Beranda / Romansa / Dendam Wanita Simpanan / Biar Menjadi Rahasia

Share

Biar Menjadi Rahasia

Penulis: Asy'arie
last update Terakhir Diperbarui: 2021-07-21 16:28:43

Pendar cahaya putih yang berangsur-angsur mendominasi warna langit pertanda pagi telah menjelang. Aku kembali mengangkat kepala dan sedikit mengambil jarak dari Kak Makmur.

“M-maaf, Kak,” ucapku pelan setelah sadar sudah bersikap tak pantas.

“Sekarang udah tenang, Nay?” tanya Kak Makmur tanpa menghiraukan ucapanku.

Aku hanya menarik simpul senyum sambil mengangguk pelan. Kak Makmur berdiri lebih dahulu kemudian mengulurkan tangannya untuk membantuku. Meski ragu, kuterima uluran tangannya hingga saat turut berdiri kami tepat berhadapan. Sejenak, pandangan kami saling bertumbuk. Aku terpaku saat tangannya dengan hati-hati menyeka sisa air yang masih menggantung di sudut mata.

“Kalau nanti perlu teman bicara, kamu bisa cari aku, Nay. Aku biasanya malam juga begadang buat lembur,” pesan Kak Makmur.

Lagi-lagi aku hanya mengangguk.

Detik berikutnya, Kak Makmur berpaling ke arah pantai dan memunggungiku. Kedua tangannya direntangkan lebar seiring empasan napas panjang yang terdengar cukup keras. “Pulang, yuk, Nay!” ajaknya menggenggam tanganku.

“I-iya, Kak.” Kulepaskan genggaman tangannya dan bergegas melangkah lebih dulu menuju rumah. Langkah terasa lebih ringan seolah-olah beban yang ditimpakan pada pundak telah berkurang.

Kak Makmur yang semula terus memberondongku dengan pertanyaan akhirnya mengerti bahwa yang kuperlukan hanya menangis sepuasnya.

Begitu langkah sampai pada halaman, tampak Kak Yuni yang tengah menjemur pakaian di samping kanan rumah. Saat menoleh ke arahku, raut wajahnya jelas menyiratkan rasa bingung. Gerak matanya berganti menatapku dan Kak Makmur yang melangkah bersisian.

“Dari mana aja, Nay?” sambut Kak Yuni yang segera menghampiri tanpa menyelesaikan pekerjaannya.

“Dari pantai, Kak,” sahutku singkat.

“Tadi malam Nayla jalan sendirian ke pantai, jadi kuikutin. Kan, bahaya anak gadis sendirian malam-malam,” timpal Kak Makmur.

“Nah, bener itu kata Kak Makmur, Nay! Kamu bikin Kakak kaget aja, dicariin sampe toilet gak ada,” keluh Kak Yuni.

Aku hanya menyengir. “Maaf, Kak. Nay izin mau mandi dulu, ya,” pamitku yang segera mengambil langkah menuju rumah. Sebelum kaki menginjak pelatar, Kak Ijul yang berjalan dari sisi kiri rumah menatap tajam. Aku hanya berpura-pura tak melihat dan gegas menuju kamar untuk mengambil handuk.

Di kamar mandi, aku menatap sekujur tubuh dengan luka gores yang belum memudar. Kulit putihku kini tak lagi bersih, ada noda yang akan terus melekat seumur hidup. Noda yang aku tak tahu harus bagaimana cara menghilangkannya.

“Nay, kamu masih muda, cantik ....” Sepotong kalimat yang diucapkan Kak Makmur sejenak membuatku tertawa. Apa gunanya cantik jika tak lagi suci?

Kunyalakan kran air dan segera mengguyurnya ke badan. Tanpa berniat lama, kuselesaikan mandi hanya dengan menggosokkan sabun sekenanya. Setelahnya, segera meraih handuk dan beralih ke kamar untuk berpakaian.

