Detik demi detik yang terlewat rasanya berjam-jam lamanya. Baik Sena dan pasukan Kanezka saling menatap tajam dengan hawa membunuh yang menggelora di tiap hati mereka. Hanya butuh satu dorongan agar mereka saling membunuh satu sama lain.
Namun Raksha tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Dia tidak mau Sena berakhir menjadi buronan dan harus membuang mimpinya menjadi Pendekar Dewa Matahari hanya karena kehilangan kesabaran menghadapi segerombolan ‘bandit’ yang dibalut seragam berzirah macam Pasukan Kanezka yang tengah mengepungnya itu.
Sepersekian detik ketika pencahayaan di aula menjadi temaram, Asoka dan Gardapati melesat sekencang angin yang berhembus dari balik bayangan Raksha. Keduanya mencakar tiap bilah tombak perak, busur, dan anak panah perak milik prajurit Kanezka yang ada di aula secepat kilat sampai-sampai tiap prajurit, bahkan Sena, sekalipun tidak sadar apa yang telah menerpa mereka. Di tengah kegelapan yang hanya sekilas itu, mereka hanya bis
Satu minggu berlalu semenjak Raksha dan Sena memutuskan untuk mendalami Kanuragan Wiratama. Mereka berdua sedang fokus untuk membereskan padepokan yang berantakan sehingga mereka belum memulai latihan mereka. Walau padepokan ini kecil, Raksha dan Sena cukup kerepotan untuk membersihkan semua padepokan ini karena hanya mereka bedua yang melakukannya.Ketika sedang sendirian di padepokan, Raksha diam-diam menyuruh prajurit arwahnya untuk membersihkan ruangan tempat dia berada, lalu pura-pura capek di hadapan Sena agar terlihat kalau dia yang membersihkannya. Terlepas dari itu, Raksha dan Sena berhasil membersihkan padepokan hingga layak pakai dan mereka akan memulai latihan mereka untuk mendalami Kanuragan Wiratama besok pagi.Di malam kala itu, Sena tengah termenung di hadapan Patung Dewa Matahari yang kini tidak lagi retak setelah dia dan Nandina sebelumnya telah memulihkannya dengan Kanuragan Wiratama. Tatapan Sena tertuju pada Patung Dewa Matahari, tetapi pikirannya
Di pagi itu, setelah Raksha dan Sena berlatih silat, Nandina meminta mereka memanjatkan doa pada Dewa Matahari. Ketiganya kala itu tengah berdoa di hadapan patung Dewa Matahari di lapangan padepokan dengan penuh khidmat.Lambat laun, Raksha dan Sena bisa merasakan sensasi panas di telapak tangan kanannya. Rasa panas itu semakin ketara ketika cahaya berwarna biru kehijauan timbul dari patung Dewa Matahari. Keduanya berupaya mengatur napasnya sambil menahan perih yang kian menerpa.“Tahan. Anugerah Dewa Matahari telah merasuki tubuh kalian. Tetap fokus kalau kalian tidak mau tangan kalian terbakar sia-sia.” Nandina mengingatkan.Baik Raksha dan Sena merasa kulit telapak tangan kanan mereka dikelupas kasar dengan logam panas. Mereka tidak menyangka Kanuragan Wiratama yang tengah menyelimuti tubuh mereka itu lebih memekik perih dibanding ketika mereka mempelajari Kanuragan Khsatriyans. Jantung berdegup kian kencang, begitu juga dengan keringat yang memba
Dua minggu berlalu semenjak latihan Kanuragan Wiratama berlangsung. Raksha dan Sena kini memutuskan untuk fokus mengumpulkan bintang jasa dengan mengambil misi sulit dari Kerajaan Kanezka demi keberlangsungan latihan mereka.“Guru Nandina, kami pamit.” Sena menunduk hormat bersama Raksha.“Ah, ya. Semoga kalian berhasil. Aku menghargai keputusan kalian yang berani untuk mengambil misi yang sulit dari Kerajaan Kanezka, tetapi kusarankan agar berhati-hati. Tidak ada gunanya kalau kalian mati-matian di misi itu tetapi kembali tinggal nama.” Nandina menasehati.Raksha sebenarnya masih tidak habis pikir dengan Nandina yang tampak tenang.Apa Nandina tidak sadar kalau dia dan Sena mempertaruhkan nyawa untuk mengambil misinya itu demi menjaga padepokannya?Kenapa Nandina tampak santai dan tidak peduli dengan risiko kalau mereka berdua gagal?Kalau dia memang dekat dengan Raja Widyanata, kenapa dia tidak melaporkan ketidakadi
