Semua orang sudah tampak terlelap, tapi kedua mataku masih saja tak bisa berpejam. Jarum pendek telah menunjuk pada angka dua pada jam dinding yang terpajang di sisi kanan rumah.
“Kamu milikku, Nay. Takkan kubiarkan kamu lepas begitu saja, bagaimanapun caranya.” Ancaman yang dibisikkan Kak Ijul tadi sore masih saja terdengar, seperti kaset yang terus diputar berulang di kepala tanpa aku tahu di mana tombol untuk menghentikannya.
Aku mendadak rindu hari-hari yang tenang. Aku rindu bernapas tanpa sedikit pun menghirup aroma-aroma ketakutan. Bukankah seharusnya Kak Ijul takkan bisa mengganggu lagi sekarang? Namun, bagaimanapun perasaan kotor dan tak berharga lagi tak jua bisa menghilang. Keinginan-keinginan tentang kematian itu terus saja berdatangan.
Kulirik Kak Yuni yang tertidur dengan nyenyak, kemudian duduk dengan hati-hati agar tak membangunkannya. Rasanya, tak terlihat sedikit pun gurat-gurat kesedihan atau mungkin kegelisahan karena masalah yang sedang menimpanya. Ah, andai saja hidupku bisa setenang dia.
Bosan berdiam, aku memilih ke luar.
Langit malam yang indah dihiasi bintang-bintang terang. Bulan sabit sesekali bersembunyi karena dilewati awan. Angin malam yang sejuk dengan lembut menyapu kulit. Kedua tangan memeluk bahu untuk mengusir rasa dingin. Sesekali kuayunkan kaki yang menjuntai untuk mengusir nyamuk. Sendir. Benar, luka yang kutanggung hanya sedang memerlukan sepi. Dalam suasana ramai, bercanda dan berpura-pura tertawa saja tak cukup untuk mengobati perih.
Aku lelah bersandiwara di depan mereka. Aku lelah berpura baik-baik saja.
Gelisah kembali bertandang. Pertanyaan-pertanyaan yang mustahil mendapat jawaban kembali berdesakan. Aku menarik napas panjang dan mengempaskannya kasar, tapi pekat di dada tak juga teruraikan.
Dalam sekali sentak, tubuh telah berdiri tegak. Rasanya, ujian yang menimpaku sekarang terlalu berat. Aku ingin lari dari kenyataan. Aku ingin menyerah jika diizinkan.
Kepala kutengadahkan untuk menahan air mata yang kembali memberontak. Namun, sekeras apa pun aku menahan, kaca-kaca itu malah semakin tebal dan terus memaksa pecah. Tanpa berpikir panjang, langkah terayun dengan pantai sebagai tujuan. Di sana, takkan ada yang mendengar tangisanku lagi. Jam-jam seperti ini pasti pantai dalam keadaan sepi, takkan ada orang-orang.
Aku mempercepat langkah seiring pandangan yang semakin buram. Sesak, napasku serasa tersendat. Setelah dari halaman berbelok ke arah kanan, aku memilih melewati jalan kecil di antara perkebunan dan SMA Satu. Terpa angin pantai yang menyambut sejenak mengundang gigil karena aku hanya memakai setelan baby doll lengan pendek.
Setelah sampai pada perbatasan, aku mengambil langkah ke kiri dengan tujuan sejauh mungkin dari pemukiman. Aku ingin leluasa berteriak dan melepaskan semuanya.
Sesekali, aku menendang pelan pasir yang menjadi pijakan. Suara debur ombak yang tak lagi bercampur bising kesibukan manusia-manusia sejenak terasa memanjakan. Kurentangkan tangan dengan sedikit membusungkan dada, berharap bisa terbang seperti burung-burung yang bebas mengudara.
Suara plastik yang terinjak oleh kaki lain di belakang sesaat menyadarkanku kalau ada yang mengikuti. Bukankah seharusnya aku sendirian sekarang?
Tergesa aku menunduk dan mempercepat gerak kaki hingga setengah berlari. Namun, langkah itu terasa semakin jelas juga mendekati.
Kuatur napas sebelum akhirnya berpejam dan berlari agar bisa menjauh secepat mungkin, ke mana pun itu. Tapi lagi-lagi bayangan yang tampak saat melewati bekas pabrik tahu menunjukkan sosok lain selain aku. Tanpa sadar, aku yang terlalu sibuk memperhatikan bayangan hingga langkah memelan ternyata memberi kesempatan untuk orang itu mendekat.