Di dalam kamar, tampak Kak Yuni yang tengah duduk di depan meja rias. Bedak dan lipstik yang masih terbuka terabaikan karena Kak Yuni sibuk dengan pensil alis di tangan kanannya. Di sudut ranjang, pakaian ganti untukku telah disediakan bahkan tanpa aku meminta.

“Makasih, Kak,” ungkapku menutup pintu juga tirai kemudian memakai celana jins selutut serta kaos bergambar emoticon tertawa yang sudah menjadi pakaian harian.

“Setelah itu jangan lupa sarapan, Nay. Sudah Kakak siapkan di dapur,” jawab Kak Yuni.

Usai berpakaian lengkap, aku duduk di pinggiran ranjang memandang Kak Yuni yang telah menyelesaikan ritual berdandannya dan berdiri mematut  diri di depan cermin. Kaos lengan pendek yang melekat di tubuhnya menampakkan lekuk pinggang serta tonjolan dada cukup besar, celana jins di atas lutut tak kalah memamerkan kedua kaki yang memiliki warna kulit kuning langsat. Jika dilihat seperti ini, mungkin banyak yang tak percaya jika Kak Yuni telah memiliki tiga anak. Kecantikannya terus terpancar meski enam tahun lagi usianya mencapai kepala empat.

“Kakak baik-baik aja, kan?” tanyaku mengingat hubungan rumah tangganya yang baru saja kandas.

Kak Yuni berbalik dan menatapku dengan senyum lepas. Perlahan mendekat dan turut duduk di sisiku kemudian merangkul erat. “Harusnya Kakak yang tanya seperti itu ke kamu, Nay. Biasanya juga kalau kamu ada masalah pasti cerita.”

“Aku ... cuma sedikit depresi karena susah tidur di rumah Kak Lily. Enak di rumah Kakak,” dustaku.

“Gara-gara si Ijul itu mabuk terus, ya? Tapi kamu gak diapa-apain, kan?” tanya Kak Yuni yang telak menebak hal itu.

Aku hanya menggeleng lemah. Rasa-rasanya, ada banyak telinga yang siap mendengarkan. Tapi, aku masih saja tak tahu bagaimana jika harus menceritakannya. Kadang, aku hanya berharap ini hanya mimpi buruk yang panjang dan akan berakhir saat fajar datang. Aku masih ingin terus menyangkal bahwa yang dilakukan pria itu nyata.

“Biasanya Kak Ijul gak kerja, ngapain aja di rumah?” Kak Yuni seolah tak puas bertanya.

“Aku cuma di kamar, jadi gak tahu,” kilahku segera. Biarlah semua menjadi rahasia, biar hanya aku yang terluka. Cukup aku saja yang menanggung sakitnya.

Seperti ini saja aku merasa tak memiliki wajah lagi untuk bertemu Kak Lily. Aku takut dibenci dan tak dipercaya lagi.

Argh! Kepingan-kepingan rekam ingatan saat Kak Ijul terus memaksaku melayaninya kembali membayang. Rasanya hatiku kembali patah dan berdarah. Nyeri yang teramat sangat. Aku menunduk dan mengepalkan tangan, berusaha keras menahan air mata agar tak lagi berjatuhan. Jeda berikutnya, aku mendongak seirama tarikan napas cukup panjang.

“Kakak sendiri gak masalah cerai sama Kak Hendrik? Nisa sama Via gimana?” Kualihkan pembicaraan setelah mengempaskan napas dengan kasar.

“Kakak sebenarnya memang nyari celah buat ninggalin Kak Hendrik baik-baik, tapi malah keburu dibongkar orang. Itu aja sih yang bikin Kakak kesal. Soal Nisa sama Via kalau mau ikut Kak Hendrik, itu keputusan mereka sendiri, kan? Gak masalah buat Kakak,” jelas Kak Yuni panjang lebar.

