Share

Dendam Wanita Simpanan
Dendam Wanita Simpanan
Auteur: Asy'arie

Lemah

Auteur: Asy'arie
last update Dernière mise à jour: 2021-07-19 16:33:54

"Bukan aku, Kak! Aku sama sekali gak pernah nyebarin kabar soal Kakak sama Kak Anto," tampikku. 

Kesal saja, yang melakukan perselingkuhan mereka. Yang melihat dan menyebarkan tetangga, tapi aku yang harus terkena getahnya.

"Lalu siapa lagi? Dasar gak tahu terima kasih! Udah ditampung, dirawat, diusahain biar gak putus sekolah. Balasannya malah nyebar fitnah. Kamu mau kakak cerai sama Hendrik?" Kak Yuni menatapku nyalang, suaranya semakin tinggi dipenuhi amarah.

Dari pintu depan, Kak Makmur masuk diiringi Kak Aulia.

Kak Yuni melayangkan tangan ke arahku, tapi Kak Aulia lebih dulu sempat menahan. Meski gemetar, aku tak ingin menunjukkan raut ketakutan yang membuat tuduhannya semakin besar.

Kak Makmur menarikku ke luar. "Nay, kamu sementara di rumah Kakak aja, ya!"

"Yun, sabar. Istigfar. Kan bisa dibicarakan baik-baik." Kak Aulia berusaha membujuk Kak Yuni.

"Sabar gimana lagi! Itu anak gak tau terima kasih! Sudah ditampung, bikin malu! Kamu gak tahu aja alasan dia dipindahin ke sini gara-gara overdosis di sekolah, dia pura-pura baik. Dasar serigala berbulu domba!" Kak Yuni tak henti-henti memaki.

Rumah Kak Aulia bersama Kak Makmur yang hanya terhalang triplex tipis membuatku bisa mendengar semua teriakan dan makian itu dengan jelas. Sesak, kecewa, ingin marah dan balas mengatakan semua aibnya yang selama ini sudah berusaha keras kujaga.

Air mata mulai merebak, aku menunduk menyembunyikan wajah di kedua lutut.

"Aku sumpahin, biar dia yang jadi pelakor sekalian! Biar tahu gimana rasanya dituduh merebut laki orang!" Suara berdebum dari barang apa yang entah ditendang kembali diiringi makian. 

"Nay, udah. Padahal aku kemaren juga udah bilang, kalau yang pertama lapor itu Lily. Lily liat Anto ke luar dari rumah Yuni tengah malam lewat pintu dapur." Kak Makmur berusaha menenangkan.

"Tapi kenapa sekarang aku yang dituduh, Kak?" Isakku semakin keras dan menjadi-jadi. Amarah, kebencian, rasa kesal bercampur aduk di hati. 

"Mungkin karena cuma kamu orang luar yang tinggal di sana dan dipikir tahu semuanya," jelas Kak Makmur.

Dari rumah Kak Yuni telah sunyi, Kak Aulia terdengar masuk dan menghampiri kami berdua.

"Nay, malam ini tidur di rumah aku aja sementara, ya? Takut Yuni masih marah terus emosi kalo kamu balik," ujar Kak Aulia.

"T-tapi, Kak?" Aku segera mengangkat kepala dan menatap.

"Udah, gak apa. Ayah kamu juga nitip tolong jagain kamu. Aku juga kaget kalo Yuni sampai semarah itu."

"Boleh nginap di rumah Kak Lily di belakang aja? Di sini takut ngerepotin," ujarku mengingat rumah Kak Aulia yang kecil. Tak tega harus berdesakan dengan sepasang suami istri itu, ditambah dengan kelima anaknya lagi.

"Apa nanti gak dikira kamu 'sekongkol' sama Lily?" cegah Kak Makmur. 

"Iya, terserah. Orang jujur salah juga. Nyalahin orang padahal yang salah siapa!" sungutku.

Kak Aulia akhirnya mengalah, mengantarkanku ke rumah kecil di belakang.

"Li ...," panggilnya sambil mengetuk pintu.

