Dokter Rianti masih menggerakkan kursor USG di perut Rania, terlihat baby Rania menggeliat. Seakan-akan dia tahu sang pemberi tempat dia bernaung sedang melihatnya saat ini.
"Lihatlah! Dia menunjukkan bahwa dia nanti akan menjadi pelindung Mamanya" kata dokter Rianti yang mengatakan bahwa baby Rania sudah pasti seorang bayi laki-laki, walaupun pada pemeriksaan bulan lalu. Dokter sudah mengatakan baby dalam kandungannya baby boy, dan pemeriksaan kali ini. Sang baby benar-benar menunjukkan jenis kelaminnya.
"Sungguh Dok? Apa tidak akan bisa berubah lagi?" Tanya Rania.
Karena dia ada membaca, jenis kelamin baby sering berubah.
"Tidak Bu Rania, sebenarnya. Jenis kelamin tidak bisa berubah, bisa saja saat dilakukan USG. Belum begitu kelihatan jenisnya, hanya diterka-terka saja, ini sudah jelas Bu Rania. Baby boy" kata dokter Rianti.
"Bude, baby boy bude," ucap Rania kepada budenya, dengan
Alex berlalu dari depan kaca kantornya, tempat dia memandang. "Apa maksudnya Lex? Ceritakan, jangan buat aku semakin penasaran!" Seru Leo. "Arumi sudah menceritakan semuanya" ujar Alex sembari meletakkan bokongnya di sofa, tangannya mengelus keningnya yang terasa pusing tiba-tiba. "Cerita apa?" Leo semakin penasaran. "Ternyata, pria itu tidak bersalah." "Siapa? Pria yang mana?" Tanya Leo tidak sabar, untuk mendengar ucapan Alex selanjutnya. "Ayah Rania," ucap Alex dengan suara yang lirih, raut wajahnya terlihat penyesalan yang mendalam. "Apa? Arumi cerita apa Lex?" tanya Leo. "Arumi saat itu ingin mengakhiri hidupnya, dia yang menabrakkan diri ke mobil ayah Rania. Bukan ayah Rania yang menabrak Arumi." Cerita Alex. "Shit..shit .!" Umpat Leo yang kecewa mendengar apa yang dikatakan oleh Alex. Dia tidak mengira, Arumi. Gadis yang periang, mempunyai pikiran untuk mengakhiri hidup. Hanya gara-gara seor
Rania masuk kembali kedalam toko, dengan membawa pesanan pelanggan. "Sarah, ini pesanan meja nomor 2 ." Rania memberikan catatan pesanan kepada Sarah yang bekerja di bagian dapur. "Baik mbak" sahut Sarah sembari mengambil catatan pesanan dari tangan Rania. "Ran, istirahat dulu. Dari tadi kamu itu mondar-mandir terus, bude takut nanti brojol itu kandungan mu sebelum waktunya" kata bude Maria. "Bude, Rania disuruh banyak bergerak. Biar nanti lahirannya lancar" jawab Rania sambil mengusap-usap perutnya yang terlihat sudah semakin besar. "Banyak bergerak, tapi bukan seperti kamu ini. Tidak ada istirahatnya, ini minum susunya. Kamu ini selalu lupa untuk minum susu, nanti baby-nya lahir kurang gizi" ucap bude Maria, dan memberikan susu yang dibawanya dari dapur. "Bude, masa kurang gizi. Hanya susu yang Rania sering lupa" kata Rania. "Susu ini ba
Dikota besar, Alex duduk di restoran. Didepannya duduk seorang pria yang sedang mengamati dengan tajam gambar yang diberikan oleh Alex kepadanya. "Aku tidak mau menerima kegagalan lagi, sudah banyak detektif yang aku kerahkan untuk mencarinya. Tapi tidak ada yang bisa menemukannya, ini gambar temannya. Melalui orang ini bisa kau mulai mencarinya" Alex memberikan gambar Jesi kepada detektif tersebut, yang diambilnya dari sosial media milik Jesi. Setelah hampir seharian dia dan Leo mencari teman Rania di sosial media. Sedangkan Rania telah menutup sosial media yang dia punya, sejak dia gagal menikah. "Nomor ponselnya, Tuan tidak ada?" Tanya detektif tersebut kepada Alex. "Aku tidak memilikinya" jawab Alex. Alex baru merasakan, dia dulu tidak cukup mengenal lingkungan sekitar Rania. Jika saja ia dahulu cukup mengenal lingkungan pertemanan Rania, saat ini tid
