“Hahh…! Hahh….!”
Ari berlari seperti orang kesetanan menjauhi penginapan tempat Raksha berada. Matanya tidak mungkin salah melihat. Walau tubuh pria yang dia lihat itu kini sudah semakin tegap dan kekar, dia tahu kalau pria itu adalah temannya semasa di kampung halamannya dulu. Dia yakin kalau pria itu adalah Raksha.
Ari terus berlari seraya menyingkirkan orang-orang yang tengah berseliweran di kota. Jantungnya masih berdegup kencang karena dia tahu kalau Raksha menyadari keberadaannya.
Baru saja Ari belok ke gang sepi, mendadak tubuhnya limbung. Dia merasakan ada yang mencengkeram pergelangan kaki kanannya tiba-tiba sehingga dia kehilangan keseimbangan lalu terjatuh. Dia kala itu tidak sadar kalau Asoka yang melakukannya dari balik bayangannya.
“Aduh!”
Ari terguling jatuh. Sebelum dia beranjak bangun, sosok Raksha sudah ada di hadapannya.
“H-hii…!” Ari reflek merangkak mundur karena t
“Yang Mulia, apa yang harus kita lakukan?”Pertanyaan Suja malah membuat Raksha semakin bingung. Langkah kaki prajurit Kanezka yang terdengar semakin ketara membuat dia tidak bisa fokus pada Ari.Sekilas Raksha memfokuskan dirinya. Bayangan tubuhnya menyeruak lebat menyelimuti Suja, Asoka, dan Ari bersamaan.“Sembunyi disini sementara. Jangan buat gaduh.” seru Raksha setelah bayangannya itu berhasil menelan masuk ketiganya.Beberapa detik setelah itu, prajurit Kanezka yang Raksha duga kini tiba. Prajurit itu menatapinya dengan raut wajah curiga dan bengis. Raksha memasang muka datarnya ketika prajurit itu menghampirinya.“Hei! Apa yang kau lakukan disini?!” seru prajurit itu kasar.“Saya tersesat, tuan. Saya baru di kota ini.” jawab Raksha datar.Prajurit itu masih tampak senewen. Dia mengamati Raksha dari ujung kepala hingga ujung kakinya. “Kau bukan orang asli sini ya…&rdq
“Yang Mulia, anda tidak apa-apa?”Kecemasan Gardapati baru saja menyadarkan Raksha dari rasa pusingnya. Raksha melihat sekitar, sosok pria yang ada di penglihatan batinnya hilang. Yang terlihat sekarang hanyalah sosok Ari yang masih tersungkur tidak sadarkan diri.Siapa pria itu?Apa dia adalah Pendekar Dunia Arwah yang Chandra peringatkan agar dia menjauh darinya?Apa pria itu juga yang menjadi incaran Lingga dan pasukan Kanezka di kota ini?Apa hubungannya dengan bekas luka bakar berbentuk segi sembilan yang ada di balik punggung tiap penduduk desa Raksha?Pertanyaan itu berseliweran tiada henti, tetapi Raksha tidak bisa menjawabnya. Dia memilih untuk meninggalkan pertanyaan itu lalu membawa Ari yang masih tidak sadarkan diri ke tabib terdekat.Raksha berjalan menyusuri kota, tidak peduli walau orang-orang menatapinya dengan rasa penasaran. Kebingungannya berhenti ketika salah satu dari penduduk kota memberitahu ada satu
“Mana tabibnya?!”Tiba-tiba pintu ruangan sang tabib terbanting. Dua orang prajurit Kanezka arogan itu baru saja masuk dengan wajah merah murka. Mereka berdua tengah merangkul seorang rekan mereka sesama prajurit yang masih belum sadarkan diri.Raksha ingat kalau prajurit Kanezka yang pingsan itu adalah prajurit yang diserang Ari saat dia kerasukan siluman.“Hei, bantu obati teman kami ini!” sentak prajurit Kanezka itu kasar. Salah satu dari mereka pun bergegas menuju ranjang terdekatnya lalu menyeret Ari kasar untuk memberikan tempat pada rekannya.Raksha buru-buru menangkap Ari sebelum jatuh ke lantai. Tatapannya yang tajam tertuju pada prajurit Kanezka yang kasar itu. “Hei, kami duluan!” sentaknya tidak sabar.Sang prajurit yang disentak langsung menatap keki. Raksha tahu kalau sang prajurit hendak menendanganya. Dia bisa menangkisnya, tapi itu berisiko melukai Ari. Pada akhirnya dia memilih menahan rasa sakit