Wanita yang usianya baru memasuki kepala tiga itu membuka pintu, daster merah motif bunga-bunga membalut tubuhnya yang kurus.

"Aku nitip Nayla, ya? Kamu denger aja, 'kan, barusan Yuni marah? Takut Nayla kenapa-napa," ujar Kak Aulia.

"Masuk, masuk. Aku malas ikut campur. Dia salah, tapi dia yang marah karena merasa difitnah." Kak Lily segera memberi jalan untukku masuk.

Aku masuk diiringi Kak Aulia. Kak Lily menyuruhku untuk segera ke kamar, tersisa mereka berdua berbicara entah membahas apa.

Aku menurut, melangkah menuju ruang kecil di mana hanya triplek yang menjadi dindingnya juga. Aku duduk di sisi dinding kayu sambil mengotak-atik ponsel.

Tak lama Kak Lily menghampiri, segera kukembalikan ponsel ke dalam kantong celana.

"Kak Aulia sudah pulang. Sementara tidur di rumahku, nanti keperluan kamu biar Kak Aulia aja yang ngambil. Kamu jangan temuin Yuni sampe keadaan tenang, ya?" pesan Kak Lily. 

Aku mengangguk patuh. Saat dia memintaku untuk segera tidur pun, aku tak berani membantah.

Kurebahkan diri dengan banyak perasaan yang mengganggu, kesal, benci, sedih bercampur bahagia. Sepandai-pandai menyimpan bangkai, pasti akan tercium bau busuknya. Mungkin itu kata yang tepat.

Aku memang saksi bisu perselingkuhan Kak Yuni dan Kak Anto, tapi tak cukup berani mengungkapkan. Padahal Kak Hendrik selama ini sudah sangat baik dan perhatian. 

Malam-malam meresahkan setiap Kak Hendrik pergi merantau, lalu Kak Anto datang menyelinap ke kamar kini takkan ada lagi. Aku tak pernah bisa tidur dengan tenang mendengar suara desahan mereka setelah ketiga anak Kak Yuni tidur. Bahkan tak jarang aku yang harus berjaga-jaga agar 'malam panas' mereka lancar dan aman. 

Pernah aku diamuk Nisa, anak pertama Kak Yuni karena menghalanginya masuk saat Kak Anto bersembunyi tanpa busana di dalam kamar.

Aku merasa jadi orang jahat yang lemah. Tapi, sekarang semuanya sudah berakhir tanpa campur tanganku lagi, harusnya aku sudah tenang. Tanpa sadar, kedua mata terpejam dengan banyak hal yang ternyata masih harus kusimpan sendirian.

****

"Nay, Nay." Kak Lily membangunkanku. 

Meski berat, tetap kupaksa membuka kedua mata. Terlihat dia sudah rapi dan wangi, oh, astaga, sekarang jam berapa! 

"Kakak ke pasar, ya, jualan? Tadi baju-baju kamu sudah diambilkan Kak Aulia. Mandi, makanan ada di dapur," jelasnya, aku masih berusaha mengumpulkan nyawa yang tadi berkelana di alam mimpi.

"Jangan telat makan, kalo nanti Kak Yuni datang jangan dibukain pintu. Oke?" pesan Kak Lily lagi.

Aku mengangguk meski setengah sadar. Wanita yang tadi bicara itu beranjak ke luar.

"Jul! Ayo, berangkat!" Teriakan Kak Lily memanggil suaminya terdengar.

Aku melirik angka di sudut ponsel. Jam sembilan! Pantas saja jendela yang terbuka membuatku silau.

Sekarang, aku sendirian. Kak Lily sudah berangkat bekerja membawa Izam, anak semata wayang mereka. Kak Ijul pasti juga akan bekerja.

Kak Makmur bekerja di Kantor Lurah, sedang Kak Aulia setiap pagi ikut kursus menjahit. Mustahil harus mendatangi Kak Yuni. 

Aku bergegas mandi karena tuntutan perut yang lapar. Usai mengguyur air seadanya dan memakai kaos tanpa lengan juga celana pendek di atas lutut, kulirik semangkok mie goreng plus telur dadar yang tersedia.

