“ …. Dia bahkan membuatku tidur dengan seorang pria, di malam pernikahanku.” Elang terdiam, saat mendengar perkataan wanita yang ditaksirnya itu. Ia menatap Anna dengan lekat, ada kesedihan terpancar sangat jelas di raut wajah wanita itu. Wajah Anna memerah, karena dipengaruhi alkohol. Perasaan Anna bercampur aduk saat mengingat apa yang telah dilakukan oleh Ambar, sahabatnya. Wanita itu membuat hidupnya hancur, bahkan sampai ke titik terendah. sampai membuatnya ingin bunuh diri. Begitu kejam Ambar padanya. "Dia membuatku tidur dengan pria," tegas Anna sekali lagi. "Kemudian dia memfitnah dan menikah dengan tunanganku. Miris bukan, hidupku?" “Kau mabuk. Aku akan mengantarkanmu pulang,” seru Elang, saat ia akan membantu Anna berdiri tangannya di tampik, sambil menggendong Anna yang mulai tidak sadarkan diri. Mendengar apa yang dikatakan Anna, membuat hati Elang sedikit terenyuh. Membuatnya penasaran, apa yang sebenarnya terjadi pada gadis yang ditaksirnya itu. Apa yang tidak dik
Kepala yang masih terasa pusing, dipaksakan Anna untuk membuka matanya. Perlahan tapi pasti, ia mulai melihat isi ruangan tempatnya berada. Apa yang ditangkap oleh matanya, tidak lagi asing. Tempat ia membuka mata, sangat tidak asing dengan desain interior mewah berwarna abu-abu. Di hadapannya tepat sebuah televisi ukuran besar, serta pengharum ruangan yang cukup besar terdapat di sana. Anna mencari keberadaan Elang, tetapi tidak menemukan pria itu. Pakaian yang dipakainnya, pun terganti. “Sial! Kenapa pria itu selalu membawaku ke tempatnya. Padahal rumahku, di lantai bawah,” gerutu Anna sambil menyibak selimut. “Dan juga, kenapa mengganti pakaianku, awas kalau dia yang menggantinya,” umpat Anna kesal. Tangannya memijat tengkuk leher yang terasa tegang. “Berapa botol yang aku minum semalam, sampai aku mabuk lagi, sih,” umpat Anna pada dirinya sendiri. Walaupun ia tahu, jika ia tidak tahan mabuk, tetapi tetap saja meminum begitu banyak alkohol, dan sialnya, dia tidak ingat apa y
“Bagaimana bisa kau melakukannya?” tanya Elang membuat Anna melihat ke arahnya. Wanita yang ditanyai tidak paham dengan pertanyaan pengalihan itu. Berbeda dengan Elang yang saat ini menatap Anna dengan tatapan serius. Wajah pria itu berubah seakan menyatakan perang. “Apa maksudmu?” “Membuat harga saham perusahaan turun dan mengambil alih proyek besar perusahaanku.” Elang tersenyum setelah mengatakan itu. Tatapan Anna seketika berubah pernyataan Elang, ia melihat pria yang tengah berada di hadapannya. Elang duduk dengan serius, sambil menautkan kedua jari- jari tangannya, tidak lupa senyum di bibir tipisnya. Atmosfer ruangan yang tadinya hangat kini berubah dingin. Senyap. Tidak ada yang berbicara untuk beberapa saat, seakan mereka berdua tengah menyelami pikiran masing-masing. “Aku tidak mengerti maksudmu,” sanggah Anna membuat Elang tertawa kecil. Pria itu tidak percaya, jika Anna mengatakan hal yang begitu lucu, dan berpura-pura tidak tahu mengatahui mengenai topik yang dibah
“Ah, benar. Apa kau sudah menyelidiki tentang Clara?” tanya Anna membuat Denn menurunkan telepon yang telah berada di samping telinganya. “Sepertinya kau mengetahui sesuai, Denn.” Pertanyaan Anna mampu membuat Denn terdiam sejenak, tetapi karena panggilan teleponnya terhubung, membuatnya segera berbicara dengan pria di seberang telpon. Setelah selesai berbicara, Denn menutup panggilannya. Anna ingin tahu, apapun mengenai aktivitas dilakukan oleh Clara. Takutnya, wanita itu berbuat hal yang akan membahayakan nyawanya, dia tidak bisa membuat Clara berbuat hal yang kejam lagi padanya. Pikiran Anna saat ini begitu terganggu dengan beberapa hal, hanya bisa dipendamnya sendiri tanpa diberitahu pada dua orang kepercayaannya itu. Jika dia menceritakan apa yang tengah dipikirkannya akan membuat keduanya panik, dan Anna tidak menginginkan hal itu terjadi. “Wanita itu tidak melakukan apa-apa saat ini, dia hanya terus menerus bertengkar dengan Presdir Deff setelah pertemuan kalian di perus
