Tiga hari berlalu semenjak Raksha dan Sena tiba di Desa Wisaka. Sejauh ini, belum ada pergerakan yang berarti dari siluman misterius yang tengah menghantui desa ini. Baik tim Raksha – Sena dan tim Anjali – Panji belum menemukan sedikitpun petunjuk akan siluman tersebut.
Langit sore kala itu perlahan kian gelap, menandakan malam telah tiba. Raksha yang ada di bukit dekat desa kala itu masih memantau dari kejauhan kondisi di sekitar desa. Tidak ada pergerakan yang dirasa misterius. Dia hanya melihat puluhan pendekar Dewi Bumi dan Pendekar Tubuh Baja bergantian patroli ke tiap sisi desa untuk mencari siluman yang sama, tetapi selama tiga hari terakhir, hasilnya masih nihil.
“Yang Mulia Raksha.”
Suara Asoka terdengar jelas di dalam kepala Raksha.
“Ada perkembangan terbaru?” tanya Raksha dalam hati.
“Saya dan Gardapati sudah memantau setiap sisi desa ini, Yang Mulia. Kami yakin siluman yang anda cari ada di desa
“Tumpahkan semua! Pecahkan saja dengan kendinya sekalian!”Seruan Anjali yang keras kala itu membuat anak buahnya melempari kendi berisi air pemikat siluman itu ke rumah kayu yang tengah didiami Raksha. Walau tidak bisa dihirup oleh manusia, tetapi air itu dapat dihirup dan mendorong nafsu membunuh siluman pada umumnya.Tiga puluh kendi berisi sudah dipecahkan sehingga air pemikat siluman itu kini melumuri tiap sisi rumah kayu yang tengah dididami Raksha. Tepat setelah itu, Anjali dan anak buahnya mundur sekitar 50 kaki, bergantian posisi dengan Panji dan anak buahnya.Panji dan anak buahnya kala itu posisinya melingkari rumah kayu Raksha. Mereka serentak menghentakkan bumi sehingga lempengan tanah yang ada di sekitar rumah kayu Raksha terangkat tinggi, membentuk benteng batu yang menutup jalan masuk Raksha.“Bagus! Pertahankan benteng batu ini! Hajar dia kalau dia berani meloncati benteng batu ini!” seru Panji keras.Kegela
“Jayalah Mahadri! Jayalah Bhagawanta! Kita akan menjadi juara di Kerajaan Kanezka!” Anjali dan Panji bernyanyi merayakan kemenangan mereka dengan anak buahnya. Suara mereka terlalu ribut, sampai-sampai mereka tidak mendengar retakan di bongkahan batu raksasa yang tengah menimpa siluman kelabang itu kini kian panjang dan melebar.Ketika bongkahan batu itu terbelah lalu pecah, sontak Anjali, Panji, dan anak buah mereka pun diam. Senyum mereka yang semula terlihat lebar kini pudar, berganti menjadi raut wajah panik dan cemas. Kepanikan mereka kian menjadi ketika siluman kelabang itu kembali meliuk-liuk sambil berdesis semakin keras.“SSSHHHHH!!!!”“D-dia masih hidup?!”“Ra-rapatkan barisan! Tahan kembali kakinya! Jangan meleng!” Anjali kembali siaga seraya menguatkan tubuh bajanya. Dia dan anak buahnya dengan sigap menyergap tiap kaki siluman kelabang raksasa itu untuk kembali menahannya dengan tubuh baja merek
Dunia Raksha gonjang-ganjing, berguncang tanpa henti. Wajar saja karena dia berada di dalam tubuh Sang Siluman Kelabang. Walau dia kini berlindung diri di dalam tubuh Suja, tetapi dia bisa merasakan dinding daging siluman kelabang itu mengapitnya kian kencang. Belum lagi cairan racun yang hampir memenuhi separuh badannya. Kalau dia tidak berada di dalam tubuh Suja saat masuk ke dalam tubuh Siluman Kelabang Raksasa, mungkin dia sudah habis dicerna oleh siluman sial ini, pikirnya.Raksha mendadak merasakan aliran Kanuragan Wiratama yang kuat dari pusaka gelang Sena yang dia kenakan di pergelangan tangan kanannya. Hal ini menandakan kalau Siluman Kelabang tengah memangsa Sena dan jaraknya semakin dekat seiring dengan menguatnya aliran Kanuragan Wiratama yang dia rasakan. Dia tidak boleh membuang waktu lagi.“Suja, bantu aku.”“Siap, Yang Mulia.”Raksha kini memegang kendali penuh atas tubuh Suja. Dia meregangkan tangannya lebar amat k
