Home / Fantasi / Dendam Permaisuri yang Terbuang / 3. Hukuman Mati Untuk Permaisuri

Share

3. Hukuman Mati Untuk Permaisuri

Author: KarRa
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

    Istana Dingin, mercusuar di tempat paling ujung kerajaan Baskara, bangunan tidak terawat, banyak sarang laba-laba dan juga tikus berkeliaran. Bau busuk menguar, membuat beberapa prajurit tidak tahan. Istana dingin kerajaan Baskara layaknya penjara anggota kerajaan yang bersalah, sebelum menerima hukuman atas kejahatan yang diperbuat. Mereka akan ditempatkan di istana dingin menunggu peradilan.

      Permaisuri Rengganis tergeletak di sebuah dipan kayu. Mata sembab itu mulai terbuka perlahan. Dia melonjak terkejut mendapati diri dalam keadaan mengkhawatirkan. Permaisuri Rengganis menangis sesengukan, meratap. Kehilangan ibu tercinta di depan mata, dengan cara begitu tragis. Raja Abra beringas, tanpa ampun menebas leher sang ibu. Permaisuri Rengganis mendadak mengurut leher sendiri. Mendadak terasa kelu, tercekat, bahkan sulit bernapas. Darah berceceran nampak jelas ketika raja Abra menjambak dan mengakat kepala sang bunda ke udara.

       "Gantung kepala wanita pemberontak ini di alun-alun!" Teriakan itu masih terngiang, terdengar sebelum Permaisuri Rengganis pingsan.

       Tidak habis pikir, suami yang dulunya lembut penuh welas asih, berubah iblis keji tidak berperasaan. Jiwa Rengganis terguncang hebat, wanita lemah nan rapuh yang selalu hidup damai tanpa merasakan intimidasi dan tekanan. Saat ini terlihat kacau balau dalam haru-biru. Tubuh mulusnya kotor terkena debu ruangan. Dia menjambak rambut sendiri mirip orang tidak waras sebagai rasa frustrasi dan ketakutan.

      "Hei, kau dengar tadi apa kata mereka." Tangkap suara bariton lantang di telinga Rengganis. Dia menelan saliva menahan napas mencoba menajamkan konsentrasi.

      "Iya, sungguh kasihan Permaisuri Rengganis, gelarnya dilepas begitu saja oleh Raja Abra," keluh salah seorang, suara berbeda.

       "Aku mendengar kabar jika dalam waktu tiga hari Selir Madhavi tidak sadarkan diri, Raja Abra akan memberikan hukuman gantung untuk Permaisuri Rengganis," kata salah seorang lagi.

       "Tidak!" Rengganis berteriak. Dia bangkit dari ranjang. Berteriak-teriak lebih keras, sungguh seperti orang gila. "Biadab kau Kakang Prabu!" 

      "Astaga, dia mendengarkan kita, sekarang bagaimana?" Suara orang pertama terdengar.

      "Abaikan saja, nanti juga diam sendiri, saat ini yang berkuasa Raja Abra, kita dalam perintahnya, patuhi jika tidak ingin mati!" Seorang lagi berbicara.

      Permaisuri Rengganis, ah, bukan lebih tepatnya Rengganis lantaran gelar kebangsawanan dirinya telah dilepas begitu saja oleh sang suami. Sebodoh apa Rengganis pun tahu, jika semua hal terjadi adalah sebuah konspirasi. Dia menduga Madhavi tidak akan bangun sebelum Rengganis dihukum gantung. 

      Tidak ada selir seberani Madhavi, wanita yang awalnya seorang dayang di istana permaisuri, gadis molek keponakan Ki Kastara —penasehat raja—.

      "Kakang Prabu, mengapa kau kejam sekali denganku," pilu Rengganis. Tubuhnya limbung, luruh terduduk lemas di lantai kayu kotor berdebu. Tangisan tidak lagi terdengar, hanya sekali-kali masih sesengukan. 'Aku benar tidak habis pikir, di mana hatimu?' bisiknya.