Segera kubawa ke ruang depan sambil menikmati kipas angin yang menyala.

Belum usai menghabiskan separuh, terdengar suara sepeda motor berhenti di depan. Aku gegas menyelesaikan kunyahan dan berniat ke kamar untuk mengambil celana panjang serta jaket. 

Beberapa langkah, pintu depan sudah terbuka. Kak Ijul berdiri memandangku saat aku berpaling untuk memastikan siapa yang datang.

"Eh, Nay. Kenapa mie nya gak dihabiskan?" tanyanya memecah kecanggungan.

"Mau ambil jaket bentar, Kak. Sama ganti celana," sahutku tanpa menoleh lagi.

Derit papan kayu yang diinjak terdengar mendekat. Aku mempercepat gerak memasang celana panjang.

Kak Ijul berdiri tepat di depan pintu kamar. Tatap matanya menyapu seluruh tubuhku.

"M-maaf, Kak. Kakak, 'kan, tau ada aku, kenapa gak ketuk pintu dulu sebelum mau masuk? Mau cari apa?" tanyaku terbata.

Bukannya menjawab, dia malah melangkah maju.

"Kak, aku ke luar sekarang, ya?" Aku melangkah mendekati pintu, tapi satu tangannya mencengkeram.

Pintu ditutupnya dengan kasar. "Nay, kamu cantik banget. Putih, mulus, bersih," puji Kak Ijul sambil menatapku.

"Makasih, Kak. Tapi kalau gini nanti dikira apa sama orang," elakku kala tangannya mengelus pipi.

Kak Ijul tak menyahut, malah mendorongku ke kasur kapuk kemudian turut menunduk. Dalam keadaan tak berjarak, aku bisa melihat sepasang matanya yang memerah. Astaga, pasti dia sedang mabuk! Bodohnya aku! 

Harusnya tadi aku membawa mie itu ke kamar dan mengunci pintu. Pikiranku tentang Kak Ijul yang akan pergi bekerja ternyata salah.

"Kak." Aku mendorong kedua bahunya.

"Ssst!" Kedua tanganku dicengkeramnya merapat ke lantai. Aku ingin memberontak, tapi tubuhnya sudah tepat di atas dan berat. Aku ingin berteriak, tapi mulutnya yang menjijikkan tak jua melepaskan kecupan meski kepalaku terus bergerak menghindar.

"Kalo kamu teriak, aku tinggal bilang kamu yang menggoda duluan. Semua orang pasti akan percaya karena kelakuan Yuni. Diam!" ancamnya.

Tenagaku yang tak seberapa harus kalah meski terus berusaha melawan. Hanya air mata yang terus berjatuhan saat kehormatanku harus direnggut paksa.

Detik-detik berubah menjadi sangat lambat dan menghunuskan belati-belati tajam ke dalam dada. Hancur sudah masa depanku, takkan ada lagi pria yang mau menerima.

Aku tak bisa menjaga, aku salah, aku terlalu lemah!

Related chapter

  • Dendam Wanita Simpanan   Mati Rasa

    Aku bodoh! Aku bodoh! Aku bodoh!Tak henti aku mengutuk diri sendiri, cubitan-cubitan, cakaran bahkan helaian rambut yang jatuh karena kutarik tak jua mengalihkan perih.Aku mengunci diri di kamar mandi. Guyuran air bergayung-gayung tak jua mendinginkan emosi. Aku sudah tak suci lagi. Jejak-jejak kejadian menjijikkan tadi seolah abadi.Aku meraih spons kawat pencuci piring, menggosokkan ke setiap bagian yang tadi disentuhnya. Nyeri, tapi kenapa rasa kotor ini tak menghilang?"Nay?" Ketukan di pintu kamar mandi mengantarkan juga suara Kak Aulia.Apa Kak Aulia sudah pulang dari kursusnya? Sekarang jam berapa? Aku harus bagaimana? Harus berkata apa? Aku hanya ingin sendiri saja ...."Nayla?" Panggilan Kak Aulia kembali terdengar."I-iya, Kak. Bisa tolong ambilkan jaket sama celana panjangku di kamar?" Aku terpaksa menjawab, tapi mustahil ke luar dengan goresan-goresan luka bekas spons kawat seperti ini."Tunggu, Nay," sahutnya dii

