Ayla menatap pesan misterius di ponselnya. Klub Noir. Tengah malam.Ini bisa saja jebakan, tetapi ia tidak punya pilihan selain datang. Jika benar ada seseorang yang ingin memberinya kebenaran, maka ia harus mengambil risiko.Ia berdiri di depan lemari pakaiannya, memilih gaun hitam ketat dengan belahan tinggi yang memberi kesan elegan sekaligus berbahaya. Rambutnya ia biarkan tergerai, sementara riasan wajahnya sedikit lebih dramatis daripada biasanya. Malam ini, ia tidak datang sebagai wanita yang perlu diselamatkan—melainkan sebagai seseorang yang siap bertarung.Ketika ia tiba di Klub Noir, suasana di dalam terasa lebih berat dari biasanya. Musik berdentum, orang-orang bercengkerama di sudut-sudut ruangan yang temaram, tetapi ada sesuatu yang berbeda.Langkahnya ringan, tetapi matanya tajam, menyapu sekeliling ruangan, mencari siapa pun yang terlihat mencurigakan.Sebuah suara dari belakang membuatnya berhenti."Akhirnya kau datang."Ayla berbalik. Seorang pria duduk di sofa VIP,
Dimitri duduk diam di kantornya, menatap layar laptop yang menampilkan berbagai informasi tentang Ivy Larchmont dan Leon Carlisle. Semua bukti yang diberikan Ayla sudah dikonfirmasi oleh timnya, dan kini tidak ada lagi ruang untuk ragu."Jadi, apa rencanamu?" suara Ayla memecah keheningan.Dimitri menutup laptopnya, lalu menatap Ayla yang berdiri di seberang meja dengan tatapan penuh tekad. "Kita tidak bisa bergerak gegabah. Ivy adalah wanita licik, dan Leon punya pengaruh besar. Jika kita menyerang tanpa strategi, kita justru bisa terjebak."Ayla mendekat, meletakkan kedua tangannya di atas meja. "Aku tidak ingin menunggu lebih lama. Mereka sudah menghancurkan cukup banyak hal. Kali ini, kita harus membuat mereka menyesal."Dimitri tersenyum tipis, melihat nyala api di mata Ayla. "Dan kau ingin melakukannya dengan cara apa?"Ayla menyandarkan tubuhnya pada meja, matanya berkilat. "Ivy ingin menghancurkan reputasiku? Baik. Kita balas dengan cara ya
Ayla berdiri di depan jendela besar di apartemennya, menatap pemandangan Velmont City yang gemerlap di bawah langit malam. Tangan kanannya menggenggam secangkir teh hangat, sementara pikirannya terus berputar pada pertemuannya dengan Leon tadi siang.Dia sudah memperkirakan bahwa pria itu tidak akan tinggal diam, tetapi ancaman yang tersirat dari kata-kata Leon menegaskan satu hal: mereka akan melawan dengan segala cara yang mereka miliki.Suara ketukan di pintu membuyarkan lamunannya. Ayla berbalik dan melihat Dimitri masuk, ekspresinya lebih gelap dari biasanya."Ada kabar baru?" tanya Ayla.Dimitri mengangguk, menyerahkan sebuah dokumen padanya. "Gabriel tidak hanya membantu Leon dan Ivy, tapi dia juga menggerakkan orang-orangnya untuk mengganggu operasi kita. Beberapa bisnis yang terafiliasi dengan Velasquez Corporation mengalami gangguan hari ini."Ayla membaca dokumen itu dengan cepat. Beberapa kontrak penting dibatalkan secara mendadak, sala
Ayla melangkah perlahan di dalam ruang kerja Dimitri, matanya fokus pada layar besar yang menampilkan laporan terbaru tentang Carlisle Industries. Perusahaan itu sedang runtuh, seperti yang telah mereka rencanakan. Sahamnya anjlok, investor mulai menarik diri, dan media mulai menggali lebih dalam kebusukan Leon.Namun, Ayla tahu ini belum selesai. Leon bukan tipe pria yang akan menyerah begitu saja.Dimitri duduk di kursinya, tangannya mengetuk pelan permukaan meja kayu mahoni. "Leon pasti merencanakan sesuatu," katanya tenang, namun matanya menyala dengan kewaspadaan.Victor masuk dengan ekspresi serius. "Kami menangkap pergerakan mencurigakan dari orang-orang Leon. Mereka bertemu dengan beberapa pihak yang bisa menyediakan senjata ilegal."Ayla menatap Dimitri. "Dia berencana menyerang secara langsung?"Dimitri mengangguk. "Sepertinya begitu. Dan aku tidak akan memberinya kesempatan pertama."Dia berbalik ke Victor. "Kumpulkan semua orang.