Bertepatan saat tangannya berhasil mencengkeram bahu, kedua tungkai seketika terkunci. Keringat dingin dengan cepat membasahi telapak tangan. Seluruh tubuh rasanya membeku, gigil yang semakin menelusupi sendi-sendi menjalarkan reaksi gemetar hebat. Seluruh sarafku seakan tak lagi mematuhi sinyal bahaya yang dikirimkan oleh otak.
“Nay!” Pemilik tangan itu memanggil seiring langkah yang kurasakan bergerak ke hadapan.
Ketakutan semakin terundang meski hampir sepenuhnya aku sadar suara itu bukanlah milik Kak Ijul, sekaligus pasti dari seseorang yang mengenalku.
“Ngapain malam-malam?” tanya sesosok pria yang tingginya tak jauh berbeda dariku. Kepala yang hanya ditumbuhi rambut tipis itu dengan cepat membuatku mengenalinya.
“A-anu, cari angin segar, Kak,” sahutku yang masih tak bisa menghentikan gemetar di sekujur tubuh.
“Kamu mau disamperin malah lari!” kekehnya. Di tangan kanan, dia tampak memegangi sebuah senter kecil yang sengaja tak dinyalakan.
“Kita duduk dulu.” Kak Makmur menggandengku dan mengajak duduk pada salah satu akar yang menonjol ke atas dari pohon besar di sisi bekas pabrik tahu.
Aku hanya menurut sekaligus lega karena yang mengikuti bukanlah orang tak dikenal. Kuarahkan pandangan pada air laut, ombak sesekali mengempaskan pasir di pinggiran. Langit malam seolah tercermin karena air yang masih begitu bersih.
“Aku denger tadi kaya ada suara orang jalan di depan, karena takut maling akhirnya keluar buat mengecek. Eh, ternyata kamu jalan sendirian ke pantai,” celetuk pria yang telah memiliki lima anak di usianya yang baru tiga puluh enam tahun itu.
Aku hanya menoleh dan mengulas senyum kecil sebagai resppon, setelahnya kembali mengalihkan pandangan ke laut.
“Lagi ada masalah, Nay? Aku dengar semuanya dari Aulia. Badan kamu penuh bekas luka, kamu yang melakukannya?” tanyanya lagi.
Kali ini, aku yang menoleh memilih memandang Kak Makmur lebih lama. Bingung harus memberikan jawaban atau membiarkan saja pertanyaan-pertanyaan itu terabaikan saja.
“Jangan simpan semua sendirian, ceritakan pada orang yang bisa kamu percaya. Kenapa malam-malam ke pantai?” Kak Makmur tak henti memberikan pertanyaan.
“Emang kalau aku cerita, bisa menyelesaikan semuanya?” Aku balas bertanya tanpa berniat menjawab satu pun pertanyaan Kak Makmur sebelumnya.
“Tergantung. Semua masalah pasti punya jalan keluar, kan?” jawab Kak Makmur.
Pendar cahaya putih yang berangsur-angsur mendominasi warna langit pertanda pagi telah menjelang. Aku kembali mengangkat kepala dan sedikit mengambil jarak dari Kak Makmur. “M-maaf, Kak,” ucapku pelan setelah sadar sudah bersikap tak pantas. “Sekarang udah tenang, Nay?” tanya Kak Makmur tanpa menghiraukan ucapanku. Aku hanya menarik simpul senyum sambil mengangguk pelan. Kak Makmur berdiri lebih dahulu kemudian mengulurkan tangannya untuk membantuku. Meski ragu, kuterima uluran tangannya hingga saat turut berdiri kami tepat berhadapan. Sejenak, pandangan kami saling bertumbuk. Aku terpaku saat tangannya dengan hati-hati menyeka sisa air yang masih menggantung di sudut mata. “Kalau nanti perlu teman bicara, kamu bisa cari aku, Nay. Aku biasanya malam juga begadang buat lembur,” pesan Kak Makmur. Lagi-lagi aku hanya mengangguk. Detik berikutnya, Kak Makmur berpaling ke arah pantai dan memunggungiku. Kedua tangannya direntangkan lebar sei