    Dernière mise à jour : 2021-07-20
  • Dendam Wanita Simpanan   Perceraian Kak Yuni

    Ponsel yang bergetar menandakan adanya panggilan masuk. Dengan malas, aku meraih untuk mengecek. Meski tulisan di layar menampilkan kontak bernama Ibu, tapi aku cukup tahu kalau sebenarnya yang sedang menunggu jawaban dariku adalah Ayah. “Assalamu alaikum, Nay. Apa kabar di sana?” tanya suara berat itu ketika panggilan tersambung. Entah kenapa, pertanyaan itu saja sudah mampu membuat air mataku kembali membendung di pelupuk. “Nay baik-baik aja, Bah,” sahutku walau kenyataan yang ada adalah sebaliknya. “Nay m-mau pulang, Yah,” ungkapku ragu-ragu. Baru kudengar suara tarikan napas Ayah yang sepertinya berniat ingin menjawab, terlebih dahulu panggilan berakhir karena ponselku yang kehabisan daya. Sendi-sendi yang lemas melepaskan begitu saja ponsel dari genggaman. Aku kembali membenamkan wajah pada bantal. Setiap memejamkan mata, gelap yang kudapati hanya berakhir pada kembali berputarnya rekam ingatan tentang Kak Ijul. Semakin aku menutup erat k

    Dernière mise à jour : 2021-07-20
  • Dendam Wanita Simpanan   Bungkam

    Semua orang sudah tampak terlelap, tapi kedua mataku masih saja tak bisa berpejam. Jarum pendek telah menunjuk pada angka dua pada jam dinding yang terpajang di sisi kanan rumah. “Kamu milikku, Nay. Takkan kubiarkan kamu lepas begitu saja, bagaimanapun caranya.” Ancaman yang dibisikkan Kak Ijul tadi sore masih saja terdengar, seperti kaset yang terus diputar berulang di kepala tanpa aku tahu di mana tombol untuk menghentikannya. Aku mendadak rindu hari-hari yang tenang. Aku rindu bernapas tanpa sedikit pun menghirup aroma-aroma ketakutan. Bukankah seharusnya Kak Ijul takkan bisa mengganggu lagi sekarang? Namun, bagaimanapun perasaan kotor dan tak berharga lagi tak jua bisa menghilang. Keinginan-keinginan tentang kematian itu terus saja berdatangan. Kulirik Kak Yuni yang tertidur dengan nyenyak, kemudian duduk dengan hati-hati agar tak membangunkannya. Rasanya, tak terlihat sedikit pun gurat-gurat kesedihan atau mungkin kegelisahan karena masalah yang sedang m

    Dernière mise à jour : 2021-07-21
  • Dendam Wanita Simpanan   Biar Menjadi Rahasia

    Pendar cahaya putih yang berangsur-angsur mendominasi warna langit pertanda pagi telah menjelang. Aku kembali mengangkat kepala dan sedikit mengambil jarak dari Kak Makmur. “M-maaf, Kak,” ucapku pelan setelah sadar sudah bersikap tak pantas. “Sekarang udah tenang, Nay?” tanya Kak Makmur tanpa menghiraukan ucapanku. Aku hanya menarik simpul senyum sambil mengangguk pelan. Kak Makmur berdiri lebih dahulu kemudian mengulurkan tangannya untuk membantuku. Meski ragu, kuterima uluran tangannya hingga saat turut berdiri kami tepat berhadapan. Sejenak, pandangan kami saling bertumbuk. Aku terpaku saat tangannya dengan hati-hati menyeka sisa air yang masih menggantung di sudut mata. “Kalau nanti perlu teman bicara, kamu bisa cari aku, Nay. Aku biasanya malam juga begadang buat lembur,” pesan Kak Makmur. Lagi-lagi aku hanya mengangguk. Detik berikutnya, Kak Makmur berpaling ke arah pantai dan memunggungiku. Kedua tangannya direntangkan lebar sei

