamu jahat, Mas! Kamu jahat!"Iren mengamuk membanting semua barang yang ada di dekatnya. Sesekali dia menjambak rambut pirangnya, hingga rambut sebahu itu menjadi acak-acakan. Aku sampai ngeri melihatnya seper
"Bentar, Bu Mila." Suara berat Pak Ilham spontan menghentikan langkahku. Aku membalikkan badan, lalu menatap pada lelaki yang baru kutahu adalah teman Ayahku. Kubalas tatapan teduhnya dengan seulas senyum tipis."Iya, Om.""Hati-hati ya, Nak. Jaga kandungan kamu."Senyumku melebar mendengar kata perhatiannya. "Iya, Om, terimakasih," balasku.Kupandangi semua yang ada di depan mata satu per satu. Mulai dari Ibu yang wajahnya terlihat tegang. Entah kenapa wajahnya seperti itu, padahal dulu wajah tua itu selalu saja angkuh. Mas Hasan yang menatapku dengan tatapan lembut, entahlah ... mungkin itu perasaanku saja, lagipula, aku sudah tidak berharap lagi. Iren ... apalagi wanita itu, dia menatapku dengan senyum penuh kemenangan. Seperti baru saja mendapat piala Oscar.Setelah puasa menatap, aku membalikkan badan sebelymnya mengucap salam. Kulangkahkan kaki seraya menggandeng tangan Zulfa keluar melewati pintu."Pak bisa pulang. Terimakasih sudah menunggu saya," ucapku pada Pak Asep yang se
"Mila sehat aja, Pak. Dia dan Hasan lagi menunggu bayi mereka yang sebentar lagi lahir." Bukan aku yang menjawab tapi Ibu. Wanita bertubuh sedikit berisi itu tersenyum sumringah pada Pak Ilham. Seolah bahagia menunggu kehadiran cucu. Kubuang pandangan pada Mas Hasan, pria itu hanya menunduk."Saya hanya ingin memastikan saja. Apakah Bu Mila bahagia.""Jelaslah bahagia, Pak. Orang sudah hamil besar begitu, kenapa pula tidak bahagia." Lagi-lagi Ibu yang menjawab.Aku menatap Pak Ilham. Dia sudah tau, jika aku dan Mas Hasan sudah bercerai, tapi kenapa masih berpura-pura."Baguslah, Bu, jika Bu Mila bahagia. Sesuai dengan keinginan Pak Gunawan."Kulihat Ibu tersenyum tipis. Senyuman tidak ikhlas. "Maaf, Om. Sebenarnya apa maksud saya dipanggil ke sini?" Kulirik dari ekor mata Ibu menatapku tajam, tapi aku tidak peduli. Aku hanya ingin tahu, apa maksud mereka menyuruhku datang dan berpura-pura seolah masih suami istri dengan Mas Hasan."Loh ... bukankah ini rumah Bu Mila? Apa maksudnya