Di Singapore, Papa dan Mama Alex sudah mendapatkan izin dari dokter untuk membawa Arumi kembali ke tanah air. Setelah di rasa kondisi Arumi sudah bisa melakukan perjalanan yang jauh. "Akhirnya, Arum bisa kembali. Arumi sudah rindu rumah, kamar" ucap Arumi setelah dokter keluar dari ruang inapnya. "Hanya itu, apa adek nggak rindu dengan mas ini?" Suara dari depan pintu yang terbuka sedikit, membuat tiga pasang mata menoleh. "Mas Alex!" Seru Arumi dengan gembira, karena hampir satu bulan. Dia tidak bertemu dengan Alex, sejak pertemuan terakhir mereka. "Kenapa tidak kasih kabar mau datang Lex?" Tanya Papa Alex. "Mendadak Paa, rencana ini tiba-tiba. Ada klien yang mengajak bertemu disini" kata Alex. "Hih...! Mas Alex jahat, kalau tidak karena mau ketemu klien tadi. Mas Alex tidak mau menjenguk Arum kan?" Tanya Arumi dengan bibir manyun, dan mata menat
"Baby, nanti kalau sudah besar jangan jadi playboy ya" kata Jesi sembari mengelus perut Rania. "Hih..! Kau ini, anakku akan menjadi anak yang baik" ujar Rania. "Semoga, jangan seperti orang yang menanam benih. Yang tidak bertanggung jawab!" Ketus Jesi. Rania terpaku, wajahnya menunduk. "Maaf..maaf!" Jesi tersadar, perkataannya telah membuka luka hati Rania kembali terbuka. "Mulutku ini tidak ada filternya, maaf " Jesi beranjak dari tempat dia duduk, untuk menghampiri Rania dan memeluk Rania. Air mata menetes dari kedua bola matanya, Jesi menyesal. Telah membuat temannya tersebut mengeluarkan air mata. "Maaf.." ucap Jesi. Rania menghapus air matanya, dan melihat kearah Jesi. "Tidak apa-apa, entah kenapa. Aku sangat sensitif" ucap Rania. "Aku harus kuat, jangan hanya mendengar orang menyinggung tentang dia. Harus sudah badmood
Arumi berada dalam kamarnya, dengan jalan secara perlahan. Arumi menyisir setiap sudut didalam kamarnya, matanya terus melihat kamar yang sudah hampir setahun tidak dilihatnya. Walaupun dia tidur di ranjang dalam kamarnya, tetapi kondisinya dalam keadaan tidak sadar. Pintu kamarnya diketuk dari luar. Tok..tok.. "Masuk saja, tidak dikunci" titah Arumi dari dalam kamarnya. Pintu terbuka, terlihat wajah Bu Dian. "Non, ingin mandi? Biar ibu bantu" kata Bu Dian. "Iya Bu, gerah badan Arum" kata Arumi. "Biar ibu siapkan air panas dulu, mau berendam kan ?" tanya Bu Dian. Iya Bu" sahut Arumi. Bu Dian masuk kedalam kamar mandi, Arumi berjalan keluar menuju balkon kamarnya. Arumi melihat kearah taman, dari balkon kamarnya. Dia tidak menyadari, ada sepasang mata yang menatapnya dari dalam mobil yang terparkir. "Rum, kau sudah sehat. Aku rindu Rum" Andre, orang itu adalah Andre. Tanpa sengaja,
Alex masih berada didalam kamar Arumi, keduanya asik berbincang-bincang. Karena sudah lama keduanya tidak saling bertukar cerita."Apa benar Dek? Nggak bohong?" Alex belum yakin, Arumi mendengar apa yang dikatakannya saat dia berbicara dengan Arumi. Saat Arumi terbaring koma ."Benar mas, Arum tidak bohong? Mas ingin balas dendam dengan Rania kan? Karena ayah Rania telah menabrak Arumi. Tetapi itu tidak benar mas, bapak itu tidak bersalah, Arumi yang berpikiran pendek. Hanya karena laki-laki. Arumi ingin mengakhiri hidup," kata Arumi dengan perasaan yang sedih."Mas, Arumi dengar semua. Saat mas berbicara, Arumi ingin segera bangun. Dan berkata, bahwa bapak itu tidak bersalah. Tetapi Arumi tidak bisa ingin bergerak untuk bangkit dari ranjang, Arumi juga ingin membuka mata dan ingin berkata. Rania tidak sepatutnya mendapatkan kemarahan mas, tapi apa daya. Arumi tidak dapat untuk bangun dan mencegah mas menyakitinya" air mata Arumi mengalir, saat dia berkata.