‘Aku ingin berkunjung ke rumahmu dulu, Sena.’Kata-kata Raksha itu masih terngiang-ngiang di kepala Sena sampai-sampai dia sulit tidur. Dia bangun dengan mata berkantung lalu agak panik melihat penampilannya yang menampikkan wajah lelah. Berulang kali dia cuci muka lalu menatap wajahnya di cermin untuk memastikan parasnya masih segar.“Kenapa dia malah ingin ke rumahku?” gumam Sena dengan wajah memerah malu. Dia sudah meminta para pembantu dan pelayan untuk membersihkan rumah demi mempersiapkan kedatangan Raksha. Namun ayahnya malah mempertanyakan hal itu.“Ada acara apa? Sepertinya kamu sibuk, Sena. Apa ada yang mau melamarmu?”Sena menutup wajahnya yang merah padam. Entah usil atau tidak, tetapi pertanyaan ayahnya itu membuat suasana hatinya makin tidak karuan. Semoga saja dia berpikir terlalu berlebihan soal ini.Tapi bagaimana kalau Raksha serius?Tidak. Tidak bisa. Sena masih harus mengejar impiannya
“Cepat keluar sebelum kubakar kereta kuda ini, Yasa!”Perintah kasar Lingga memaksa Yasa keluar dari kereta kudanya. Awalnya Yasa ingin keluar sendiri dan meminta Raksha dan Sena tetap di kereta. Tetapi keduanya menolak.Yasa, Raksha, dan Sena keluar dengan perasaan berang. Kejengkelan mereka kian menjadi saat melihat raut wajah Lingga yang masam.“Komandan Lingga! Kau telah lancang karena-“Yasa mendadak berhenti ketika Lingga mengacungkan pedangnya tepat didepan hidung Yasa. Sena dan Raksha sudah bersiaga, tetapi puluhan prajurit Kanezka yang mengepung mereka mengancam untuk tidak melakukan perlawanan. Mengepungnya mengancam untuk tidak membela Yasa.“Berlagak bodoh kau sekarang! Kau pikir aku bodoh apa?! Kau telah melukai anak buahku!” sentak Lingga keras seraya menunjuk prajuritnya yang terhuyung lemas.Raksha sadar kalau prajurit yang tengah ditunjuk itu adalah prajurit yang sempat kehilangan kesadara
“Bocah tidak sopan! Kau berani mengacungkan pedang kepadaku?! Mana rasa hormatmu, bocah?!” Lingga menyentak keras sambil membuang pedangnya.Telapak tangan Lingga yang memancarkan cahaya perak Kanuragan Khsatriyans kala itu membuat kulit tangan dan lengan kanannya mengeras seperti baja. Dia langsung mencengkeram bilah pedang Raksha keras hingga pecah.Raksha tidak bergeming. Dia tetap berdiri tegak membentengi Sena dan Yasa dari Lingga.“Komandan Lingga, tolong hentikan semua keributan ini. Keluarga Suradarma tidak terlibat atas apapun yang anda tuduh.” tegas Raksha.Lingga menarik kasar rompi Raksha lalu menatapinya tajam. “Besar sekali kata-katamu, bocah! Kau tahu penghinaan macam apa yang telah kau lakukan, hah?! Kau sudah terlibat dalam semua pengkhianatan ini!”“Ya, biar saya saja yang disalahkan atas kekacauan ini. Saya tidak ada hubungannya dengan keluarga Suradarma. Saya hanya orang asing di kota in
“Ini pasti tahayul! Pendekar baru lulus macam apa yang bisa lolos dari jeratan rantai hakim para dewa?!”Lingga mengumpat dalam hatinya tidak berhenti. Para prajuritnya pun terheran-heran melihat kehebatan Raksha mematahkan rantai hakim para dewa itu. Mereka semua masih berusaha mencerna apa yang baru mereka lihat.“Bocah kurang ajar!” Lingga melontarkan tinjunya. Raksha sadar akan serangan Lingga, tetapi dia memilih untuk diam dan menahannya.Raksha terpelanting jatuh dengan sedikit lebam di pipinya. Rasa sakit ini masih bisa dia tahan karena dia sadar kalau tinju Lingga begitu lemah dan serampangan. Kemungkinan besar Lingga melakukan itu hanya untuk meluapkan emosinya.Lingga terlalu murka sampai-sampai dia tidak sadar kalau Raksha telah memerintahkan Gardapati, sang Siluman Srigala, untuk masuk menyusup ke dalam bayangannya. Bahkan pasukan Lingga pun tidak menampikkan sedikitpun rasa curiga karena masih tercengang dan terlalu fo
