Kecemasan yang sempat berkemelut di hati Sena luruh setelah dia melihat pasukan Kanezka dan bantuan dari istana tiba ke arah Benteng Bisma untuk membantu siapapun yang masih bertahan hidup. Dia harap mereka bisa segera bergerak cepat untuk menyembuhkan Ragnala, Yajna, Enda, dan siapapun yang terluka parah disini, termasuk Lingga sekalipun.
Sejenak Sena termenung. Dia mengingat lagi momen ketika dia bertarung melawan Jayendra Mavendra untuk pertama kalinya. Entah dia nekat atau sudah gila, dia tidak menyesali pilihannya untuk beradu silat melawan Jayendra dengan taruhan nyawa. Terlepas dari ketakutan yang menaungi jiwanya ketika dia bertarung melawan Jayendra, dia bisa merasakan kemarahan dan kebencian yang luar biasa besar dari tatapan dingin Jayendra.
“Kesaktian dia memang luar biasa, Raksha…tapi…” ujar Sena sekonyong-konyong.
“Hmm? Kenapa, Sena? Siapa yang kamu maksud?” tanya Raksha yang masih merangkul Sena. Dia tampak ke
Dinginnya angin malam yang berhembus tidak membuat Raksha kehilangan konsentrasinya. Dia duduk bersila sambil memejamkan matanya, menajamkan fokusnya sehingga kanuragan Ozora yang muncul di kirinya menyebar ke seluruh tubuhnya merata.Dengan pandangan batinnya, Raksha melihat kalau prajurit arwah yang dia miliki kini menambah menjadi sekitar 1000 prajurit ditambah dengan tiga prajurit arwah elitnya yang paling diandalkan Raksha, yakni Suja, Asoka, dan Gardapati. Sejauh ini Kanuragan Ozora dalam tubuhnya berkembang pesat setelah pertempurannya di Benteng Bisma, tetapi di saat yang sama, dia tidak bisa melepas kekhawatirannya akan Kanuragan Yudha yang ada di dalam tubuhnya.Dalam satu minggu terakhir, Raksha mencoba menggunakan Kanuragan Yudha lagi untuk sekedar mempelajarinya, tetapi hasilnya nihil. Kanuragan Yudha itu seolah ‘hidup’ dan hendak menguasai jiwa dan pikirannya. Bahkan apabila dia tidak sedang berlatih atau menggunakan kemampuan silatnya,
“…jadi alasanmu memilih Pendekar Dewa Matahari karena kamu ingin menjadi prajurit elit Kanezka?”Tebakan Raksha itu membuat Sena termenung sejenak.“Ya, itu benar….tetapi semuanya tidak sesederhana itu.” jawab Sena setelah jeda panjang.”Aliran Pendekar Dewa Matahari paling sulit dikuasai dibandingkan semua aliran yang sudah kubahas. Tidak banyak orang yang memilih aliran ini karena mereka khawatir tidak bisa menguasai tingkatan tertentu di aliran ini lalu tidak bisa menempati posisi tinggi di Kanezka nanti.” lanjutnya.“Kalau kamu orangnya, kurasa kamu bisa menguasai Aliran Pendekar Dewa Matahari. Kamu berbakat.” balas Raksha tenang. Dia ingat saat dia bertarung dengan Sena di Benteng Bisma. Sena menunjukkan kepiawaiannya dengan Kanuragan Wiratama yang baru saja dia pelajari pada saat itu juga. Bahkan Ragnala pun terkaget-kaget dibuatnya. Mungkin Sena bukan sembarang pendekar. Dia adalah pendekar terp
“Anjali, kau mendengar narasi yang salah! Aku adalah saksi mata langsung atas tragedi di Benteng Bisma! Baik Keluarga Suradarma ataupun Pendekar Dewa Matahari bukanlah orang yang sepantasnya disalahkan atas tragedi itu! Semua sudah terjadi! Kita tidak perlu membahas siapa yang salah dan siapa yang benar!” seru Sena dengan niatan untuk menengahi Anjali yang sudah kepalang murka.“Kau tidak pantans menceramahiku, Suradarma! Atas semua pengkhianatanmu yang membela Jayendra Mavendra dan fitnah yang telah kau sebar dengan licik, kau masih berani menceramahiku?! Aku bersumpah akan membalas penghinaan yang telah kau lakukan dengan keji kepada ayahku!” Anjali masih tidak mau terima.“Tapi-““Sena.” bisik Raksha cepat sembari memegangi pundaknya sehingga Sena berhenti. “Aku tahu Anjali sudah buta akan amarahnya, tetapi ada yang aneh dengan keyakinannya. Dari semua amarah yang dia lontarkan, sepertinya dia hanya percay
