Ayla berdiri di depan jendela besar kantornya, menatap gemerlap malam Velmont City. Tangannya bersedekap, pikirannya berputar cepat, mencerna setiap informasi yang baru saja ia dapatkan.
Pembersihan pengkhianat di dalam Reynard Holdings memang sudah dilakukan, tetapi itu tidak mengubah kenyataan bahwa Carlisle Industries masih selangkah lebih maju.
Langkah berikutnya harus lebih tajam, lebih mematikan.
Pintu kantornya terbuka. Dimitri masuk, mengenakan setelan gelap yang membentuk aura dominasi khasnya.
“Kau terlihat tegang,” katanya seraya melangkah mendekat.
Ayla menoleh sebentar sebelum kembali menatap ke luar. “Karena aku tahu mereka tidak akan berhenti.”
Dimitri mendekat, berdiri di sampingnya. “Tentu saja tidak. Eleanor bukan tipe yang mundur setelah satu kekalahan. Dan Leon... dia terlalu terobsesi padamu untuk membiarkan ini berlalu begitu saja.”
Ayla mengepalkan tangannya. “Aku akan menghabisi mereka sebelum mereka bisa menja
Ayla duduk di ruang kerjanya, jemarinya mengetuk-ngetuk meja dengan ritme tak beraturan. Nama yang disebutkan Dimitri terus terngiang di kepalanya—Alexander Vasiliev.Siapa pun pria itu, ia jelas cukup berbahaya hingga Dimitri terlihat lebih waspada dari biasanya.Suara ketukan pintu membuatnya menoleh. Victor Moretti masuk, ekspresinya serius.“Ada sesuatu yang harus kau lihat,” katanya tanpa basa-basi.Ayla berdiri. “Apa?”Victor menyerahkan sebuah amplop cokelat. “Dikirimkan ke Reynard Holdings pagi ini, tanpa nama pengirim.”Ayla merobek segelnya dan menarik keluar beberapa lembar foto. Matanya membesar saat melihat isinya.Foto dirinya dan Dimitri, diambil dari sudut-sudut yang tersembunyi. Beberapa di antaranya diambil di The Elysian Tower, bahkan ada yang dari dalam kantor Dimitri sendiri.Namun, yang membuat darah Ayla berdesir adalah foto terakhir—gambar dirinya di dalam apartemen pribadinya.Se
Pagi di Velmont City terasa lebih suram dari biasanya. Langit mendung, udara dingin menyusup ke dalam setiap celah bangunan pencakar langit. Di dalam The Elysian Tower, Dimitri Velasquez berdiri di depan jendela lantai tertinggi, memandangi kota yang selama ini berada dalam genggamannya. Namun, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasakan ancaman yang nyata.Alexander Vasiliev telah kembali.Dimitri mengepalkan tangannya. Ia telah menghadapi banyak musuh, tetapi Alexander adalah lawan yang berbeda. Dia tidak hanya kejam, tetapi juga cerdas. Dan kini, pria itu mengincar dua hal yang paling berharga baginya—kekuasaan dan Ayla Reynard.Suara pintu terbuka membuatnya menoleh. Victor Moretti masuk dengan ekspresi tegang.“Kita punya masalah.”Dimitri tidak menjawab, hanya mengangkat alis sebagai isyarat agar Victor melanjutkan.“Salah satu orang kita ditemukan tewas tadi malam. Luka tembak di kepala. Itu peringatan dari Alexander.”
