Tubuh Rengganis bergetar hebat, keringat dingin mengucur di pelipis. Dia meringkuk ketakutan melihat sumbu yang menyimpul lantai kayu terkoyak. Rengganis menutup mulut, terisak, dia tetap waspada. Sekonyong-konyong terlihat kilatan, gerakan cepat seseorang melompat dari lantai kayu yang terbuka ke atas.
Sosok lelaki gagah bertubuh tinggi, berdiri di dekat dipan. Menatap tanpa ekspresi Rengganis yang masih terbengong. Lelaki itu masih mengenakan baju zirah, tubuhnya penuh bercak darah, bahkan di bagian rambut ke wajah bagian kiri bau amis tercium. Namun, Rengganis abai, seolah tampang sangar dan juga penampilan mengerikan lelaki itu tidak membuat takut. Justru Rengganis bernapas lega, dia mengulas senyum. Secara tidak sadar air mata meleleh di pipinya yang kotor terkena debu.
"Senapati, Senapati Khandra," panggil Rengganis. Tatapan keduanya berserobok, lelaki gagah itu meletakkan jari telunjuk di mulut, sebagai tanda agar berdiam.
"Permaisuri Rengganis, Anda baik-baik saja?" bisik lelaki bertubuh tegap, lengannya terlihat berotot hendak menghapus air mata Rengganis, tetapi dia urungkan. Merasa tidak pantas seorang bawahan menyentuh majikan. "Saya sudah mendengar sedikit tentang yang terjadi, ada kabar burung menyatakan Kanjeng Ibu …." Lelaki itu tidak melanjutkan ucapan.
Rengganis mengangguk, "Lelaki bangsat itu membunuh Kanjeng Ibu dengan keji," keluh Rengganis. Khandra dapat merasakan sakit hati luar biasa di mata Permaisuri Rengganis. "Peluk aku, Khandra, aku butuh kekuatan untuk berdiri!" perintahnya.
"Saya baru saja pulang dari medan perang, bau keringat, darah juga …," ucap Khandra terpotong, Permaisuri Rengganis sudah menghambur, menempelkan kepala di perutnya. Khandra meletakkan pedang yang sedari tadi dia tenteng di atas dipan. Membiarkan Rengganis menangis, ah, jantung lelaki tersebut berdentum-dentum laksana bunyi gong bertalu-talu. "Tabahkan hati Anda, Permaisuri Rengganis." Merasa kasihan, Khandra mengusap-usap rambut terasa halus di tangannya yang kapalan.
"Jangan lagi panggil aku Permaisuri, lelaki jahanam itu sudah menarik gelar itu dariku." Nada suara Rengganis penuh penekanan.
"Sungguh kurang ajar sekali, kerajaan ini milik keluarga Permaisuri Rengganis, calon Ratu yang akan segera dinobatkan. Dengan semena-mena dia merebut dari Anda," geram Khandra.
"Jika dalam waktu tiga hari Madhavi belum siuman, aku juga akan dihukum gantung," cecar Rengganis. Mata Khandra membeliak, terkejut sudah pasti. Tidak nyana jika lelaki yang dia harap bisa memimpin kerajaan Baskara kini berulah. Khandra benar tidak mampu berkata-kata atas kekejian Abra. "Aku yakin ini akal-akalan Madhavi untuk melenyapkan diriku, mereka bersekongkol," lanjut Rengganis berucap.
"Bahaya, kita harus segera pergi dari tempat ini," saran Keandra.
"Senapati, aku tidak mau kau terlibat masalah." Rengganis menundukkan kepala melepas pelukan.
"Kemudian Anda akan pasrah menerima hukuman gantung, begitu? Jangan bodoh Permaisuri!" umpat Khandra.
Rengganis melebarkan mata, tidak sangka lelaki itu akan mengumpatnya. Yah, tetapi dia patut mendapat itu. Dirinya memang bodoh terpedaya tanpa perlawanan. Melihat kebimbangan hati Rengganis, lelaki itu meraih telapak tangan halus wanita tersebut.
"Permaisuri, jangan khawatir tentang saya, mereka pasti mengira saya masih di medan perang. Menerima surat dari Kanjeng Ibu, saya sudah paham situasi istana pasti kacau. Saya memutar lewat jalan tikus tanpa sepengetahuan siapa pun," terang Khandra.
"Kau memang bijak," ucap Rengganis tersenyum.
"Kita pergi." Tidak sabar Khandra menarik Rengganis ke dalam pangkuan.
Khandra membopong tubuh yang terasa ringan bagai bulu itu. Gerakannya cepat melompat ke bawah, heran bagi Rengganis menapaki lantai dasar suara pijakan tidak terdengar. Wanita itu baru sadar, mungkin sang senapati menggunakan tenaga dalam. Kali ini mereka sudah berada di dasar menara.
