Yuhu, semoga suka ya. Tiga bab untuk malam tahun baru kalian yang hanya di rumah. Lope sekebon untuk semua pembaca 🥰😘
Degh! Mata merah wanita itu berubah menggelap, menutup sebentar. Srash! Jiwa Nyi Gendeng keluar dari tubuh Rengganis. Demit tak kasat mata itu berdecih lalu melayang ke udara. Raga yang dipinjam sudah tidak bisa disentuh kembali karena Rengganis menyadarkan diri, terbangun. 'Padahal aku masih belum puas bermain, tapi Rengganis sudah terbangun. Sungguh disayangkan,' keluh Nyi Gendeng Sukmo. 'Suatu saat aku pasti bisa bersemayam seutuhnya di tubuh yang merupakan wadah tepat untukku itu,' cebiknya. Rengganis membuka mata, yah, tubuh yang baru saja digunakan oleh jiwa Nyi Gendeng Sukmo tersebut telah kembali pada sang pemilik bersama kesadaran penuh Rengganis. Mata merahnya berubah coklat terang kembali. Namun, masih tetap nampak tajam mengancam. Dalam samar seperti mimpi, Rengganis seperti melihat hal yang terjadi di alam bawah sadarnya. Dia bahkan menyaksikan samar apa yang dilakukan Nyi Gendeng Sukmo. Sekuat tenaga, dia pun menyadarkan diri untuk bangun. S
Khandra bangun dari tidur lelap, hari matahari sudah bersinar. Sorotnya masuk lewat lubang di atas air terjun gua. Setelah sekian lama tidak bisa tidur nyenyak. Baru malam tadi dia dapat tidur tenang dan sangat nyaman. Bangun badan terasa bugar sangat, bibir lelaki itu naik membentuk bulan sabit. Mengingat betapa menakjubkan malam tadi. Peristiwa bersejarah yang tidak akan dapat dia lupakan. Khandra tersenyum seperti orang hila mengingat lekuk indah tubuh Rengganis, hingga tubuhnya kembali menggelora. Namun, segera dia tertampar kembali pada kenyataan. Di mana tidak dia temui keberadaan Rengganis sekali pun. Khandra menarik kain lalu melilitkan menutup bagian tubuh bawahnya. Lelaki itu bangkit dari batu tempat dirinya berbaring. "Permaisuri Rengganis." Khandra memanggil. Khandra melangkah menyusuri gua. Harum bau Rengganis masih terasa, ah betapa Khandra merindu aroma itu seketika. Lelaki tersebut berjalan ke dekat air terjun, di mana ada tumpukan daun lontar. Lelaki itu
Beberapa saat sebelumnya. Seorang lelaki berpakaian putih dengan menutup kepalanya menggunakan caping, juga wajahnya tertutup cadar, hanya memperlihatkan mata tajam itu menangkap tubuh Rengganis yang hampir ambruk ke tanah. Wanita itu pingsan. Dengan cepat dia mengangkat tubuh Rengganis lalu membawa kembali pada rombongan saudagar. Tentu mereka terkejut melihat Rengganis dibawa lelaki itu. "Kisanak, kau ini siapa? Mengapa kau membawa Nyai Sukma? Sedang kami melihat tadi dia melompat ke udara bersama kedua penyamun?" berondong Varen —pemuda gagah yang merupakan ketua/pemimpin para saudagar—. "Wanita tangguh ini telah berhasil memukul mundur para penyamun, dia kelelahan. Mohon bawa dia ke tabib," jawab lelaki bercadar. "Tanpa kau suruh pun akan kami lakukan, dia telah berjasa pada kami," ujar salah seorang wanita yang beberapa saat lalu berjalan beriringan dengan Rengganis. "Iya, benar," timpal salah seorang lagi. "Baguslah," jawab lelak