Ayla menatap gaun merah yang tergeletak di tempat tidurnya. Tangan mungilnya mengepal, meremas kertas yang baru saja dibacanya. Alexander Vasiliev telah menerobos batasannya.Dia tidak hanya mengancam dari kejauhan—pria itu telah masuk ke dalam ranah pribadinya, meninggalkan pesan seolah-olah ia memiliki kendali penuh atas dirinya.Tidak. Itu tidak akan terjadi.Ayla berbalik, menyambar ponselnya, dan menekan kontak Dimitri.Nada sambung hanya berlangsung beberapa detik sebelum suara berat Dimitri terdengar.“Ada apa?”“Apartemenku dibobol,” ucap Ayla tanpa basa-basi. “Alexander meninggalkan pesan.”Sejenak, hening. Ayla bisa merasakan ketegangan dalam diamnya.“Apa pesannya?” suara Dimitri terdengar lebih dingin dari biasanya.Ayla menoleh ke tempat tidur, tatapannya membakar. “Dia ingin aku memakai gaun ini untuk ‘pertemuan berikutnya’.”Kutukan kasar terdengar di seberang telepon.“Tunggu di sana. Aku ak
Ayla tersenyum tipis, menyembunyikan keterkejutannya di balik ekspresi percaya diri. Alexander Vasiliev memang licik, tetapi ia sudah menduganya sejak awal.“Meninggalkan Dimitri?” ulang Ayla, nadanya ringan namun penuh tantangan. “Dan sebagai gantinya, aku akan memiliki seluruh kota ini di kakiku?”Alexander tersenyum, menyusuri wajah Ayla dengan tatapan yang tajam dan penuh perhitungan. “Kau cerdas, Ayla. Kau tahu bagaimana dunia ini bekerja. Dimitri mungkin kuat, tetapi dia memiliki terlalu banyak musuh. Terlalu banyak beban. Bersamaku, kau tidak akan perlu bersembunyi dalam bayang-bayangnya.”Ayla menahan napasnya sejenak, memikirkan bagaimana cara terbaik untuk memainkan kartu ini. Ia bisa melihat bagaimana Alexander mencoba memecah belahnya dan Dimitri, mencoba menanamkan benih keraguan.Tapi Ayla bukan wanita bodoh.Ia mengangkat gelas anggur di tangannya, mengaduk-aduk cairan merah di dalamnya sebelum menatap Alexander dengan sorot mata pen
Dimitri berjalan mondar-mandir di ruang kerjanya di The Elysian Tower. Rahangnya mengeras, matanya dipenuhi kemarahan yang nyaris tak terbendung. Ayla duduk di sofa, mengamati ekspresi pria itu."Ini berarti seseorang di dalam sistemku telah bekerja untuk Alexander," gumam Dimitri, suaranya lebih seperti geraman.Ayla menyandarkan punggungnya, menyilangkan kaki dengan tenang. "Kita hanya perlu mencari tahu siapa dia sebelum semuanya terlambat."Victor, yang berdiri di dekat pintu, menyela, "Aku bisa mulai menyelidiki dari dalam. Aku punya daftar orang-orang yang paling mungkin berkhianat."Dimitri mengangguk, tetapi ekspresinya tetap gelap. "Kita tidak bisa gegabah. Jika kita menuduh orang yang salah, Alexander akan tahu bahwa kita mencurigainya."Ayla menatap Victor. "Ada cara lain. Biarkan aku yang memancing pengkhianat itu keluar."Dimitri langsung menoleh padanya, matanya berkilat tajam. "Tidak."Ayla mengangkat alis. "Dimitri, ak
Ayla berjalan menyusuri koridor mansion Alexander dengan langkah mantap. Setiap detail di tempat ini telah ia hafalkan, dari posisi kamera pengawas hingga cara para penjaga bergerak. Ia harus berhati-hati—kesalahan sekecil apa pun bisa berarti kematian.Alexander memimpin di depan, membawa Ayla ke ruang pribadinya. Begitu mereka masuk, ia menutup pintu dan menoleh dengan senyum puas."Aku tahu kau akan membuat keputusan yang benar," katanya, menuangkan anggur merah ke dalam dua gelas kristal.Ayla menerima gelasnya, tapi hanya memutarnya di tangannya. "Aku hanya memilih pihak yang lebih kuat."Alexander tertawa kecil. "Bijaksana."Ia berjalan ke mejanya, menekan tombol di bawah laci. Sebuah layar muncul dari dinding, memperlihatkan data transaksi dan rencana rahasia untuk menghancurkan Dimitri.Ayla menelan ludahnya. Ini adalah informasi berharga yang Dimitri butuhkan, tapi bagaimana ia bisa mendapatkannya tanpa menimbulkan kecurigaan?