Aku membulatkan bibir sebagai respon karena benar-benar tak mengerti mengapa Kak Yuni bisa seacuh itu pada masalahnya. Atau mungkin Kak Yuni malah menganggap perceraian ini adalah anugerah?

“Kakak mau cuci piring dulu, Nay. Kamu sarapan sana. Mau santai di luar juga terserah. Tapi, kalau mau main ke pantai bilang-bilang dulu!” Kak Yuni bangkit dan beranjak lebih dahulu meninggalkan kamar.

Aku yang masih tak berselera untuk makan memilih duduk di pelatar. Sejenak, pandangan mata tertuju pada sesosok laki-laki yang memakai celana boxer pendek serta kaos tanpa lengan yang sedang membaca sebuah buku. Laki-laki tampan berkulit putih bersih dengan rambut pendek yang sejak kali pertama melihat telah mengundang debar-debar aneh di dada. Laki-laki yang selalu kuimpikan untuk dekat dengannya walau sebagai apa saja.

Namun sekarang aku harus cukup sadar diri dengan keadaan agar bisa mengubur paksa harapan bodoh itu. Lelaki mana yang akan menerima perempuan kotor sepertiku?

Aku menghela napas panjang dan menengadahkan kepala menatap langit. ‘Tuhan, kapan aku akan dijemput?’ batinku.

Seseorasng yang duduk merapat di sisi kanan seketika membuatku tersentak. Aku yang menoleh untuk memastikan berubah gemetar saat menyadari sosok itu.

“Baru pulang sehari, udah nakal main sama si Makmur, ya,” sindirnya.

Pelan aku menggeser duduk untuk mengambil jarak darinya.

“Kamu lupa kalau kamu milik siapa?” Kak Ijul melayangkan tatapan yang seakan-akan berhasil mencuri oksigen di sekitarku. Aku yang mulai merasakan sesak dan kesulitan bernapas seketika tak bisa bergerak sedikt pun.

“Kamu harus jelasin semuanya! Aku tunggu di belakang SPBU,” bisiknya dengan senyum yang menampilkan barisan gigi kuning menjijikkan. Meski begitu, tatap yang dilayangkannya masih saja terasa dipenuhi dengan ancaman.

“Nay, ngapain?” Teguran Kak Yuni seketik menarik kembali simpul kesadaranku yang sempat lumpuh. Saat aku menoleh, pemilik suara itu berdiri tepat di depan pintu dengan tatapan yang benar-benar tak bisa kuartikan.

Apa yang harus kukatakan sekarang?

Bab terkait

  • Dendam Wanita Simpanan   Salah Langkah

    “Yun, kayanya adekmu lagi kasmaran. Ketauan mandangin Zulfi langsung salah tingkah,” kekeh Kak Ijul yang beringsut bangkit dan berdiri menjauh dariku. Mendengar jawaban itu, bisa kupastikan gerak mata Kak Yuni beralih pada sosok laki-laki yang sebelumnya menarik seluruh perhatianku. “Hm,” dehamnya yang aku sendiri tak mengerti kenapa. “Aku jalan ke warung dulu, Yun. Mau beli rokok,” pamit Kak Ijul yang gegas berpaling dan meninggalkan halaman. Hal yang tentu saja membuatku bisa kembali bernapas lega meski keringat dingin masih saja membasahi telapak tangan dan gemetar tak juga mereda. Kak Yuni kali ini duduk di sisi kiriku, aku bisa menangkap rasa ketidakpercayaan di balik tatapan datar yang diberikan itu. “Kak Ijul sering ngajak ngobrol, Nay?” “Kalau lagi kena angin entah dari pintu surga yang mana, Kak,” sahutku sekenanya. Mendengar hal itu, sontak saja raut wajah Kak Yuni berubah diiringi tawa yang pecah. “Ngawur kamu, Nay!” sungutnya di se

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-21
  • Dendam Wanita Simpanan   Gosip