Ayla berdiri di depan jendela kaca besar di apartemen Dimitri, matanya menatap kosong ke arah kota yang masih berkilau di tengah malam. Tangannya masih gemetar setelah apa yang terjadi di pelabuhan. Tembakan itu. Darah Leon. Tatapan matanya yang penuh kebencian saat tubuhnya jatuh ke tanah.Dimitri berdiri di belakangnya, diam. Ia tahu Ayla butuh waktu untuk mencerna semuanya. Tapi waktu bukanlah sesuatu yang bisa mereka miliki dengan mudah."Kau tidak perlu merasa bersalah," suara Dimitri akhirnya memecah keheningan.Ayla menghela napas. "Aku tidak merasa bersalah. Aku hanya... merasa kosong."Dimitri berjalan mendekat, jemarinya menyentuh lembut bahunya. "Kau telah bertahan. Itu yang penting."Ayla menoleh, menatapnya lekat-lekat. "Tapi apa yang kita lakukan selanjutnya, Dimitri? Apakah ini benar-benar sudah berakhir?"Dimitri terdiam sesaat, lalu berkata, "Leon mungkin sudah jatuh. Tapi perang ini belum selesai."Ayla mengerutkan k
Ayla menatap langit malam dari balkon apartemen Dimitri. Angin dingin menerpa wajahnya, tetapi ia tetap berdiri tegak, pikirannya berputar cepat. Insiden di gang siang tadi masih membekas. Rasa dingin di tengkuknya, tangan kasar pria itu, ancaman yang dilontarkan.Gabriel Delgado sudah mulai bergerak.Langkah kaki terdengar dari belakang. Ayla menoleh dan melihat Dimitri berjalan mendekat, ekspresinya sulit dibaca. Dia mengenakan kemeja hitam dengan lengan digulung hingga siku, memperlihatkan tato samar di pergelangan tangannya. Pria itu terlihat tenang, tetapi Ayla tahu di balik ketenangan itu, ada badai yang sedang berkecamuk.“Kau masih memikirkan kejadian tadi?” Dimitri bertanya, bersandar di pagar balkon.Ayla menghela napas. “Aku tidak bisa mengabaikannya. Dia mencoba menculikku, Dimitri. Jika aku tidak membawa pisau, mungkin aku tidak akan ada di sini sekarang.”Dimitri mengepalkan rahangnya. “Itu kesalahanku. Aku seharusnya menempatkan lebih banyak pengawal untukmu.”Ayla meng
Velmont City tidak pernah tidur, tetapi malam ini, kota itu terasa lebih dingin. Setelah serangan di Club Noir, Ayla tahu tidak ada jalan untuk kembali. Gabriel Delgado telah melemparkan tantangannya secara terbuka, dan Dimitri tidak akan tinggal diam.Ayla berdiri di jendela apartemen Dimitri, melihat lampu-lampu kota yang berkilauan. Di belakangnya, Dimitri duduk di kursi dengan wajah keras. Victor berdiri di dekat meja, meneliti dokumen yang baru saja dikirim oleh salah satu informan mereka.“Gabriel memanfaatkan orang-orang yang dulu punya dendam padamu,” kata Victor, meletakkan dokumen itu dengan kasar. “Ada beberapa mantan mitra bisnismu yang ingin melihatmu jatuh.”Dimitri tersenyum dingin. “Mereka bisa mencoba. Tapi tidak ada yang pernah berhasil menjatuhkanku.”Ayla menoleh, matanya penuh tekad. “Kalau begitu, kita harus memukulnya lebih dulu.”Dimitri menatapnya, ekspresinya samar. “Apa yang kau pikirkan?”Ayla berjalan ke meja, menatap dokumen itu. “Gabriel tidak hanya ingi