Darah mengalir di sudut bibir Alexander saat dua orang anak buah Dimitri memaksanya berlutut di tengah ruang kantornya sendiri. Namun sorot matanya belum pudar. Tatapan itu masih menyimpan kebanggaan seorang pria yang merasa dirinya tak bisa dijatuhkan.Dimitri berdiri di depannya, mengenakan setelan hitam khasnya, kancing jas dibuka separuh dan dasi sedikit longgar. Wajahnya dingin, tetapi rahangnya mengeras—tanda bahwa amarah sedang ditekan kuat-kuat di balik ketenangan yang dibuat-buat."Berapa lama kau menanamkan pengaruhmu di dalam perusahaanku?" tanya Dimitri datar, nyaris tanpa nada.Alexander menyeringai meski darah masih menetes dari sudut bibirnya. "Cukup lama untuk tahu titik lemahmu. Dan ternyata benar—perempuan ini."Matanya melirik ke arah Ayla, yang berdiri beberapa langkah di samping Dimitri. Ekspresinya tidak lagi meremehkan, tapi menilai.Ayla menatapnya balik tanpa gentar. Ia tidak perlu menyembunyikan siapa dirinya sekarang. Sem
Ayla berdiri membeku. Suara Ivy barusan seakan membelah udara malam yang dingin. Ruangan itu mendadak terlalu sunyi, terlalu sempit, terlalu penuh kenangan yang tidak diundang."Apa maksudmu?" tanya Ayla perlahan, suaranya nyaris tak terdengar.Ivy menyilangkan kaki, menyender santai di kursi, seolah pernyataannya tadi hanyalah pembuka percakapan biasa. "Aku yang menyuruh Leon untuk meninggalkanmu. Dengan cara yang membuatmu membencinya seumur hidupmu."Ayla mengepalkan tangan. "Kau sedang bermain-main.""Sayangnya, aku tidak sedang bercanda." Ivy mencondongkan tubuh ke depan, suaranya melembut namun menusuk. "Leon... dia mencintaimu. Sangat. Bahkan terlalu dalam untuk pria sekelas dia. Tapi cinta seperti itu bisa jadi kelemahan."Ayla tertawa getir. "Kelemahan bagi siapa? Untukmu?"Ivy tak langsung menjawab. Dia membuka dompet kecil, mengeluarkan sebuah foto tua. Ia meletakkannya di meja di antara mereka. Perlahan, Ayla menunduk dan menatap
Ayla berdiri membeku. Suara Ivy barusan seakan membelah udara malam yang dingin. Ruangan itu mendadak terlalu sunyi, terlalu sempit, terlalu penuh kenangan yang tidak diundang."Apa maksudmu?" tanya Ayla perlahan, suaranya nyaris tak terdengar.Ivy menyilangkan kaki, menyender santai di kursi, seolah pernyataannya tadi hanyalah pembuka percakapan biasa. "Aku yang menyuruh Leon untuk meninggalkanmu. Dengan cara yang membuatmu membencinya seumur hidupmu."Ayla mengepalkan tangan. "Kau sedang bermain-main.""Sayangnya, aku tidak sedang bercanda." Ivy mencondongkan tubuh ke depan, suaranya melembut namun menusuk. "Leon... dia mencintaimu. Sangat. Bahkan terlalu dalam untuk pria sekelas dia. Tapi cinta seperti itu bisa jadi kelemahan."Ayla tertawa getir. "Kelemahan bagi siapa? Untukmu?"Ivy tak langsung menjawab. Dia membuka dompet kecil, mengeluarkan sebuah foto tua. Ia meletakkannya di meja di antara mereka. Perlahan, Ayla menunduk dan menatap
Darah mengalir di sudut bibir Alexander saat dua orang anak buah Dimitri memaksanya berlutut di tengah ruang kantornya sendiri. Namun sorot matanya belum pudar. Tatapan itu masih menyimpan kebanggaan seorang pria yang merasa dirinya tak bisa dijatuhkan.Dimitri berdiri di depannya, mengenakan setelan hitam khasnya, kancing jas dibuka separuh dan dasi sedikit longgar. Wajahnya dingin, tetapi rahangnya mengeras—tanda bahwa amarah sedang ditekan kuat-kuat di balik ketenangan yang dibuat-buat."Berapa lama kau menanamkan pengaruhmu di dalam perusahaanku?" tanya Dimitri datar, nyaris tanpa nada.Alexander menyeringai meski darah masih menetes dari sudut bibirnya. "Cukup lama untuk tahu titik lemahmu. Dan ternyata benar—perempuan ini."Matanya melirik ke arah Ayla, yang berdiri beberapa langkah di samping Dimitri. Ekspresinya tidak lagi meremehkan, tapi menilai.Ayla menatapnya balik tanpa gentar. Ia tidak perlu menyembunyikan siapa dirinya sekarang. Sem