‘Jurus Penukar Jiwa!’Sepersekian detik setelah Raksha menyerukan itu, tubuhnya langsung berpindah tempat ke satu komplek perumahan yang terdiri rumah-rumah kayu sederhana. Langit malam menaungi dengan sinar bulan purnama penuh yang menerangi, tetapi Raksha tidak melihat satu pun batang hidung penduduk Desa Yada sejauh dia memandang.Komplek tempat Raksha sekarang berada letaknya kurang lebih 500 kaki dari daerah kota utama Rasagama. Komplek ini terdiri dari puluhan rumah kecil. Dilihat dari bahan kayu yang kasar yang menjadi pondasi utama tiap rumah yang ada di komplek itu, Raksha yakin kalau penduduk Desa Yada hanya diberikan lokasi berupa tanah kosong oleh Yasa untuk tinggal. Lokasinya sengaja agak jauh dari kota karena Yasa mengerti sebagian orang di Kota Rasagama masih memiliki prasangka buruk terhadap orang dari luar kotanya.Namun kali ini, situasi di komplek perumahan itu benar-benar sunyi. Hanya ada suara banyak orang batuk sekilas lalu kemb
“Ah, ini tidak adil!”Sena menendang kursi yang ada di ruang jeruji depannya. Emosinya yang masih meletup-letup memaksa dia untuk duduk di salah satu ranjang jeruji sambil memijat-mijat dahinya yang mendadak terasa pusing. Niatannya untuk segera istirahat di Padepokan Kanuragan Wiratama pupus sudah karena keluarga Mahadri memaksa Raksha dan Sena masuk ke dalam penjara karena masih diduga mencuri pusaka suci milik Keluarga Jagadita dan Keluarga Nismara.“Padahal baru saja kita bebas dari penjara Keluarga Jagadita, sekarang Keluarga Mahadri malah memenjarakan kita lagi?! Ada apa dengan kebebalan mereka?! Mereka bahkan bilang kalau kita bisa bebas kalau kita bisa mengembalikan pusaka suci Keluarga Jagadita dan Keluarga Nismara?! Apa mereka itu dungu?! Sudah kubilang berkali-kali kalau kita berdua ini bukan pencuri!” Sena masih meluapkan amarahnya sambil mengepal kedua tinjunya keras. Cahaya perak Kanuragan Khsatriyans sempat memancar terang untuk membentuk tombak perak yang akan dia guna
“Ah, akhirnya kita sampai, Raksha!”Sena buru-buru beranjak sambil menatap pelabuhan Kota Udayana yang semakin dekat dari perahunya. Dari terpaan angin kencang dan air yang tidak berombak, dia tahu kalau perahu yang tengah dia tumpangi itu akan membawa dirinya dan Raksha beberapa menit lagi.Raksha yang melihat ke arah yang sama awalnya menghela napas lega karena dia pun ingin istirahat sejenak. Namun kecurigaan tiba-tiba datang menyelimuti pikirannya ketika dia melihat seorang pria jangkung bertubuh gemuk yang mengenakan seragam katun berwarna ungu dengan rompi dan ikat pinggang berwarna kuning tengah duduk di ujung pelabuhan Udayana. Pria itu adalah Panji Mahadri, salah satu pendekar Dewi Pertiwi yang dulu pernah hampir membunuhnya karena kebenciannya terhadap pendekar Kanuragan Wiratama.Raksha semakin waspada ketika melihat ada dua pria paruh baya yang mengenakan pakaian seragam katun ungu yang sama seperti Panji tengah berdiri tegak di sebelah Panji. Kedua pria paruh baya itu ber
