Di ruang tengah bangunan Lavandula, Myra membeberkan masa lalu yang suram tadi pada Adhira dan Ervan. Wajahnya bersimbah air mata. Dia tak lagi mengelak tentang penikaman yang dilakukannya pada Genever. Tak lagi menyembunyikan hal yang telah dilihat atau diperbuat dengan tubuh cacatnya itu.
Adhira mengendus aroma lavender yang sejak awal menyebar di sekeliling mereka sambil bertanya, “Myra, siapa saja yang sudah mengetahui kejadian ini?”
“Hanya Lyra yang tahu. Aku tidak tahu apa Flora juga tahu, tapi aku yakin dia pasti sudah menyerangku kalau tahu.”
“Di mana kamu menyembunyikan mayatnya?”
Myra menggeleng. “Lyra tidak memberitahuku apa-apa.”
Dari cerita yang disampaikan Myra, Genever belum sempat mengatakan apa-apa tentang masa lalunya. Bahkan saat Flora menguraikan tentang Genever, mereka masih belum tahu apa sesungguhnya yang telah dia saksikan waktu ayahnya terbunuh di kediaman Limawa
Ervan dan Adhira berlari menembus kebun ceri yang mengelilingi sebagian halaman depan kediaman Sadana.Adhira tersengal, “Ervan… tunggu….”Ervan berhenti. Dia melepas genggamannya, sadar sudah menarik tangan Adhira terlalu kencang. Bekas kemerahan tak terlihat dalam remang, tapi Adhira pasti tak akan menghiraukannya kalaupun ada.Karena takut Kuswan mengejar mereka, Ervan pun membawanya bersembunyi di salah satu pohon yang agak besar. Adhira bersandar meraup udara sebanyak yang dia bisa ambil.“Ervan, Kuswan sudah mengetahui penyamaranku.”“Hm.” Ervan mengangguk.Dia menunggu sampai tenaga Adhira terkumpul. Teman yang dulu pernah memikulnya berkeliling lapangan enam puluh putaran itu sekarang bahkan tidak lagi sanggup berlari meninggalkan kediaman rumahnya. Ervan akan membopongnya jika dalam beberapa waktu Adhira masih terlihat belum kuat berlari.Belum sempat keduanya melangkahi pagar
Jahitan sepanjang dua puluh sentimeter mengukir mengikuti luka sayatan di sisi bawah rusuk kirinya, menyatukan lapis demi lapis organ, selaput usus, otot, dan kulit. Adhira mencoba menyentuh bagian itu, tapi tangannya masih belum dapat digerakkan sepenuhnya. Dia terjaga saat efek biusnya berangsur-angsur memudar, digantikan dengan nyeri hebat yang menyengat perutnya. Sekali lagi dia menggerakkan kakinya. Luka sayatan itu seperti kembali dikoyak dan dagingnya digigit. Dalam keadaan setengah tidur, dia memejamkan mata menahan sakit. Ervan tersentak bangun oleh gerakan halus yang dibuat Adhira. “Hira, kamu sudah bangun?” Pandangan kabur tadi perlahan-lahan jernih. Dia bisa melihat wajah Ervan dengan sangat jelas sekarang. Dahinya tergurat tegas. Salah satu tangannya menggenggam Adhira sejak dia masih tertidur. Adhira tersenyum tipis. Dia terus membuat napasnya lebih pelan karena gerakan dada yang terlalu kuat membuat sayata
Ervan tak lagi dapat mencari keberadaan Adhira setelah Alan Sadana dan Tamara meninggal. Haris mengurungnya dan menempatkan penjaga di setiap sudut rumah.Waktu Renal menemuinya di sana beberapa bulan kemudian, Ervan tengah terbaring di kamar dengan kedua tangan yang penuh dengan luka pukulan.“Om, Renal?”Ervan terbangun dari mimpi buruknya. Kepalanya berdenyut kencang, nyeri menjalari tulang belulangnya.“Di mana Hira?”“Kamu tidak usah mencarinya lagi, Ervan.”Renal menyodorkan setumpuk koran di samping Ervan.“Tidak mungkin. Dia tidak bersalah.”“Dia yang memasang bom di kediaman Refendra. Walau tidak ada korban jiwa, banyak keluarga aliansi yang terluka akibat kejadian itu. Dia juga menembak Teodro, Ervan!”“Itu yang kalian dengar.”“Lantas siapa lagi kalau bukan Adhira? Dia sudah mengincar aliansi sejak lama.”Ervan me
Adhira meratapi lantai rumah sakit sambil mendengarkan kisah pilu yang telah dijalani Ervan untuk sampai menemukan dirinya lagi.Selama ini Ervan tak pernah menjawab tentang luka yang terbentuk di tangannya. Dia hanya menebak kalau itu adalah hukuman atas pelanggaran peraturan ketat keluarga Sadana. Dia tak menyangka Ervan mendapati itu sebagai upaya pemberontakan atas dirinya.Apa yang dia rasakan saat dia mendengar tentang kematiannya? Seberapa menderita dirinya menanggung kehilangan ini?“Yang kamu ketahui tentang Ervan, pastilah tentang sosoknya yang dingin, pemberang, dan keras.”Adhira menggeleng. Air matanya mulai bergulir ke pipinya. Ada panah runcing yang ditusuk ke jantungnya, diputar dan dicabut kembali.Renal kembali bertanya. “Kamu pasti juga tidak tahu isi botol obat yang selalu diminumnya, kan?”“Botol?”Saat di apartemennya Adhira melihat deretan botol tak berlabel. Jenis yang juga m