Rengganis atas bantuan Varen mencari keberadaan anak buah Ki Chandra di pelabuhan. Banyaknya kenalan Chandra di dermaga, membuat mereka mempermudah pencarian. Terutama kapal yang hendak menuju ke arah Kerajaan Bamantara hanya tiga buah. Varen dan anak buahnya berhasil menangkap kedua orang suruhan Ki Chandra berhasil diringkus. Tangan mereka diikat ke belakang, mata juga tertutup kain. Keduanya diseret ke sebuah bangunan tua lewat jalan tikus. Varen lalu melemparkan keduanya ke sebuah ruang berdebu. Uhuk! Uhuk! Mereka terbatuk, Varen dengan cepat membuka penutup mata. Kedua orang tersebut terkejut. Melihat di sudut ruang ada Rengganis berdiri. Rengganis melangkahkan kaki mendekati lalu menarik pedang dari salah satu anak buah Varen. "Katakan apa yang sebenarnya Ki Chandra rencanakan?" Manik hitam itu mengintimidasi. "Pe … Pe … Permaisuri …." Mendadak mereka tergagap. "Tidak sulit pemangsa menangkap buruannya, hahaha," sindir Rengganis lalu men
Varen melebarkan mata, yah, apa yang dilakukan memang salah. Dia menelan ludah dengan susah payah. Keringat dingin menetes di bawah terik matahari. Wajahnya pucat pasi, lelaki tersebut takut bukan main melihat wajah serius Rengganis. Nampaknya, Rengganis sangat menyukai pemandangan di sampingnya itu. Mereka berdua kini berdiri mematung di ujung kapal kayu yang hanya muat tidak lebih dari sepuluh orang dan beberapa barang bawaan. "Ahahaha, astaga Varen," tawa Rengganis menggelegar melihat pemuda di hadapannya itu gemetaran. "Aku hanya bercanda," lanjutnya. Wajah pucat Varen berubah berseri kembali, pemuda itu terlihat menghela napas lega. "Varen, tapi aku benar akan memenggal kepalamu jika kau berkhianat," tegas Rengganis. "Permaisuri, hamba akan setia dan siap membantu pada ahli waris Kerajaan Baskara yang sesungguhnya. Hamba yakin Permaisuri pasti mampu memimpin seperti Raja terdahulu," kata Varen yakin, lelaki itu menyatukan kedua tangan di depan dengan waj
Khandra melompat kembali ke atas genting. Beberapa anak buah Ki Chandra berlarian ke arah depan. Begitu pula dengan Ki Chandra juga keluarga yang menghampiri. Khandra mengendap-endap masih dari atas, dia melihat rombongan prajurit datang bersama Ki Kastara. Lelaki itu masuk ke dalam rumah beserta Raja Abra. Nampaknya sang Raja marah besar melihat wajahnya memerah, mata melebar dan alis terpaut. Lelaki bergelar raja tersebut murka, dia membalikkan kursi kayu yang ada di bagian depan. "Keluar kau Chandra!" teriak Raja Abra lantang. "Hormat hamba, Gusti Prabu," ujar Ki Chandra bersimpuh lalu menyatukan kedua tangan ke depan membentuk hormat. "Ada apa ini, Kakang?" bisik Larasati. Wanita sepuh itu dan putrinya ikut duduk dan memberi hormat. "Pengkhianat!" bentak Raja Abra lalu menendang tubuh Ki Chandra hingga terperosok ke samping. "Romo!" teriak Gendis yang langsung membantu sang ayah berdiri. "Mohon ampun, Gusti Prabu. Apa yang —
Matahari sudah turun, langit sore memancarkan kemerahan dari ufuk barat. Khandra berjalan menyusuri pasar tradisional menuju ke kedai milik Mbok Berek. Tempat itu selalu ramai pengunjung, hiruk pikuk menyambut langkahnya seiring beberapa pasang mata menangkap sosok Khandra yang tidak asing. Senapati gagah, berpakaian celana hitam panjang di mana pada pinggang terlilit batik, tidak lupa baju yang mirip rompi warna keemasan memperlihatkan lengannya yang berotot. Ah, wanita mana yang tidak akan terpesona melihat kulit langsat terang menggiurkan itu. Seperti wanita pada umumnya, Sajani pun seperti tersihir akan daya pikat Khandra. Wanita itu mengulas senyum malu-malu menyambut kehadirannya. Khandra melihat ke arah Sajani membuat wanita itu salah tingkah. Padahal hal yang terjadi sesungguhnya Khandra menatap Kayana, sahabat seperjuangan dan anak buahnya kini. "Kau lama sekali kawan," protes Kayana. Khandra menarik kursi kayu dan mendudukinya, "Aku baru saja men