    Dernière mise à jour : 2021-07-21
  • Dendam Wanita Simpanan   Salah Langkah

    “Yun, kayanya adekmu lagi kasmaran. Ketauan mandangin Zulfi langsung salah tingkah,” kekeh Kak Ijul yang beringsut bangkit dan berdiri menjauh dariku. Mendengar jawaban itu, bisa kupastikan gerak mata Kak Yuni beralih pada sosok laki-laki yang sebelumnya menarik seluruh perhatianku. “Hm,” dehamnya yang aku sendiri tak mengerti kenapa. “Aku jalan ke warung dulu, Yun. Mau beli rokok,” pamit Kak Ijul yang gegas berpaling dan meninggalkan halaman. Hal yang tentu saja membuatku bisa kembali bernapas lega meski keringat dingin masih saja membasahi telapak tangan dan gemetar tak juga mereda. Kak Yuni kali ini duduk di sisi kiriku, aku bisa menangkap rasa ketidakpercayaan di balik tatapan datar yang diberikan itu. “Kak Ijul sering ngajak ngobrol, Nay?” “Kalau lagi kena angin entah dari pintu surga yang mana, Kak,” sahutku sekenanya. Mendengar hal itu, sontak saja raut wajah Kak Yuni berubah diiringi tawa yang pecah. “Ngawur kamu, Nay!” sungutnya di se

    Dernière mise à jour : 2021-07-21
  • Dendam Wanita Simpanan   Gosip

    “Tumben tadi pulang sama Husin, Nay? Bukannya pas berangkat sama Yuni?” sapa Nurul, tetangga yang rumahnya tepat di sisi kiri rumah Kak Yuni saat aku baru melangkah memasuki warung. “Kak Yuni ada urusan mendadak, Mbak. Jadi, aku disuruh pulang duluan dianterin Husin biar gak cape nunggu,” sahutku yang terpaksa menghentikan langkah. Rasanya, tak sopan saja jika sedang diajak bicara tapi aku berlalu begitu saja. “Oh. Dikirain tadi abis janjian. Yuni sama Anto, kamu sama Husin,” kekeh bibir berpoles lipstik keunguan yang benar-benar tak cocok dengan warna kulit di wajahnya itu. Aku menghela napas panjang, sepertinya kabar perselingkuhan Kak Yuni begitu cepat tersebar .... “Enggak, Mbak. Permisi,” pamitku yang segera melepas sandal saat memasuki pintu. Rumah kecil yang ada tak jauh dari SMA Satu ini satu-satunya warung yang menjual makanan ringan dan keperluan sehari-hari terdekat dari rumah. Etalase di sisi kanan ruang yang sekaligus ruang tengah rumah d

    Dernière mise à jour : 2021-08-27
  • Dendam Wanita Simpanan   Kekacauan

    Aku termenung memandang pemilik wajah pucat yang terbaring lemas di kasur. Hampir tak percaya karena keadaannya yang menurun drastis hanya dalam satu malam. Dari cerita yang kudengar, Via mendadak demam, saat tidur pun menangis hingga mengigau memanggil Ibu. Kak Hendrik sampai harus begadang untuk menemani dan menenangkannya.Anak perempuan yang selama ini tampak tak terlalu akrab dengan Kak Yuni, anak perempuan yang selama ini selalu dimarahi karena bermain lupa waktu dan pulang dalam keadaan kotor, ternyata malah menjadi seseorang yang benar-benar kehilangan sosok ibunya. Padahal, Kak Hendrik baru saja membawa Via menginap tadi malam dan perceraian baru saja terucap kemarin siang.Sedang Nisa yang selama ini cenderung manja dan selalu mengekori Kak Yuni malah tampak acuh meski sembab serta bengkak masih membekas pada sepasang mata cokelat kehitamannya. Untuk Roby yang baru berumur hampir empat tahun, sewajarnya masih belum mengerti kejadian yang menimpa keluarganya h

    Dernière mise à jour : 2021-09-25
  • Dendam Wanita Simpanan   Karma?