“Kami harus menghajar anda, Yang Mulia?”Asoka dan Gardapati masih kebingungan dengan perintah Raksha. Mereka berdua bahkan kaget ketika melihat Raksha memanggil Suja dari balik bayangannya.“Suja, kau pukul perutku. Asoka kau cabik punggungku. Gardapati kau gigit pundakku.” Perintah Raksha sembari menunjuk ke arah perut, punggung, dan pundaknya.“Apa Yang Mulia yakin dengan ini?” tanya Suja sama bingungnya.“Aku hanya ingin memastikan Sena percaya dengan ceritaku tadi. Cepat lakukan sebelum terlambat!” tegas Raksha sambil menyeru.Asoka dan Gardapati pun berhenti ragu. Asoka yang pertama kali melesat ke punggung Raksha lalu mencakar sebagian punggung Raksha dengan tinju cakarnya yang sengaja dia tidak buat terlalu mematikan agar tuannya bisa menahannya.Raksha bisa merasakan guratan yang tajam di sepanjang pinggangnya hingga darahnya sempat menyembur perlahan, tetapi dia masih bisa menahannya karena dia tahu Asoka menahan diri. Sepersekian detik setelah itu, Gardapati datang menerjan
“Semuanya! Ikuti aku!”Usai Sena menyimpan tongkat emasnya di balik punggungnya, dia pun langsung mengangkut Wanda yang masih tidak sadarkan diri. Seruannya yang keras membuat perhatian puluhan pendekar dewa angin yang masih kewalahan untuk kembali bangkit untuk melarikan diri. Ardiman yang ikut dibantu bangkit oleh para pendekar dewa angin pun kini sadar akan kehadiran Sena yang baru saja menolongnya untuk menjauh. Dia melihat Rakshasa sedang mengalihkan perhatiannya untuk melawan Raksha.“Suradarma….kau…membantu…kami…?” ujar Ardiman di tengah tubuhnya yang sekarat dan tertatih-tatih.“Sekarang bukan saatnya untuk mencurigaiku dan Raksha, Tuan Ardiman! Kita harus segera melarikan diri!” seru Sena balik.Ardiman tidak bisa membantahnya. Kondisinya dan seluruh pasukannya sudah sekarat dan kalau Rakshasa kembali menyerangnya maka kematian adalah kepastian yang akan menimpa mereka semua. Dia pun akhirnya memilih untuk menghilangkan kecurigaan terhadap Sena dan Raksha, lalu memilih memuta
“Raksha, biar aku yang urus ini.”Raksha berhenti melangkah sejenak ketika Sena memintanya sembari mengacungkan tongkat emasnya ke arah pintu goa yang ada di depannya itu. Hanya dengan satu hantaman, puing-puing batu yang menutup pintu goa itu hancur seketika oleh serangan Sena. Kini Sena dan Raksha bisa melihat sosok Rakshasas yang mengaung layaknya harimau raksasa yang hendak menerkam mangsanya, yakni Ardiman, Wanda, dan puluhan Pendekar Dewa Angin lainnya.“Astaga…baru pertama kali kulihat monster sebesar ini…” Sena mengencangkan pegangan tongkat emasnya sambil bersiaga penuh.“Monster itu masih mengincar Adriman. Kita punya kesempatan untuk menyerangnya dari belakang.” ujar Raksha sambil membuat telapak tangan kanannya memancarkan cahaya perak Kanuragan Khsatriyans sehingga membentuk pisau keris. Telapak tangan kirinya yang sudah menggenggam erat pisau kujang emas membuat dia semakin sigap dengan kemampuan silatnya.Namun Raksha tahu kalau Rakshasas bukanlah siluman biasa yang mud
“Wanda…bersiaplah. Akan kita serang mereka lagi sekaligus dengan jurus angin sakti!”Seruan keras Ardiman membuat Wanda langsung bersiaga sembari memasang kuda-kuda tegak. Dia melihat pusaka syal hijau pamannya kini memancarkan cahaya hijau sehingga angin tornado berputar kencang mengitari tubuh mereka dan pasukannya.Tepat setelah Ardiman mengarahkan telapak tangan kanannya ke arah lima pengawal arwah elit yang sebelumnya menyerangnya, dia kini ikut mengarahkan telapak tangan kanannya. Angin kencang yang kini terkumpul di pusaka syal hijau Ardiman menguat, bersamaan dengan puluhan pendekar dewa angin yang baru saja menyembuhkan lukanya lalu ikut berkonsentrasi sehingga angin tornado Ardiman berputar semakin kencang.“Lima prajurit arwah itu tidak menyerang, paman! Ini kesempatan kita!” seru Wanda semangat.“Ya, kita-“Ardiman tiba-tiba berhenti menyeru ketika tanah yang dia, Wanda, dan puluhan prajuritnya pijak berguncang keras, sampai-sampai mereka hampir kehilangan keseimbangan dan