“Sejak dia menyelamatku dari beberapa pria yang ingin memperkosaku. Sejak itu, aku mengikutinya dan dia mengizinkanku tinggal serta dan membiayai hidupku,” jawab Febia membuat Seon melirik ke arah Febia. Elang Aderra mendengar apa yang dikatakan oleh Febia menjadi bersimpati. “Tapi kenapa kau harus tahu tentangku?” tanya Febia. “Kau tidak punya hak untuk tahu mengenai kehidupan,” kesal Febia. Elang Aderra tiba-tiba bertanya mengenai dirinya, sangat jelas ia kesal dengan keingintahuan pria itu tentangnya. Apalagi saat dia tinggal bersama dengan Anna. Ia masih belum bisa terima dengan apa yang dilakukan oleh Elang Aderra pada Anna. Elang Aderra mengerutkan keningnya, wanita itu ternyata tidak menyukainya. Elang Aderra menautkan keningnya, melihat perubahan nada bicara Febia padanya. “Kau sudah melihatnya ‘kan? Sebaiknya kau segera pergi dari sini. Aku harap sih, kau tidak akan kembali datang ke sini,” ucap Febia. “Sepertinya kau membenciku,” seru Elang Aderra. “Ya. Kau sudah mem
“Kau tahu jika Elang Aderra mengetahui sesuatu tentang Clara?” tanya Febia membuat Anna melihat ke arah asistennya itu. Pertanyaan Febia membuatnya sedikit bingung. Apa yang dimaksud asistennya itu mengenai Elang Aderra yang mengetahui tentang Clara? “Apa maksudmu mengetahui sesuatu tentang Clara?” Anna balik bertanya. Tatapan Febia penuh menyelidiki, ia curiga Anna menyembunyikan sesuatu darinya. “Kau benar-benar tidak tahu, jika Elang Aderra mengetahui sesuatu? Atau kau—” “Tidak.” Anna menjawab dengan singkat. Asistennya itu terlalu banyak berpikiran yang tidak-tidak, bahkan mencurigainya merahasiakan sesuatu. “Dia tahu, jika aku investor di perusahaan Pradipta. Tidak ada pembicaraan pribadi antara aku dan dia, apalagi membahas mengenai wanita itu.” Untuk apa, dia membahas Clara dengan Elang Aderra, itu sesuatu yang aneh menurut Anna, dan tidak akan pernah membahas wanita licik itu. “Tapi, raut wajahnya saat itu seakan mengetahui sesuatu,” ucap Febia. Ia mengingat raut wajah E
“Katakan pada Denn, jika aku ada di depan perusahaan,” ucap Anna membuat wanita yang dipinjami ponselnya menatap ke arah Anna. Suara Anna terdengar begitu kesal, sangat jelas terdengar di telinga Febia jika wanita itu tengah mengalami masalah. Wajah Anna sedikit kesal, di tambah terik matahari yang menyengat. Mau tidak mau, ia harus mencari tempat untuk berteduh. Hal paling mengenaskan dari menyembunyikan identitas adalah seperti yang dialami olehnya. Tidak sedikit yang memandang rendah dirinya, hanya dengan memakai pakaian sederhana, yang bahkan terlihat lusuh, tanpa tahu brand yang dikenakannya. Hanya beberapa orang yang menyadari, akan tersenyum padanya. Wanita yang dipinjami ponsel sedikit cengengesan saat melihat Anna. Wanita itu, sedikit bingung saat Anna menyebut nama Denn, ia menatap aneh ke arah Anna meminjam ponselnya. Tatapannya sangat jelas, terlihat jika ia kebingungan memikirkan, bagaimana bisa pemimpin mereka seperti seseorang yang begitu akrab. Akrab pada wanita y
