“Kamu bikin masalah apa di sekolah?” Ibu melemparkan surat panggilan yang sudah diremas hingga tepat mengenai wajahku.
“Nay gak ngapa-ngapain, Bu. Nay juga gak tau,” sahutku hampir-hampir tak bisa mengeluarkan suara dengan benar.
“Nanti Ayah yang pergi ke sekolah. Kecil-kecil udah bikin malu, gimana besar nanti? Nyusahin aja.” Ibu berpaling dan melangkah menuju kamar.
Meski berat, kulangkahkan kaki turut ke kamar Kak Nila untuk mengambil seragam. Sudah sejak kemarin aku berusaha mengumpulkan keberanian untuk memberikan amplop itu pada Ibu, tapi tetap saja aku begitu gemetar saat menyerahkannya.
Kak Nila yang telah selesai mandi membuatku bergegas menuju kamar mandi untuk berganti pakaian. Rasanya ingin cepat-cepat pergi ke sekolah karena aku benar-benar takut dengan kemarahan Ibu jika berlama-lama di rumah.
Tak perlu waktu lama, kurang dari lima menit aku telah memakai seragam rapi, segera mengambil tas dan bersa
Kaki terasa begitu berat untuk berjalan. Sejak keluar dari ruang bimbingan konseling, waktu malah berlalu sangat cepat. Aku tak bisa berkonsentrasi selama belajar. Semakin sering melirik ke arah jam, tetap saja tak ada yang berubah dan sekarang bel pulang sudah berbunyi saja.Di seberang jalan, Ayah yang selalu menjemputku telah menunggu. Jika murid-murid lain bersemangat pulang dan berhamburan keluar gerbang dengan berlarian, aku malah ingin melangkah sepelan mungkin.Aku takut pulang. Aku takut kembali ke rumah. Ayah dan Ibu pasti akan marah besar.Benar saja, sepanjang jalan Ayah hanya diam tanpa mengucapkan apa pun. Padahal biasanya paling tidak Ayah akan mengajak sedikit bercanda.Sepeda motor yang dikendarai Ayah akhirnya berhenti di halaman. Setelah turun, kulangkahkan kaki menuju rumah dengan kepala menunduk. Pandangan hanya berani kuarahkan pada gerak kaki. Di dalam hati, aku menghitung langkahku sendiri.Baru selangkah aku memasuki pintu
Aku hanya berkata pada Bu Wati kalau Ibu seringkali sibuk hingga tak mendengarkanku saat bercerita. Tapi, Ibu marah besar dan terus menuduhku kalau terus mengatai Ibu dan Ayah jahat.Jika tak mendengarkan orang lain saat bercerita artinya telah berbuat jahat, kenapa tak ada satu pun yang mau mendengarkanku? Kenapa aku hanya dimarahi saat menyampaikan sesuatu?Pertanyaan demi pertanyaan itu terus mengusikku sejak kemarin. Kalau tak ada yang mendengarkan, ke mana aku harus bertanya?Sepeda motor yang dikendarai Ayah lagi-lagi telah sampai ke sekolah.“Kalau ketahuan uang jajannya buat teman lagi besok gak Ayah kasih uang. Pulang sekolah nanti Ayah tanyain ke temen-temen sama guru!” ancam Ayah setelah aku turun dan ingin menyalami.Aku hanya mengangguk menatap sepeda motor itu telah berpaling dan meninggalkan dengan kecepatan sedang.Kuempaskan napas panjang. Tak hanya Ayah, Ibu bahkan mengancam tak boleh makan siang di rumah kalau
Tahun-tahun berlalu dengan hal-hal yang selalu sama. Semua terasa datar, biasa saja, dan tak ada yang istimewa. Sejak hari itu, Hani berubah. Aku tak pernah tahu alasannya menjauh, aku juga tak pernah berani menanyakannya. Kami hanya bertegur sapa seperlunya lalu seperti tak pernah dekat. Aku duduk memandangi rapor kenaikan ke kelas enam yang baru saja dibagikan. Setelah selama ini hanya berhasil mendapat juara dua, akhirnya aku bisa duduk pada juara pertama. Rasanya tak sabar ingin menunjukkan pada Ibu dan Ayah agar mereka tak hanya menyebut dan membanggakan Kak Nila. Satu per satu murid lain mulai meninggalkan sekolah. Dari yang dijemput hingga berjalan kaki bersama. Sedang aku, Ayah pasti akan marah kalau mengetahui pulang jalan kaki. Ayah bilang pasti akan menjemput, jadi walau lama aku harus tetap menunggu saja. Hingga sekolah benar-benar sepi dan hanya aku yang tertinggal sendiri, Ayah masih saja belum datang. Rasa basah yang tiba-tiba dari dala