"Jes, betul. Besok kau akan kembali?" tanya Rania kepada sahabatnya tersebut, berat rasa Rania. Jesi akan pulang. "Iya Ran, dua hari lagi aku wisuda. Aku sebenarnya ingin sekali kau menghadiri wisudaku, tapi bagaimana lagi. Keinginan ku tidak mungkin terwujud, perutmu sudah besar begitu." Ucap Jesi sembari melekatkan jemari tangannya diperut Rania. "Maaf, tapi doaku selalu bersamamu. Semoga selesai wisuda ini, kau akan langsung bekerja" kata Rania. "Amin" sahut Jesi. "Kau juga semoga lancar dan sehat selalu, membawa kemana-mana calon keponakanku ini" kata Jesi. "Kalau aku nanti tidak mendapatkan pekerjaan, aku bekerja disini saja ya" kata Jesi. "Boleh, tapi kau jangan ribut terus dengan mas Yoseph ya? Karena mereka masih lama belajar" kata Rania. "Orang itu kurang kerjaan ya, belajar buat roti. Apa dia tidak punya pekerjaan, sehingga bisa belajar disini" kata Jesi.
Setelah dua Minggu berada dalam perawatan rumah sakit, Alex diizinkan untuk pulang. "Akhirnya, mas bisa pulang," ujar Alex. "Mas, baring saja ya. Pasti letih dalam perjalanan dari rumah sakit," ujar Rania. "Mas mau duduk dibalkon saja, mas rindu melihat langit." Alex menolak, saat disuruh istirahat oleh Rania. "Apa mas tidak letih?" tanya Rania. "Tidak sayang," ujar Alex. Blush.. Pipi Rania merona merah, saat mendengar ucapan sayang yang keluar dari mulut Alex. Perkataan yang dulu sering diucapkan Alex saat mereka masih pacaran. "Sudah lama aku tidak melihat wajah malu-malumu sayang," ujar Alex. "Ih..mas Alex, ayo. Biar Rania tuntun ke balkon. Katanya mau duduk diluar," ujar Rania. Rania memegang Alex yang berjalan masih lemah, dan membantunya untuk duduk. "Sini sayank," ujar Alex dengan menepuk kursi si sisinya. "
Pernikahan Rania sudah memasuki hari Minggu, Rania masih tidak bisa menunjukkan sikap hangat yang ditunjukkan oleh Alex. Setiap malam, Rania tidur bersama Devan dikamar sang putra. Dan tiap malam juga, Alex selalu mengangkat Rania unt
Alex terus mengirim video panas antara dirinya dan Rania, entah darimana Alex mendapatkan nomor ponselnya Rania. Sesaat, Rania tidak mengindahkan apa yang dilakukan oleh Alex. Tapi lama-kelamaan, pikiran Rania kacau. Beban pikiran membuat dia tidak bisa melakukan pekerjaannya dengan baik, apa yang terjadi pada Rania tidak lepas dari pengamatan orang-orang disekitarnya. Hubungan dengan Yoseph semakin dekat, tetapi video yang dikirim oleh Alex semakin panas. Membuat pikiran Rania bercabang. Derrtt.... Bunyi ponsel Rania bergetar. "Apa lagi yang dikirim oleh orang sinting itu." Ngedumel Rania, karena matanya yang baru ingin terpejam. Kini terbuka kembali. Karena pesan yang dikirim oleh Alex, sudah dua kali Rania mengganti nomor ponselnya. Tetapi, Alex mendapat nomor ponsel barunya. Dan video panas terus dikirim oleh Alex, sampai Rania tidak ingin menggunakan ponselnya. Rania curiga, ada orang dalam yang memboc
Rania duduk di ranjang, di sampingnya. Baby Devan tidur dengan nyenyak. Pintu terbuka, dengan masuknya Bude Maria. "Mereka sudah pulang," ucap Bude Maria, tanpa ditanya Rania. "Bagaimana?" tanya Bude Maria. "Bagaimana apanya Bude?" balas Rania yang bertanya. "Alex ingin mengakui putranya. "Tidak Bude, sampai kapanpun, Rania tidak akan mengenalkan dia kepada Devan. "Jangan mengambil keputusan dengan emosional, itu tadi, mengenai pernikahan. Apa Rania sudah menerima lamaran Nak Yoseph?" Rania terdiam, dia bingung menjawabnya. Tadi dia mengatakan itu, karena emosi kepada Alex. "Jangan paksakan menerima lamaran Alex, jika tidak ada rasa didalam sini," ucap Bude sembari memegang dadanya. *** Alex masuk kedalam hotel dalam keadaan marah, me