Rengganis sempat tertidur di sebuah dipan yang terbuat dari bambu, kapal bergoyang membuat dirinya semakin pusing dan mual. Akhirnya dia memutuskan untuk keluar dari ruangan. Beberapa orang terlihat duduk di bagian depan termasuk Varen. Yah, bisa dibilang cukup nyaman bagi Rengganis berkat bantuan pemuda itu. Entah bagaimana jika dia menyeberangi lautan luas itu tanpa bantuannya. Mungkin Rengganis akan sama seperti pedagang kecil lain yang berdesakan. "Apa kita hampir sampai?" tanya Rengganis yang melihat keadaan sekitar mulai gelap. Varen mendekati lalu menyatukan tangan di depan memberi hormat. "Sebentar lagi, Permaisuri," jawabnya. Rengganis menganggukkan kepala kemudian berkata, "Aku ingin semua berjalan lancar dan cepat. Sudah cukup waktu terbuang sia-sia. Kerajaan milikku harus kembali," decis Rengganis. "Aku harap kau juga bergerak cepat, Varen," ujar Rengganis. Varen yang paham akan permohonan Rengganis lalu tersenyum. "Itu mudah s
Next Novel: Tumbal Pengantin Iblis By: KarRa “Awalnya Kalina menerima balutan bibir itu, hingga sebuah bayangan muncul samar dalam ingatan. Sosok lelaki tampan tertutup cahaya putih, spontan Kalina mendorong tubuh Elard. “Maaf,” pinta Kalina merasa bersalah. Tidak terbersit dirinya untuk mendorong Elard, hanya saja bayangan yang selalu mengintai itu sangat menyiksa, menyesakkan dada. “Kau baik-baik saja, Sayang?” tanya Elard mengernyitkan kening melihat wajah sang kekasih pucat pasi. “Kau---?” “Bayangan dalam mimpiku terlintas dalam ingatan. Aku lelah jika harus seperti ini,” keluh Kalina. Dia mengingat setelah insiden kecelakaan dirinya sering bermimpi bertemu dengan seorang lelaki bersayap, lelaki tampan bak malaikat. Namun, bayangan lelaki itu kini semakin sering muncul, bahkan saat dirinya berdekatan dengan Elard. Sang tunangan pun tahu, Elard orang yang tahu tentang mimpi yang dia alami. Mimpi, tentu saja bukan. Apa yang terjadi pada Kalina
Pertempuran berlangsung cukup lama, Ki Kastara memiliki beberapa pendekar bayangan dengan ilmu bela diri dan kanuragan tinggi. Crask! Terdengar daging yang dihunus. Crash! Sebilah pedang berlumur darah berhasil merobek perut lawan. Teriakan menggema tanpa henti, beberapa prajurit Baskara sudah mulai tumbang. Anak buah Ki Kastara banyak yang tumbang. 'Kurang ajar, bagaimana mungkin mata-mata yang aku taruh di padepokan Elang Putih tidak memberi kabar jika Guru Besar keluar?' Ki Kastara memperhatikan satu per satu kesatria bayarannya tewas mengenaskan. Lelaki itu menggertakkan gigi hingga bergemeletuk. 'Apa mungkin mereka tewas? Atau jangan-jangan malah kabur?' dengkusnya masih dalam hati. Beberapa waktu sebelumnya, di mana aura berbeda melingkupi Padepokan Elang Putih. Saat itu Guru Besar tengah memberi arahan pada murid didiknya. Lelaki itu mendadak berhenti dan menoleh ke arah kanan-kiri serta atas, membuat beberapa murid kebingungan bukan main. Saat ini mereka tengah dud