“Yun, kayanya adekmu lagi kasmaran. Ketauan mandangin Zulfi langsung salah tingkah,” kekeh Kak Ijul yang beringsut bangkit dan berdiri menjauh dariku. Mendengar jawaban itu, bisa kupastikan gerak mata Kak Yuni beralih pada sosok laki-laki yang sebelumnya menarik seluruh perhatianku. “Hm,” dehamnya yang aku sendiri tak mengerti kenapa. “Aku jalan ke warung dulu, Yun. Mau beli rokok,” pamit Kak Ijul yang gegas berpaling dan meninggalkan halaman. Hal yang tentu saja membuatku bisa kembali bernapas lega meski keringat dingin masih saja membasahi telapak tangan dan gemetar tak juga mereda. Kak Yuni kali ini duduk di sisi kiriku, aku bisa menangkap rasa ketidakpercayaan di balik tatapan datar yang diberikan itu. “Kak Ijul sering ngajak ngobrol, Nay?” “Kalau lagi kena angin entah dari pintu surga yang mana, Kak,” sahutku sekenanya. Mendengar hal itu, sontak saja raut wajah Kak Yuni berubah diiringi tawa yang pecah. “Ngawur kamu, Nay!” sungutnya di se
“Tumben tadi pulang sama Husin, Nay? Bukannya pas berangkat sama Yuni?” sapa Nurul, tetangga yang rumahnya tepat di sisi kiri rumah Kak Yuni saat aku baru melangkah memasuki warung. “Kak Yuni ada urusan mendadak, Mbak. Jadi, aku disuruh pulang duluan dianterin Husin biar gak cape nunggu,” sahutku yang terpaksa menghentikan langkah. Rasanya, tak sopan saja jika sedang diajak bicara tapi aku berlalu begitu saja. “Oh. Dikirain tadi abis janjian. Yuni sama Anto, kamu sama Husin,” kekeh bibir berpoles lipstik keunguan yang benar-benar tak cocok dengan warna kulit di wajahnya itu. Aku menghela napas panjang, sepertinya kabar perselingkuhan Kak Yuni begitu cepat tersebar .... “Enggak, Mbak. Permisi,” pamitku yang segera melepas sandal saat memasuki pintu. Rumah kecil yang ada tak jauh dari SMA Satu ini satu-satunya warung yang menjual makanan ringan dan keperluan sehari-hari terdekat dari rumah. Etalase di sisi kanan ruang yang sekaligus ruang tengah rumah d
Aku termenung memandang pemilik wajah pucat yang terbaring lemas di kasur. Hampir tak percaya karena keadaannya yang menurun drastis hanya dalam satu malam. Dari cerita yang kudengar, Via mendadak demam, saat tidur pun menangis hingga mengigau memanggil Ibu. Kak Hendrik sampai harus begadang untuk menemani dan menenangkannya.Anak perempuan yang selama ini tampak tak terlalu akrab dengan Kak Yuni, anak perempuan yang selama ini selalu dimarahi karena bermain lupa waktu dan pulang dalam keadaan kotor, ternyata malah menjadi seseorang yang benar-benar kehilangan sosok ibunya. Padahal, Kak Hendrik baru saja membawa Via menginap tadi malam dan perceraian baru saja terucap kemarin siang.Sedang Nisa yang selama ini cenderung manja dan selalu mengekori Kak Yuni malah tampak acuh meski sembab serta bengkak masih membekas pada sepasang mata cokelat kehitamannya. Untuk Roby yang baru berumur hampir empat tahun, sewajarnya masih belum mengerti kejadian yang menimpa keluarganya h
“Kata Tante Nun, Bapak nikahin Ibu saat Ibu hamil empat bulan.”Hanya sepenggal kalimat itu yang lolos dari bibir Nisa sebelum akhirnya tangisnya pecah. Tanpa penjelasan, tanpa alasan. Aku yang terkejut sekaligus panik, sampai-sampai lupa ingin bertanya. Aku bahkan tak tahu harus berkata apa untuk menenangkan Nisa. Jika benar pun seperti itu, wajar Nisa tampak acuh meski jauh di dalam lubuk hati, jelas dia begitu hancur dan terpuruk.**“Makasih udah nganterin,” ucapku pada laki-laki yang masih duduk tersenyum di sepeda motornya. Nisa sendiri sudah lebih dulu berlari ke rumah dan membuka pintu sendiri.“Nay, boleh minta nomor kamu?” Tanya Husin yang tiba-tiba menggenggam tanganku cukup erat.Aku yang semula hendak segera menyusul Nisa terpaksa menghentikan gerak langkah dan menoleh. “Aku gak dibolehin Kak Yuni buat main HP sampai ujian sekolah selesai,” tolakku halus.“Buat jaga-jaga siap