    “Tumben tadi pulang sama Husin, Nay? Bukannya pas berangkat sama Yuni?” sapa Nurul, tetangga yang rumahnya tepat di sisi kiri rumah Kak Yuni saat aku baru melangkah memasuki warung. “Kak Yuni ada urusan mendadak, Mbak. Jadi, aku disuruh pulang duluan dianterin Husin biar gak cape nunggu,” sahutku yang terpaksa menghentikan langkah. Rasanya, tak sopan saja jika sedang diajak bicara tapi aku berlalu begitu saja. “Oh. Dikirain tadi abis janjian. Yuni sama Anto, kamu sama Husin,” kekeh bibir berpoles lipstik keunguan yang benar-benar tak cocok dengan warna kulit di wajahnya itu. Aku menghela napas panjang, sepertinya kabar perselingkuhan Kak Yuni begitu cepat tersebar .... “Enggak, Mbak. Permisi,” pamitku yang segera melepas sandal saat memasuki pintu. Rumah kecil yang ada tak jauh dari SMA Satu ini satu-satunya warung yang menjual makanan ringan dan keperluan sehari-hari terdekat dari rumah. Etalase di sisi kanan ruang yang sekaligus ruang tengah rumah d

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-27
  • Dendam Wanita Simpanan   Kekacauan

    Aku termenung memandang pemilik wajah pucat yang terbaring lemas di kasur. Hampir tak percaya karena keadaannya yang menurun drastis hanya dalam satu malam. Dari cerita yang kudengar, Via mendadak demam, saat tidur pun menangis hingga mengigau memanggil Ibu. Kak Hendrik sampai harus begadang untuk menemani dan menenangkannya.Anak perempuan yang selama ini tampak tak terlalu akrab dengan Kak Yuni, anak perempuan yang selama ini selalu dimarahi karena bermain lupa waktu dan pulang dalam keadaan kotor, ternyata malah menjadi seseorang yang benar-benar kehilangan sosok ibunya. Padahal, Kak Hendrik baru saja membawa Via menginap tadi malam dan perceraian baru saja terucap kemarin siang.Sedang Nisa yang selama ini cenderung manja dan selalu mengekori Kak Yuni malah tampak acuh meski sembab serta bengkak masih membekas pada sepasang mata cokelat kehitamannya. Untuk Roby yang baru berumur hampir empat tahun, sewajarnya masih belum mengerti kejadian yang menimpa keluarganya h

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-25
  • Dendam Wanita Simpanan   Karma?

    “Kata Tante Nun, Bapak nikahin Ibu saat Ibu hamil empat bulan.”Hanya sepenggal kalimat itu yang lolos dari bibir Nisa sebelum akhirnya tangisnya pecah. Tanpa penjelasan, tanpa alasan. Aku yang terkejut sekaligus panik, sampai-sampai lupa ingin bertanya. Aku bahkan tak tahu harus berkata apa untuk menenangkan Nisa. Jika benar pun seperti itu, wajar Nisa tampak acuh meski jauh di dalam lubuk hati, jelas dia begitu hancur dan terpuruk.**“Makasih udah nganterin,” ucapku pada laki-laki yang masih duduk tersenyum di sepeda motornya. Nisa sendiri sudah lebih dulu berlari ke rumah dan membuka pintu sendiri.“Nay, boleh minta nomor kamu?” Tanya Husin yang tiba-tiba menggenggam tanganku cukup erat.Aku yang semula hendak segera menyusul Nisa terpaksa menghentikan gerak langkah dan menoleh. “Aku gak dibolehin Kak Yuni buat main HP sampai ujian sekolah selesai,” tolakku halus.“Buat jaga-jaga siap

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-02
  • Dendam Wanita Simpanan   Lembar Hitam yang Terbuka