Ayla menatap Dimitri dengan rahang mengatup rapat. Ancaman Gabriel tidak hanya tertuju pada Dimitri, tetapi juga dirinya. Dia sudah memperhitungkan bahwa masuk ke dunia ini akan membawanya ke medan perang yang lebih berbahaya dari sekadar balas dendam terhadap Leon. Tapi jika Gabriel berpikir dia bisa menggertak mereka, dia salah besar.Dimitri berjalan mondar-mandir di ruang kerjanya di The Elysian Tower, ekspresinya tajam. Victor duduk di sudut ruangan, mengetuk-ngetukkan jarinya ke meja. “Gabriel tidak akan berhenti. Dia ingin merusak semua yang kau miliki.”Dimitri berhenti berjalan, menoleh ke Victor. “Kita tidak bisa menunggu dia bergerak lebih dulu.”Victor menyeringai. “Itu rencanaku.”Ayla melipat tangan di dadanya. “Kita tahu dia tidak ada di gudang, jadi di mana dia sekarang?”Victor melemparkan sebuah dokumen ke meja. “Sumberku mengatakan Gabriel bersembunyi di salah satu vila pribadinya di pinggiran Ravenhurst. Dia dikelilingi pasukan kecilnya, tapi aku yakin kita bisa ma
Sore itu langit Velmont City seakan tahu apa yang terjadi. Matahari mulai tenggelam, tetapi cahayanya masih menyentuh jendela kaca Reynard Holdings. Ayla berdiri di ruang kantornya, memandangi siluet kota yang pernah membuatnya merasa kecil dan tak berarti. Tapi kali ini berbeda—kali ini, kota itu berdiri di bawah kakinya.Pintu diketuk pelan.Victor menyembul dengan ekspresi serius. “Dimitri mengirim pesan. Ada sesuatu yang harus kau lihat.”Ayla mengangguk. Dalam balutan blazer hitam dan rok pensil senada, dia berjalan keluar, langkahnya tegap. Sekretaris-sekretaris yang biasanya menunduk kini menatapnya dengan hormat. Bahkan eksekutif level atas tahu: wanita itu bukan sekadar pemilik perusahaan. Dia simbol dari kemenangan yang dibangun dengan luka, tekad, dan strategi.Di lobi bawah, sebuah mobil hitam menunggu. Victor membuka pintu untuknya.“Dimitri tidak bilang apa-apa?” tanya Ayla sambil masuk.“Hanya bilang kau akan mengerti setelah tiba di sana.”Ayla menatap keluar jendela.
Ayla menatap langit pagi dari jendela rumah mungil mereka di Ravenhurst. Udara masih segar, embun menempel di daun, dan suara burung menggema dari kejauhan. Di dalam perutnya, kehidupan kecil tengah tumbuh—mengubah segalanya. Ia tidak lagi sekadar seorang wanita yang ingin membalas dunia, tapi seorang ibu yang ingin menciptakan dunia yang lebih baik.Dimitri muncul dari dapur, mengenakan apron berwarna krem, membawa dua cangkir teh hangat. Pandangannya jatuh pada Ayla yang sedang mengusap perutnya dengan lembut."Kau bangun lebih pagi dari biasanya," ujarnya sambil duduk di sampingnya.Ayla tersenyum. “Aku tidak bisa tidur. Mimpi tentang masa lalu... tapi kali ini, aku tidak merasa takut lagi.”Dimitri mengangguk pelan. Tangannya menyentuh tangan Ayla. Tak ada kata yang bisa menggambarkan bagaimana perasaan mereka sekarang. Tenang. Stabil. Seperti langit yang baru saja berhenti hujan.Beberapa hari kemudian, Ayla kembali ke pusat rehabilitasi. Di ruang konseling, seorang gadis berusia