“Nay, buka pintunya!” Suara milik Kak Nila.Lekas aku menyeka air mata dan berdiri meski nyeri masih meliputi. Namun, baru saja pintu toilet terbuka tampak jelas raut wajah Kak Nila yang sedang marah.“Kenapa sih nangis pake teriak-teriak segala? Kamu bikin malu aja. PMS doang, gak sakit, kan? Dasar lebay!” omelnya sambil menyodorkan kantong plastik hitam.“T-tapiii ….” Belum tuntas aku mengucapkan satu kata, Kak Nila sudah menutup kembali pintu toilet.“Itu pembalutnya udah dipasangin Ibu di celana dalam kamu. Jadi gak usah dimacam-macamin. Buruan. Kalau kelamaan kutinggalin biar kamu pulang sendirian,” titahnya lagi dari luar meski dengan suara yang kali ini lebih pelan.Dengan terpaksa aku hanya menurut. Mengganti rok serta celana dengan yang telah dibawakan Kak Nila, kemudian membungkus yang kotor ke dalam kantong plastik. Selesai itu, aku mencuci muka terlebih dahulu sebelum membuka
“Wah, udah perawan aja ini bocah yang dulu kerjaannya minta diajakin jajan!” Kak Rahmad memasuki kamarku tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Aku yang terkejut segera duduk, pandangan tak lepas dari gerak pria yang terakhir kali berbicara denganku saat masih kelas empat SD dulu. Setelah dia pergi untuk bekerja, kabar terakhir yang kudengar adalah Kak Rahmad yang masuk penjara karena ketahuan membawa sabu di dalam kantong celananya. Sudah berlalu tiga tahun aku memilih tak banyak bicara dengan laki-laki lain selain Ayah, paman, guru serta teman di sekolah. Itu pun aku hanya selalu memilih menjawab seperlunya setiap ditanya. Kejadian saat kenaikan kelas enam lalu masih begitu jelas membekas. Meninggalkan luka yang menjelma kosong di dada saat aku mengerti bahwa hal itu adalah sebuah pelecehan. Meninggalnya nenek dari pihak Ayah menyisakan warisan yang akhirnya dibagi rata, dan untuk memanfaatkan uang yang didapat aku meminta untuk dibuatkan kamar ini. Kamar ya
Kak Rahmad mengajakku singgah pada salah satu taman kecil di Kota Banjarbaru. Taman ini cukup sepi karena berada di tengah-tengah komplek, juga dikelilingi pohon-pohon besar sehingga begitu rindang. Di sisi taman, ada musala kecil yang tersedia. Aku meminta izin untuk turun dan mengelilingi taman sebentar, sementara Kak Rahmad tetap di sepeda motornya. Sesekali, aku mencuri pandang pada pria yang tampak sibuk menyampurkan minuman yang sebelumnya dia sebut alkohol dengan minuman lain ke dalam botol bekas air mineral. Embusan angin malam yang dingin turut mengantarkan aroma aneh pada penciuman saat aku kembali mendekati Kak Rahmad. “Jangan bilang Ayah sama Ibu, ya? Nanti aku gak dikasih izin buat ajak kamu jalan-jalan lagi.” Kak Rahmad mengedipkan matanya sambil tersenyum. Tangan kirinya sibuk mengocok minuman dalam botol yang telah dilapisi plastik hitam. Aku mengacungkan jempol ke arahnya, tak lupa balas tersenyum sambil mengangguk mantap. Set