“Apa? Apa? Aku belum dengar pembelaan kalian? Apa suara kalian tidak terdengar karena kalian hanya dua orang saja?! Ahahahahahaha!”Panji tertawa terpingkal-pingkal bersama Anjali dan anak buahnya dengan nada meremehkan.Sena sudah mengepal kedua tinjunya, tidak sabar untuk menghantam kepongahan mereka satu per satu, tetapi dia tahu kalau itu tidak ada gunanya. Raksha benar, dia harus fokus pada misinya.Di tengah gelak tawa itu, tetua Desa Wiraka melangkah untuk menghampiri Sena dan Raksha. Namun dia mendadak berhenti karena jalannya dihalang oleh Anjali dan Panji.“Tidak perlu repot-repot memberitahu mereka tentang misi ini, tetua desa! Tidak ada gunanya juga! Mereka berdua akan mati oleh siluman itu bahkan sebelum mereka sadar apa yang telah membunuh mereka!” seru Panji meremehkan.“Jangan khawatir soal jasad kalian nanti. Aku dengan senang hati akan mempersembahkannya untuk siluman lain. Paling tidak itu lebih berg
Tiga hari berlalu semenjak Raksha dan Sena tiba di Desa Wisaka. Sejauh ini, belum ada pergerakan yang berarti dari siluman misterius yang tengah menghantui desa ini. Baik tim Raksha – Sena dan tim Anjali – Panji belum menemukan sedikitpun petunjuk akan siluman tersebut.Langit sore kala itu perlahan kian gelap, menandakan malam telah tiba. Raksha yang ada di bukit dekat desa kala itu masih memantau dari kejauhan kondisi di sekitar desa. Tidak ada pergerakan yang dirasa misterius. Dia hanya melihat puluhan pendekar Dewi Bumi dan Pendekar Tubuh Baja bergantian patroli ke tiap sisi desa untuk mencari siluman yang sama, tetapi selama tiga hari terakhir, hasilnya masih nihil.“Yang Mulia Raksha.”Suara Asoka terdengar jelas di dalam kepala Raksha.“Ada perkembangan terbaru?” tanya Raksha dalam hati.“Saya dan Gardapati sudah memantau setiap sisi desa ini, Yang Mulia. Kami yakin siluman yang anda cari ada di desa
“Tumpahkan semua! Pecahkan saja dengan kendinya sekalian!”Seruan Anjali yang keras kala itu membuat anak buahnya melempari kendi berisi air pemikat siluman itu ke rumah kayu yang tengah didiami Raksha. Walau tidak bisa dihirup oleh manusia, tetapi air itu dapat dihirup dan mendorong nafsu membunuh siluman pada umumnya.Tiga puluh kendi berisi sudah dipecahkan sehingga air pemikat siluman itu kini melumuri tiap sisi rumah kayu yang tengah dididami Raksha. Tepat setelah itu, Anjali dan anak buahnya mundur sekitar 50 kaki, bergantian posisi dengan Panji dan anak buahnya.Panji dan anak buahnya kala itu posisinya melingkari rumah kayu Raksha. Mereka serentak menghentakkan bumi sehingga lempengan tanah yang ada di sekitar rumah kayu Raksha terangkat tinggi, membentuk benteng batu yang menutup jalan masuk Raksha.“Bagus! Pertahankan benteng batu ini! Hajar dia kalau dia berani meloncati benteng batu ini!” seru Panji keras.Kegela
“Jayalah Mahadri! Jayalah Bhagawanta! Kita akan menjadi juara di Kerajaan Kanezka!” Anjali dan Panji bernyanyi merayakan kemenangan mereka dengan anak buahnya. Suara mereka terlalu ribut, sampai-sampai mereka tidak mendengar retakan di bongkahan batu raksasa yang tengah menimpa siluman kelabang itu kini kian panjang dan melebar.Ketika bongkahan batu itu terbelah lalu pecah, sontak Anjali, Panji, dan anak buah mereka pun diam. Senyum mereka yang semula terlihat lebar kini pudar, berganti menjadi raut wajah panik dan cemas. Kepanikan mereka kian menjadi ketika siluman kelabang itu kembali meliuk-liuk sambil berdesis semakin keras.“SSSHHHHH!!!!”“D-dia masih hidup?!”“Ra-rapatkan barisan! Tahan kembali kakinya! Jangan meleng!” Anjali kembali siaga seraya menguatkan tubuh bajanya. Dia dan anak buahnya dengan sigap menyergap tiap kaki siluman kelabang raksasa itu untuk kembali menahannya dengan tubuh baja merek
Dunia Raksha gonjang-ganjing, berguncang tanpa henti. Wajar saja karena dia berada di dalam tubuh Sang Siluman Kelabang. Walau dia kini berlindung diri di dalam tubuh Suja, tetapi dia bisa merasakan dinding daging siluman kelabang itu mengapitnya kian kencang. Belum lagi cairan racun yang hampir memenuhi separuh badannya. Kalau dia tidak berada di dalam tubuh Suja saat masuk ke dalam tubuh Siluman Kelabang Raksasa, mungkin dia sudah habis dicerna oleh siluman sial ini, pikirnya.Raksha mendadak merasakan aliran Kanuragan Wiratama yang kuat dari pusaka gelang Sena yang dia kenakan di pergelangan tangan kanannya. Hal ini menandakan kalau Siluman Kelabang tengah memangsa Sena dan jaraknya semakin dekat seiring dengan menguatnya aliran Kanuragan Wiratama yang dia rasakan. Dia tidak boleh membuang waktu lagi.“Suja, bantu aku.”“Siap, Yang Mulia.”Raksha kini memegang kendali penuh atas tubuh Suja. Dia meregangkan tangannya lebar amat k