“Raksha, awas!”Sena menyeru keras. Cahaya perak Kanuragan Khsatriyans di telapak tangan kanannya memancar terang lalu membentuk pisau perak yang langsung dia lempar ke arah Panji sebelum pendekar Dewi Bumi itu meninju tanah lagi untuk mendatangkan gempa.Panji sadar akan ancaman yang datang. Dia langsung membatalkan jurusnya lalu meloncat mundur, tetapi tidak cukup cepat karena pisau perak Sena berhasil menyayat tipis dadanya.Di saat yang sama, Baswara menerjang dari titik buta Sena. Tombak sakti Baswara melesat cepat untuk menebas Sena sebelum mangsanya itu sadar.“Sena!” Raksha buru-buru menerjang lalu menarik mundur Sena sehingga keduanya menunduk amat rendah menghindari tebasan horizontal Baswara yang liar.Baswara yang jengkel mengencangkan genggaman gagang tombaknya untuk lanjut menebas keduanya secara horizontal. Namun niatan itu mendadak berhenti karena Raksha baru saja meloncat maju ke arahnya. Dugaannya kalau Rak
“Bunuh mereka!”Teriakan Panji yang menggelora sontak membuat Wanda dan Taksa siaga. Angin dingin yang terbentuk dari gabungan ajian sakti mereka kembali muncul lalu menerjang Raksha. Di saat yang sama, Panji mencengkeram keras tanah yang ada didepannya lalu dia angkat kasar sehingga lempengan tanah didepannya itu terlempar kencang hendak menghantam Sena dan Raksha.Raksha berkonsentrasi penuh membentuk rentetan perisai perak yang melindunginya dan Sena. Di saat yang sama, Sena fokus menggunakan Kanuragan Wiratama-nya. Cahaya biru kehijauan yang memancar di tubuh Sena itu kini membuat perisai perak yang Raksha buat semakin kokoh. Namun mereka tidak menyangka kalau terjangan angin dingin yang membekukan dan lempengan tanah keras dari musuh begitu kuat sehingga sebagian perisai perak yang melindunginya pecah.Pecahan batu dan es tersebar liar. Sena yang sadar akan hal itu hampir terlambat menghindar, tetapi Raksha buru-buru menangkisnya dengan tubuhnya
Keheningan menyeruak selepas kepergian Gala dan Chayla. Namun sebelum Raksha dan Sena pergi, Saguna datang menghampiri.“Aku minta maaf atas keributan ini. Aku tidak menyangka mereka berkomplot untuk menyerang kalian terang-terangan di kota ini.” Saguna menunduk sopan dan penuh hormat.“Oh, Tuan Saguna tidak perlu memohon maaf. Tuan sudah menyelamatkan kami!” balas Sena ramah.“Ya, tuan. Kami selamat karena tuan berani membela kami.” Raksha menambahkan. Kalau Saguna tadi tidak turut campur, mungkin dia sudah menyuruh Asoka atau Gardapati untuk mencabik-cabik salah satu dari komplotan Baswara itu.Saguna tersenyum. “Tidak perlu pakai ‘tuan’ segala. Usia kita sepertinya tidak beda terlalu jauh.” Dia menyalami Sena dan Raksha bergantian. “Namaku Saguna Arkananta, Pendekar Dewa Api. Aku mendengar kabar tentang kekacauan di Kota Rasagama, tetapi aku tidak percaya kalau keluarga Suradarma yang me