Tubuh lain yang menabrak dari depan membuatku setengah terpaksa mengangkat kepala. Pandangan yang sebelumnya hanya tertuju pada pijakan kaki, kini bertemu dengan sepasang mata lain. Sejenak aku terenyak saat menatap mata hazel yang juga terpaku dalam diam.“Maaf. Harusnya aku lebih berhati-hati saat berjalan,” ungkapku yang segera tersadar. Tanpa berniat menunggu jawabannya, aku memilih kembali menunduk dan meneruskan langkah.Namun, gerakku terhenti tepat di sisi kirinya karena tangan yang tanpa izin dicengkeram.“Jangan pergi,” bisiknya pelan, tapi cukup jelas dalam pendengaranku.Saat aku berusaha melepaskan, pegangannya malah semakin erat. Saling bersentuhan langsung dengan pria yang tak dikenal membuat jantungku kembali berdegup kencang. Kedua lutut dikuasai gemetar hebat, diiringi keringat dingin yang terasa bermunculan. Kepala mendadak terasa pusing hingga penglihatanku terhadap sekitar mulai buram.Aku yang hilang ke
“Dari mana aja? Ditelepon gak diangkat, dikirim pesan gak balas. Apa gunanya punya HP kalau gak ngabarin orang tua?” omel Ayah yang berdiri berkacak pinggang di ujung pelatar.Ibu sendiri lekas menghampiri Ayah, sedikit berjinjit kemudian tampak berbisik. Terdengar empasan napas panjang dari pria yang menurunkan kembali tangan kemudian berbalik melangkah menuju pintu rumah itu. Setelahnya, Ibu yang masih di pelatar tampak membungkuk diiringi anggukan ramah pada sosok laki-laki yang mengantarkan Kak Nila.Aku yang mengintip melalui sela papan pada dinding kamar bisa melihat jelas laki-laki itu berbicara sesuatu kemudian berpaling menaiki sepeda motornya. Kak Nila sendiri mendorong sepeda motor milik Ayah yang beberapa jam lalu dipinjam untuk pergi mengerjakan tugas kuliah hingga berhenti tepat di pelatar, beberapa centi dari depan jendela rumah.Langkah cepat Kak Nila yang memasuki rumah disusul Ibu membuatku tak bisa melihat siapa-siapa lagi di luar.
"Ah, Nay. Aku tidak memaksa kalau kamu tidak ingin menceritakannya." Je kembali menambahkan setelah menyadari jeda diamku yang cukup lama.Sejenak, aku menghela napas kasar. Menutupinya pun, Je telah terlalu banyak melihat sisi burukku.Tampak Je telah kembali fokus dengan jalanan di depan.Aku menunduk, menautkan jari jemari, sesekali melepas dan menggenggami kedua jempol bergantian. "Overdosis alkohol ... aku pindah karena dikeluarkan dari sekolah sebelumnya," ungkapku.Je menoleh. Raut wajahnya tak banyak berubah. Sepertinya, dia memang pandai mengaturnya untuk menghargaiku meski pun sebenarnya hal itu tak perlu dilakukan."Itu juga pertama kalinya. Aku masih ingat jelas teman-teman yang lain berada di sekelilingku, dengan penasaran terus menyuruhku minum. Ternyata, senyum puji mereka palsu. Yang benar-benar jujur, hanya tatap kecewa yang Kak Anoy layangkan waktu itu." Kembali mengenang hal itu, rasanya ada sesuatu yang menjerat dada hingga terasa berat dan sesak.Tanpa ragu, Je me