       "Dengar, dia tidak lagi berteriak dan menangis." Suara menyebalkan dari penjaga tadi kembali bercicit. Tawa prajurit yang berjaga terdengar. Rengganis mengerucutkan bibir, muak. Ingin menyumpal mulut tidak berperasaan tersebut dengan tanah.

      Rengganis mencoba menenangkan diri, berpikir meski berkabut rasa kalut. Dia melirik ke arah pintu kayu yang tertutup rapat dan kembali menundukkan kepala. 'Dulu aku dielu-elukan, sekarang aku diinjak-injak seperti sampah,' keluhnya ironis. Tiba-tiba kayu pada bagian bawah yang dia duduki bergetar. Rengganis mengernyit, jantung berdetak kencang, melonjak takut jika di bawah sana adalah ular. Wanita itu melompat naik ke dipan. Perlahan kayu pun terbuka. Mata Rengganis melotot, mulutnya terbuka siap berteriak. Kaki jenjangnya keluar dari kain sutra yang melilit, mencoba menginjak kayu itu. Namun, Rengganis segera menarik kembali saat kayu terkuak lebih lebar. Dia siap berteriak.

Bersambung….

Related chapters

  • Dendam Permaisuri yang Terbuang   4. Senapati Khandra

    Tubuh Rengganis bergetar hebat, keringat dingin mengucur di pelipis. Dia meringkuk ketakutan melihat sumbu yang menyimpul lantai kayu terkoyak. Rengganis menutup mulut, terisak, dia tetap waspada. Sekonyong-konyong terlihat kilatan, gerakan cepat seseorang melompat dari lantai kayu yang terbuka ke atas. Sosok lelaki gagah bertubuh tinggi, berdiri di dekat dipan. Menatap tanpa ekspresi Rengganis yang masih terbengong. Lelaki itu masih mengenakan baju zirah, tubuhnya penuh bercak darah, bahkan di bagian rambut ke wajah bagian kiri bau amis tercium. Namun, Rengganis abai, seolah tampang sangar dan juga penampilan mengerikan lelaki itu tidak membuat takut. Justru Rengganis bernapas lega, dia mengulas senyum. Secara tidak sadar air mata meleleh di pipinya yang kotor terkena debu. "Senapati, Senapati Khandra," panggil Rengganis. Tatapan keduanya berserobok, lelaki gagah itu meletakkan jari telunjuk di mulut, sebagai tanda agar berdiam. "Permaisuri Rengganis, Anda baik-

  • Dendam Permaisuri yang Terbuang   5. Nyi Gendeng Sukmo

    "Tidak!" Rengganis berteriak lantang, wanita itu membuka mata. Didapati suasana samar dalam gelap dalam pantulan obor. Mbok Berek menatap majikannya dengan seksama. Rengganis memejamkan mata sebentar, menetralkan jantung yang bergemuruh. "Kamu mimpi buruk, Nduk?" Mbok Berek membantu Rengganis beringsut duduk. Wanita ayu menatap ke sekeliling, baru sadar mereka berada di sebuah gua. Saat ini dirinya berada di atas bebatuan, punggung terasa sakit, tidak pernah Rengganis, selama ini dia tidur di tempat yang nyaman dan empuk. Dia melongok keluar gelap, ah hari sudah malam rupanya, begitu pikir Rengganis. "Minumlah!" kata wanita tua tersebut menyerahkan tempat minum dari bambu untuk Rengganis. Wanita itu meneguk hingga tandas. "Aku mendengar Permaisuri berteriak." Khandra muncul dari luar dengan membawa kayu bakar. "Ah, tidak ada apa-apa, Permaisuri hanya mimpi buruk," terang Mbok Berek. Apa yang kau bawa Khandra?" tanyanya. Lelaki tersebu

