Sejak awal menikah Bimo tidak pernah memperlakukan Sinta dengan baik. Dia bahkan sering bersikap sinis pada Sinta. Bahkan saat di kamar berdua Bimo lebih sinis lagi. "Kei, rasanya aku nggak sanggup. Papa kamu cuek banget," kata Sinta. "Ma, Mama jangan menyerah. Ingat Mama adalah orang yang pantas mendampingi Papa. Mama yang sudah memberi kita kasih sayang," kata Keira. "Tapi melihat sikap Papa mu, aku jadi tidak bisa. Aku merasa tidak dihargai Papa kamu." Sinta pasrah dengan rumah tangganya. Keira lalu menyusul sang Papa, dia memarahi Bimo. "Pa, apa Papa tidak bisa menghargai Mama Sinta sedikitpun? Papa tidak pulang dia paling khawatir sama keadaan Papa. Tapi apa balasan Papa? Papa malah cuekin Mama," kata Keira. "Lalu apa mau kalian? Aku bersikap baik padanya? Sudah cukup aku menuruti apa mau kalian," bantah Bimo. "Salah siapa kalian paksa aku menikah dengan dia," lanjut Bimo. Sinta yang mendengar ucapan Bimo langsung menangis. Dia tidak diharapka
Ternyata Yunita menelfon Angga setelah dari rumah Angga. "Halo, Pak Angga. Saya tadi ke rumah Anda. Saya bertemu dua istri anda," kata Yunita. "Ada apa, Bu?" tanya Angga. "Mengantar undangan pernikahan adik saya. Sayangnya saya kecewa dengan istri kedua anda," jawab Yunita. "Memang dia bicara apa, Bu?" tanya Angga. "Dia menyinggung saya yang menikah dengan Mas Jaka yang mandul. Tolong peringatkan istri kedua anda," kata Yunita lalu menutup panggilannya. Yunita merupakan orang penting bagi perusahaan Angga. Dia tidak mau jika masalah ini akan menyangkut ke perusahaan. Angga langsung pulang dan menemui Luna. "Luna apa yang kamu lakukan pada Bu Yunita?" tanya Angga. "Tidak ada, Mas. Dia ngadu apa sama kamu?" tanya Balik Luna. "Masa iya jadi orang ngaduan," kata Luna. "Dia itu orang penting Luna, kalau kamu bikin masalah sama dia bisa saja perusahaan kita gulung tikar. Kamu sudah bikin aku malu," kata Angga. "Kamu harus meminta maaf sama dia
Bimo bukan membebaskan Keira tetapi menerima Keira di penjara. Sinta tidak habis pikir dengan jalan pikiran Bimo yang tega terhadap anaknya sendiri. "Mas, kenapa kamu tidak bebaskan Keira?" tanya Sinta. "Biarkan saja, biar dia jera," jawab Bimo. "Ayo kita pulang!" ajak Bimo. "Itupun kalau kamu masih mau menjadi istriku," kata Bimo. Sinta terpaksa pulang bersama Bimo. Dia akan berusaha untuk membebaskan Keira dengan caranya sendiri.** Setelah resmi bercerai Santo dan Aminah tidak lagi bertemu. Kali ini mereka menjalani hidup mereka masing-masing. Ternyata Santo bekerja untuk menghidupi dirinya sendiri. Sementara Aminah numpang di rumah Rani dengan makan dan tidur gratis. "Bu, Bapak akan ke sini. Dia bilang akan bawa calon Ibu buat Rani dan Fatimah," kata Rani di telfon. "Benarkah? Fatimah dan Angga juga akan datang?" tanya Aminah. "Iya, Bu. Aku sudah menelfon Fatimah," jawab Rani. Aminah langsung gugup saat tahu Santo akan datang membawa pasan