Sena mengatur napasnya yang terasa semakin berat seiring dengan semakin memancarnya cahaya biru kehijauan Kanuragan Wiratama yang kini menyelimuti golok peraknya. Dia tidak menyangka seluruh tenaganya hampir terkuras habis hanya untuk mempersiapkan serangan terakhirnya.Raungan gemuruh dan gempa yang mengguncang kian mendekat, menandakan Siluman Kelabang Raksasa yang mengincar Sena semakin dekat. Sena bahkan bisa melihat tanah yang ada di 50 kaki didepannya itu retak dan terangkat dari dalam tanah, yang berarti sang siluman bergerak pelan ke arah permukaan tanah untuk keluar lalu menyerang Sena.Sena hanya punya satu kesempatan menyerang. Kalau dia gagal, maka dia akan tewas, begitu juga dengan Raksha. Dia mempertaruhkan semuanya pada golok perak yang tengah dia genggam ini. Hanya bermodalkan semangat untuk menyelematkan Raksha, dia memilih untuk melawan balik tanpa melarikan diri.Sena memasang kuda-kuda yang kokoh, menunggu Siluman Kelabang Raksasa muncu
Raksha berjalan pelan menghampiri potongan kepala Raksasa Siluman Kelabang yang masih tersisa. Dia tahu kalau Sang Siluman Kelabang tidak memiliki mata, tetapi siluman itu bisa merasakan kehadirannya jauh melebihi panca inderanya.“RATUSAN TAHUN LAMANYA AKU MENYANTAP RIBUAN PENDEKAR DUNIA ARWAH DAN PRAJURIT KANEZKA, AKU TIDAK PERNAH MENYANGKA KALAU PADA AKHIRNYA TUBUHKU AKAN HANCUR HABIS DI TANGAN SEORANG MAVENDRA BAU KENCUR SEPERTIMU…”“Heh…bagaimana rasanya dikalahkan pendekar ‘bau kencur’ sepertiku? Apa itu menyakitkan, Siluman Kelabang?” sindir Raksha.“KAU MAVENDRA YANG MEMILIKI KANURAGAN YUDHA. ITU ADALAH SESUATU YANG BARU KULIHAT. SEPERTINYA ADA REVOLUSI YANG BESAR DI DUNIA PENDEKAR DUNIA ARWAH. MUNGKIN DUGAANKU SALAH. ADA HARAPAN BESAR DI KALANGAN PENDEKAR DUNIA ARWAH UNTUK MELAWAN BALIK KANEZKA.”“Aku terpaksa menggunakan Kanuragan Yudha.”“….DAN KARENA
Di tengah malam kala itu, Raksha tengah duduk sendirian di selasar salah satu bangunan di Padepokan Pendekar Dewa Matahari. Dia tengah termenung, mengenang kembali apa yang terjadi dua minggu setelah keberhasilannya dan Sena menyelesaikan misi sulit di Desa Wisaka.Keluaga bangsawan Bhagawanta dan Mahadri marah besar ketika mereka menemukan anak-anak kebanggan mereka dalam kondisi hampir lumpuh seluruhnya karena racun siluman Sang Kelabang. Melihat keberhasilan Raksha dan Sena, kedua keluarga itu menuduh kalau Raksha dan Sena menjebak anak-anak mereka sebagai umpan sehingga mereka yang berhasil mendapatkan bintang jasa, walau pada kenyataannya itu adalah sebaliknya.Raksha beruntung mendapat dukungan penuh dari Chandra, yang kini menempati posisi penasihat Guru Besar Padepokan Udayana, sehingga Padepokan Pendekar Dewa Matahari tetap mendapatkan bintang jasa sesuai dengan keberhasilan mereka mengalahkan siluman kelabang raksasa di Desa Wisaka. Dia tahu kalau Bhagawanta
