(Bab ini mengandung adegan kekerasan yang dikhawatirkan akan menimbulkan trauma. Harap bijak saat memutuskan ingin membaca. Terima kasih)
Aku mengerjap-ngerjapkan mata yang baru terbuka. Berusaha mengumpulkan kembali kesadaran. Denyut menjalari kepala yang terasa berat.
Sebuah langit-langit bangunan yang tampak membuatku terkesiap dan segera bangkit. Terlebih saat duduk, angin yang leluasa menerpa langsung pada kulit menyadarkanku kalau pakaian tak lagi terpasang utuh. Selain pada punggung dan pinggang, nyeri juga terasa pada area kewanitaanku.
Tergesa aku memakai kembali pakaian dan berdiri. Terpaksa berpegangan pada tembok karena lutut yang benar-benar lemas tak bertenaga.
Apa aku tertidur? Sejak kapan? Berapa lama? Bagaimana bisa? Apa yang terjadi padaku? Di mana Kak Ijul? Pertanyaan-pertanyaan yang berkecamuk itu semakin membuatku merasa gelisah bercampur sesal. Lagi-lagi, aku membiarkan hal itu terulang meski telah berniat ingin mengakhirinya.
Begitu selesai makan malam, Kak Yuni memerintahkan Nisa untuk segera tidur. Namun, sebaliknya malah memintaku untuk menunggu sebentar dengan alasan ada yang ingin dibicarakan. Aku hanya menurut dan memilih membaca buku sambil menanti Nisa benar-benar terlelap.Menjelang pukul sembilan, barulah Kak Yuni mendatangi aku yang menunggu di kamar. Keseriusan yang tercermin pada raut wajahnya membuatku merasa sedikit gugup dan mulai menebak-nebak.‘Apa ada yang mengetahui tentangku dan Kak Ijul tadi siang lalu melaporkannya?’ Hanya satu hal itu yang terus berulang kali kupertanyakan.“Ujian sudah di depan mata, Nay. Apa kamu sudah belajar dengan serius?” tanyanya yang duduk di sebelahku.“Selama sekolah, kan, aku tiap pulang selalu mengulang pelajaran. Malamnya juga sebelum menyiapkan buku buat dibawa, aku baca-baca dulu. Jadi, aku bisa cuma mengulang membaca aja, Kak,” sahutku agar Kak Yuni tak perlu terlalu mengkhawatirka
Subuh, Kak Yuni sudah membangunkanku terlebih dahulu agar bisa membaca ulang pelajaran sebelum mandi dan berangkat ke sekolah. Selama aku belajar, Kak Yuni tampak sibuk mengerjakan beberapa pekerjaan rumah sendirian. Aku baru mandi setelah menyelesaikan kembali satu buku, tepat saat Kak Yuni mulai menggosok seragam sekolah.Selesai mandi, seperti biasa aku harus sarapan terlebih dahulu baru memakai seragam. Dibanding sekadar kakak sepupu, Kak Yuni terlihat lebih pantas dipanggil Ibu dari bagaimana caranya memperlakukan dan memperhatikanku.“Gak ada yang ketinggalan lagi, kan, Nay? Nanti jam istirahat, isi perut dulu baru kalau mau belajar lagi,” tanya Kak Yuni yang sekaligus memberi pesan saat aku memasang jilbab sekolah.“Aman semuanya. Siap, Kak!” sahutku yang melangkah mengambil tas.Rasanya, aku masih tak percaya akan menghadapi hari ini. Meski sudah merasa yakin telah belajar dengan benar, aku masih saja gugup ketika mengingat
[Gimana ujian hari ini, Nay?] Sebenarnya aku sempat berharap kalau pesan yang masuk itu dari Ayah, tapi pada bar notifikasi sudah sangat jelas nama Kak Makmur tertera di sana.Kuhela napas panjang sebelum membalas dan mengabarkan bahwa semua berjalan dengan lancar.Beberapa kali bertukar pesan, aku semakin merasakan perhatian cukup besar dari setiap pertanyaan yang Kak Makmur kirimkan.Kak Yuni yang tiba-tiba memasuki kamar membuatku segera meletakkan kembali ponsel tanpa membalas pesan terakhir Kak Makmur. Tampak wanita yang duduk di depan meja rias itu malah menghadap ke arahku.“Nay, apa kamu dekat dengan Ijul akhir-akhir ini?” tanya Kak Yuni dengan tegas.Aku terdiam menunduk, rasa dingin mulai menyapa kedua kaki yang menjuntai. Sesekali, aku menggerakkan kaki hanya untuk mengusir gelisah.“Kakak dengar Ijul ada masuk ke rumah padahal kamu sedang sendirian. Selain itu, kamu juga sering berduaan Makmur malam-malam di pel