Aminah harus memberikan jawaban agar Rani tidak curiga. "Oh itu, Ibu melakukan investasi," kata Aminah. "Investasi apa, Bu?" tanya Rani. "Kenapa sebanyak itu?" tanya Rani. "Nanti Ibu jelaskan, Ibu harus pergi untuk membeli baju pengantin," kata Aminah. Aminah dan Rido membeli cincin dan baju pengantin. Mereka akan menikah dua hari lagi. Tiga hari sebelum pernikahan Santo dan Siti. "Ini bagus sayang," kata Aminah. "Iya kamu pilih saja," kata Rido. "Oh ya keluarga kamu yang di luar kota beneran akan datang? Aku mau kita menikah diketahui keluarga kamu," kata Aminah. "Kamu tenang saja, mereka akan segera datang," ucap Rido meyakinkan Aminah. Sepulang dari membeli gaun pengantin, Di rumah Rani sudah ada Fatimah dan keluarga Adam. Mereka sedang mempersiapkan pernikahan Aminah. Acaranya tidak mewah hanya mengundang para tetangga saja. Namun, Rani justru tampak berbeda. "Mbak, kamu kenapa?" tanya Fatimah. "Apa Mbak Rani nggak suk
Semenjak ditipu Rido, Aminah tidak keluar rumah. Dia banyak dibicarakan para tetangga. Bahkan Aminah juga jarang ke rumah Adam. Rani sesekali menanyakan Aminah pada pembantunya. "Mbok, gimana keadaan Ibu?" tanya Rani . "Keadaannya masih sering murung dan bicara sendiri, Non. Terkadang juga marah-marah tidak tentu," jawab Pembantu Rani. "Aku rasa Ibu sudah depresi, Non. Memang tidak membahayakan orang lain tetapi dia kadang suka kencing di celana. Bila ditegur marah-marah," tutur Pembantu Rani. "Nanti saya diskusikan dengan Fatimah, Mbok. Lagi pula Bapak juga akan menikah, jadi kita fokus ke pernikahan Bapak dulu," ucap Rani lalu mengakhiri panggilannya. Pembantu Rani jarang sekali mendekati Aminah. Dia takut jika Aminah marah dan mengamuk. "Aku ditipu, wkwkwk." Aminah berbicara dan tertawa sendiri. "Aku gagal menikah, aku ditipu," ucap Aminah. Sesekali dia melihat keluar jendela. Aminah tersenyum sendiri di dalam kamar. "Dia jahat, dia menipu aku. U
Luna terpaksa dipulangkan, Angga tidak mau ambil resiko dipermalukan lagi. "Aku sudah melarang dia ikut, kamu sih malah bolehin dia ikut," kata Angga menyalahkan Fatimah. "Kamu kaya nggak tahu mulut Luna saja," lanjut Angga. "Maafkan aku, Mas," ucap Fatimah. Mereka lalu berangkat ke KUA, butuh waktu 10 menit untuk sampai di KUA. Sampai di sana mereka masuk dan langsung melakukan ijab qobul. Rani datang agak terlambat, dia yang hamil besar seperti sudah malas keluar rumah. "Alhamdulillah sudah sah," kata Fatimah. "Iya, udah Sah," ucap Siti. Setelah itu mereka ke rumah Santo ada jamuan ala kadarnya di rumah Santo. "Ran, bagaimana kabar Ibumu?" tanya Santo. "Ya masih sama, Pak. Setelah ini kami akan bawa Ibu ke rumah sakit. Kami tidak mau jika Ibu terus begitu," jawab Rani. "Kasihan sekali Aminah," kata Santo. Siti yang mendengar hal itu langsung cemberut. Dia kesal karena Santo memikirkan Aminah. "Pak, Bapak sekar
Adam dan keluarganya tengah menemani Rani yang tengah berjuang di ruang bersalin. Adam merasa kasihan melihat Rani kesakitan. "Sabar sayang, kamu pasti bisa," kata Adam. Rani beberapa kali mengejan, dan akhirnya terdengar tangis bayi laki-laki yang sangat tampan. Perawat membawa bayi untuk di mandikan. Sementara Dokter mengurus Rani setelah persalinan. "Pak, anaknya silahkan di adzani," kata Perawat. Adam mengadzani putranya yang masih merah itu. Keluarga Adam menyambut gembira kelahiran cucu laki-laki mereka. "Selamat Adam kamu menjadi seorang ayah," kata Mama Adam. "Terima kasih, Ma," ucap Adam. Rani masih dalam perawatan, keadaan Rani sedikit lemah sehingga harus menghina di rumah sakit. Fatimah dan Angga datang, mereka senang melihat Rani sudah melahirkan dengan selamat. Bayi Rani tengah digendong oleh Mama Adam. Dia senang sekali mempunyai cucu laki-laki. "Selamat ya, Kak," ucap Fatimah. "Iya, terima kasih sudah datang,