"Permaisuri, dari sini, kita akan berjalan satu-satu lantaran ruangan sangat sempit," terang Khandra mengawasi sekitar bagunan reot tersebut. Khandra menyentuh bagian ujung batu-bata bertumpuk di dinding. Sebuah ruangan terbuka. Ada jalan terowongan, Rengganis bergidik ngeri untuk masuk. "Masuklah Permaisuri!" ajak Khandra lagi.
Mata Rengganis menatap lubang tempat lelaki tadi melompat naik, seukuran manusia di hadapannya, lalu dia menoleh ke belakang, memperhatikan lorong menara yang dingin. Bisa terdengar ada langkah kaki yang mulai mendekat.
“Permaisuri, kita harus pergi sebelum ada yang melihat,” tegas pria tersebut dengan alis menekuk tajam, cemas dengan kemungkinan ada yang melihat aksinya untuk membantu sang permaisuri kabur dari Istana Dingin. “Mati di tempat bukanlah tujuan saya menyelamatkan Permaisuri,” imbuhnya lagi.
Mendengar hal itu, Rengganis menatap pria di hadapannya dengan memelas. “Aku takut, Khandra,” desisnya.
Khandra, senapati Kerajaan Baskara orang kepercayaan mendiang Raja Arkha “Percaya dan raih tangan saya." Dia menghela napas berat merutuki dalam benak kebimbangan wanita rapuh itu.
Mata Rengganis menatap tangan Khandra dengan saksama, mempelajari apakah meraih tangan pria di hadapannya ini adalah keputusan yang tepat. Terakhir kali dia meraih tangan seorang pria, kematian sang ibunda dan ayahanda yang menjadi hasilnya. Hal itu juga berujung kepada kejatuhan kerajaan yang seharusnya dilindungi oleh dirinya.
‘Kakang Prabu,’ batin Rengganis dalam hati, membayangkan wajah tampan sang suami yang dahulu lembut padanya.
Siapa sangka kelembutan itu berubah menjadi kebencian juga ambisi gelap?
Demi takhta dan juga nafsu, Abra, pangeran kedua dari Kerajaan Bamantara, suami Rengganis, memilih untuk mengkhianati istri yang begitu mencintainya. Hanya karena fitnah Selir Madhavi, wanita rupawan bermuka dua. Abra tega membunuh ibunda Rengganis dan melemparkan Rengganis ke Istana Dingin.
Netra Rengganis beralih ke wajah Khandra, memandangi netra cokelat penuh tekad untuk menyelamatkan putri bodoh pemimpinnya yang telah wafat. Alis tebal yang menukik tajam itu menunjukkan kekhawatiran, sebuah pantulan kesetiaan yang terpancar jelas.
Antara cemas juga frustrasi, Rengganis meraih tangan Khandra. Dengan mata yang berubah tegar, wanita itu berkata dengan yakin, “Nyawaku berada di tanganmu, Khandra. Bawa aku pergi dari sini.”
Rengganis menghela napas panjang, dia kemudian masuk ke dalam diikuti Khandra. Beberapa detik, ruangan tertutup kembali. Gelap gulita, sesak napas Rengganis tiba-tiba.
"Permaisuri, tetap tenang." Tangan Khandra meraba pundak Rengganis, wanita itu mencoba tenang. "Silakan jalan, ini tidak akan memakan waktu lama," katanya lagi.
"Jangan lepaskan pegangan tanganmu Khandra!" kata Rengganis meraih tangan Khandra yang ada di pundak lalu mengapit di lengan. Sontak Khandra terjerembab ke arah depan menabrak punggung Rengganis.
"Maaf Permaisuri," ujarnya.
"Tidak apa," jawab Rengganis mulai melangkahkan kaki telanjangnya. Kedua tangan menggenggam jemari Khandra, lelaki itu menggunakan tangan satunya untuk meraba gua gelap tersebut. Posisi Khandra tepat berada di belakang Rengganis, seolah tengah memeluk. "Aku tidak menyangka ada tempat seperti ini," kata Rengganis.
"Hanya Raja Arkha yang tahu tempat ini juga orang kepercayaannya," jawab Khandra.
Samar terlihat cahaya Rengganis tersenyum. Akhirnya setelah beberapa saat dalam kegelapan, gua yang penuh liku. Entah tadi kaki telanjangnya menginjak apa, yang pasti, dalam hati Rengganis merasa aman ada Khandra di sisi. Dia melepaskan genggaman tangan Khandra, gua sempit semakin melebar, berkelok. Keduanya kini berjalan sejajar, saling menoleh dan pandang.
"Mari Permaisuri," ujar Khandra.