  • Dendam Permaisuri yang Terbuang   6. Dendam Permaisuri yang Terbuang

    Rengganis mengganti pakaian dengan lebih sederhana. Selipat kain batik melilit tubuh serta selendang warna hitam menutup bagian atas. Semua aksesoris dilepas termasuk mahkota. Agar tidak ada yang curiga saat melewati pedesaan. Semua dirancang sedemikian rupa oleh Mbok Berek. Berjalan menyusuri sungai, melewati semak belukar tidak terasa matahari sudah berdiri di atas kepala. Rengganis menelan saliva menahan haus dan lapar yang tertahan, sejak pagi mereka belum makan apa pun, jalan mulai sempoyongan. Rengganis menatap ke arah atas langit cerah, burung berterbangan riang, nyiur melambai-lambai tertiup angin. Wanita itu meneguk air dari bumbung bambu. “Apa masih jauh, Mbok?” tanya Rengganis. Mbok Berek menggeleng kepala, “Tidak, Nduk di depan sana ada jalan setapak, kita memasuki perkampungan. Singgah sebentar ke pasar dan kedai makan,” jawab Mbok Berek, “ingat, kita sedang berperan sebagai keluarga pura-pura. Kalian jangan keceplosan memanggil dia Permaisuri.”

  • Dendam Permaisuri yang Terbuang   7. Curug Sidangkrong

    Mbok Berek menarik Rengganis untuk segera meninggalkan pedesaan, tidak aman berada terlalu lama di sana. Mereka kembali masuk ke dalam hutan, kemudian berhenti di sebuah gua. Rengganis menelengkan kepala, lagi-lagi dia menemui gua. Ksatria yang menghantar Rengganis bersiul tiga kali. Rengganis seperti melihat bayangan hitam lewat di hadapan. Dia menelan saliva saat seorang lelaki berdiri di belakangnya. “Mohon ampun Permaisuri, kami hanya takut ada penyusup,” kata seorang lelaki asing. Rengganis menoleh ke belakang, melihat sosok pemuda tampan bertubuh tinggi membungkukkan badan dengan posisi berjongkok. “Apa yang kau lakukan, siapa kau?” Rengganis membungkuk. Pemuda tadi mendongakkan kepala. “Saya Kayana, salah satu prajurit pilihan mendiang Raja Arkha,” ucapnya tersenyum genit. “Amboi, cantiknya,” katanya lagi. Bletak! “Dasar tidak sopan!” Mbok Berek memukul kepala pemuda bernama kayana itu. “Aw, sakit Mbok!” pekik Kayana mengelus kepala nyengir. “

  • Dendam Permaisuri yang Terbuang   8. Bukit Alang-alang

    Tubuh Rengganis bergetar melihat sosok wanita cantik terlihat tidak asing baginya. Pernah ditemui di dalam mimpi mengerikan. Sosok wanita setengah ular terapi. Jantung berdegup kencang seperti hendak loncat keluar, tubuhnya menggigil bersamaan keringat dingin mengucur di pelipis. Rengganis menahan sekuat tenaga agar tidak luruh, dia mengepalkan tangan, menggenggam selendang yang dikenakan. Asap putih mengepul mengelilingi tubuh wanita itu perlahan memudar, lenyap. Kini dia berdiri berhadapan dengannya. Mata Rengganis melebar, "Nyi Gendeng Sukmo," lirihnya. Dalam hati merasa lega tak diperlihatkan tubuh setengah ular Nyi Gendeng Sukmo. Kesadaran perlahan menghampiri, berhasil berdiam, tenang. "Bagaimana keadaan dirimu, Cah Ayu." Suara Nyi Gendeng datar, wajahnya menatap tanpa ekspresi. "Syukurlah kau tidak tersesat menuju kemari," kata Nyi Gendeng raut berubah sekejap, tersenyum ramah. Rengganis tidak menjawab, dia mengedarkan pandang ke segala penjuru. Mengi