    “Kamu sejak datang sama Nisa gak kedengeran suaranya, Nay. Jadi Aulia nyuruh aku buat ngecek ke sini,” jelas pria yang beberapa saat lalu mengetuk pintu rumah tanpa memanggil.Aku masih bersandar pada pintu sambil mengatur napas, detak di dada masih saja riuh karena kekhawatiran yang sempat menguasai. Bukankah sewajarnya Kak Ijul mustahil berani mendekat karena aku tak sendirian?“Kenapa gak dipanggil aja? Kakak bikin takut!” sungutku menekuk wajah.Kak Makmur hanya merespon dengan tawa. Nisa yang kupikir akan segera keluar setelah berganti pakaian malah sama sekali tak terlihat. Beberapa kali, aku menengok ke belakang untuk memastikan tapi pintu kamar masih saja dalam keadaan sama, yaitu terkunci dari dalam.“Nay, kamu masih belum jawab pertanyaanku tadi,” tagih Kak Makmur.“P-pertanyaan yang mana, Kak?” Mendadak, lagi, aku tak bisa menyembunyikan rasa gugup yang tercermin dari getar pada kedua tanga

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-01
  • Dendam Wanita Simpanan   Ada yang Aneh

    “Ibu sudah bilang jangan main keluar, masih aja bandel! Mau kamu apa? Melawan orang tua? Jadi anak durhaka?” cecar wanita yang telah melahirkanku delapan tahun lalu itu. “Tapi, Bu. Nay cuma ke rumah Riska. Nay cuma ikut liat aja,” sahutku menunduk. Tubuh terlalu gemetar hanya untuk mengangkat wajah dan menatap Ibu. “Gak ada tapi-tapi! Kamu itu harus dengerin apa kata orang tua! Mau jadi apa masa depan kamu kalau ngelawan terus!” Sebuah cubitan sepedas gigitan semut api kembali singgah di lengan kananku. Meski sakit, aku bahkan tak berani mengusap sisa jejak cubitan itu. “Sudah belajar sana! Sebentar lagi ulangan kenaikan kelas, kerjanya main aja terus! Coba lihat kakak kamu, dia rajin belajar makanya bisa juara satu tiap semester. Di mana-mana anak orang mau nurut sama omongan ibunya, cuma kamu yang bandel!” Langkah Ibu yang berpaling menuju kamar meninggalkanku sendiri di depan pintu. Setelah memastikan Ibu benar-benar telah memasuki kamar, b

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-01
  • Dendam Wanita Simpanan   Korban Bully

    Mataku masih terasa berat karena tak bisa tidur dengan nyenyak. Pertengkaran Ayah dan Ibu membuatku hanya berani pura-pura tidur di balik selimut tanpa benar-benar terlelap. Hingga pagi pun suasana rumah terasa asing karena tak ada percakapan sedikit pun di antara mereka. Ibu mengurung diri di dalam kamar dan hanya ke luar saat hendak mandi, sedang Ayah menyibukkan diri dengan menyelesaikan seluruh pekerjaan rumah.Saat aku menyalami tangan Ibu untuk berpamitan pergi ke sekolah pun, ucapanku hanya dijawab dengan dehaman serta uluran tangan yang terkesan terpaksa. Meski begitu, aku tak berani bertanya apalagi protes dengan sikap Ibu.Sesampainya di depan gerbang sekolah, aku segera turun dari sepeda motor Ayah. “Nay sekolah dulu, Yah.”“Kalau pulang nanti Ayah belum datang, tunggu aja. Jangan ke mana-mana, jangan pulang jalan kaki,” pesan Ayah yang bahkan tak melihat lagi pada anggukanku karena telah memutar sepeda motornya dan beranjak me

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-02
  • Dendam Wanita Simpanan   Memberanikan Diri