    “Kata Tante Nun, Bapak nikahin Ibu saat Ibu hamil empat bulan.”Hanya sepenggal kalimat itu yang lolos dari bibir Nisa sebelum akhirnya tangisnya pecah. Tanpa penjelasan, tanpa alasan. Aku yang terkejut sekaligus panik, sampai-sampai lupa ingin bertanya. Aku bahkan tak tahu harus berkata apa untuk menenangkan Nisa. Jika benar pun seperti itu, wajar Nisa tampak acuh meski jauh di dalam lubuk hati, jelas dia begitu hancur dan terpuruk.**“Makasih udah nganterin,” ucapku pada laki-laki yang masih duduk tersenyum di sepeda motornya. Nisa sendiri sudah lebih dulu berlari ke rumah dan membuka pintu sendiri.“Nay, boleh minta nomor kamu?” Tanya Husin yang tiba-tiba menggenggam tanganku cukup erat.Aku yang semula hendak segera menyusul Nisa terpaksa menghentikan gerak langkah dan menoleh. “Aku gak dibolehin Kak Yuni buat main HP sampai ujian sekolah selesai,” tolakku halus.“Buat jaga-jaga siap

    Dernière mise à jour : 2021-10-02

Latest chapter

  • Dendam Wanita Simpanan   Kekhawatiran yang Sebenarnya

    "Ah, Nay. Aku tidak memaksa kalau kamu tidak ingin menceritakannya." Je kembali menambahkan setelah menyadari jeda diamku yang cukup lama.Sejenak, aku menghela napas kasar. Menutupinya pun, Je telah terlalu banyak melihat sisi burukku.Tampak Je telah kembali fokus dengan jalanan di depan.Aku menunduk, menautkan jari jemari, sesekali melepas dan menggenggami kedua jempol bergantian. "Overdosis alkohol ... aku pindah karena dikeluarkan dari sekolah sebelumnya," ungkapku.Je menoleh. Raut wajahnya tak banyak berubah. Sepertinya, dia memang pandai mengaturnya untuk menghargaiku meski pun sebenarnya hal itu tak perlu dilakukan."Itu juga pertama kalinya. Aku masih ingat jelas teman-teman yang lain berada di sekelilingku, dengan penasaran terus menyuruhku minum. Ternyata, senyum puji mereka palsu. Yang benar-benar jujur, hanya tatap kecewa yang Kak Anoy layangkan waktu itu." Kembali mengenang hal itu, rasanya ada sesuatu yang menjerat dada hingga terasa berat dan sesak.Tanpa ragu, Je me

  • Dendam Wanita Simpanan   Kembali

    Setelah merasa berlari cukup jauh, kuhentikan langkah dan bersandar pada tembok tinggi yang sepertinya adalah pagar dari bangunan di sebelah. Gang ini sepi, sejak pertama memasuki, hampir tak terlihat rumah satu pun selain bangunan-bangunan berpagar tinggi di sisi kanan dan kirinya. Rerumputan di pinggiran pun membuat gang ini seolah semakin sempit.Perlahan, tubuhku merosot hingga berjongkok. Wajah yang menunduk, kubenamkan pada kedua lutut yang juga berada dalam lingkar peluk.Sebenarnya, apa yang sedang terjadi padaku? Apakah aku benar-benar sudah gila hingga berhalusinasi seperti itu? Aku pun sama sekali tak bisa mempercayai bahwa ini mimpi terpanjang sekali pun. Rasa sakit, seluruh apa-apa yang kualami benar-benarlah nyata, tetapi ….Derap langkah yang terdengar semakin mendekat disusul tepukan pelan pada pundak. Aku terkesiap mengangkat wajah, sesosok pria bertopi yang masih memakai tas pinggang tampak perlahan berjongkok di hadapan. Saat pandangan