  • Dendam Permaisuri yang Terbuang   9. Keris Selendang Merah Gendeng Sukmo

    Mengingat beberapa waktu silam, Nyi Gendeng Sukmo begitu berambisi pada keinginan untuk tetap awet muda dan memiliki kekuatan abadi tiada tanding. Semua berawal dari pertemuan dirinya pada sosok siluman ular api bernama Sawer Geni. Kecantikan Nyi Gendeng Sukmo mampu memikat lelaki dari bangsa manusia maupun siluman. Termasuk Sawer Geni yang tidak sengaja melihat tubuh menggoda Nyi Gendeng yang sedang berendam di danau, dekat air terjun Sidangkrong tempat dirinya tinggal. Kedatangan Sawer Geni, ular besar berbalut api di sekujur tubuhnya tidak membuat Nyi Gendeng Sukmo takut. Melihat siluman dan hal janggal semenjak menjadi murid Empu Jagat Trengginas adalah hal biasa. Wanita itu masih tetap mandi dengan santai, menghiraukan Sawer Geni menyaksikan dari pinggir danau. Kejadian berulang hingga beberapa hari kemudian, Nyi Gendeng yang awalnya diam, melompat dari bawah air mengibaskan tangan, menutup tubuh telanjang dengan gumpalan air yang ikut naik seiring tarian tangan yang di

  • Dendam Permaisuri yang Terbuang   10. Kitab Empu Jagat Trengginas

    “Aku Sawer Geni, tidak akan mati dengan mudah. Aku kekal abadi, kau tahu.” Ular itu perlahan seperti melebur, kepulan api dalam tubuhnya lenyap, Sawer Geni berubah menjadi sosok lelaki bertubuh putih mulus seputih kapas. Nyi Gendeng Sukmo melihat lengan lelaki tersebut memeluk perutnya. “Aku bisa berganti tubuh saat raga ini menua, mulai tidak berguna.” Sapuan napas lelaki itu terasa hangat di pipi Nyi Gendeng Sukmo. “Lepas, bajingan!” Nyi Gendeng mengerakkan keris, tangan lelaki itu menyibakkanya dengan mudah. Pyash! Keris berubah kembali menjadi selendang. Lelaki itu tertawa kemudian membalikkan tubuh Nyi Gendeng Sukmo, kini gadis tersebut dapat melihat sosok gagah pemuda ular itu. “Jadilah anak buahku, Nyi Gendeng Sukmo. Sudah begitu lama aku memperhatikan dirimu dan yeah. Kau sosok sempurna yang aku pilih. Akan aku berikan ilmu kekebalan juga keabadian. Kau bisa hidup kekal, menguasai jagat raya,” terang Sawer Geni. “Aku tidak yakin kau lebih hebat dari guruk

  • Dendam Permaisuri yang Terbuang   11. Tumbal Pertama Gendeng Sukmo

    Gendeng Sukmo, merapalkan ajian mantra jaran goyang pada ritual sebuah malam selesai bersetubuh dengan Sawer Geni. Atas bimbingan lelaki ular api tersebut, Nyi Gendeng mampu menuntaskan ajian dalam waktu singkat. Tiga hari tiga malam dia melakukan tirakat, dan tepat tengah malam ini, dirinya untuk kesekian kali menggunakan ajian tersebut untuk memikat lawan jenis demi tumbal yang dia butuhkan untuk keabadian. Saat terbit wajar lalu ketika terbenam matahari, mantra tersebut dirapalkan Gendeng Sukmo. Tumbal ketujuh dia butuhkan sebagai syarat dari Sawer Geni yang mengatakan sebagai syarat keabadian pertama dia harus mencari tujuh pemuda. Gendeng Sukmo memerlukan ajian jaran goyang, ilmu pelet yang dia temui dalam catatan kitab Empu Jagat Trengginas untuk kelancaran memikat lawan jenis, selagi keduanya pernah berjumpa, bertegur sapa bukan hal sulit untuk melancarkan ajian jaran goyang tersebut. “Sungguh disayangkan kitab ini hanya bagian depan saja yang aku dapatkan,” keluh