"Apakah Ervan tahu hal ini?”Renal menggeleng ragu, “Aku pernah bertanya padanya, dan dia bilang dia hanya ingat ada seorang laki-laki yang pernah menolongnya dari terkaman macan saat berada di hutan. Hanya sepenggal ingatan itu yang membuatnya yakin dia pernah memiliki seorang ayah yang lain dari Haris.”Terbongkar sudah alasan atas larangan Haris tentang pergi ke hutan dan memberi makan hewan buas itu. Semua ini dapat membuat Ervan kembali mengungkit tentang orang yang ingin dikubur dalam-dalam oleh keluarga besar Sadana.“Dua tahun setelah ledakan, kakakku meninggal dunia karena penyakit kanker. Anak yang masih begitu kecil tidak akan pernah mengerti arti perpisahan seperti ini. Namun Ervan tahu dia telah kehilangan dua orang yang paling menyayanginya di dunia ini. Pukulan bertubi itu juga tidak berhenti menorehkan masa lalu yang kelam untuknya. Haris dan ayahku disebut sebagai orang dengan karakter yang keras. Dia mendidiknya dengan c
Seorang pria dengan pakaian khas rumah sakit berwarna biru muncul dari balik pintu. Adhira tak begitu ingat dengan orang tersebut. Dia hanya ingat waktu Ali bercerita orang yang membedahnya tak lain adalah musuh dalam turnamen biologi yang melawan Ervan di final. Entah niat bulus apa yang membuatnya mau melakukan pembedahan pada Adhira. Mengapa Ervan tidak menentang hal itu?Dia melangkah masuk bersama seorang perawat.“Pak Gauhar, dokter Elyas yang kemarin mengoperasi Anda hendak melakukan evaluasi,” ucap perawat perempuan tersebut.Adhira membuka matanya dengan berat. Entah cairan apa yang dimasukkan Ali hingga sejak selesai dari kamar operasi hingga hari ini dia belum juga memiliki cukup energi untuk bangkit dari kasur. Adhira mengintip dari pelupuk matanya.Elyas yang berseragam biru itu segera membuka pakaian Adhira.“Apa yang….?” Adhira melonjak kaget.Elyas tersenyum sinis. “Kau pikir aku suk
“Hal apa?”“Yang kudengar dari orang-orang, Elyas sempat melontarkan keengganannya menyentuh penyuka sesama jenis. Benar-benar homofobia fase terminal yang tidak ada obatnya!” pungkas Ali.“Lantas, apakah Ervan tahu bahwa orang yang mengoperasiku adalah musuh bebuyutannya?”Ali mengangguk.“Dia tak keberatan?”“Nyawamu di ujung tanduk, Adhira. Kalau bukan dia yang berbaik hati mengangkatmu dari sergapan maut, aku yakin kamu sudah jadi arwah gentayangan sekarang.”Kemuraman kembali tercetus di wajah Adhira. Adhira percaya kalau Ervan pasti sangat merendahkan dirinya hingga mau meminta bantuan pada Elyas yang sudah menghinanya ini. Mungkin bila harus kembali dicaci maki dan dipermalukan oleh orang seperti Elyas, Ervan bisa melakukan hal itu tanpa keraguan.Entah mengapa Adhira merasa ucapan Renal kemarin sepenuhnya benar. Pada tahap ini tidak ada yang bisa menghentikan upaya Er
Laila masuk dari arah belakang rumah sakit setelah merengek pada Ervan agar diperbolehkan datang menemui Adhira yang kini masih terbaring di rumah sakit.“Ckckck… kamu berhasil Om Gauhar. Kamu berhasil bikin Dokter Ervan siang malam tidak pulang karena menjagamu di sini,” ujar Laila sambil meletakkan tumpukan kotak makanan di ranjang Adhira.“Hei, aku sedang sakit. Apa tak bisa lembut sedikit ngomongnya?”Adhira mencoba mengangkat barang itu dari tempat tidurnya. Bahkan untuk membungkuk dia masih kesulitan.“Habis, bikin repot sih. Tapi, kok bisa ditembak sih? Seram sekali.” tanya Laila.Adhira menghela napasnya malas. “Itu makanya, kamu jangan dekat-dekat sama keluarga aliansi itu.”“Dokter Ervan tidak pernah mengizinkanku bertanya-tanya tentang aliansi. Sebenarnya aliansi itu apa sih?”“Ehmm… kamu benar. Mereka itu mengerikan. Aku yang begini kuat aja bi