“Kamu sejak datang sama Nisa gak kedengeran suaranya, Nay. Jadi Aulia nyuruh aku buat ngecek ke sini,” jelas pria yang beberapa saat lalu mengetuk pintu rumah tanpa memanggil.Aku masih bersandar pada pintu sambil mengatur napas, detak di dada masih saja riuh karena kekhawatiran yang sempat menguasai. Bukankah sewajarnya Kak Ijul mustahil berani mendekat karena aku tak sendirian?“Kenapa gak dipanggil aja? Kakak bikin takut!” sungutku menekuk wajah.Kak Makmur hanya merespon dengan tawa. Nisa yang kupikir akan segera keluar setelah berganti pakaian malah sama sekali tak terlihat. Beberapa kali, aku menengok ke belakang untuk memastikan tapi pintu kamar masih saja dalam keadaan sama, yaitu terkunci dari dalam.“Nay, kamu masih belum jawab pertanyaanku tadi,” tagih Kak Makmur.“P-pertanyaan yang mana, Kak?” Mendadak, lagi, aku tak bisa menyembunyikan rasa gugup yang tercermin dari getar pada kedua tanga
“Ibu sudah bilang jangan main keluar, masih aja bandel! Mau kamu apa? Melawan orang tua? Jadi anak durhaka?” cecar wanita yang telah melahirkanku delapan tahun lalu itu. “Tapi, Bu. Nay cuma ke rumah Riska. Nay cuma ikut liat aja,” sahutku menunduk. Tubuh terlalu gemetar hanya untuk mengangkat wajah dan menatap Ibu. “Gak ada tapi-tapi! Kamu itu harus dengerin apa kata orang tua! Mau jadi apa masa depan kamu kalau ngelawan terus!” Sebuah cubitan sepedas gigitan semut api kembali singgah di lengan kananku. Meski sakit, aku bahkan tak berani mengusap sisa jejak cubitan itu. “Sudah belajar sana! Sebentar lagi ulangan kenaikan kelas, kerjanya main aja terus! Coba lihat kakak kamu, dia rajin belajar makanya bisa juara satu tiap semester. Di mana-mana anak orang mau nurut sama omongan ibunya, cuma kamu yang bandel!” Langkah Ibu yang berpaling menuju kamar meninggalkanku sendiri di depan pintu. Setelah memastikan Ibu benar-benar telah memasuki kamar, b
Mataku masih terasa berat karena tak bisa tidur dengan nyenyak. Pertengkaran Ayah dan Ibu membuatku hanya berani pura-pura tidur di balik selimut tanpa benar-benar terlelap. Hingga pagi pun suasana rumah terasa asing karena tak ada percakapan sedikit pun di antara mereka. Ibu mengurung diri di dalam kamar dan hanya ke luar saat hendak mandi, sedang Ayah menyibukkan diri dengan menyelesaikan seluruh pekerjaan rumah.Saat aku menyalami tangan Ibu untuk berpamitan pergi ke sekolah pun, ucapanku hanya dijawab dengan dehaman serta uluran tangan yang terkesan terpaksa. Meski begitu, aku tak berani bertanya apalagi protes dengan sikap Ibu.Sesampainya di depan gerbang sekolah, aku segera turun dari sepeda motor Ayah. “Nay sekolah dulu, Yah.”“Kalau pulang nanti Ayah belum datang, tunggu aja. Jangan ke mana-mana, jangan pulang jalan kaki,” pesan Ayah yang bahkan tak melihat lagi pada anggukanku karena telah memutar sepeda motornya dan beranjak me
"Ah, Nay. Aku tidak memaksa kalau kamu tidak ingin menceritakannya." Je kembali menambahkan setelah menyadari jeda diamku yang cukup lama.Sejenak, aku menghela napas kasar. Menutupinya pun, Je telah terlalu banyak melihat sisi burukku.Tampak Je telah kembali fokus dengan jalanan di depan.Aku menunduk, menautkan jari jemari, sesekali melepas dan menggenggami kedua jempol bergantian. "Overdosis alkohol ... aku pindah karena dikeluarkan dari sekolah sebelumnya," ungkapku.Je menoleh. Raut wajahnya tak banyak berubah. Sepertinya, dia memang pandai mengaturnya untuk menghargaiku meski pun sebenarnya hal itu tak perlu dilakukan."Itu juga pertama kalinya. Aku masih ingat jelas teman-teman yang lain berada di sekelilingku, dengan penasaran terus menyuruhku minum. Ternyata, senyum puji mereka palsu. Yang benar-benar jujur, hanya tatap kecewa yang Kak Anoy layangkan waktu itu." Kembali mengenang hal itu, rasanya ada sesuatu yang menjerat dada hingga terasa berat dan sesak.Tanpa ragu, Je me