Fatimah tidak menyangka, Adam berpikir seperti itu. Fatimah tidak mau berkomentar hal ini karena memang dia tidak tahu menahu. "Maaf, Mas. Kalau masalah itu kami tidak tahu," jawab Fatimah. Mereka telah sampai di rumah sakit. Fatimah mengajak Aminah untuk mendaftar. Setelah itu Aminah melakukan beberapa pemeriksaan. "Ibu harus menginap di sini. Supaya kami mudah memantaunya," kata Dokter. "Baik, Dok," jawab Adam. "Ibu tinggal di sini, temannya banyak. Ibu akan cepat sembuh jika di sini," bujuk Fatimah. "Iya, Ibu mau," kata Aminah. Setelah Aminah mau di tinggal, Fatimah, Angga dan Adam pulang. Mereka merasa lega karena Aminah tidak mengamuk. "Fatimah, pertanyaan aku di mobil tadi jangan sampai Rani tahu," kata Adam. "Alu takut dia tersinggung, dia kan baru melahirkan." Adam khawatir dengan keadaan Rani. "Iya, Mas. Mas Adam tenang saja," kata Fatimah. Mereka pamit untuk pulang ke rumah masing-masing. Adam tidak langsung ke rumah.
Jaka dan Yunita tidak hanya mengundang Fatimah dan Angga. Mereka juga mengundang keluarga Adam, keluarga Hasan juga. Dam tentu Santo dan Aminah tidak ketinggalan. Meskipun Jaka hanya mantan menantu tetapi dia tetap menghargai Santo dan Aminah. Pagi sekali Fatimah sudah menyiapkan baju untuk ketiga anaknya. Dia sudah mandi sejak awal. Baru dia memandikan ketiga anaknya. "Ya ampun repot sekali," kata Fatimah. Padahal dia sudah di bantu Mbok Inah dan baby sitter Shaka. Mbok Inah tertawa melihat Fatimah gugup. Dia bahkan sempat kebalik saat memakaikan kaos dalam untuk Shaka. "Jangan gugup, Bu. Nggak akan ketinggalan kereta," goda Mbok Inah. "Bari gantiin baju mereka aja sudah ribet apalagi nanti di sana. Mana Mas Angga nggak mau ajak kalian," kata Fatimah. "Ya nanti kan ada Bu Aminah biar dibantu beliau, Bu," kata Baby Sitter Shaka. "Kalau Shaka pasti main sama Jonathan pasti anteng," lanjutnya. "Kita tidak tahu apa yang akan terjadi nanti. Kal
Fatimah terus saja berpikir keputusan apa yang akan dia ambil. Dia tidak mungkin meneruskan gugatannya. ''Ibu tahu kamu sangat menyayangi Shaka dan Clarisa. Apa lagi aku lihat Clarisa dekat sekali dengan kamu dan Naura. Jika kamu memutuskan untuk kembali pada Angga Ibu silahkan," kata Aminah. "Ibu akan coba bicara dengan Angga agar dia berubah," kata Aminah. "Sepertinya aku memang harus kembali pada Mas Angga, Bu. Kalau aku meninggalkan dia itu tandanya aku egois," ucap Fatimah. "Semoga Mas Angga mau merubah sikapnya," kata Fatimah. Hari ini adalah tujuh harinya Luna. Itu tandanya Fatimah harus memberi jawaban pada Angga. "Bagaimana Fatimah? Aku menunggu keputusan kamu. Aku harap kamu mau kembali bersamaku. Kita rawat anak kita sama-sama," kata Angga. "Setelah saya pikirkan, saya rasa saya harus tetap bersama kamu, Mas. Anak-anak butuh aku," kata Fatimah. "Angga, aku mau kamu jangan sampai sakiti Fatimah lagi. Kalau sampai kamu sakiti Fatimah lagi, aku