Derapan langkah kaki Anna menyusuri tiap trotoar. Matanya menatap tiap deretan toko-toko yang dilaluinya. Suara kendaraan yang tengah ber laulalang tidak membuatnya menghentikan langkah kakinya. Ia berjalan tanpa tujuan, bahkan meninggalkan mobil di perusahaan. Entah apa yang Anna pikiran. Beberapa orang pria pejalan kaki terkadang menggodanya, tidak sedikit pun yang menawarkan dagangan. “Bu, beli dagangan saya,” seru seorang anak kecil membuatnya teringat saat dia kecil dahulu. Untuk membiayai sekolah, harus mengamen dan berjualan, terkadang ia harus bekerja part time di sebuah kafe atau restoran. Dua lembar dikeluarkannya, kemudian membayar minuman yang ditawarkan oleh anak itu, tetapi Anna tidak mengambil kembaliannya minuman. “Tidak perlu, kembaliannya untukmu saja,” ucap Anna kemudian berjalan pergi. Anak-anak yang tengah mengamen terlihat menjual suara mereka saat lampu berganti menjadi warna mereka. Pemandangan yang hanya ditemukan di Indonesia, masih saja belum berubah.
“Kenapa dengan wajahmu?” tanya Elang Aderra, bukan jawaban yang diberikan oleh Febia membuat Elang Aderra segera bergegas masuk ke dalam mobil. “Hai …” Sebuah senyuman terbit disertai sapaan pada Elang Aderra. Pria itu perlahan-lahan keluar dari membuat Sharon mengerutkan keningnya. “Kenapa kau seperti melihat hantu? Kau tidak akn masuk?” tanya Sharon membuat Elang Aderra perlahan-lahan memundurkan tubuhnya dan mengunci pintu mobil. “Sejak kapan, wanita itu—“ Perkataan Elang Aderra mengantung. “Saat Anna masuk ke dalam mobil,” ucap Febia seakan tahu kalimat terakhir yang ingin ditanyakan oleh Elang Aderra padanya. Ervin yang sejak tadi sudah di dalam mobil, mengerutkan keningnya melihat Elang Aderra yang belum masuk ke dalam mobil, ia pun ke luar. “Ada apa? Apa terjadi masalah?” tanya Ervin. Sreett! Kaca mobil terlihat terbuka, memperlihatkan seorang wanita yang saat ini tengah duduk. “Apa yang kalian lakukan di sana? Febia, apa kita tidak akan pulang?” tanya Sharon membuat Erv
“Oh. Aku tahu, apa dia salah satu pria yang tidur denganmu?” tanya Deff dengan suara lantang. Plak! Satu tamparan mengenai wajah Deff, Anna menatap pria itu penuh emosi. Bisa-bisanya pria itu melontarkan kalimat yang membuatnya sakit hati. Deff hanya bisa menyeka ujung bibirnya menggunakan lidah karena rasa sakit. “Jangan bicaramu. Kau tidak berhak mengatakan seperti itu padaku,” ucap Anna dengan tatapan penuh emosi. Bahkan, terlihat air mata tertahan di pelupuk matanya. Rasa sakit yang berasal dari dalam hati kini menjalar disekujur tubuhnya. Entah kenapa, rasa sakit itu, begitu tidak bisa membuatnya menahan diri. Anna mengepal tangannya dengan sangat erat. Ia tidak habis pikir, bisa-bisanya pria itu mengatakan hal menyakitkan padanya. “Terus bagaimana kau menjelaskan padaku tentang hubunganmu dengan Elang Aderra? Bukankah kau menggodanya?” “Aku tidak pernah melakukan hal yang seperti kau tuduhkan padaku, tapi percuma juga aku menjelaskan padamu, pria yang hatinya sudah dinodai
Pamer Kemesraan 2 Ma-maaf, tuan Elang Aderra. Apa yang sedang—“ “Aku hanya tidak ingin kekasihku capek karena berdiri. Jadi, aku memberinya tempatku.” Mata Clara begitu membulat sempurna mendengar pernyataan yang baru saja dikatakan oleh Elang Aderra. Kekasih? Reuel Anna kekasihnya? Tidak hanya Clara, bahkan Anna sendiri bahkan begitu terkejut. Bisa-bisanya, pria itu mengatakan jika dia adalah kekasihnya, bahkan dengan santainya mengusap rambutnya. Anna terdiam sejenak. "Sharon. Aku harap kau bisa membantu, keluar dan pukul wajah pria ini," ucap Anna membatin. "Kenapa aku harus melakukannya? Bukankah kau sangat tidak ingin jika aku mengantikan posisimu? Kau bahkan membuatku tidur." Sharon menjawab dengan begitu menusuk membuat Anna menyesal meminta bantuan pada kepribadiannya itu. "Sebaiknya kau selesaikan masalahmu saja sendiri." Anna menghela napas kasar, saat mendengar perkataan Sharon. "Aku tidak bisa melakukannya." "Kenapa? Karena saat ini kau berpura-pura menjadi seo