“Siapa?”Raksha dan Sena terdiam kaget mendengar suara seorang wanita ketika mereka baru saja masuk ke dalam aula Padepokan Dewa Matahari. Aula yang luas itu tampak gelap, hanya sinar matahari siang yang masuk dari sela-sela jendela kayu di samping kanan aula yang menjadi sumber cahaya.Sosok wanita paruh baya, mengenakan kain tunik panjang berwarna hitam yang dilapisi dengan selendang kuning di pinggangnya tengah duduk di tengah aula. Raksha menajamkan pandangannya sehingga bisa melihat lebih jelas wanita berambut hitam sebahu dengan tahi lalat di bawah bibirnya itu. Wanita paruh baya itu adalah guru aliran Kanuragan Wiratama. Namanya adalah Nandina.“Apa kalian dari Kerajaan Kanezka?” tanya Nandina lagi.Sena menarik Raksha lalu mempercepat langkahnya. Keduanya langsung duduk bersimpuh di hadapan Nandina.“Tidak, guru. Saya Sena Suradarma, Pendekar Pedang Cahaya yang baru lulus dan hendak memperdalam aliran Kanuragan
Detik demi detik yang terlewat rasanya berjam-jam lamanya. Baik Sena dan pasukan Kanezka saling menatap tajam dengan hawa membunuh yang menggelora di tiap hati mereka. Hanya butuh satu dorongan agar mereka saling membunuh satu sama lain.Namun Raksha tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Dia tidak mau Sena berakhir menjadi buronan dan harus membuang mimpinya menjadi Pendekar Dewa Matahari hanya karena kehilangan kesabaran menghadapi segerombolan ‘bandit’ yang dibalut seragam berzirah macam Pasukan Kanezka yang tengah mengepungnya itu.Sepersekian detik ketika pencahayaan di aula menjadi temaram, Asoka dan Gardapati melesat sekencang angin yang berhembus dari balik bayangan Raksha. Keduanya mencakar tiap bilah tombak perak, busur, dan anak panah perak milik prajurit Kanezka yang ada di aula secepat kilat sampai-sampai tiap prajurit, bahkan Sena, sekalipun tidak sadar apa yang telah menerpa mereka. Di tengah kegelapan yang hanya sekilas itu, mereka hanya bis
“Ah, ini tidak adil!”Sena menendang kursi yang ada di ruang jeruji depannya. Emosinya yang masih meletup-letup memaksa dia untuk duduk di salah satu ranjang jeruji sambil memijat-mijat dahinya yang mendadak terasa pusing. Niatannya untuk segera istirahat di Padepokan Kanuragan Wiratama pupus sudah karena keluarga Mahadri memaksa Raksha dan Sena masuk ke dalam penjara karena masih diduga mencuri pusaka suci milik Keluarga Jagadita dan Keluarga Nismara.“Padahal baru saja kita bebas dari penjara Keluarga Jagadita, sekarang Keluarga Mahadri malah memenjarakan kita lagi?! Ada apa dengan kebebalan mereka?! Mereka bahkan bilang kalau kita bisa bebas kalau kita bisa mengembalikan pusaka suci Keluarga Jagadita dan Keluarga Nismara?! Apa mereka itu dungu?! Sudah kubilang berkali-kali kalau kita berdua ini bukan pencuri!” Sena masih meluapkan amarahnya sambil mengepal kedua tinjunya keras. Cahaya perak Kanuragan Khsatriyans sempat memancar terang untuk membentuk tombak perak yang akan dia guna
“Ah, akhirnya kita sampai, Raksha!”Sena buru-buru beranjak sambil menatap pelabuhan Kota Udayana yang semakin dekat dari perahunya. Dari terpaan angin kencang dan air yang tidak berombak, dia tahu kalau perahu yang tengah dia tumpangi itu akan membawa dirinya dan Raksha beberapa menit lagi.Raksha yang melihat ke arah yang sama awalnya menghela napas lega karena dia pun ingin istirahat sejenak. Namun kecurigaan tiba-tiba datang menyelimuti pikirannya ketika dia melihat seorang pria jangkung bertubuh gemuk yang mengenakan seragam katun berwarna ungu dengan rompi dan ikat pinggang berwarna kuning tengah duduk di ujung pelabuhan Udayana. Pria itu adalah Panji Mahadri, salah satu pendekar Dewi Pertiwi yang dulu pernah hampir membunuhnya karena kebenciannya terhadap pendekar Kanuragan Wiratama.Raksha semakin waspada ketika melihat ada dua pria paruh baya yang mengenakan pakaian seragam katun ungu yang sama seperti Panji tengah berdiri tegak di sebelah Panji. Kedua pria paruh baya itu ber