    Aku menunduk dengan tangan memilin ujung jilab. Hani yang diminta ke luar membuatku hanya tertinggal berdua dengan Bu Wati. Ruang bimbingan konseling yang berada di sudut kanan kantor ini sebenarnya memiliki satu kipas yang terpasang di tengah-tengah antara pembatas ruangan. Namun, aku malah merasa tidak nyaman hingga berkeringat.“Nayla,” panggil Bu Wati yang membuatku sedikit mendongak meski gemetar hebat.Gerak tangan gemuk itu melepas kacamata yang sempat bertengger pada hidung mancungnya. “Ada yang mau diceritakan sama Ibu?”Aku mengatupkan bibir rapat-rapat sambil menggeleng.“Kalau Nayla gak cerita, Ibu gak bisa bantu Nayla,” bujuk Bu Wati.Aku masih hanya berani menggelengkan kepala.“Nayla takut? Ibu gak menggigit, lho,” canda beliau yang berhasil membuatku menahan senyum.“Ibay sering nakal sama Nayla? Sering ganggu Nayla?” Pertanyaan itu kembali dilontarkan. Aku ta

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-03

Bab terbaru

  • Dendam Wanita Simpanan   Kekhawatiran yang Sebenarnya

    "Ah, Nay. Aku tidak memaksa kalau kamu tidak ingin menceritakannya." Je kembali menambahkan setelah menyadari jeda diamku yang cukup lama.Sejenak, aku menghela napas kasar. Menutupinya pun, Je telah terlalu banyak melihat sisi burukku.Tampak Je telah kembali fokus dengan jalanan di depan.Aku menunduk, menautkan jari jemari, sesekali melepas dan menggenggami kedua jempol bergantian. "Overdosis alkohol ... aku pindah karena dikeluarkan dari sekolah sebelumnya," ungkapku.Je menoleh. Raut wajahnya tak banyak berubah. Sepertinya, dia memang pandai mengaturnya untuk menghargaiku meski pun sebenarnya hal itu tak perlu dilakukan."Itu juga pertama kalinya. Aku masih ingat jelas teman-teman yang lain berada di sekelilingku, dengan penasaran terus menyuruhku minum. Ternyata, senyum puji mereka palsu. Yang benar-benar jujur, hanya tatap kecewa yang Kak Anoy layangkan waktu itu." Kembali mengenang hal itu, rasanya ada sesuatu yang menjerat dada hingga terasa berat dan sesak.Tanpa ragu, Je me

  • Dendam Wanita Simpanan   Kembali

    Setelah merasa berlari cukup jauh, kuhentikan langkah dan bersandar pada tembok tinggi yang sepertinya adalah pagar dari bangunan di sebelah. Gang ini sepi, sejak pertama memasuki, hampir tak terlihat rumah satu pun selain bangunan-bangunan berpagar tinggi di sisi kanan dan kirinya. Rerumputan di pinggiran pun membuat gang ini seolah semakin sempit.Perlahan, tubuhku merosot hingga berjongkok. Wajah yang menunduk, kubenamkan pada kedua lutut yang juga berada dalam lingkar peluk.Sebenarnya, apa yang sedang terjadi padaku? Apakah aku benar-benar sudah gila hingga berhalusinasi seperti itu? Aku pun sama sekali tak bisa mempercayai bahwa ini mimpi terpanjang sekali pun. Rasa sakit, seluruh apa-apa yang kualami benar-benarlah nyata, tetapi ….Derap langkah yang terdengar semakin mendekat disusul tepukan pelan pada pundak. Aku terkesiap mengangkat wajah, sesosok pria bertopi yang masih memakai tas pinggang tampak perlahan berjongkok di hadapan. Saat pandangan