Langit Ravenhurst menggantung kelabu saat pesawat yang ditumpangi Ayla mendarat di bandara kecil kota itu. Jauh dari hiruk-pikuk Velmont, dari bayang-bayang masa lalu dan dendam yang telah ia kubur. Tak ada penyambutan mewah, tak ada keramaian. Hanya suara roda pesawat yang menyentuh landasan dan napas panjang yang Ayla embuskan dari dadanya.Ia melangkah keluar dengan hanya satu koper kecil dan sebuah tas di bahunya. Seperti awal yang baru. Seperti hidup yang ia bentuk dengan tangannya sendiri.Di luar terminal, seorang wanita berambut perak dengan kacamata bundar sudah menunggu. Senyumnya hangat, matanya penuh kebijaksanaan."Ayla Reynard?" sapanya pelan.Ayla mengangguk. "Dr. Mira Levin?"“Selamat datang di Ravenhurst. Aku dengar kau ingin belajar kembali tentang manusia. Tentang luka. Tentang penyembuhan,” ucap Mira sambil meraih koper Ayla.Ayla tersenyum kecil. "Lebih dari itu. Aku ingin tahu apakah hati yang dipenuhi dendam masih bisa
Kilatan cahaya dari lampu kota menyinari kaca jendela ruang kerja Dimitri saat Ayla berdiri menatap malam, tubuhnya tegak namun napasnya berat. Di belakangnya, Dimitri masih duduk di kursi, berdiam dengan tatapan kosong ke layar komputer yang menyala redup.“Kau yakin ingin melakukan ini sendiri?” tanya Dimitri akhirnya, suaranya serak karena terlalu lama menahan kata-kata yang mengendap di dada.Ayla menoleh perlahan, matanya tajam namun penuh ketenangan. “Ini jalanku. Dendam ini milikku sejak awal, Dimitri. Aku harus menyelesaikannya.”Dimitri berdiri, mendekat, lalu menggenggam tangannya. “Kalau ada satu hal dalam hidupku yang ingin kuubah, itu adalah hari ketika aku pertama kali membiarkanmu berjalan sendirian.”Ayla menarik napas panjang, lalu membalas genggamannya. “Kau tidak pernah benar-benar membiarkanku sendiri. Tapi aku juga harus belajar melepaskan—terutama rasa takutku sendiri.”Mereka saling menatap dalam diam. Tidak ada janji. Tidak
Ayla berdiri membeku. Suara Ivy barusan seakan membelah udara malam yang dingin. Ruangan itu mendadak terlalu sunyi, terlalu sempit, terlalu penuh kenangan yang tidak diundang."Apa maksudmu?" tanya Ayla perlahan, suaranya nyaris tak terdengar.Ivy menyilangkan kaki, menyender santai di kursi, seolah pernyataannya tadi hanyalah pembuka percakapan biasa. "Aku yang menyuruh Leon untuk meninggalkanmu. Dengan cara yang membuatmu membencinya seumur hidupmu."Ayla mengepalkan tangan. "Kau sedang bermain-main.""Sayangnya, aku tidak sedang bercanda." Ivy mencondongkan tubuh ke depan, suaranya melembut namun menusuk. "Leon... dia mencintaimu. Sangat. Bahkan terlalu dalam untuk pria sekelas dia. Tapi cinta seperti itu bisa jadi kelemahan."Ayla tertawa getir. "Kelemahan bagi siapa? Untukmu?"Ivy tak langsung menjawab. Dia membuka dompet kecil, mengeluarkan sebuah foto tua. Ia meletakkannya di meja di antara mereka. Perlahan, Ayla menunduk dan menatap
Darah mengalir di sudut bibir Alexander saat dua orang anak buah Dimitri memaksanya berlutut di tengah ruang kantornya sendiri. Namun sorot matanya belum pudar. Tatapan itu masih menyimpan kebanggaan seorang pria yang merasa dirinya tak bisa dijatuhkan.Dimitri berdiri di depannya, mengenakan setelan hitam khasnya, kancing jas dibuka separuh dan dasi sedikit longgar. Wajahnya dingin, tetapi rahangnya mengeras—tanda bahwa amarah sedang ditekan kuat-kuat di balik ketenangan yang dibuat-buat."Berapa lama kau menanamkan pengaruhmu di dalam perusahaanku?" tanya Dimitri datar, nyaris tanpa nada.Alexander menyeringai meski darah masih menetes dari sudut bibirnya. "Cukup lama untuk tahu titik lemahmu. Dan ternyata benar—perempuan ini."Matanya melirik ke arah Ayla, yang berdiri beberapa langkah di samping Dimitri. Ekspresinya tidak lagi meremehkan, tapi menilai.Ayla menatapnya balik tanpa gentar. Ia tidak perlu menyembunyikan siapa dirinya sekarang. Sem