Setelah merasa berlari cukup jauh, kuhentikan langkah dan bersandar pada tembok tinggi yang sepertinya adalah pagar dari bangunan di sebelah. Gang ini sepi, sejak pertama memasuki, hampir tak terlihat rumah satu pun selain bangunan-bangunan berpagar tinggi di sisi kanan dan kirinya. Rerumputan di pinggiran pun membuat gang ini seolah semakin sempit.Perlahan, tubuhku merosot hingga berjongkok. Wajah yang menunduk, kubenamkan pada kedua lutut yang juga berada dalam lingkar peluk.Sebenarnya, apa yang sedang terjadi padaku? Apakah aku benar-benar sudah gila hingga berhalusinasi seperti itu? Aku pun sama sekali tak bisa mempercayai bahwa ini mimpi terpanjang sekali pun. Rasa sakit, seluruh apa-apa yang kualami benar-benarlah nyata, tetapi ….Derap langkah yang terdengar semakin mendekat disusul tepukan pelan pada pundak. Aku terkesiap mengangkat wajah, sesosok pria bertopi yang masih memakai tas pinggang tampak perlahan berjongkok di hadapan. Saat pandangan
Aku tak mengerti kenapa pria itu begitu mendesak untuk pulang. Setelah bersiap dan memberi kabar pada Kak Amran agar diberitahukan pada Bu Dama, dia segera melajukan mobil yang kami naiki. Selain pakaian ganti dan beberapa keperluan lain, dia juga membelikanku sarapan tak lupa cemilan.Ternyata, dia masih tak sedikit pun alpa dalam memperhatikanku. Banyak tanya terbesit yang terpaksa kutepis saja. Apa pun itu caranya, bagaimanapun, aku hanya sedang merasa kembali bahagia. Dan, jika lagi-lagi pertemuan kami hanya sementara, bagaimana bisa aku mengakhirinya dengan penyesalan karena tak berani menyatakan perasaan? Aku yang telah kotor dan hina, apa pantas bersama pria tak bersalah sepertinya?Sosok itu tampak hanya terus diam dalam fokusnya menyetir. Aku sendiri, hanya berani mencuri pandang tanpa berani mengganggu apalagi mengajak sedikit bicara. Hanya suara musik yang diputar dalam volume rendah yang menemani perjalanan panjang kami.“Jangan biasakan menggi
“Nay! Dengarkan aku!” Suara panggilan itu terdengar di antara dengungan-dengungan keras yang memenuhi telinga.Aku masih memegangi dada yang terasa sesak, degup yang sangat kencang di dalam menimbulkan rasa sakit. Seluruh otot terus terasa menegang hingga pada beberapa titik aku mulai merasa seolah mati rasa. Keringat semakin membasahi.Uluran tangan itu memberikan bantal, kemudian mengalihkan kedua tanganku sendiri untuk memeluknya. Aku meremas keras bagian ujung-ujung bantal, berusaha mengalihkan perasaan-perasaan sakit yang seperti menerjang seluruh tubuh.“Tarik napas, lalu keluarkan pelan-pelan,” instruksinya yang kemudian diiring hitungan berulang. Kuikuti apa yang bisa kudengar, hingga satu per satu rasa sesak itu seperti diurai.“Aku sangat mengerti keadaan kamu sekarang, Nay. Kamu gak sendirian,” ucapnya yang terasa seperti tetes-tetes air menghujani, mendinginkan, dan sangat menenangkan.Aku yang mulai
Satu hari lagi telah terlewati, dengan kuanggap cukup baik. Mesin yang masih belum selesai diperbaiki, menandakan besok pun aku masih harus bertemu dengan Kak Amran. Je yang menjemputku sebelum toko benar-benar tutup pun, terlihat kurang menyukai keberadaan pria itu. Dia hanya menyapa seperlunya, dan segera mengajakku pergi.“Dia orang baru, Nay? Tapi Bu Dama gak kasih tau kalau bakal nyari orang lagi,” tanya Je beberapa saat setelah sepeda motor melaju meninggalkan toko.“Bukan. Ada mesin yang bermasalah, jadi dia itu teknisi yang datang buat service aja,” sahutku.Je hanya berdeham, kemudian menambah kecepatan hingga kami lebih cepat meninggalkan perkampungan. Kurapatkan sweater yang menjadi salah satu dari isi tote bag pemberian Je. Saat sepeda motor dibelokkan ke arah jembatan yang menghubungkan antar kota pun, aku hanya berpiikir bahwa Je akan mengajak makan malam seperti biasa. Namun, dugaanku salah karena dia malah berhenti pada se