“Kami harus menghajar anda, Yang Mulia?”Asoka dan Gardapati masih kebingungan dengan perintah Raksha. Mereka berdua bahkan kaget ketika melihat Raksha memanggil Suja dari balik bayangannya.“Suja, kau pukul perutku. Asoka kau cabik punggungku. Gardapati kau gigit pundakku.” Perintah Raksha sembari menunjuk ke arah perut, punggung, dan pundaknya.“Apa Yang Mulia yakin dengan ini?” tanya Suja sama bingungnya.“Aku hanya ingin memastikan Sena percaya dengan ceritaku tadi. Cepat lakukan sebelum terlambat!” tegas Raksha sambil menyeru.Asoka dan Gardapati pun berhenti ragu. Asoka yang pertama kali melesat ke punggung Raksha lalu mencakar sebagian punggung Raksha dengan tinju cakarnya yang sengaja dia tidak buat terlalu mematikan agar tuannya bisa menahannya.Raksha bisa merasakan guratan yang tajam di sepanjang pinggangnya hingga darahnya sempat menyembur perlahan, tetapi dia masih bisa menahannya karena dia tahu Asoka menahan diri. Sepersekian detik setelah itu, Gardapati datang menerjan
“Semuanya! Ikuti aku!”Usai Sena menyimpan tongkat emasnya di balik punggungnya, dia pun langsung mengangkut Wanda yang masih tidak sadarkan diri. Seruannya yang keras membuat perhatian puluhan pendekar dewa angin yang masih kewalahan untuk kembali bangkit untuk melarikan diri. Ardiman yang ikut dibantu bangkit oleh para pendekar dewa angin pun kini sadar akan kehadiran Sena yang baru saja menolongnya untuk menjauh. Dia melihat Rakshasa sedang mengalihkan perhatiannya untuk melawan Raksha.“Suradarma….kau…membantu…kami…?” ujar Ardiman di tengah tubuhnya yang sekarat dan tertatih-tatih.“Sekarang bukan saatnya untuk mencurigaiku dan Raksha, Tuan Ardiman! Kita harus segera melarikan diri!” seru Sena balik.Ardiman tidak bisa membantahnya. Kondisinya dan seluruh pasukannya sudah sekarat dan kalau Rakshasa kembali menyerangnya maka kematian adalah kepastian yang akan menimpa mereka semua. Dia pun akhirnya memilih untuk menghilangkan kecurigaan terhadap Sena dan Raksha, lalu memilih memuta
“Raksha, biar aku yang urus ini.”Raksha berhenti melangkah sejenak ketika Sena memintanya sembari mengacungkan tongkat emasnya ke arah pintu goa yang ada di depannya itu. Hanya dengan satu hantaman, puing-puing batu yang menutup pintu goa itu hancur seketika oleh serangan Sena. Kini Sena dan Raksha bisa melihat sosok Rakshasas yang mengaung layaknya harimau raksasa yang hendak menerkam mangsanya, yakni Ardiman, Wanda, dan puluhan Pendekar Dewa Angin lainnya.“Astaga…baru pertama kali kulihat monster sebesar ini…” Sena mengencangkan pegangan tongkat emasnya sambil bersiaga penuh.“Monster itu masih mengincar Adriman. Kita punya kesempatan untuk menyerangnya dari belakang.” ujar Raksha sambil membuat telapak tangan kanannya memancarkan cahaya perak Kanuragan Khsatriyans sehingga membentuk pisau keris. Telapak tangan kirinya yang sudah menggenggam erat pisau kujang emas membuat dia semakin sigap dengan kemampuan silatnya.Namun Raksha tahu kalau Rakshasas bukanlah siluman biasa yang mud
