Mohon maaf ya guys, jarang up date. Author sedang sibuk di urusan dunia nyata yang tidak bisa ditinggal akhir2 ini 🙏
Sedangkan Istana Utama di mana Raja Abra berada bersama Ki Kastara dan Selir Madhavi. Ketiganya tengah meminum arak kualitas terbaik yang baru disuguhkan pelayan di ruang makan. Wajah mereka terlihat sumringah. “Mereka sungguh bodoh, bukan?” kekeh Raja Abra. “Biarkan saja mereka bertarung satu sama lain, kita tinggal menikmati hasil atas kekacauan yang sudah terjadi,” timpal Selir Madhavi. “Selanjutnya apa yang harus kita lakukan, Paman?” tanya Raja Abra pada Ki Kastara. “Aihihihi … Tentu saja kita harus melenyapkan Permaisuri Rengganis secepat mungkin lalu kita bakar mayatnya dan lempar ke air sungai!” cebik Ki Kastara. “Mereka begitu bodoh mengira kita tidak akan tahu apa rencana mereka.” Ki Kastara tersenyum menyeringai. “Kerajaan berdiri pasti akan banyak konflik, yang pandai menangkap situasi akan berkuasa. Banyak sekali para abdi dalem dan juga kerabat raja yang sebenarnya menginginkan Permaisuri Rengganis mati,” beber Selir Madhavi.
Rengganis maju selangkah, menatap air terjun dalam gua tersebut. “Aku akan masuk ke Kerajaan Bamantara, mengadu pada Raja Aratula,” kata Rengganis tersenyum menyeringai. ‘Sesuai yang aku harapkan,’ bisik Khandra dalam hati. “Permaisuri, tapi bagaimana jika Raja Arutala malah mendukung Raja Abra?” “Setidaknya aku tidak akan langsung dibunuh, kau bisa menyelamatkan diriku, menyusup seperti yang pernah kau lakukan dahulu saat menyelamatkan diriku di Istana Dingin,” kata Rengganis lalu kembali tertawa. “Baiklah, saya akan mengantarkan ---.” “Tidak perlu, aku bisa menyeberangi lautan dengan menumpang. Aku hanya butuh uang dan pakaian.” Rengganis memperhatikan kemben yang dikenakan berlubang di beberapa bagian. “Kau hanya perlu menghimpun pasukan kita di suatu tempat, Khandra. Akan aku pastikan Raja Aratula berada di kubu kita,” kata Rengganis yakin. “Saya paham, Permaisuri, saya percaya kita bisa melakukan kudeta atau penyerangan lain. P
Khandra hampir menahan napas, dia dibuat terkejut atas perintah Permaisuri Rengganis. Dia berjalan pelan seraya memandang arah lain tangan begitu gemetaran. Wajahnya juga sudah memanas seiring aliran darah yang terasa naik. Sedang Rengganis sendiri menunggu dengan mimik wajah tanpa dosa. ‘Mengapa wanita ini sangat ceroboh sekali, Duh Gusti tolong lindungi kami!’ mohon Khandra dalam hati. “Silakan Permaisuri,” ujar Khandra mengulurkan pakaian. “Terima kasih,” jawab Rengganis. “Saya permisi keluar!” pintanya. Khandra mempercepat langkah lalu keluar gua, sedangkan Rengganis kini berbalik badan dan menatap punggung lelaki tersebut heran. “Sepertinya dia sakit,” ujarnya. “Ahihihi ….” Tawa Nyi Gendeng Sukmo terdengar. Demit tak kasat mata tersebut menampakkan ujud bergentayangan di udara. “Dia bukan sakit Rengganis, tapi sedang menahan hasratnya. Kau lebih gila dari dugaanku, bertelanjang di hadapan pria asing, hihihi ….” “Dia b
Rengganis menahan tawa kemudian melepas pelukan, dia mengubah mimik wajah seolah terkejut lalu berucap, “Astaga, kau mau membunuhku, Senapati Khandra? Kau mau berkhianat?” Rengganis masih menggoda Khandra. Khandra gelagapan bukan main, “Bukan begitu Permaisuri, saya---.” “Hahahaha, astaga!” Rengganis tidak mampu lagi menahan tawa. “Lihat wajah merahmu itu Khandra, kau sangat menggemaskan jika sedang panik hahaha ….” Kembali Rengganis tertawa. Dia memegangi perut yang terasa sakit lantaran terkekeh. Khandra menghela napas panjang dia lalu menarik dengan satu tangan tubuh Rengganis hingga jatuh dalam pelukan. Bugh! Tubuh Rengganis ambruk ke dada Khandra, lelaki itu erat mengunci dengan satu tangan agar Rengganis tidak lepas. Dan benar, tangan kekar itu terlalu kuat bagi tubuh Rengganis, beberapa kali dia meronta tetap gagal untuk lepas. “Khandra,” panggil Rengganis mendongakkan kepala. Kedua wajah itu terlihat begitu dekat, ada rasa