  • Dendam Wanita Simpanan   Mimpi yang Gila

    Aku tak mengerti kenapa pria itu begitu mendesak untuk pulang. Setelah bersiap dan memberi kabar pada Kak Amran agar diberitahukan pada Bu Dama, dia segera melajukan mobil yang kami naiki. Selain pakaian ganti dan beberapa keperluan lain, dia juga membelikanku sarapan tak lupa cemilan.Ternyata, dia masih tak sedikit pun alpa dalam memperhatikanku. Banyak tanya terbesit yang terpaksa kutepis saja. Apa pun itu caranya, bagaimanapun, aku hanya sedang merasa kembali bahagia. Dan, jika lagi-lagi pertemuan kami hanya sementara, bagaimana bisa aku mengakhirinya dengan penyesalan karena tak berani menyatakan perasaan? Aku yang telah kotor dan hina, apa pantas bersama pria tak bersalah sepertinya?Sosok itu tampak hanya terus diam dalam fokusnya menyetir. Aku sendiri, hanya berani mencuri pandang tanpa berani mengganggu apalagi mengajak sedikit bicara. Hanya suara musik yang diputar dalam volume rendah yang menemani perjalanan panjang kami.“Jangan biasakan menggi

  • Dendam Wanita Simpanan   Hadirnya Sosok Lama(?)

    “Nay! Dengarkan aku!” Suara panggilan itu terdengar di antara dengungan-dengungan keras yang memenuhi telinga.Aku masih memegangi dada yang terasa sesak, degup yang sangat kencang di dalam menimbulkan rasa sakit. Seluruh otot terus terasa menegang hingga pada beberapa titik aku mulai merasa seolah mati rasa. Keringat semakin membasahi.Uluran tangan itu memberikan bantal, kemudian mengalihkan kedua tanganku sendiri untuk memeluknya. Aku meremas keras bagian ujung-ujung bantal, berusaha mengalihkan perasaan-perasaan sakit yang seperti menerjang seluruh tubuh.“Tarik napas, lalu keluarkan pelan-pelan,” instruksinya yang kemudian diiring hitungan berulang. Kuikuti apa yang bisa kudengar, hingga satu per satu rasa sesak itu seperti diurai.“Aku sangat mengerti keadaan kamu sekarang, Nay. Kamu gak sendirian,” ucapnya yang terasa seperti tetes-tetes air menghujani, mendinginkan, dan sangat menenangkan.Aku yang mulai

  • Dendam Wanita Simpanan   Tak Selalu Baik

    Satu hari lagi telah terlewati, dengan kuanggap cukup baik. Mesin yang masih belum selesai diperbaiki, menandakan besok pun aku masih harus bertemu dengan Kak Amran. Je yang menjemputku sebelum toko benar-benar tutup pun, terlihat kurang menyukai keberadaan pria itu. Dia hanya menyapa seperlunya, dan segera mengajakku pergi.“Dia orang baru, Nay? Tapi Bu Dama gak kasih tau kalau bakal nyari orang lagi,” tanya Je beberapa saat setelah sepeda motor melaju meninggalkan toko.“Bukan. Ada mesin yang bermasalah, jadi dia itu teknisi yang datang buat service aja,” sahutku.Je hanya berdeham, kemudian menambah kecepatan hingga kami lebih cepat meninggalkan perkampungan. Kurapatkan sweater yang menjadi salah satu dari isi tote bag pemberian Je. Saat sepeda motor dibelokkan ke arah jembatan yang menghubungkan antar kota pun, aku hanya berpiikir bahwa Je akan mengajak makan malam seperti biasa. Namun, dugaanku salah karena dia malah berhenti pada se

  • Dendam Wanita Simpanan   Sangat Berbeda

    Aku menghitung satu per satu jumlah lembaran dari setiap berkas, lalu menuliskan di kertas kecil dan turut menyelipkannya saat menjepit agar mudah mentotalkan harganya. Kak Amran yang sibuk membongkar bagian-bagian mesin, tapi tak jarang dia melirik ke arahku lalu tertawa kecil. Aku berusaha tetap mengabaikan dengan menganggapnya tak ada.“Kamu gak cape ngitung, Nay?” tanyanya meski tangan terus berkutat memegang obeng.“Mau cape juga, ya, gimana lagi,” jawabku sekenanya.Kak Amran kembali fokus pada pekerjaannya. Belum aku selesai menghitung, seorang bapak berperut buncit yang tampak sudah cukup berumur memanggil dan meletakkan sebuah plastik besar