Setelah mendapat telfon dari Angga, Luna panik. Dia tidak menyangka pria suruhannya itu ditangkap Angga. Dan kini dia ketahuan sebagai dalang dari masalah perselingkuhan Fatimah. "Aku harus kabur, aku nggak mau ditangkap polisi," ucap Luna panik. Luna membereskan bajunya ke dalam koper. Dia tidak membawa ikut serta Clarisa karena bagi dia akan merepotkan. "Bagaimana kalau sampai aku tertangkap?" tanya Luna. Dia menyeret kopernya keluar kamar. "Bu, kamu mau kemana?" tanya Mbok Inah saat melihat Luna membawa koper. "Aku mau pergi, kamu jaga Clarisa. Aku nggak mungkin bawa dia," jawab Luna panik. Dia segera membawa mobilnya pergi dari rumah Angga. Dia terburu-buru sekali. Di tengah jalan dia mendengar ada sirine mobil polisi dia semakin parno. Dia tancap gas sekencang mungkin agar tidak bertemu polisi. Luna bahkan beberapa kali menerobos lampu merah di jalan yang sedikit sepi. Dia tidak peduli dengan keselamatan dia lagi. Dari arah yang berlaw
"Mas, maksud kamu apa?" tanya Fatimah. "Kamu kemarin hanya nolongin aku untuk antar aku ke rumah Kak Rani. Kenapa malam ngaku-ngaku kita ada hubungan?" tanya Fatimah. "Loh memang kita ada hubungan, kan?" tanya Pria itu. "Kamu jangan ngarang," bantah Fatimah. "Nah udah ketahuan dia selingkuh. Kenapa masih kamu pertahankan dia, Mas," sahut Luna. "Sudah ayo kita pergi!" ajak Angga pada Luna. Angga meninggalkan Fatimah dan keluarganya. Dia tidak mau terus berdebat. Bahkan Angga malah mengajak Luna langsung pulang. Acara mereka jalan-jalan gagal total. Fatimah dan keluarganya juga pulang. Mereka tidak menyangka pria itu berbohong di depan Angga. "Siapa sih pria tadi? Dia kok malah berbohong?" tanya Rani. "Sudah kalian tenang saja, saya sudah suruh orang selidiki dia. Aku yakin ada orang lain dibelakang dia," jawab Adam. "Maksud Mas Adam dia disuruh orang?" tanya Rani. ''Betul sekali," jawab Adam. "Pasti ulah Luna," sahut Fatimah.
Fatimah sudah berada di rumah Rani. Beruntung tadi dia bertemu pria baik yang mau mengantar dia sampai di rumah Rani. Awalnya Fatimah menolak karena tidak kenal orang tersebut. Tetapi lama-lama dia mau karena Naura terus saja rewel. "Terima kasih, Mas. Maaf saya tidak bisa balas dengan apapun," kata Fatimah. "Tidak apa-apa, Mbak. Saya senang melihat Mbak sudah sampai tujuan dengan selamat. Lagian suami Mbak tega sekali membiarkan istrinya pergi sendiri membawa anak kecil," kata pria itu. "Saya permisi, Mbak!" ucap pria itu lalu pergi. Fatimah masuk ke rumah Rani. Dia beristirahat di kamar tamu yang sudah di sediakan pembantu Rani. "Kalau butuh sesuatu bisa panggil saya, Mbak," ucap pembantu Rani. "Iya, Mbak," jawab Fatimah. Dia menidurkan Naura yang sudah terlelap di atas ranjang. Dia merasa kasihan karena membawa Naura panas-panasan. Malamnya Rani datang, dia sedih melihat keadaan Fatimah saat ini. Namun, sebagai kakak dia akan mensupport apapun k
Angga melotot dia tidak menyangka Fatimah akan berani menggugat cerai Angga. Angga tidak mau jika Fatimah meninggalkan dia. "Jangan asal bicara. Pikirkan dulu ucapan kamu!" pinta Angga. "Aku tidak akan menceraikan kamu, dan kamu tidak akan bisa menceraikan aku," kata Angga. "Kenapa kamu takut? Bukanya kamu sudah ada Luna?" tanya Fatimah. "Aku tidak mau ya tidak mau," jawab Angga. "Kamu egois, Mas," kata Fatimah. Dokter masuk, seketika mereka diam. "Pak Angga, Bu Fatimah sudah boleh pulang sore ini," kata Dokter. "Baik, Dok. Terimakasih," kata Angga. Fatimah tidak mau melihat ke arah Angga. Dokter memeriksa keadaan Fatimah. "Bu Fatimah banyak istirahat ya. Jangan sampai salah makan lagi," kata Dokter. "Baik, Dok," ucap Fatimah. Dokter keluar dari ruangan Fatimah. Angga juga kembali ke kantor tanpa mengucapkan sepatah katapun pada Fatimah.** Sorenya Angga menjemput Fatimah dan juga Mbok Inah. Mereka saling diam bahk