Empu Jagat Trengginas menutup mata, merasakan kesejukan, dunia pak tua itu terkesan damai. Suara-suara binatang hutan memekik perlahan memudar, pun bunyi-bunyian khas hutan menjadi tidak terdengar. Lelaki sepuh tersebut masih memusatkan perhatian pada satu titik. Menyatu bersama alam, mendadak waktu bahkan seperti lambat berjalan dalam satu pusat pikiran. Hingga setetes air dari daun yang menetes jatuh ke kubangan pun terdengar. Clang! Air itu jatuh, Empu Jagat Trengginas tersenyum mendengar derap langkah kuda. Aura yang sangat dia kenal terasa meski jarak mereka berjauhan. Daun dari ranting pohon mulai berguguran tertiup angin. Empu Jagat Trengginas membuka mata, gerakannya secepat kilat berlari menyusuri hutan tanpa kendala, ah bukan tanpa kendala. Hanya saja gerakan lelaki sepuh iru terlampau cepat. Bertepatan pada daun jatuh di tanah. Kaki lelaki itu melompati ranting pohon lalu menapak di tanah. Seorang lelaki gagah menunggang kuda kemudian menarik tali. Kuda me
Sudah berhari-hari Kayana dan juga pasukan kesatria bayangan berkeliling hutan tanpa tahu jalan keluar. Mereka sudah merasakan gusar lantaran berulang kali melewati tempat sama. Mereka turun dari kuda kemudian duduk di akar pohon besar yang menjulang keluar tanah. Mereka tampak lelah dan letih secara bersamaan. Seorang lelaki tiba-tiba datang melompat dari atas pohon. Kakinya berpijak di tanah kering dengan tangan membawa bungkusan daun. "Kau lama sekali mencari makan," ujar Kayana. "Ah, maaf. Aku baru mengisi bumbung air untuk kita minum di air terjun arah sana. Ini sudah kesekian kalinya berputar-putar di tempat yang sama," keluh lelaku itu meletakkan buah-buahan hutang yang di pertik di tanah dekat mereka semua duduk. "Sepertinya kita terkena uyut mimang," ujar salah seorang. "Ah, sungguh sial!" keluh Kayana menggaruk kepala. "Ketua, sekarang kita harus bagaimana?" Salah seorang lagi bertanya pada Kayana membuat lelaki itu semakin pening.
Rengganis dan Guru Besar sempat berbincang-bincang sebelum Kayana pergi. Lelaki itu berpesan pada Khandra untuk berjalan ke arah berlawanan yang Kayana tuju. Perjalanan tidak tentu arah mencari Ki Kastara juga Empu Jagat Trengginas semakin pelik. Jika Sajani berjalan ke arah ujung utara demi meminimalisir pencarian. Sebenarnya jalan yang di tempuh ketiga kesatria tersebut sudah dalam saran Guru Besar. Kini sepasang kesatria elang putih terpisah di jalan masing-masing. Pun tidak jauh berbeda dengan Khandra yang diutus Guru Besar menjelajahi arah selatan. Berharap Empu Jagat Trengginas dapat ditemukan. "Guru, guru mengatakan jika di arah utara banyak sekali hutan yang berkabut tertutup uyut mimang. Apa Kayana akan baik-baik saja?" tanya Rengganis usai Gautam dan Goga meningggalkan istana. "Tenang saja, Kayana bukan sembarangan pendekar bela diri tanah air. Dia salah satu murid terbaik yang hamba miliki," ungkap Guru Besar yakin. "Semoga saja Empu Jagat Trengginas da
Saat Rengganis dan juga Guru Besar yang sesungguhnya merupakan Mang Damar itu tengah membahas serius kelanjutan rencana. Di luar Istana sudah dibuat geger akan kemunculan para bandit. Siapa lagi jika bukan Gautam dan Goga. Mereka muncul dengan mendorong gerobak berisi mayat Madhavi. Para warga berteriak histeris antara terkejut dan takut. Hingga keributan itu terdengar sampai ruangan Taman Sari. “Ada ribut apa di luar?” tanya Rengganis teralihkan perhatian atas teriakan orang-orang. Mang Damar menutup mata, dia mencoba merasakan aura yang ada di sekitar. “Nampaknya ada tamu tidak terduga berencana bertemu Permaisuri,” kata Mang Damar tersenyum. “Tapi saat ini saya tidak bisa menerima tamu, Mang Damar pun paham dengan keadaan saya, bukan?” “Sungguh sangat paham, tetapi jika tidak ditemui nantinya Permaisuri yang akan repot,” ujar Mang Damar. “Baiklah, selama Guru Besar berada di samping saya,” jawab Rengganis. Mang Damar kembali menggunakan ca