Latest chapter

  • Dendam Permaisuri yang Terbuang   Next Novel KarRa & Pengumuman Giveaway

    Next Novel: Tumbal Pengantin Iblis By: KarRa “Awalnya Kalina menerima balutan bibir itu, hingga sebuah bayangan muncul samar dalam ingatan. Sosok lelaki tampan tertutup cahaya putih, spontan Kalina mendorong tubuh Elard. “Maaf,” pinta Kalina merasa bersalah. Tidak terbersit dirinya untuk mendorong Elard, hanya saja bayangan yang selalu mengintai itu sangat menyiksa, menyesakkan dada. “Kau baik-baik saja, Sayang?” tanya Elard mengernyitkan kening melihat wajah sang kekasih pucat pasi. “Kau---?” “Bayangan dalam mimpiku terlintas dalam ingatan. Aku lelah jika harus seperti ini,” keluh Kalina. Dia mengingat setelah insiden kecelakaan dirinya sering bermimpi bertemu dengan seorang lelaki bersayap, lelaki tampan bak malaikat. Namun, bayangan lelaki itu kini semakin sering muncul, bahkan saat dirinya berdekatan dengan Elard. Sang tunangan pun tahu, Elard orang yang tahu tentang mimpi yang dia alami. Mimpi, tentu saja bukan. Apa yang terjadi pada Kalina

  • Dendam Permaisuri yang Terbuang   Pemungkas (Tamat)

    Pertempuran berlangsung cukup lama, Ki Kastara memiliki beberapa pendekar bayangan dengan ilmu bela diri dan kanuragan tinggi. Crask! Terdengar daging yang dihunus. Crash! Sebilah pedang berlumur darah berhasil merobek perut lawan. Teriakan menggema tanpa henti, beberapa prajurit Baskara sudah mulai tumbang. Anak buah Ki Kastara banyak yang tumbang. 'Kurang ajar, bagaimana mungkin mata-mata yang aku taruh di padepokan Elang Putih tidak memberi kabar jika Guru Besar keluar?' Ki Kastara memperhatikan satu per satu kesatria bayarannya tewas mengenaskan. Lelaki itu menggertakkan gigi hingga bergemeletuk. 'Apa mungkin mereka tewas? Atau jangan-jangan malah kabur?' dengkusnya masih dalam hati. Beberapa waktu sebelumnya, di mana aura berbeda melingkupi Padepokan Elang Putih. Saat itu Guru Besar tengah memberi arahan pada murid didiknya. Lelaki itu mendadak berhenti dan menoleh ke arah kanan-kiri serta atas, membuat beberapa murid kebingungan bukan main. Saat ini mereka tengah dud

  • Dendam Permaisuri yang Terbuang   133. Menghabisi Ratu Rengganis

    Empu Jagat Trengginas menutup mata, merasakan kesejukan, dunia pak tua itu terkesan damai. Suara-suara binatang hutan memekik perlahan memudar, pun bunyi-bunyian khas hutan menjadi tidak terdengar. Lelaki sepuh tersebut masih memusatkan perhatian pada satu titik. Menyatu bersama alam, mendadak waktu bahkan seperti lambat berjalan dalam satu pusat pikiran. Hingga setetes air dari daun yang menetes jatuh ke kubangan pun terdengar. Clang! Air itu jatuh, Empu Jagat Trengginas tersenyum mendengar derap langkah kuda. Aura yang sangat dia kenal terasa meski jarak mereka berjauhan. Daun dari ranting pohon mulai berguguran tertiup angin. Empu Jagat Trengginas membuka mata, gerakannya secepat kilat berlari menyusuri hutan tanpa kendala, ah bukan tanpa kendala. Hanya saja gerakan lelaki sepuh iru terlampau cepat. Bertepatan pada daun jatuh di tanah. Kaki lelaki itu melompati ranting pohon lalu menapak di tanah. Seorang lelaki gagah menunggang kuda kemudian menarik tali. Kuda me