Aku menghitung satu per satu jumlah lembaran dari setiap berkas, lalu menuliskan di kertas kecil dan turut menyelipkannya saat menjepit agar mudah mentotalkan harganya. Kak Amran yang sibuk membongkar bagian-bagian mesin, tapi tak jarang dia melirik ke arahku lalu tertawa kecil. Aku berusaha tetap mengabaikan dengan menganggapnya tak ada.“Kamu gak cape ngitung, Nay?” tanyanya meski tangan terus berkutat memegang obeng.“Mau cape juga, ya, gimana lagi,” jawabku sekenanya.Kak Amran kembali fokus pada pekerjaannya. Belum aku selesai menghitung, seorang bapak berperut buncit yang tampak sudah cukup berumur memanggil dan meletakkan sebuah plastik besar
Je menghentikan sepeda motornya di depan toko. “Kamu yakin bisa kerja, Nay? Mata kamu masih bengkak, wajah kamu juga keliatan pucat,” tanyanya khawatir setelah aku turun. Tak lupa dia memberikan makanan yang sebelumnya dibeli untuk sarapanku.“Kamu terlalu berlebihan mengkhawatirkanku. Sudah, pergi sana. Makasih!” usirku setelah memegangi kantong plastik. Pagi ini, aku sengaja hanya meminta nasi bungkus agar Je tak memilih apalagi membelikan sesuatu yang mahal.“Kunci toko mana? Biar aku yang bukain!” tagihnya.“Aku mau belajar sendiri!” tolakku yang tak ingin lebih ketergantungan padanya.“Kenapa? Itu berat, memangnya kuat?”“Je, biarin aku belajar sendiri. Aku … pasti bakal minta bantu kalau kesulitan nanti.” Aku memohon dengan tegas.Sejak kejadian tadi malam, tak ada sedikit pun yang berubah dari sikap Je terhadapku. Sepertinya, hanya aku yang merasa malu seka
“A-ada apa, Je?” tanyaku tak bisa menyembunyikan getar pada suara yang keluar.Je menuntunku untuk turun dan berdiri menghadapku. Tangannya menggenggam kedua tanganku dengan erat. “Nay, apa pun yang terjadi, jangan takut. Kamu gak sendiri,” ucapnya tanpa bisa kumengerti untuk apa, dan juga kenapa.Tak lama berselang, sepeda motor lain berhenti menghampiri kami. Je melepaskan genggaman tangannya dan berdiri membelakangiku untuk menghadap orang itu.“Lama tidak bertemu di luar rumah, ya, Nay. Akhir-akhir ini, kita hanya menghabiskan waktu di kamar tanpa bisa banyak bicara,” sapa pemilik sepeda motor yang lebih tepatnya tengah menghinaku itu.“Apalagi yang kamu inginkan? Berhenti mengganggu Nayla!” potong Je.“Kamu benar-benar akan mengakhiri hubungan kita seperti ini, Nay? Aku sama Aulia sudah memutuskan buat cerai, jadi gak akan ada yang menghalangi atau perlu kamu takuti lagi sekarang,” bu
Kuteruskan langkah menuju rumah belakang tanpa berniat memedulikan sosok itu. Aku yang menunduk, hanya bisa merasakan keberadaan Je serta melihat sepasang kaki kami yang beriringan melangkah. Begitu menaiki pelatar rumah belakang, tergesa kuketuk pintu tempat Kak Aulia tinggal. Tak lama, wanita itu membukakan, sedikit terkejut saat melihatku dan segera menyambut masuk.“Malam banget, Nay. Dari mana aja?” tanya Kak Aulia.“Aku udah dapat kerjaan, Kak. Kost juga, semua karena bantuan Je,” sahutku menjelaskan.Serta merta Kak Aulia mengucap syukur dengan senyum penuh yang mengembang sempurna di bibirnya.“A-aku udah mulai kerja, trus juga dua atau tiga hari lagi pindah ke kost, Kak. Malam ini, aku juga bakal nginep di rumah temen. Dia temen paling akrab aku di sekolah, mau pindah ke kota lain juga. Apa aku boleh habisin waktu sama dia dulu, Kak?” jelasku sebelum meminta izin dengan teramat hati-hati.Tampak Kak Auli