  • Dendam Wanita Simpanan   Mimpi yang Gila

    Aku tak mengerti kenapa pria itu begitu mendesak untuk pulang. Setelah bersiap dan memberi kabar pada Kak Amran agar diberitahukan pada Bu Dama, dia segera melajukan mobil yang kami naiki. Selain pakaian ganti dan beberapa keperluan lain, dia juga membelikanku sarapan tak lupa cemilan.Ternyata, dia masih tak sedikit pun alpa dalam memperhatikanku. Banyak tanya terbesit yang terpaksa kutepis saja. Apa pun itu caranya, bagaimanapun, aku hanya sedang merasa kembali bahagia. Dan, jika lagi-lagi pertemuan kami hanya sementara, bagaimana bisa aku mengakhirinya dengan penyesalan karena tak berani menyatakan perasaan? Aku yang telah kotor dan hina, apa pantas bersama pria tak bersalah sepertinya?Sosok itu tampak hanya terus diam dalam fokusnya menyetir. Aku sendiri, hanya berani mencuri pandang tanpa berani mengganggu apalagi mengajak sedikit bicara. Hanya suara musik yang diputar dalam volume rendah yang menemani perjalanan panjang kami.“Jangan biasakan menggi

  • Dendam Wanita Simpanan   Hadirnya Sosok Lama(?)

    “Nay! Dengarkan aku!” Suara panggilan itu terdengar di antara dengungan-dengungan keras yang memenuhi telinga.Aku masih memegangi dada yang terasa sesak, degup yang sangat kencang di dalam menimbulkan rasa sakit. Seluruh otot terus terasa menegang hingga pada beberapa titik aku mulai merasa seolah mati rasa. Keringat semakin membasahi.Uluran tangan itu memberikan bantal, kemudian mengalihkan kedua tanganku sendiri untuk memeluknya. Aku meremas keras bagian ujung-ujung bantal, berusaha mengalihkan perasaan-perasaan sakit yang seperti menerjang seluruh tubuh.“Tarik napas, lalu keluarkan pelan-pelan,” instruksinya yang kemudian diiring hitungan berulang. Kuikuti apa yang bisa kudengar, hingga satu per satu rasa sesak itu seperti diurai.“Aku sangat mengerti keadaan kamu sekarang, Nay. Kamu gak sendirian,” ucapnya yang terasa seperti tetes-tetes air menghujani, mendinginkan, dan sangat menenangkan.Aku yang mulai

  • Dendam Wanita Simpanan   Tak Selalu Baik

    Satu hari lagi telah terlewati, dengan kuanggap cukup baik. Mesin yang masih belum selesai diperbaiki, menandakan besok pun aku masih harus bertemu dengan Kak Amran. Je yang menjemputku sebelum toko benar-benar tutup pun, terlihat kurang menyukai keberadaan pria itu. Dia hanya menyapa seperlunya, dan segera mengajakku pergi.“Dia orang baru, Nay? Tapi Bu Dama gak kasih tau kalau bakal nyari orang lagi,” tanya Je beberapa saat setelah sepeda motor melaju meninggalkan toko.“Bukan. Ada mesin yang bermasalah, jadi dia itu teknisi yang datang buat service aja,” sahutku.Je hanya berdeham, kemudian menambah kecepatan hingga kami lebih cepat meninggalkan perkampungan. Kurapatkan sweater yang menjadi salah satu dari isi tote bag pemberian Je. Saat sepeda motor dibelokkan ke arah jembatan yang menghubungkan antar kota pun, aku hanya berpiikir bahwa Je akan mengajak makan malam seperti biasa. Namun, dugaanku salah karena dia malah berhenti pada se

  • Dendam Wanita Simpanan   Sangat Berbeda

    Aku menghitung satu per satu jumlah lembaran dari setiap berkas, lalu menuliskan di kertas kecil dan turut menyelipkannya saat menjepit agar mudah mentotalkan harganya. Kak Amran yang sibuk membongkar bagian-bagian mesin, tapi tak jarang dia melirik ke arahku lalu tertawa kecil. Aku berusaha tetap mengabaikan dengan menganggapnya tak ada.“Kamu gak cape ngitung, Nay?” tanyanya meski tangan terus berkutat memegang obeng.“Mau cape juga, ya, gimana lagi,” jawabku sekenanya.Kak Amran kembali fokus pada pekerjaannya. Belum aku selesai menghitung, seorang bapak berperut buncit yang tampak sudah cukup berumur memanggil dan meletakkan sebuah plastik besar