Ayla berjalan menyusuri koridor mansion Alexander dengan langkah mantap. Setiap detail di tempat ini telah ia hafalkan, dari posisi kamera pengawas hingga cara para penjaga bergerak. Ia harus berhati-hati—kesalahan sekecil apa pun bisa berarti kematian.Alexander memimpin di depan, membawa Ayla ke ruang pribadinya. Begitu mereka masuk, ia menutup pintu dan menoleh dengan senyum puas."Aku tahu kau akan membuat keputusan yang benar," katanya, menuangkan anggur merah ke dalam dua gelas kristal.Ayla menerima gelasnya, tapi hanya memutarnya di tangannya. "Aku hanya memilih pihak yang lebih kuat."Alexander tertawa kecil. "Bijaksana."Ia berjalan ke mejanya, menekan tombol di bawah laci. Sebuah layar muncul dari dinding, memperlihatkan data transaksi dan rencana rahasia untuk menghancurkan Dimitri.Ayla menelan ludahnya. Ini adalah informasi berharga yang Dimitri butuhkan, tapi bagaimana ia bisa mendapatkannya tanpa menimbulkan kecurigaan?
Dimitri berjalan mondar-mandir di ruang kerjanya di The Elysian Tower. Rahangnya mengeras, matanya dipenuhi kemarahan yang nyaris tak terbendung. Ayla duduk di sofa, mengamati ekspresi pria itu."Ini berarti seseorang di dalam sistemku telah bekerja untuk Alexander," gumam Dimitri, suaranya lebih seperti geraman.Ayla menyandarkan punggungnya, menyilangkan kaki dengan tenang. "Kita hanya perlu mencari tahu siapa dia sebelum semuanya terlambat."Victor, yang berdiri di dekat pintu, menyela, "Aku bisa mulai menyelidiki dari dalam. Aku punya daftar orang-orang yang paling mungkin berkhianat."Dimitri mengangguk, tetapi ekspresinya tetap gelap. "Kita tidak bisa gegabah. Jika kita menuduh orang yang salah, Alexander akan tahu bahwa kita mencurigainya."Ayla menatap Victor. "Ada cara lain. Biarkan aku yang memancing pengkhianat itu keluar."Dimitri langsung menoleh padanya, matanya berkilat tajam. "Tidak."Ayla mengangkat alis. "Dimitri, ak
Ayla tersenyum tipis, menyembunyikan keterkejutannya di balik ekspresi percaya diri. Alexander Vasiliev memang licik, tetapi ia sudah menduganya sejak awal.“Meninggalkan Dimitri?” ulang Ayla, nadanya ringan namun penuh tantangan. “Dan sebagai gantinya, aku akan memiliki seluruh kota ini di kakiku?”Alexander tersenyum, menyusuri wajah Ayla dengan tatapan yang tajam dan penuh perhitungan. “Kau cerdas, Ayla. Kau tahu bagaimana dunia ini bekerja. Dimitri mungkin kuat, tetapi dia memiliki terlalu banyak musuh. Terlalu banyak beban. Bersamaku, kau tidak akan perlu bersembunyi dalam bayang-bayangnya.”Ayla menahan napasnya sejenak, memikirkan bagaimana cara terbaik untuk memainkan kartu ini. Ia bisa melihat bagaimana Alexander mencoba memecah belahnya dan Dimitri, mencoba menanamkan benih keraguan.Tapi Ayla bukan wanita bodoh.Ia mengangkat gelas anggur di tangannya, mengaduk-aduk cairan merah di dalamnya sebelum menatap Alexander dengan sorot mata pen