"Apa..!? teriak Jesi dari sambungan telepon, hingga memekakkan telinga Rania. "Jes, pelankan suaramu..!" seru Rania. "Kau sungguh-sungguh di lamar Yoseph?" tanya Jesi, yang tidak percaya dengan apa yang baru di sampaikan oleh Rania. "Serius, untuk apa aku berbohong. Bagaimana Jes? Apa yang harus aku lakukan?" tanya Rania. "Untuk apa kau pikirkan lagi, terima. Kau harus menerima lamaran itu.." ucap Jesi dengan bersemangat. "Tapi aku tidak mencintainya, Jes.." ucap Rania. "Belum, kau belum mencintainya. Tapi tidak mungkin kau tidak akan mencintainya, Yoseph orangnya sudah matang. Dia tidak akan seperti orang itu, yang akan mempermainkan wanita," ucap Jesi dengan lantang. Mendengar perkataan Jesi, Rania terdiam. "Duh.. kenapa aku menyebut laki-laki itu." batin Jesi. "Ran..!" Panggil Jesi. "Rania..!" Panggil Jes
Leo menatap wajah Alex, kemudian menghela napas. "Ada apa? apa hasilnya? apa bukan anakku?" tanya Alex dengan nada suara yang lemas dan khawatir. Leo memberi surat hasil DNA yang telah dibacanya kepada Alex. "Apa hasilnya? Katakan saja," ucap Alex yang takut untuk membacanya, karena hasilnya tidak sesuai dengan apa yang ada didalam pikirannya. "Baca sendiri." Leo memberikan surat tersebut kepada Alex. Alex menerimanya dengan tangan gemetar, matanya terbelalak. Setelah membaca hasil tes DNA tersebut. "Putraku Leo, dia putraku..!" seru Alex dengan tidak percaya, apa yang tertera didalam surat hasil tes DNA tersebut. "Ya, dia putramu. Putra yang tidak kau ketahui keberadaannya, seorang putra yang kehadirannya keduniaan ini diakibatkan oleh dendammu pada orang yang tidak bersalah," ucap Leo. Deg. Hati Alex sakit, mendengar apa yang dikatakan
"Mas, toko roti tutup," ucap Sarah pada Alex dan Leo, karena mengira keduanya ingin ngopi."Tutup ya Mbak, kami ingin istirahat sekaligus ngopi. Karena kami dengar, roti di toko ini sangat terkenal dengan kelezatannya," ucap Leo.Alex menatap wajah bayi yang berada dalam gendongan Sarah."Aku sepertinya sangat familiar dengan wajah bayi ini, mirip siapa ya?" pertanyaan dalam benaknya Alex."Mamamam...!" Baby Devan mengeluarkan ocehannya."Mau mamam ya?" tanya Alex seraya menggenggam jemari kecil baby Devan."Cakep anaknya ya mbak?" tanya Leo."Bukan anak saya mas, ini anak majikan saya," ucap Sarah.Deg..."Majikan?" tanya Alex."Lex" Leo memberi tanda, agar Alex tidak menanyakan secara gamblang pada Sarah."Biar aku" ucap Leo dengan suara yang pelan."Sangat ganteng ya," Leo mengusap-usap rambut baby Devan, setelah mengusap-usapnya. Leo melihat, ada beberapa helai rambut baby Devan ditangannya. Leo
Bude Maria dan Yoseph, masih berbincang di luar ruang rawat inap Rania.Tiba-tiba..."Bude..! Mas Yoseph..!" Suara Naila memanggil keduanya, dari depan pintu."Ada apa!" Sahut Bude dengan seraut wajah khawatir, dia takut ada apa-apa dengan Rania."Mbak Rania sadar..!" Seru Naila.Bude Maria dan Yoseph bergegas masuk kedalam kamar tempat Rania dirawat.Bude Maria bergegas menuju ranjang, tempat Rania terbaring. Dengan infus terpasang ditangannya."Bagaimana Ran..?" tanya Bude Maria."Pusing Bude, ini di mana?" tanya Rania saat menyadari, dia tidak didalam kamarnya."Ini rumah sakit Ran." beritahu Bude Maria."Rumah sakit? aduh..!" Rania memegang keningnya, matanya terpejam."Kenapa Ran..?" tanya Bude.Mana yang sakit Ran?" tanya Yoseph.Rania membuka matanya, dan melihat kearah asal suara."Mas Yoseph, Na
Berita kedatangan Alex menemui Rania, sampai ke telinga Jesi. Dengan wajah yang marah, Jesi turun dari mobilnya. Dan langsung menuju keruang kerja Alex."Dia pasti membututi aku, bodohnya aku. Hingga tak menyadari, aku diikuti.." Jesi teramat kesal pada dirinya, hingga Alex bisa mengetahui keberadaan Rania.Sampai didepan ruang kerja Alex, Jesi langsung menghampiri meja kerja sekretarisnya."Apa Boss ada ?" tanya Jesi kepada sekretaris Alex, yang bernama Vania."Maaf, Boss hari ini tidak masuk kantor" jawab Vania, sekretaris Alex."Siall..!" kesal Jesi."Kurang ajar orang itu" umpat Jesi."Pak Leo, apa dia ada ?" tanya Jesi."Pak Leo belum datang juga, ada apa kau mencari keduanya ?Ingat, kau jangan berani suka dengan kedua itu. Jika ingin lama bekerja di sini, keduanya milikku" ucap sekretaris Alex, dengan ekspresi wajah yang sombong. Terlihat bibirnya