  • Dendam Wanita Simpanan   Tak Terduga

    Je menghentikan sepeda motornya di depan toko. “Kamu yakin bisa kerja, Nay? Mata kamu masih bengkak, wajah kamu juga keliatan pucat,” tanyanya khawatir setelah aku turun. Tak lupa dia memberikan makanan yang sebelumnya dibeli untuk sarapanku.“Kamu terlalu berlebihan mengkhawatirkanku. Sudah, pergi sana. Makasih!” usirku setelah memegangi kantong plastik. Pagi ini, aku sengaja hanya meminta nasi bungkus agar Je tak memilih apalagi membelikan sesuatu yang mahal.“Kunci toko mana? Biar aku yang bukain!” tagihnya.“Aku mau belajar sendiri!” tolakku yang tak ingin lebih ketergantungan padanya.“Kenapa? Itu berat, memangnya kuat?”“Je, biarin aku belajar sendiri. Aku … pasti bakal minta bantu kalau kesulitan nanti.” Aku memohon dengan tegas.Sejak kejadian tadi malam, tak ada sedikit pun yang berubah dari sikap Je terhadapku. Sepertinya, hanya aku yang merasa malu seka

  • Dendam Wanita Simpanan   Nekat

    “A-ada apa, Je?” tanyaku tak bisa menyembunyikan getar pada suara yang keluar.Je menuntunku untuk turun dan berdiri menghadapku. Tangannya menggenggam kedua tanganku dengan erat. “Nay, apa pun yang terjadi, jangan takut. Kamu gak sendiri,” ucapnya tanpa bisa kumengerti untuk apa, dan juga kenapa.Tak lama berselang, sepeda motor lain berhenti menghampiri kami. Je melepaskan genggaman tangannya dan berdiri membelakangiku untuk menghadap orang itu.“Lama tidak bertemu di luar rumah, ya, Nay. Akhir-akhir ini, kita hanya menghabiskan waktu di kamar tanpa bisa banyak bicara,” sapa pemilik sepeda motor yang lebih tepatnya tengah menghinaku itu.“Apalagi yang kamu inginkan? Berhenti mengganggu Nayla!” potong Je.“Kamu benar-benar akan mengakhiri hubungan kita seperti ini, Nay? Aku sama Aulia sudah memutuskan buat cerai, jadi gak akan ada yang menghalangi atau perlu kamu takuti lagi sekarang,” bu

  • Dendam Wanita Simpanan   Kebenaran yang Tak Sampai

    Kuteruskan langkah menuju rumah belakang tanpa berniat memedulikan sosok itu. Aku yang menunduk, hanya bisa merasakan keberadaan Je serta melihat sepasang kaki kami yang beriringan melangkah. Begitu menaiki pelatar rumah belakang, tergesa kuketuk pintu tempat Kak Aulia tinggal. Tak lama, wanita itu membukakan, sedikit terkejut saat melihatku dan segera menyambut masuk.“Malam banget, Nay. Dari mana aja?” tanya Kak Aulia.“Aku udah dapat kerjaan, Kak. Kost juga, semua karena bantuan Je,” sahutku menjelaskan.Serta merta Kak Aulia mengucap syukur dengan senyum penuh yang mengembang sempurna di bibirnya.“A-aku udah mulai kerja, trus juga dua atau tiga hari lagi pindah ke kost, Kak. Malam ini, aku juga bakal nginep di rumah temen. Dia temen paling akrab aku di sekolah, mau pindah ke kota lain juga. Apa aku boleh habisin waktu sama dia dulu, Kak?” jelasku sebelum meminta izin dengan teramat hati-hati.Tampak Kak Auli

DMCA.com Protection Status