Ayla menatap gaun merah yang tergeletak di tempat tidurnya. Tangan mungilnya mengepal, meremas kertas yang baru saja dibacanya. Alexander Vasiliev telah menerobos batasannya.Dia tidak hanya mengancam dari kejauhan—pria itu telah masuk ke dalam ranah pribadinya, meninggalkan pesan seolah-olah ia memiliki kendali penuh atas dirinya.Tidak. Itu tidak akan terjadi.Ayla berbalik, menyambar ponselnya, dan menekan kontak Dimitri.Nada sambung hanya berlangsung beberapa detik sebelum suara berat Dimitri terdengar.“Ada apa?”“Apartemenku dibobol,” ucap Ayla tanpa basa-basi. “Alexander meninggalkan pesan.”Sejenak, hening. Ayla bisa merasakan ketegangan dalam diamnya.“Apa pesannya?” suara Dimitri terdengar lebih dingin dari biasanya.Ayla menoleh ke tempat tidur, tatapannya membakar. “Dia ingin aku memakai gaun ini untuk ‘pertemuan berikutnya’.”Kutukan kasar terdengar di seberang telepon.“Tunggu di sana. Aku ak
Pagi di Velmont City terasa lebih suram dari biasanya. Langit mendung, udara dingin menyusup ke dalam setiap celah bangunan pencakar langit. Di dalam The Elysian Tower, Dimitri Velasquez berdiri di depan jendela lantai tertinggi, memandangi kota yang selama ini berada dalam genggamannya. Namun, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasakan ancaman yang nyata.Alexander Vasiliev telah kembali.Dimitri mengepalkan tangannya. Ia telah menghadapi banyak musuh, tetapi Alexander adalah lawan yang berbeda. Dia tidak hanya kejam, tetapi juga cerdas. Dan kini, pria itu mengincar dua hal yang paling berharga baginya—kekuasaan dan Ayla Reynard.Suara pintu terbuka membuatnya menoleh. Victor Moretti masuk dengan ekspresi tegang.“Kita punya masalah.”Dimitri tidak menjawab, hanya mengangkat alis sebagai isyarat agar Victor melanjutkan.“Salah satu orang kita ditemukan tewas tadi malam. Luka tembak di kepala. Itu peringatan dari Alexander.”
Ayla duduk di ruang kerjanya, jemarinya mengetuk-ngetuk meja dengan ritme tak beraturan. Nama yang disebutkan Dimitri terus terngiang di kepalanya—Alexander Vasiliev.Siapa pun pria itu, ia jelas cukup berbahaya hingga Dimitri terlihat lebih waspada dari biasanya.Suara ketukan pintu membuatnya menoleh. Victor Moretti masuk, ekspresinya serius.“Ada sesuatu yang harus kau lihat,” katanya tanpa basa-basi.Ayla berdiri. “Apa?”Victor menyerahkan sebuah amplop cokelat. “Dikirimkan ke Reynard Holdings pagi ini, tanpa nama pengirim.”Ayla merobek segelnya dan menarik keluar beberapa lembar foto. Matanya membesar saat melihat isinya.Foto dirinya dan Dimitri, diambil dari sudut-sudut yang tersembunyi. Beberapa di antaranya diambil di The Elysian Tower, bahkan ada yang dari dalam kantor Dimitri sendiri.Namun, yang membuat darah Ayla berdesir adalah foto terakhir—gambar dirinya di dalam apartemen pribadinya.Se
Ayla berdiri di depan jendela besar kantornya, menatap gemerlap malam Velmont City. Tangannya bersedekap, pikirannya berputar cepat, mencerna setiap informasi yang baru saja ia dapatkan.Pembersihan pengkhianat di dalam Reynard Holdings memang sudah dilakukan, tetapi itu tidak mengubah kenyataan bahwa Carlisle Industries masih selangkah lebih maju.Langkah berikutnya harus lebih tajam, lebih mematikan.Pintu kantornya terbuka. Dimitri masuk, mengenakan setelan gelap yang membentuk aura dominasi khasnya.“Kau terlihat tegang,” katanya seraya melangkah mendekat.Ayla menoleh sebentar sebelum kembali menatap ke luar. “Karena aku tahu mereka tidak akan berhenti.”Dimitri mendekat, berdiri di sampingnya. “Tentu saja tidak. Eleanor bukan tipe yang mundur setelah satu kekalahan. Dan Leon... dia terlalu terobsesi padamu untuk membiarkan ini berlalu begitu saja.”Ayla mengepalkan tangannya. “Aku akan menghabisi mereka sebelum mereka bisa menja