  • Dendam Permaisuri yang Terbuang   132. Pukulan Dahsyat Ajian Brajamusti

    Sudah berhari-hari Kayana dan juga pasukan kesatria bayangan berkeliling hutan tanpa tahu jalan keluar. Mereka sudah merasakan gusar lantaran berulang kali melewati tempat sama. Mereka turun dari kuda kemudian duduk di akar pohon besar yang menjulang keluar tanah. Mereka tampak lelah dan letih secara bersamaan. Seorang lelaki tiba-tiba datang melompat dari atas pohon. Kakinya berpijak di tanah kering dengan tangan membawa bungkusan daun. "Kau lama sekali mencari makan," ujar Kayana. "Ah, maaf. Aku baru mengisi bumbung air untuk kita minum di air terjun arah sana. Ini sudah kesekian kalinya berputar-putar di tempat yang sama," keluh lelaku itu meletakkan buah-buahan hutang yang di pertik di tanah dekat mereka semua duduk. "Sepertinya kita terkena uyut mimang," ujar salah seorang. "Ah, sungguh sial!" keluh Kayana menggaruk kepala. "Ketua, sekarang kita harus bagaimana?" Salah seorang lagi bertanya pada Kayana membuat lelaki itu semakin pening.

  • Dendam Permaisuri yang Terbuang   131. Ajian Saipi Angin

    Rengganis dan Guru Besar sempat berbincang-bincang sebelum Kayana pergi. Lelaki itu berpesan pada Khandra untuk berjalan ke arah berlawanan yang Kayana tuju. Perjalanan tidak tentu arah mencari Ki Kastara juga Empu Jagat Trengginas semakin pelik. Jika Sajani berjalan ke arah ujung utara demi meminimalisir pencarian. Sebenarnya jalan yang di tempuh ketiga kesatria tersebut sudah dalam saran Guru Besar. Kini sepasang kesatria elang putih terpisah di jalan masing-masing. Pun tidak jauh berbeda dengan Khandra yang diutus Guru Besar menjelajahi arah selatan. Berharap Empu Jagat Trengginas dapat ditemukan. "Guru, guru mengatakan jika di arah utara banyak sekali hutan yang berkabut tertutup uyut mimang. Apa Kayana akan baik-baik saja?" tanya Rengganis usai Gautam dan Goga meningggalkan istana. "Tenang saja, Kayana bukan sembarangan pendekar bela diri tanah air. Dia salah satu murid terbaik yang hamba miliki," ungkap Guru Besar yakin. "Semoga saja Empu Jagat Trengginas da

  • Dendam Permaisuri yang Terbuang   130. Kematian Tragis Madhavi

    Saat Rengganis dan juga Guru Besar yang sesungguhnya merupakan Mang Damar itu tengah membahas serius kelanjutan rencana. Di luar Istana sudah dibuat geger akan kemunculan para bandit. Siapa lagi jika bukan Gautam dan Goga. Mereka muncul dengan mendorong gerobak berisi mayat Madhavi. Para warga berteriak histeris antara terkejut dan takut. Hingga keributan itu terdengar sampai ruangan Taman Sari. “Ada ribut apa di luar?” tanya Rengganis teralihkan perhatian atas teriakan orang-orang. Mang Damar menutup mata, dia mencoba merasakan aura yang ada di sekitar. “Nampaknya ada tamu tidak terduga berencana bertemu Permaisuri,” kata Mang Damar tersenyum. “Tapi saat ini saya tidak bisa menerima tamu, Mang Damar pun paham dengan keadaan saya, bukan?” “Sungguh sangat paham, tetapi jika tidak ditemui nantinya Permaisuri yang akan repot,” ujar Mang Damar. “Baiklah, selama Guru Besar berada di samping saya,” jawab Rengganis. Mang Damar kembali menggunakan ca