“K-kita harus mencari golok perak itu, guru?” tanya Sena agak ragu ketika melihat golok perak itu tenggelam di tengah danau yang kemudian menghilang entah kemana.“Ya, gunakan Kanuragan Wiratama dan berkonsentrasilah. Kalian seharusnya bisa menemukannya.” balas Nandina santai.Sena dan Raksha saling menatap sejenak tanpa kata-kata. Mereka berdua masih terdiam ragu. Nandina bisa melihat raut ekspresi Sena dan Raksha yang kebingungan. Mungkin kedua muridnya itu berpikir kalau gurunya itu sedang iseng pada mereka, pikirnya."....sepertinya kalian belum menanggapiku serius." Nandina menghela napas panjang. Dia pun berjalan ke arah danau agak cepat, seolah-olah dia hendak menyelam ke dalam danau.Raksha dan Sena beranjak cepat untuk mengejar Nandina karena mereka berdua melihat sang guru terus berjalan ke arah danau. Namun keduanya mendadak berhenti lalu terbelalak kaget ketika sang guru menapakkan kakinya di permukaan danau seperti lay
“’Jalan’? ‘Hambatan’? Kamu ngomong apa, Sena?” tanya Raksha kebingungan. Namun Sena masih tersenyum melihat kebingungannya.“Seperti yang Guru Nandina bilang! ‘Fokus pada penyatuan’! Kalau kita fokus pada penyatuan semua hambatan yang ada harusnya menjadi jalan, bukan?!” Sena menyemangati lagi.Raksha sebenarnya belum mengerti penuh maksud Sena. Namun dia tidak mau membiarkan dirinya tertinggal oleh Sena. Dia mencoba menggenggam pecahan liontin itu lebih erat lalu berkonsentrasi penuh sehingga Kanuragan Wiratama di tubuhnya kini menyebar rata ke seluruh permukaan tubuhnya.Tepat setelah itu, Raksha bisa merasakan perubahan yang selaras dengan perubahan yang dia lihat dari tubuh Sena sebelumnya. Dia mengalihkan perhatiannya pada Sena yang menunggunya di tengah danau. Hatinya semakin yakin kalau dia bisa melakukan hal yang sama.“’Fokus pada Penyatuan’….”, guman Raksh
“Ah, ini tidak adil!”Sena menendang kursi yang ada di ruang jeruji depannya. Emosinya yang masih meletup-letup memaksa dia untuk duduk di salah satu ranjang jeruji sambil memijat-mijat dahinya yang mendadak terasa pusing. Niatannya untuk segera istirahat di Padepokan Kanuragan Wiratama pupus sudah karena keluarga Mahadri memaksa Raksha dan Sena masuk ke dalam penjara karena masih diduga mencuri pusaka suci milik Keluarga Jagadita dan Keluarga Nismara.“Padahal baru saja kita bebas dari penjara Keluarga Jagadita, sekarang Keluarga Mahadri malah memenjarakan kita lagi?! Ada apa dengan kebebalan mereka?! Mereka bahkan bilang kalau kita bisa bebas kalau kita bisa mengembalikan pusaka suci Keluarga Jagadita dan Keluarga Nismara?! Apa mereka itu dungu?! Sudah kubilang berkali-kali kalau kita berdua ini bukan pencuri!” Sena masih meluapkan amarahnya sambil mengepal kedua tinjunya keras. Cahaya perak Kanuragan Khsatriyans sempat memancar terang untuk membentuk tombak perak yang akan dia guna
“Ah, akhirnya kita sampai, Raksha!”Sena buru-buru beranjak sambil menatap pelabuhan Kota Udayana yang semakin dekat dari perahunya. Dari terpaan angin kencang dan air yang tidak berombak, dia tahu kalau perahu yang tengah dia tumpangi itu akan membawa dirinya dan Raksha beberapa menit lagi.Raksha yang melihat ke arah yang sama awalnya menghela napas lega karena dia pun ingin istirahat sejenak. Namun kecurigaan tiba-tiba datang menyelimuti pikirannya ketika dia melihat seorang pria jangkung bertubuh gemuk yang mengenakan seragam katun berwarna ungu dengan rompi dan ikat pinggang berwarna kuning tengah duduk di ujung pelabuhan Udayana. Pria itu adalah Panji Mahadri, salah satu pendekar Dewi Pertiwi yang dulu pernah hampir membunuhnya karena kebenciannya terhadap pendekar Kanuragan Wiratama.Raksha semakin waspada ketika melihat ada dua pria paruh baya yang mengenakan pakaian seragam katun ungu yang sama seperti Panji tengah berdiri tegak di sebelah Panji. Kedua pria paruh baya itu ber