“Pendekar Kanuragan Wiratama harusnya mampus!”Wanda berulang kali menyerukan hal itu dengan keki. Walau Birawa, Pendekar Kanuragan Wiratama yang dia dan keluarganya buru untuk keamanan Nusantara kini sudah mati, dia masih tidak terima kalau yang mengalahkan Birawa ternyata adalah Raksha dan Sena, dua Pendekar Kanuragan Wiratama yang kini paling hebat diantara pendekar kanuragan lainnya.Tidak hanya Keluarga Jaganita, Wanda ingat kalau keluarga lainnya dari Nismara, Mahadri, Pancaka, dan Bhagawanta pun belum menyerah untuk mengerdilkan Pendekar Kanuragan Wiratama sebelum mereka bergabung untuk ikut dalam kompetisi Turnamen Sembilan Bintang Langit.“…sepertinya kamu sudah tidak sabar untuk memenjarakan mereka di Udayana, nak.”Ardiman tiba-tiba menanggapi Wanda, yang merupakan keponakannya.“Ya, paman! Mereka masih membawa bahaya di Udayana nanti, apalagi saat mereka mengikuti Turnamen Sembilan Bintang Langit!” seru Wanda.“Aku mengerti, nak. Banyak keluarga militer Kanezka yang mulai
“Jangan lambat kalian!”Sena dan Raksha lagi-lagi disentak oleh pendekar dewa angin yang ada di belakang mereka untuk melangkah lebih cepat. Mereka berdua tengah dalam perjalanan ke ujung utara hutan, dimana disana banyak bangunan rumah yang dibuat oleh pendekar dewa angin sebagai tempat mereka beristirahat dan berlatih di Pulau Babar.Raksha mengedarkan pandangannya sekilas. Dia melihat ada dua puluh lebih bangunan rumah yang jaraknya antar tumah sekitar 50 kaki tersebar di ujung hutan ini. Tidak banyak pohon yang tersebar di ujung hutan ini sehingga Raksha bisa merasakan kalau pendekar dewa angin yang ada disini lebih bebas untuk beraktivitas di tempat ini.Raksha yang awalnya mengira dia dan Sena akan dibawa ke salah satu rumah tersebut ternyata salah. Para pendekar dewa angin menyuruh mereka masuk ke salah satu goa yang ada sekitar 60 kaki di arah selatan tempat perumahan tersebut. Ketika Raksha melihat goa yang sempit itu dan jeruji di pintu goanya, dia baru sadar kalau para pen
“Yang Mulia, ternyata benar, pasukan Kanezka tengah mendatangi goa ini dengan persenjataan lengkap.”Bisikan Sakuntala yang terdengar hanya di dalam hati Raksha kala itu sempat membuat Raksha berhenti mengubur mayat terakhir di Goa. Dia melirik Sena sekelabat, setelah dia memastikan kalau Sena masih sibuk mengubur, dia kembali fokus ke Sakuntala.“Berapa kekuatan?” tanya Raksha berbisik.“Tidak banyak, Yang Mulia. Sekitar 30 kekuatan. Mereka semua mengenakan seragam pendekar silat Udayana berwarna hijau.” jawab Sakuntala.“….berarti mereka dari Padepokan Kanuragan Wayu. Kenapa mereka ada di pulau ini?”“Saya tidak tahu pasti, Yang Mulia. Tetapi saya bisa merasakan hawa membunuh dari mereka. Harap berhati-hati, Yang Mulia Raksha.”Raksha diam sejenak lalu berpikir. Dia tahu kalau Padepokan Dewa Angin dan Padepokan Dewa Air seringkali berkoalisi dan bertukar ilmu ajian sakti sehingga dia tidak heran melihat Wanda Jagadita dan Taksa Nismara bisa menguasai jurus pengendalian air dan angin