Setelah merasa berlari cukup jauh, kuhentikan langkah dan bersandar pada tembok tinggi yang sepertinya adalah pagar dari bangunan di sebelah. Gang ini sepi, sejak pertama memasuki, hampir tak terlihat rumah satu pun selain bangunan-bangunan berpagar tinggi di sisi kanan dan kirinya. Rerumputan di pinggiran pun membuat gang ini seolah semakin sempit.Perlahan, tubuhku merosot hingga berjongkok. Wajah yang menunduk, kubenamkan pada kedua lutut yang juga berada dalam lingkar peluk.Sebenarnya, apa yang sedang terjadi padaku? Apakah aku benar-benar sudah gila hingga berhalusinasi seperti itu? Aku pun sama sekali tak bisa mempercayai bahwa ini mimpi terpanjang sekali pun. Rasa sakit, seluruh apa-apa yang kualami benar-benarlah nyata, tetapi ….Derap langkah yang terdengar semakin mendekat disusul tepukan pelan pada pundak. Aku terkesiap mengangkat wajah, sesosok pria bertopi yang masih memakai tas pinggang tampak perlahan berjongkok di hadapan. Saat pandangan
Aku tak mengerti kenapa pria itu begitu mendesak untuk pulang. Setelah bersiap dan memberi kabar pada Kak Amran agar diberitahukan pada Bu Dama, dia segera melajukan mobil yang kami naiki. Selain pakaian ganti dan beberapa keperluan lain, dia juga membelikanku sarapan tak lupa cemilan.Ternyata, dia masih tak sedikit pun alpa dalam memperhatikanku. Banyak tanya terbesit yang terpaksa kutepis saja. Apa pun itu caranya, bagaimanapun, aku hanya sedang merasa kembali bahagia. Dan, jika lagi-lagi pertemuan kami hanya sementara, bagaimana bisa aku mengakhirinya dengan penyesalan karena tak berani menyatakan perasaan? Aku yang telah kotor dan hina, apa pantas bersama pria tak bersalah sepertinya?Sosok itu tampak hanya terus diam dalam fokusnya menyetir. Aku sendiri, hanya berani mencuri pandang tanpa berani mengganggu apalagi mengajak sedikit bicara. Hanya suara musik yang diputar dalam volume rendah yang menemani perjalanan panjang kami.“Jangan biasakan menggi
“Nay! Dengarkan aku!” Suara panggilan itu terdengar di antara dengungan-dengungan keras yang memenuhi telinga.Aku masih memegangi dada yang terasa sesak, degup yang sangat kencang di dalam menimbulkan rasa sakit. Seluruh otot terus terasa menegang hingga pada beberapa titik aku mulai merasa seolah mati rasa. Keringat semakin membasahi.Uluran tangan itu memberikan bantal, kemudian mengalihkan kedua tanganku sendiri untuk memeluknya. Aku meremas keras bagian ujung-ujung bantal, berusaha mengalihkan perasaan-perasaan sakit yang seperti menerjang seluruh tubuh.“Tarik napas, lalu keluarkan pelan-pelan,” instruksinya yang kemudian diiring hitungan berulang. Kuikuti apa yang bisa kudengar, hingga satu per satu rasa sesak itu seperti diurai.“Aku sangat mengerti keadaan kamu sekarang, Nay. Kamu gak sendirian,” ucapnya yang terasa seperti tetes-tetes air menghujani, mendinginkan, dan sangat menenangkan.Aku yang mulai
Satu hari lagi telah terlewati, dengan kuanggap cukup baik. Mesin yang masih belum selesai diperbaiki, menandakan besok pun aku masih harus bertemu dengan Kak Amran. Je yang menjemputku sebelum toko benar-benar tutup pun, terlihat kurang menyukai keberadaan pria itu. Dia hanya menyapa seperlunya, dan segera mengajakku pergi.“Dia orang baru, Nay? Tapi Bu Dama gak kasih tau kalau bakal nyari orang lagi,” tanya Je beberapa saat setelah sepeda motor melaju meninggalkan toko.“Bukan. Ada mesin yang bermasalah, jadi dia itu teknisi yang datang buat service aja,” sahutku.Je hanya berdeham, kemudian menambah kecepatan hingga kami lebih cepat meninggalkan perkampungan. Kurapatkan sweater yang menjadi salah satu dari isi tote bag pemberian Je. Saat sepeda motor dibelokkan ke arah jembatan yang menghubungkan antar kota pun, aku hanya berpiikir bahwa Je akan mengajak makan malam seperti biasa. Namun, dugaanku salah karena dia malah berhenti pada se