Sajani merasa tak enak hati, takut pula jika para bandit tersebut bersikap tidak suka akan tindakan tidak sopannya. Gautam dan Goga memandang tajam bak menguliti. Lalu keduanya terbahak membuat perut buncit itu mengangguk-angguk. “Maaf atas ketidaksopanan saya,” kata Sajani lagi. “Hahaha … tidak masalah Cah Ayu, aku bahkan dengan senang hati akan mengantarkan kau ke arah sumber suara,” ujar Gautam lantas berdiri. Sajani tersenyum angkuh, “Jika Kisanak tidak keberatan,” sambut Sajani tersenyum. “Hahaha … dasar wanita culas!” ejek Goga. Sajani hanya tertawa mencibir, dia tidak akan mengambil hati pada ucapan kasar terkesan sampah yang terlontar dari mulut para bandit. Karena memang demikianlah mereka. Mereka pun melangkah ke arah sumber suara. Mata Sajani melebar menangkap sosok wanita tidak asing tengah dilecehkan seorang lelaki. “Kau kenal dengannya bukan?” Gautam bertanya seraya bersandar pada dinding gua pengap itu. “Ma … Madhavi,” bisikny
Derap lompatan kaki kuda terdengar, sebagai pertanda sang empunya terlalu tergesa memacunya. Kayana menatap lurus ke arah depan, mulai membelah hutan yang mulai dingin nan lembab. Belum lagi guyuran hujan turut serta. Namun, hal tersebut tidak menyurutkan langkah. Demi mencari pelaku kejhahatan yang sesungguhnya tidak peduli semak berduri maupun hujan lebar diterjang. “Kayana, kita sudah berjalan terlalu lama, mari istirahatkan diri,” teriak salah seorang kawan. Kayana menarik tali kuda membuat terhenti, dia menoleh sekeliling yang ditemui hanya pepohonan tertutup semak-belukar. “Kita istirahat jika menemukan perkampungan, akan sangat bahaya jika berada di hutan asing. Terlebih banyak bandit berkeliaran di saat cuaca seperti ini,” ujar Kayana. “Baiklah, mari bergegas!” ajak salah seorang. Hyat! Mereka kembali memacu kuda membelah semakin belukar, entah akan sampai mana mereka berjalan tanpa tentu arah tersebut. hutan terlalu mengerikan juga membuat tersesat.
Rengganis memeluk tubuh Khandra, lelaki itu tersenyum berusaha membuat nyaman sang permaisuri. Entah bagaimana mengartikan hubungan keduanya. Baik Khandra maupun Rengganis pun tidak paham. Rengganis menutup mata, menghidu aroma keringat Khandra yang khas. Rasanya sungguh menenangkan, Permaisuri Rengganis benar-benar terlena dia mempererat pelukan. Hingga tanpa sadar tangan itu menelusup ke bagian pakaian mirip rompi yang dikenakan Khandra saat ini. Tangan halusnya meraba perut rata, berotot, dan berbentuk selayaknya lelaki perkasa. Mendapat perlakuan itu darah Khandra berdesir. Aroma wangi rambut Rengganis membuat sisi lain lelaki itu bangkit. Ada keinginan menarik segera sang permaisuri agar kembali berbaring kemudian membuat berteriak di bawahnya. Sayang, bayangan wajah pias Rengganis usai sadar tadi berlarian dalam ingatan Khandra. Tidak kuasa ia bertindak terlalu jauh. Khandra menghela napas berat. "Permaisuri, apa tidak sebaiknya saya pergi setelah Kayana dan pasukan baya