  • Dendam Wanita Simpanan   Tak Terduga

    Je menghentikan sepeda motornya di depan toko. “Kamu yakin bisa kerja, Nay? Mata kamu masih bengkak, wajah kamu juga keliatan pucat,” tanyanya khawatir setelah aku turun. Tak lupa dia memberikan makanan yang sebelumnya dibeli untuk sarapanku.“Kamu terlalu berlebihan mengkhawatirkanku. Sudah, pergi sana. Makasih!” usirku setelah memegangi kantong plastik. Pagi ini, aku sengaja hanya meminta nasi bungkus agar Je tak memilih apalagi membelikan sesuatu yang mahal.“Kunci toko mana? Biar aku yang bukain!” tagihnya.“Aku mau belajar sendiri!” tolakku yang tak ingin lebih ketergantungan padanya.“Kenapa? Itu berat, memangnya kuat?”“Je, biarin aku belajar sendiri. Aku … pasti bakal minta bantu kalau kesulitan nanti.” Aku memohon dengan tegas.Sejak kejadian tadi malam, tak ada sedikit pun yang berubah dari sikap Je terhadapku. Sepertinya, hanya aku yang merasa malu seka

  • Dendam Wanita Simpanan   Nekat

    “A-ada apa, Je?” tanyaku tak bisa menyembunyikan getar pada suara yang keluar.Je menuntunku untuk turun dan berdiri menghadapku. Tangannya menggenggam kedua tanganku dengan erat. “Nay, apa pun yang terjadi, jangan takut. Kamu gak sendiri,” ucapnya tanpa bisa kumengerti untuk apa, dan juga kenapa.Tak lama berselang, sepeda motor lain berhenti menghampiri kami. Je melepaskan genggaman tangannya dan berdiri membelakangiku untuk menghadap orang itu.“Lama tidak bertemu di luar rumah, ya, Nay. Akhir-akhir ini, kita hanya menghabiskan waktu di kamar tanpa bisa banyak bicara,” sapa pemilik sepeda motor yang lebih tepatnya tengah menghinaku itu.“Apalagi yang kamu inginkan? Berhenti mengganggu Nayla!” potong Je.“Kamu benar-benar akan mengakhiri hubungan kita seperti ini, Nay? Aku sama Aulia sudah memutuskan buat cerai, jadi gak akan ada yang menghalangi atau perlu kamu takuti lagi sekarang,” bu

  • Dendam Wanita Simpanan   Kebenaran yang Tak Sampai

    Kuteruskan langkah menuju rumah belakang tanpa berniat memedulikan sosok itu. Aku yang menunduk, hanya bisa merasakan keberadaan Je serta melihat sepasang kaki kami yang beriringan melangkah. Begitu menaiki pelatar rumah belakang, tergesa kuketuk pintu tempat Kak Aulia tinggal. Tak lama, wanita itu membukakan, sedikit terkejut saat melihatku dan segera menyambut masuk.“Malam banget, Nay. Dari mana aja?” tanya Kak Aulia.“Aku udah dapat kerjaan, Kak. Kost juga, semua karena bantuan Je,” sahutku menjelaskan.Serta merta Kak Aulia mengucap syukur dengan senyum penuh yang mengembang sempurna di bibirnya.“A-aku udah mulai kerja, trus juga dua atau tiga hari lagi pindah ke kost, Kak. Malam ini, aku juga bakal nginep di rumah temen. Dia temen paling akrab aku di sekolah, mau pindah ke kota lain juga. Apa aku boleh habisin waktu sama dia dulu, Kak?” jelasku sebelum meminta izin dengan teramat hati-hati.Tampak Kak Auli

DMCA.com Protection Status