Elang Aderra melangkah turun dari mobil bertepatan dengan mobil milik Anna yang tiba di perusahaan milik Deff. Keduanya saling bertatapan satu sama lain, sampai akhirnya Febia memilih masuk lebih dulu, dan Anna mengikutinya dari belakang. Pria itu terkejut melihat Anna yang berada di sana, lebih anehnya lagi bukan dia yang diikuti tetapi mengikuti. “Apa aku tidak salah lihat. Ervin?” tanya Elang Aderra melepas kacamatanya, dia pikir mungkin karena dia memakai kacamata dia jadi salah lihat.Dia masih menatap ke arah wanita yang baru saja masuk itu. Tatapannya dipenuhi rasa ingin tahu, dengan apa yang dilihatnya. “Tidak. Kau tidak salah lihat. Dia mengawal Febia,” ucap Ervin menatap dua wanita yang baru saja masuk ke perusahaan itu. “Apa kau bisa jelaskan padaku, apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Elang Aderra membuat Ervin menggelengkan kepalanya. Bagaimana dia tahu apa yang terjadi, sedangkan dia baru saja melihat hal itu. Keduanya terdiam, membuat beberapa orang yang melihat El
Biar kami menyelesaikan masalah kami “Wanita bodoh ini. Bisa-bisanya dia memberontak,” umpat Sharon. “Hai … kita bertemu lagi, sepertinya kalian kau bercerita banyak hal dengan Anna.” Elang Aderra yang berada di samping menatapnya dengan raut wajah berubah. Apalagi saat tahu jika Anna tidak sadarkan diri, maka Sharon yang akan mengambil alih tubuh wanita itu. “Kenapa dengan wajahmu? Apa kau tidak suka melihatku?” tanya Sharon yang melihat wajah Elang Aderra yang tertekan saat melihatnya. “Ya.” Sharon melirik ke arah Elang Aderra, kemudian memutar bola matanya karena tidak menyukai jawaban Elang Aderra. “Sial. Sepertinya tidak ada yang menyukai kehadiranku,” keluh Sharon sambil menyandarkan tubuhnya. Wanita itu malas untuk membuka suara. Bahkan sampai rumah, ia langsung masuk ke dalam kamar dan menutup pintu dengan kesal. Febia yang melihat Sharon, hanya bisa menghela napasnya. Ia sangat tahu jika wanita itu tengah marah. “Apa kau bisa jelaskan apa yang sedang terjadi?” tanya E
“Tidak. Aku tidak akan membiarkan kau berbicara dengannya,” tegas Sharon kemudian melangkah pergi dari sana. Sharon tidak akan membiarkan Anna berbicara dengan pria itu, itu menandakan dia benar-benar gagal membuat Elang Aderra menjauh dari Anna. Beberapa saat kemudian, langkah terhenti dan wanita itu pingsan tepat di depan pintu. “Anna …” Elang Aderra segera beranjak dari tempat duduknya saat melihat wanita itu pingsan. “A-Sharon.” Elang Aderra bingung harus memanggil wanita itu dengan panggilan apa, apakah Anna atau Sharon. Elang Aderra segera mengendongnya dan membaringnya di sofa, ia pun meminta agar Ervin mengambil air untuk diminum. “Kau tidak apa-apa?” Elang Aderra bertanya, ia tidak tahu harus memanggilnya dengan sebutan apa. Saat membuka mata, hal yang pertama kali dilihatnya adalah Elang Aderra dan Ervin. “Kenapa aku ada di sini?” tanya wanita itu dengan kebingungan. Elang Aderra yang melihat raut wajah kebingungan itu, membuatnya mengerutkan kening. “K-kau siapa?