“Kami harus menghajar anda, Yang Mulia?”Asoka dan Gardapati masih kebingungan dengan perintah Raksha. Mereka berdua bahkan kaget ketika melihat Raksha memanggil Suja dari balik bayangannya.“Suja, kau pukul perutku. Asoka kau cabik punggungku. Gardapati kau gigit pundakku.” Perintah Raksha sembari menunjuk ke arah perut, punggung, dan pundaknya.“Apa Yang Mulia yakin dengan ini?” tanya Suja sama bingungnya.“Aku hanya ingin memastikan Sena percaya dengan ceritaku tadi. Cepat lakukan sebelum terlambat!” tegas Raksha sambil menyeru.Asoka dan Gardapati pun berhenti ragu. Asoka yang pertama kali melesat ke punggung Raksha lalu mencakar sebagian punggung Raksha dengan tinju cakarnya yang sengaja dia tidak buat terlalu mematikan agar tuannya bisa menahannya.Raksha bisa merasakan guratan yang tajam di sepanjang pinggangnya hingga darahnya sempat menyembur perlahan, tetapi dia masih bisa menahannya karena dia tahu Asoka menahan diri. Sepersekian detik setelah itu, Gardapati datang menerjan
“Semuanya! Ikuti aku!”Usai Sena menyimpan tongkat emasnya di balik punggungnya, dia pun langsung mengangkut Wanda yang masih tidak sadarkan diri. Seruannya yang keras membuat perhatian puluhan pendekar dewa angin yang masih kewalahan untuk kembali bangkit untuk melarikan diri. Ardiman yang ikut dibantu bangkit oleh para pendekar dewa angin pun kini sadar akan kehadiran Sena yang baru saja menolongnya untuk menjauh. Dia melihat Rakshasa sedang mengalihkan perhatiannya untuk melawan Raksha.“Suradarma….kau…membantu…kami…?” ujar Ardiman di tengah tubuhnya yang sekarat dan tertatih-tatih.“Sekarang bukan saatnya untuk mencurigaiku dan Raksha, Tuan Ardiman! Kita harus segera melarikan diri!” seru Sena balik.Ardiman tidak bisa membantahnya. Kondisinya dan seluruh pasukannya sudah sekarat dan kalau Rakshasa kembali menyerangnya maka kematian adalah kepastian yang akan menimpa mereka semua. Dia pun akhirnya memilih untuk menghilangkan kecurigaan terhadap Sena dan Raksha, lalu memilih memuta
“Raksha, biar aku yang urus ini.”Raksha berhenti melangkah sejenak ketika Sena memintanya sembari mengacungkan tongkat emasnya ke arah pintu goa yang ada di depannya itu. Hanya dengan satu hantaman, puing-puing batu yang menutup pintu goa itu hancur seketika oleh serangan Sena. Kini Sena dan Raksha bisa melihat sosok Rakshasas yang mengaung layaknya harimau raksasa yang hendak menerkam mangsanya, yakni Ardiman, Wanda, dan puluhan Pendekar Dewa Angin lainnya.“Astaga…baru pertama kali kulihat monster sebesar ini…” Sena mengencangkan pegangan tongkat emasnya sambil bersiaga penuh.“Monster itu masih mengincar Adriman. Kita punya kesempatan untuk menyerangnya dari belakang.” ujar Raksha sambil membuat telapak tangan kanannya memancarkan cahaya perak Kanuragan Khsatriyans sehingga membentuk pisau keris. Telapak tangan kirinya yang sudah menggenggam erat pisau kujang emas membuat dia semakin sigap dengan kemampuan silatnya.Namun Raksha tahu kalau Rakshasas bukanlah siluman biasa yang mud
“Wanda…bersiaplah. Akan kita serang mereka lagi sekaligus dengan jurus angin sakti!”Seruan keras Ardiman membuat Wanda langsung bersiaga sembari memasang kuda-kuda tegak. Dia melihat pusaka syal hijau pamannya kini memancarkan cahaya hijau sehingga angin tornado berputar kencang mengitari tubuh mereka dan pasukannya.Tepat setelah Ardiman mengarahkan telapak tangan kanannya ke arah lima pengawal arwah elit yang sebelumnya menyerangnya, dia kini ikut mengarahkan telapak tangan kanannya. Angin kencang yang kini terkumpul di pusaka syal hijau Ardiman menguat, bersamaan dengan puluhan pendekar dewa angin yang baru saja menyembuhkan lukanya lalu ikut berkonsentrasi sehingga angin tornado Ardiman berputar semakin kencang.“Lima prajurit arwah itu tidak menyerang, paman! Ini kesempatan kita!” seru Wanda semangat.“Ya, kita-“Ardiman tiba-tiba berhenti menyeru ketika tanah yang dia, Wanda, dan puluhan prajuritnya pijak berguncang keras, sampai-sampai mereka hampir kehilangan keseimbangan dan