“Wanda…bersiaplah. Akan kita serang mereka lagi sekaligus dengan jurus angin sakti!”Seruan keras Ardiman membuat Wanda langsung bersiaga sembari memasang kuda-kuda tegak. Dia melihat pusaka syal hijau pamannya kini memancarkan cahaya hijau sehingga angin tornado berputar kencang mengitari tubuh mereka dan pasukannya.Tepat setelah Ardiman mengarahkan telapak tangan kanannya ke arah lima pengawal arwah elit yang sebelumnya menyerangnya, dia kini ikut mengarahkan telapak tangan kanannya. Angin kencang yang kini terkumpul di pusaka syal hijau Ardiman menguat, bersamaan dengan puluhan pendekar dewa angin yang baru saja menyembuhkan lukanya lalu ikut berkonsentrasi sehingga angin tornado Ardiman berputar semakin kencang.“Lima prajurit arwah itu tidak menyerang, paman! Ini kesempatan kita!” seru Wanda semangat.“Ya, kita-“Ardiman tiba-tiba berhenti menyeru ketika tanah yang dia, Wanda, dan puluhan prajuritnya pijak berguncang keras, sampai-sampai mereka hampir kehilangan keseimbangan dan
“Pendekar Kanuragan Wiratama harusnya mampus!”Wanda berulang kali menyerukan hal itu dengan keki. Walau Birawa, Pendekar Kanuragan Wiratama yang dia dan keluarganya buru untuk keamanan Nusantara kini sudah mati, dia masih tidak terima kalau yang mengalahkan Birawa ternyata adalah Raksha dan Sena, dua Pendekar Kanuragan Wiratama yang kini paling hebat diantara pendekar kanuragan lainnya.Tidak hanya Keluarga Jaganita, Wanda ingat kalau keluarga lainnya dari Nismara, Mahadri, Pancaka, dan Bhagawanta pun belum menyerah untuk mengerdilkan Pendekar Kanuragan Wiratama sebelum mereka bergabung untuk ikut dalam kompetisi Turnamen Sembilan Bintang Langit.“…sepertinya kamu sudah tidak sabar untuk memenjarakan mereka di Udayana, nak.”Ardiman tiba-tiba menanggapi Wanda, yang merupakan keponakannya.“Ya, paman! Mereka masih membawa bahaya di Udayana nanti, apalagi saat mereka mengikuti Turnamen Sembilan Bintang Langit!” seru Wanda.“Aku mengerti, nak. Banyak keluarga militer Kanezka yang mulai
“Jangan lambat kalian!”Sena dan Raksha lagi-lagi disentak oleh pendekar dewa angin yang ada di belakang mereka untuk melangkah lebih cepat. Mereka berdua tengah dalam perjalanan ke ujung utara hutan, dimana disana banyak bangunan rumah yang dibuat oleh pendekar dewa angin sebagai tempat mereka beristirahat dan berlatih di Pulau Babar.Raksha mengedarkan pandangannya sekilas. Dia melihat ada dua puluh lebih bangunan rumah yang jaraknya antar tumah sekitar 50 kaki tersebar di ujung hutan ini. Tidak banyak pohon yang tersebar di ujung hutan ini sehingga Raksha bisa merasakan kalau pendekar dewa angin yang ada disini lebih bebas untuk beraktivitas di tempat ini.Raksha yang awalnya mengira dia dan Sena akan dibawa ke salah satu rumah tersebut ternyata salah. Para pendekar dewa angin menyuruh mereka masuk ke salah satu goa yang ada sekitar 60 kaki di arah selatan tempat perumahan tersebut. Ketika Raksha melihat goa yang sempit itu dan jeruji di pintu goanya, dia baru sadar kalau para pen
“Yang Mulia, ternyata benar, pasukan Kanezka tengah mendatangi goa ini dengan persenjataan lengkap.”Bisikan Sakuntala yang terdengar hanya di dalam hati Raksha kala itu sempat membuat Raksha berhenti mengubur mayat terakhir di Goa. Dia melirik Sena sekelabat, setelah dia memastikan kalau Sena masih sibuk mengubur, dia kembali fokus ke Sakuntala.“Berapa kekuatan?” tanya Raksha berbisik.“Tidak banyak, Yang Mulia. Sekitar 30 kekuatan. Mereka semua mengenakan seragam pendekar silat Udayana berwarna hijau.” jawab Sakuntala.“….berarti mereka dari Padepokan Kanuragan Wayu. Kenapa mereka ada di pulau ini?”“Saya tidak tahu pasti, Yang Mulia. Tetapi saya bisa merasakan hawa membunuh dari mereka. Harap berhati-hati, Yang Mulia Raksha.”Raksha diam sejenak lalu berpikir. Dia tahu kalau Padepokan Dewa Angin dan Padepokan Dewa Air seringkali berkoalisi dan bertukar ilmu ajian sakti sehingga dia tidak heran melihat Wanda Jagadita dan Taksa Nismara bisa menguasai jurus pengendalian air dan angin