  • Dendam Permaisuri yang Terbuang   129. Hukuman Menyakitkan

    Sajani merasa tak enak hati, takut pula jika para bandit tersebut bersikap tidak suka akan tindakan tidak sopannya. Gautam dan Goga memandang tajam bak menguliti. Lalu keduanya terbahak membuat perut buncit itu mengangguk-angguk. “Maaf atas ketidaksopanan saya,” kata Sajani lagi. “Hahaha … tidak masalah Cah Ayu, aku bahkan dengan senang hati akan mengantarkan kau ke arah sumber suara,” ujar Gautam lantas berdiri. Sajani tersenyum angkuh, “Jika Kisanak tidak keberatan,” sambut Sajani tersenyum. “Hahaha … dasar wanita culas!” ejek Goga. Sajani hanya tertawa mencibir, dia tidak akan mengambil hati pada ucapan kasar terkesan sampah yang terlontar dari mulut para bandit. Karena memang demikianlah mereka. Mereka pun melangkah ke arah sumber suara. Mata Sajani melebar menangkap sosok wanita tidak asing tengah dilecehkan seorang lelaki. “Kau kenal dengannya bukan?” Gautam bertanya seraya bersandar pada dinding gua pengap itu. “Ma … Madhavi,” bisikny

  • Dendam Permaisuri yang Terbuang   128. Menyambangi Sarang Penyamun

    Derap lompatan kaki kuda terdengar, sebagai pertanda sang empunya terlalu tergesa memacunya. Kayana menatap lurus ke arah depan, mulai membelah hutan yang mulai dingin nan lembab. Belum lagi guyuran hujan turut serta. Namun, hal tersebut tidak menyurutkan langkah. Demi mencari pelaku kejhahatan yang sesungguhnya tidak peduli semak berduri maupun hujan lebar diterjang. “Kayana, kita sudah berjalan terlalu lama, mari istirahatkan diri,” teriak salah seorang kawan. Kayana menarik tali kuda membuat terhenti, dia menoleh sekeliling yang ditemui hanya pepohonan tertutup semak-belukar. “Kita istirahat jika menemukan perkampungan, akan sangat bahaya jika berada di hutan asing. Terlebih banyak bandit berkeliaran di saat cuaca seperti ini,” ujar Kayana. “Baiklah, mari bergegas!” ajak salah seorang. Hyat! Mereka kembali memacu kuda membelah semakin belukar, entah akan sampai mana mereka berjalan tanpa tentu arah tersebut. hutan terlalu mengerikan juga membuat tersesat.

  • Dendam Permaisuri yang Terbuang   127. Pengakuan Rengganis

    Rengganis memeluk tubuh Khandra, lelaki itu tersenyum berusaha membuat nyaman sang permaisuri. Entah bagaimana mengartikan hubungan keduanya. Baik Khandra maupun Rengganis pun tidak paham. Rengganis menutup mata, menghidu aroma keringat Khandra yang khas. Rasanya sungguh menenangkan, Permaisuri Rengganis benar-benar terlena dia mempererat pelukan. Hingga tanpa sadar tangan itu menelusup ke bagian pakaian mirip rompi yang dikenakan Khandra saat ini. Tangan halusnya meraba perut rata, berotot, dan berbentuk selayaknya lelaki perkasa. Mendapat perlakuan itu darah Khandra berdesir. Aroma wangi rambut Rengganis membuat sisi lain lelaki itu bangkit. Ada keinginan menarik segera sang permaisuri agar kembali berbaring kemudian membuat berteriak di bawahnya. Sayang, bayangan wajah pias Rengganis usai sadar tadi berlarian dalam ingatan Khandra. Tidak kuasa ia bertindak terlalu jauh. Khandra menghela napas berat. "Permaisuri, apa tidak sebaiknya saya pergi setelah Kayana dan pasukan baya

DMCA.com Protection Status