Aku menghitung satu per satu jumlah lembaran dari setiap berkas, lalu menuliskan di kertas kecil dan turut menyelipkannya saat menjepit agar mudah mentotalkan harganya. Kak Amran yang sibuk membongkar bagian-bagian mesin, tapi tak jarang dia melirik ke arahku lalu tertawa kecil. Aku berusaha tetap mengabaikan dengan menganggapnya tak ada.“Kamu gak cape ngitung, Nay?” tanyanya meski tangan terus berkutat memegang obeng.“Mau cape juga, ya, gimana lagi,” jawabku sekenanya.Kak Amran kembali fokus pada pekerjaannya. Belum aku selesai menghitung, seorang bapak berperut buncit yang tampak sudah cukup berumur memanggil dan meletakkan sebuah plastik besar
Je menghentikan sepeda motornya di depan toko. “Kamu yakin bisa kerja, Nay? Mata kamu masih bengkak, wajah kamu juga keliatan pucat,” tanyanya khawatir setelah aku turun. Tak lupa dia memberikan makanan yang sebelumnya dibeli untuk sarapanku.“Kamu terlalu berlebihan mengkhawatirkanku. Sudah, pergi sana. Makasih!” usirku setelah memegangi kantong plastik. Pagi ini, aku sengaja hanya meminta nasi bungkus agar Je tak memilih apalagi membelikan sesuatu yang mahal.“Kunci toko mana? Biar aku yang bukain!” tagihnya.“Aku mau belajar sendiri!” tolakku yang tak ingin lebih ketergantungan padanya.“Kenapa? Itu berat, memangnya kuat?”“Je, biarin aku belajar sendiri. Aku … pasti bakal minta bantu kalau kesulitan nanti.” Aku memohon dengan tegas.Sejak kejadian tadi malam, tak ada sedikit pun yang berubah dari sikap Je terhadapku. Sepertinya, hanya aku yang merasa malu seka
“A-ada apa, Je?” tanyaku tak bisa menyembunyikan getar pada suara yang keluar.Je menuntunku untuk turun dan berdiri menghadapku. Tangannya menggenggam kedua tanganku dengan erat. “Nay, apa pun yang terjadi, jangan takut. Kamu gak sendiri,” ucapnya tanpa bisa kumengerti untuk apa, dan juga kenapa.Tak lama berselang, sepeda motor lain berhenti menghampiri kami. Je melepaskan genggaman tangannya dan berdiri membelakangiku untuk menghadap orang itu.“Lama tidak bertemu di luar rumah, ya, Nay. Akhir-akhir ini, kita hanya menghabiskan waktu di kamar tanpa bisa banyak bicara,” sapa pemilik sepeda motor yang lebih tepatnya tengah menghinaku itu.“Apalagi yang kamu inginkan? Berhenti mengganggu Nayla!” potong Je.“Kamu benar-benar akan mengakhiri hubungan kita seperti ini, Nay? Aku sama Aulia sudah memutuskan buat cerai, jadi gak akan ada yang menghalangi atau perlu kamu takuti lagi sekarang,” bu
Kuteruskan langkah menuju rumah belakang tanpa berniat memedulikan sosok itu. Aku yang menunduk, hanya bisa merasakan keberadaan Je serta melihat sepasang kaki kami yang beriringan melangkah. Begitu menaiki pelatar rumah belakang, tergesa kuketuk pintu tempat Kak Aulia tinggal. Tak lama, wanita itu membukakan, sedikit terkejut saat melihatku dan segera menyambut masuk.“Malam banget, Nay. Dari mana aja?” tanya Kak Aulia.“Aku udah dapat kerjaan, Kak. Kost juga, semua karena bantuan Je,” sahutku menjelaskan.Serta merta Kak Aulia mengucap syukur dengan senyum penuh yang mengembang sempurna di bibirnya.“A-aku udah mulai kerja, trus juga dua atau tiga hari lagi pindah ke kost, Kak. Malam ini, aku juga bakal nginep di rumah temen. Dia temen paling akrab aku di sekolah, mau pindah ke kota lain juga. Apa aku boleh habisin waktu sama dia dulu, Kak?” jelasku sebelum meminta izin dengan teramat hati-hati.Tampak Kak Auli