Ayla berjalan menyusuri koridor mansion Alexander dengan langkah mantap. Setiap detail di tempat ini telah ia hafalkan, dari posisi kamera pengawas hingga cara para penjaga bergerak. Ia harus berhati-hati—kesalahan sekecil apa pun bisa berarti kematian.Alexander memimpin di depan, membawa Ayla ke ruang pribadinya. Begitu mereka masuk, ia menutup pintu dan menoleh dengan senyum puas."Aku tahu kau akan membuat keputusan yang benar," katanya, menuangkan anggur merah ke dalam dua gelas kristal.Ayla menerima gelasnya, tapi hanya memutarnya di tangannya. "Aku hanya memilih pihak yang lebih kuat."Alexander tertawa kecil. "Bijaksana."Ia berjalan ke mejanya, menekan tombol di bawah laci. Sebuah layar muncul dari dinding, memperlihatkan data transaksi dan rencana rahasia untuk menghancurkan Dimitri.Ayla menelan ludahnya. Ini adalah informasi berharga yang Dimitri butuhkan, tapi bagaimana ia bisa mendapatkannya tanpa menimbulkan kecurigaan?
Dimitri berjalan mondar-mandir di ruang kerjanya di The Elysian Tower. Rahangnya mengeras, matanya dipenuhi kemarahan yang nyaris tak terbendung. Ayla duduk di sofa, mengamati ekspresi pria itu."Ini berarti seseorang di dalam sistemku telah bekerja untuk Alexander," gumam Dimitri, suaranya lebih seperti geraman.Ayla menyandarkan punggungnya, menyilangkan kaki dengan tenang. "Kita hanya perlu mencari tahu siapa dia sebelum semuanya terlambat."Victor, yang berdiri di dekat pintu, menyela, "Aku bisa mulai menyelidiki dari dalam. Aku punya daftar orang-orang yang paling mungkin berkhianat."Dimitri mengangguk, tetapi ekspresinya tetap gelap. "Kita tidak bisa gegabah. Jika kita menuduh orang yang salah, Alexander akan tahu bahwa kita mencurigainya."Ayla menatap Victor. "Ada cara lain. Biarkan aku yang memancing pengkhianat itu keluar."Dimitri langsung menoleh padanya, matanya berkilat tajam. "Tidak."Ayla mengangkat alis. "Dimitri, ak
Ayla tersenyum tipis, menyembunyikan keterkejutannya di balik ekspresi percaya diri. Alexander Vasiliev memang licik, tetapi ia sudah menduganya sejak awal.“Meninggalkan Dimitri?” ulang Ayla, nadanya ringan namun penuh tantangan. “Dan sebagai gantinya, aku akan memiliki seluruh kota ini di kakiku?”Alexander tersenyum, menyusuri wajah Ayla dengan tatapan yang tajam dan penuh perhitungan. “Kau cerdas, Ayla. Kau tahu bagaimana dunia ini bekerja. Dimitri mungkin kuat, tetapi dia memiliki terlalu banyak musuh. Terlalu banyak beban. Bersamaku, kau tidak akan perlu bersembunyi dalam bayang-bayangnya.”Ayla menahan napasnya sejenak, memikirkan bagaimana cara terbaik untuk memainkan kartu ini. Ia bisa melihat bagaimana Alexander mencoba memecah belahnya dan Dimitri, mencoba menanamkan benih keraguan.Tapi Ayla bukan wanita bodoh.Ia mengangkat gelas anggur di tangannya, mengaduk-aduk cairan merah di dalamnya sebelum menatap Alexander dengan sorot mata pen