Selama ujian berlangsung, aku yang hanya mengurung diri di rumah ditambah lagi Kak Yuni selalu mengawasi, membuat Kak Ijul tak bisa sedikit pun mengganggu. Hal itu sedikit melegakan, dan aku berhasil menyelesaikan ujian dengan lancar serta cukup baik.Aku yang duduk di pelatar sedikit terkejut saat melihat Kak Aulia sekeluarga berpakaian rapi bahkan membawa tas cukup besar. “Mau ke mana, Kak?” sapaku padanya.“Anak-anak udah pada kangen sama neneknya, Nay. Jadi minta dianterin dulu ke sana,” sahut Kak Aulia.Aku hanya mengangguk, kemudian mengamati bagaimana Kak Aulia membawa dua anaknya bersamaan tas besar, sedang Kak Makmur membonceng ketiga anak mereka yang lain. Usai melambai, sepeda motor yang mereka kendarai mulai melaju meninggalkan halaman dengan kecepatan sedang.Kutengadahkan wajah, sesekali menggerakkan kaki yang menjuntai. Siang ini, cuacanya cukup cerah walau tak terlalu panas. Desir angin yang mengenai membuat beberap
Mungkin, sedikit keberuntungan masih berpihak padaku. Dengan beralasan baru selesai mandi dan belum memakai apa-apa, aku berhasil meyakinkan Kak Yuni menunggu di depan agar Kak Ijul bisa keluar tanpa ketahuan.Namun, aku yang tak bisa memuntahkan kembali obat itu pada akhirnya tetap mendapatkan efek. Tak hanya butiran dan warna, sensasi yang ditimbulkan pun sedikit berbeda sekarang. Di samping rasa pusing serta mual, kepala dipenuhi fantasi-fantasi liar.[Kak, tolong ….] Gemetaran aku memaksakan jari mengetik pesan untuk Kak Makmur. Walau tak sepenuhnya menulis dengan benar, aku berharap dia masih bisa memahami.“Nay, waktunya makan malam,” panggil Kak Yuni dari depan pintu kamar. Aku yang terkesiap tergesa melepaskan ponsel dari genggaman.Aku berbalik menatapnya, kemudian menggeleng sebagai jawaban. Selain tak adanya keinginan menyentuh atau menelan makanan apa pun, perut terasa seperti dililit dengan keras. Aku meringkuk memegangi pe
“Sudah bangun, Nay?” tanya Kak Yuni tepat saat aku baru membuka mata.Aku mengerjap-ngerjap sesaat, mengumpulkan kesadaran baru kemudian memindai sekitar. Tampak wanita yang baru menyapaku itu tengah membuka tirai dan jendela kamar.“Sejak kapan kamu punya maag sampai parah begitu, Nay? Mulai hari ini, kamu harus makan yang teratur! Tiap ngerasa lapar jangan ditunda-tunda lagi. Kalau masih gak enak badan, gosok gigi cuci muka sama ganti baju aja, trus makan,” pesannya panjang lebar.Aku bangkit dari berbaring, hanya mengangguk tepat saat Kak Yuni berpaling menatap.Setelah Kak Yuni meninggalkan kamar, barulah aku berani mengangkat bantal untuk mengambil obat yang tadi malam disembunyikan. Kak Makmur dan Kak Aulia sepertinya benar-benar tak menceritakan apa-apa selain mengatakan aku yang sakit maag saja. Dan, sesuai saran mereka pula obat yang dibelikan Kak Yuni terpaksa kusembunyikan karena memang tak diperlukan.Meski masih
Cukup mengejutkan ketika melihat Husin yang tiba-tiba datang, terlebih dia tampak berpakaian lebih rapi dengan ditambah sedikit wewangian. Setiap tak sengaja bersitatap dengannya, ingatan tentang ciuman itu selalu berhasil membuat pipiku terasa memanas.“Aku boleh ajak Nayla jalan-jalan?”Mendengar pertanyaan itu, aku segera menoleh ke arah Kak Yuni. Membulatkan kedua mata berusaha menyampaikan isyarat padanya agar permintaan itu ditolak saja. Tampak wanita yang tak pernah mengenakan daster sekali pun itu sedang berpikir setelah menarik simpul senyum misterius di sudut bibirnya.Hingga jawaban yang diberikannya itu membuat Husin semringah, tapi tidak denganku yang hanya bisa mengempaskan napas kasar. Jika Kak Yuni saja mengizinkan, lalu bagaimana aku harus menolaknya?“T-Tapi Kak Yuni minta aku buat fokus belajar dulu, kan?” kelitku.“Cuma satu kali! Kakak juga pernah muda, Nay,” goda Kak Yuni yang tiba-tiba bang
Setelah mengajak makan, tak lupa membelikan apa yang diminta Kak Yuni, Husin membawaku pergi ke pantai yang cukup jauh dari perbatasan kota. Suasana semakin sunyi seiring pendar jingga yang menghitam. Kami duduk bersisian pada pasir, menatap sisa-sisa senja yang tenggelam pada pantulan air laut di bawahnya.Cukup mengejutkan karena ternyata kesempatan ini bertepatan bulan yang sedang purnama. Bintang-bintang bertaburan di langit, bulan yang sempurna dikelilingi cahaya terang yang terasa menenangkan. Beberapa saat, hanya ada suara air laut yang menghantam pinggiran pantai.Diamku terusik oleh tangan Husni yang lagi-lagi menggenggam tanpa izin.“Kalau alasan kamu menolakku karena sedang fokus ujian, aku bakal nunggu kamu sampai lulus nanti, Nay,” ungkapnya dengan nada penuh pengharapan.“Maaf, Sin. Tapi aku bener-bener gak kepikiran buat menjalin hubungan istimewa dengan siapa pun, kapan pun itu.” Kutolak dengan hati-hati. Tak hanya