Rengganis tersenyum, dia menatap dalam netra tajam Khandra. Hingga dapat menyelami bayangan dirinya dalam bola mata hitam pekat milik lelaki tersebut. Garis hitam di bawah kelopak itu menandakan jika Khandra kurang tidur. Tangan halus Rengganis menyentuh pipi Khandra, terus meraba hingga ke bagian leher. Mendapat perlakuan dan sentuhan itu, darah Khandra berdesir. Getaran aneh menjalar di sekujur tubuh. "Tolong hentikan jika tidak—." "Jika tidak apa, Khandra?" Rengganis memotong ucapan Khandra. "Apa kau takut semua ilmu kanuragan atau semacamnya akan hilang jika berhubungan dengan seorang wanita?" Kembali Rengganis bertanya hal sama seperti beberapa waktu lalu. "Bukan begitu, Permaisuri," keluh Khandra lirih. Rengganis memeluk tubuh itu menghangatkan tubuhnya. Daging burung panggang telah habis mereka santap beberapa waktu lalu. Rengganis pun cukup bertenaga jika harus beradu mulut dengan Khandra. Sayangnya lelaki itu memilih bungkam. Membiarka
Seorang wanita paruh baya berjalan mendekati Rengganis yang masih bergeming di pinggir jalan setapak. Mereka terheran, seorang wanita cantik berdiri sendiri di tepi hutan belantara. Wanita itu melihat ke arah bawah lalu ke atas, wajah ayu Rengganis yang tertutup caping tidak luput dari pengamatan. Pakaian rapi dengan selendang merah mengikat di perut membuat wanita itu tersenyum. "Kau ini siapa, Nduk? Bagaimana bisa di sini sendiri?" tanya wanita itu. "Saya Sukma hanya pengelana biasa yang tidak ada tempat tinggal." Rengganis berbohong. Semua orang mengamati sekali lagi. "Ahihihi, Cah Ayu, kenapa tidak sekalian kau mengaku Nyi Gendeng Sukmo." Suara Nyi Gendeng Sukmo lantang terdengar di telinga Rengganis. Suara itu sudah pasti hanya Rengganis yang dapat mendengarnya. Permaisuri itu mengernyit, 'Demit sialan!' umpatnya dalam hati. Seorang yang mengintip dari pedati turun lalu menghampiri Rengganis. Seorang pemuda gagah itu melakukan hal sama, mem
Teriakan terdengar, dengan beberapa wanita berlari ke belakang. Rengganis yang melihat kekacauan ini kebingungan. Dia menyusup ke kerumunan menuju barisan depan. Di mana pemuda saudagar tadi telah turun dan bersiap menyerang menggunakan keris yang dia acungkan ke depan. Beberapa orang lelaki yang tadi terlihat membawa barang bawaan, mendorong gerobak juga berubah siaga. Entah pedang dari mana, kini mereka memegang pedang di tangan siap menyerang. "Ada apa ini, Tuan?" tanya Rengganis pada pemuda itu. "Nyai, mengapa kau malah ke depan, harusnya kau ikut bersama para wanita untuk bersembunyi!" keluh pemuda tadi. "Saya penasaran," jawab Rengganis memperhatikan orang-orang yang menghadang mereka. Rengganis ingat benar pada salah satu sosok yang tidak asing. Perompak yang pernah menyerang dirinya dan prajurit bayangan Khandra. 'Gawat, bagaimana bisa berpapasan dengan mereka?' tanya Rengganis dalam hati. "Mereka penyamun yang paling ditakutka
Nyi Gendeng Sukmo dalam tubuh Rengganis menatap pemuda itu. "Lari, huh! Kau pikir aku selemah itu hahahaha!" Tawa Nyi Gendeng Sukmo membuat pemuda tersebut mengernyit. Nyi Gendeng Sukmo berlari ke arah lawan, dia menggunakan selendangnya. Nyi Gendeng Sukmo melemparkan selendang ke arah prajurit para penyamun yang menyerang warga. Hyap! Teriak Nyi Gendeng Sukmo Bugh … bugh … bagh! Ujung selendang merah yang membentuk gumpalan kecil itu seperti terisi batu. Terasa sakit jika terkena pukulannya. Argh! Teriak lawan terlempar ke tanah, tumbang. Para warga yang merasa tertolong tersenyum. "Pergilah ke belakang biar aku yang menghadapi mereka," ujar Nyi Gendeng Sukmo. Tring! Sring! Dia menarik pedang dari salah satu pedati yang ternyata berisi senjata tersebut. "Mereka terlalu banyak Nyai—." Salah seorang lelaki iba jika harus meninggalkan Rengganis. Mereka tidak tahu jika wanita di hadapannya itu sudah berubah, Nyi Gendeng Sukmo berhasil menyatukan