“Pendekar Kanuragan Wiratama harusnya mampus!”Wanda berulang kali menyerukan hal itu dengan keki. Walau Birawa, Pendekar Kanuragan Wiratama yang dia dan keluarganya buru untuk keamanan Nusantara kini sudah mati, dia masih tidak terima kalau yang mengalahkan Birawa ternyata adalah Raksha dan Sena, dua Pendekar Kanuragan Wiratama yang kini paling hebat diantara pendekar kanuragan lainnya.Tidak hanya Keluarga Jaganita, Wanda ingat kalau keluarga lainnya dari Nismara, Mahadri, Pancaka, dan Bhagawanta pun belum menyerah untuk mengerdilkan Pendekar Kanuragan Wiratama sebelum mereka bergabung untuk ikut dalam kompetisi Turnamen Sembilan Bintang Langit.“…sepertinya kamu sudah tidak sabar untuk memenjarakan mereka di Udayana, nak.”Ardiman tiba-tiba menanggapi Wanda, yang merupakan keponakannya.“Ya, paman! Mereka masih membawa bahaya di Udayana nanti, apalagi saat mereka mengikuti Turnamen Sembilan Bintang Langit!” seru Wanda.“Aku mengerti, nak. Banyak keluarga militer Kanezka yang mulai
“Jangan lambat kalian!”Sena dan Raksha lagi-lagi disentak oleh pendekar dewa angin yang ada di belakang mereka untuk melangkah lebih cepat. Mereka berdua tengah dalam perjalanan ke ujung utara hutan, dimana disana banyak bangunan rumah yang dibuat oleh pendekar dewa angin sebagai tempat mereka beristirahat dan berlatih di Pulau Babar.Raksha mengedarkan pandangannya sekilas. Dia melihat ada dua puluh lebih bangunan rumah yang jaraknya antar tumah sekitar 50 kaki tersebar di ujung hutan ini. Tidak banyak pohon yang tersebar di ujung hutan ini sehingga Raksha bisa merasakan kalau pendekar dewa angin yang ada disini lebih bebas untuk beraktivitas di tempat ini.Raksha yang awalnya mengira dia dan Sena akan dibawa ke salah satu rumah tersebut ternyata salah. Para pendekar dewa angin menyuruh mereka masuk ke salah satu goa yang ada sekitar 60 kaki di arah selatan tempat perumahan tersebut. Ketika Raksha melihat goa yang sempit itu dan jeruji di pintu goanya, dia baru sadar kalau para pen
“Yang Mulia, ternyata benar, pasukan Kanezka tengah mendatangi goa ini dengan persenjataan lengkap.”Bisikan Sakuntala yang terdengar hanya di dalam hati Raksha kala itu sempat membuat Raksha berhenti mengubur mayat terakhir di Goa. Dia melirik Sena sekelabat, setelah dia memastikan kalau Sena masih sibuk mengubur, dia kembali fokus ke Sakuntala.“Berapa kekuatan?” tanya Raksha berbisik.“Tidak banyak, Yang Mulia. Sekitar 30 kekuatan. Mereka semua mengenakan seragam pendekar silat Udayana berwarna hijau.” jawab Sakuntala.“….berarti mereka dari Padepokan Kanuragan Wayu. Kenapa mereka ada di pulau ini?”“Saya tidak tahu pasti, Yang Mulia. Tetapi saya bisa merasakan hawa membunuh dari mereka. Harap berhati-hati, Yang Mulia Raksha.”Raksha diam sejenak lalu berpikir. Dia tahu kalau Padepokan Dewa Angin dan Padepokan Dewa Air seringkali berkoalisi dan bertukar ilmu ajian sakti sehingga dia tidak heran melihat Wanda Jagadita dan Taksa Nismara bisa menguasai jurus pengendalian air dan angin