“Apa maksudmu dengan wanita bodoh?” tanya Seon terbata-bata, agak ragu karena ia melihat jika wanita di hadapannya jauh berbeda dari yang dikenalnya. “Iya. Wanita bodoh ini. Reuel Anna. Siapa lagi, dia sangat bodoh,” tegas Sharon sambil menunjuk ke diri sendiri. “Tapi itu ‘kan, kau—“ “No. I’am Not Reuel Anna. I’am Sharon, S-H-A-R-O-N,” ucap Sharon mengeja namanya. Elang Aderra masih belum menyadari apa yang sebenarnya terjadi. Jelas-jelas di hadapannya saat ini adalah Reuel Anna, tetapi kenapa wanita itu mengatakan jika dia bukan Anna tetapi Sharon. “Sharon? T-tapi—wajahmu—“ Perkataan Elang Aderra terhenti. Melihat wajah Elang Aderra yang masih belum paham, Sharon mematikan telepon. “Aku bukan Reuel Anna, aku Sharon.” Sharon kembali menegaskan. Ia tidak ingin disamakan oleh Reuel Anna. “Kau melihatku seperti dia, karena kami berada pada satu tubuh,” tegas Sharon mencoba menjelaskan. Namun, apa yang dikatakannya percuma saja karena dua orang pria yang tengah bersamanya sama se
"Baiklah. Mari kita lihat, apa kau akan menyukainya lagi saat tahu jika dia memiliki kepribadian ganda?" tanya Sharon kemudian melangkah memarkirkan mobilnya. Bibirnya terus saja menerbitkan senyum, ia benar-benar penasaran apa yang akan terjadi jika Elang Aderra mengetahui fakta yang akan diungkapkannya. Apakah pria itu akan tetap mendekati Reuel Anna atau meninggalkannya. Seberapa terkejutnya pria itu mengetahui fakta yang sangat besar. Kaki Sharon begitu cepat masuk ke dalam perusahaan. Dress selutut, serta menggunakan mantel tidak lupa kacamata hitam, riasan tipis, lipstik tipis dipakai membuatnya terlihat anggun. Orang-orang tidak akan meremehkan dirinya yang seperti itu, berbeda dengan pakaian yang dipakai oleh Anna. Ia berhenti dan melihat sekitar kemudian menuju resepsionis tetapi tempat itu kosong. "Ke mana mereka? Apa tidak kerja? Bukankah seseorang harus menjaga di sini?” tanyanya sambil mengedarkan pandangan. “Apa pergi ke toilet?” tanyanya. Seorang Security datang m
Tring! Ponsel milik Ambar berbunyi. Ia segera membuka pesan yang dikirimkan padanya. Mataya membulat sempurna saat melihat foto yang dikirimkan padanya. “Anna Keola?” Ambar mengepal tangannya dengan erat saat melihat foto yang baru saja dikirim oleh wanita di seberang telepon. Wajahnya berubah, kemarin dia baru bertemu dengan Anna dan wanita itu tidak menunjukan jika dia kaya, tetapi wanita di foto itu berbelanja begitu banyak barang brended membuat Ambar tidak percaya dengan apa yang dilihatnya saat itu juga. “TIdak mungkin dia. Aku bertemu dengan Anna kemarin, ia menjadi asisten dari orang yang menjadi investor di perusahaanku. Asisten wanita misterius itu, mungkin dia hanya diminta untuk berbelanja oleh wanita itu,” sanggah Ambar. Telepon terputus saat itu juga. Ambar membanting ponsel membuat ponsel itu retak. Ia melihat sekilas ponslenya kemudian merebahkan tubuhnya di sofa. Ia cukup lelah dengan apa yang tengah terjadi padanya. Hal yang membuatnya begitu frustrasi karena