Luna memanfaatkan kesempatan ini untuk membuat Angga membenci Fatimah. Dia ingin Fatimah meminta cerai dari Angga. "Fatimah, Fatimah untuk apa kamu masih di sini. Mas Angga sah sudah tidak peduli lagi dengan kamu. Jadi harusnya kamu sadar diri dan pergi dari sini. Kalau perlu malah kamu gugat cerai saja Mas Angga," kata Luna. "Aku tidak akan semudah itu kamu singkirkan, Luna," ucap Fatimah. "Hahahha baiklah, kalau gitu kamu siap saja merasakan sakit hati yang amat dalam," kata Luna. "Kamu tidak akan kuat bertahan," ucap Luna. "Kita lihat saja siapa yang akan tersingkir dari rumah ini. Aku atau justru kamu," tantang Fatimah. "Kamu tidak akan bisa menyingkirkan aku," kata Luna. Perang antara Luna dan Fatimah semakin sengit. Fatimah tidak lagi cuek pada Shaka dan Angga. Dia berusaha mati-matian mendapatkan hati mereka lagi. "Mas, ini ada teh buat kamu," kata Fatimah setelah melihat Angga pulang kerja. Angga meminum teh buatan Fatimah. "Teh
Beberapa hari setelah kamar Naura di pindah untuk Clarisa. Kini Luna membuat ulah lagi. "Mas, kamar kita kejauhan dari kamar Clarisa. Kalau dia nangis aku jadi tidak dengar," kata Luna. "Bagaimana kalau kamu suruh Fatimah pindah ke kamar ini. Dan kita tidur di kamar utama yang lebih dekat dengan kamar Clarisa," kata Luna. "Iya, nanti aku suruh Fatimah pindah. Tapi aku harus panggil orang buat pindahin almari milik Naura dan box Naura," kata Angga. "Tidak masalah. Yang penting kita pindah ke kamar utama." Luna tersenyum. Semenjak pulang dari rumah sakit Luna selalu meminta ini itu pada Angga. Semua keinginan dia tidak ada yang Angga tolak. "Fatimah, kamu pindah ke kamar Luna. Biar aku dan Luna pindah di kamar kamu," kata Angga. "Kamar kamu mana muat Mas untuk aku dan Naura?" tanya Fatimah. "Sudah jangan protes," jawab Angga. Angga meminta para pembantu untuk memindahkan barang-barang Fatimah ke kamar Luna. Begitu juga sebaliknya.
Fatimah diam saja, dia tidak menanggapi ucapan Shaka. Dia memilih untuk acuh saja. Merasa dicuekin, Shaka kesal dan masuk ke kamarnya. "Maafkan Shaka, Bu," kata Baby sitter Shaka. "Tidak masalah," jawab Fatimah. Baby site Shaka menyusul Shaka ke kamar. Fatimah menidurkan Naura, dia tidak mau terbebani oleh apapun.** Angga dengan panik membawa Luna ke rumah sakit. Sampai di sana Dokter langsung menangani Luna. Angga mengurus administrasi sementara Luna di periksa oleh Dokter. Angga yakin Luna pendarahan akibat kelelahan kemarin melayani tamu undangan. "Semoga kalian baik-baik saja," kata Angga. Angga kembali menunggu Luna, Dokter mencari Angga. "Pak Angga, Bu Luna mengalami banyak pendarahan. Dia harus segera melahirkan, namun tidak bisa normal melihat kondisinya saat ini sangat lemah," kata Dokter. "Lalu harus bagaimana, Dok? Luna memaksa normal soalnya?" taya Angga khawatir. "Tadi Bu Luna sudah saya kasih arah, dia mau caesar," jawa