Rengganis menganggukkan kepala dengan girang, berlari menyibak semak belukar. Pantulan cahaya matahari menyilaukan mata. Khandra melihat kaki talanjang Rengganis, lelaki itu melebarkan mata, baru dia sadar sang permaisuri tidak mengenakan alas kaki. Lengan Rengganis nampak mengeluarkan darah, mungkin karena dia menerobos paksa semak. Khandra menarik Rengganis, lelaki tersebut menggunakan sarung pedang untuk menyibak semak berduri. Dia tidak menghancurkan semak penuh duri dan daun tersebut. Takut akan membuat tempat itu ketahuan.
Rengganis tersenyum lebar, mendapati sebuah sungai besar dengan air jernih terpampang di depan mata. Dia menoleh ke belakang, baru sadar, dirinya telah menempuh perjalanan bawah tanah yang menyeramkan dalam gelap. Kini berakhir ada di luar istana. Rengganis tahu itu, dia pernah minggat ke tempat ini saat kabur dari pengawas penjaga.
"Lewat sini, Permaisuri!" ajak Khandra. "Ah, maaf," kata lelaki itu menarik sang putri, memboyongnya kembali.
Khandra melangkah dengan santai tanpa merasa berat, Rengganis menatap wajahnya dan tersenyum. Jantung Khandra kembali berdentum kencang, darah berdesir, gelayar aneh menjalar.
'Apa aku sakit,' keluh Khandra dalam hati. 'Tubuhku rasanya tidak enak, tapi aku merasa baik-baik saja, justru ada rasa bahagia.' Kembali Khandra bergumam.
"Permaisuri Rengganis." Suara Mbok Berek terdengar.
Rengganis menoleh ke arah depan, pinggir sungai, wanita gempal itu terlihat di atas getek bambu bersama dua orang lelaki berpakaian hitam. Khandra berjalan cepat, menggunakan ajian meringankan tubuh, melompat dan mendarat ke atas getek, tenang. Khandra menatap wajah sayu Rengganis yang terlihat lelah. Terlihat begitu cantik, tidak pernah menyangka dirinya akan sedekat itu dengannya.
"Senapati Khandra, kau bisa menurunkan aku!" Rengganis berucap.
Lelaki itu terbangun dari lamunan, dia tersenyum menurunkan Rengganis kemudian menggaruk kepala yang tidak gatal. "Mohon maafkan hamba," katanya menunduk.
Rengganis tidak menghiraukan, dia menoleh ke arah Mbok Berek, wanita yang mengasuhnya dari kecil. Menumpahkan segala kesusahan hati, Rengganis terlelap, kepalanya bersandar di pangkuan wanita tua itu.
"Malang sekali nasibmu, Nduk, Cah Ayu," kata Mbok Berek mengusap-usap rambut Rengganis.
*KarRa*
Dalam gelap, perlahan terang, mata sayup-sayup terbuka, Rengganis terkejut bukan main, dia berada di sebuah hutan. Kaki telanjangnya lari tanpa henti, kebingungan. Dia berjalan hingga kaki terasa lelah dan kehausan. Memanggil nama Khandra dan Mbok Berek berulang kali. Namun, tidak ada jawaban Rengganis terus berjalan sampai mendengar suara deras air. Dia berlari meski berulang kali jatuh terjerembab ke tanah rerumputan. Wajahnya berbinar menemukan air terjun jernih. Rengganis berlari masuk ke dalam air jernih itu. Membasuh tubuh dan meminum air yang menyegarkan tenggorokan.
Saat menoleh ke belakang, mata Rengganis membeliak, mulut menganga lebar. Dari dalam air muncul sosok wanita berambut panjang terurai, lengannya putih seputih kapas namun, bersisik, wanita itu memunggungi Rengganis. Air di sekitar berkecipak, membentuk pusaran. Perlahan si wanita bersisik menyembul memperlihatkan bagian badan.
Rengganis berteriak lantang, tubuh wanita di hadapannya bagian pinggang ke bawah bersisik, berekor hitam kehijauan, wanita setengah ular.
Bersambung….
@lovely_karra
"Tidak!" Rengganis berteriak lantang, wanita itu membuka mata. Didapati suasana samar dalam gelap dalam pantulan obor. Mbok Berek menatap majikannya dengan seksama. Rengganis memejamkan mata sebentar, menetralkan jantung yang bergemuruh. "Kamu mimpi buruk, Nduk?" Mbok Berek membantu Rengganis beringsut duduk. Wanita ayu menatap ke sekeliling, baru sadar mereka berada di sebuah gua. Saat ini dirinya berada di atas bebatuan, punggung terasa sakit, tidak pernah Rengganis, selama ini dia tidur di tempat yang nyaman dan empuk. Dia melongok keluar gelap, ah hari sudah malam rupanya, begitu pikir Rengganis. "Minumlah!" kata wanita tua tersebut menyerahkan tempat minum dari bambu untuk Rengganis. Wanita itu meneguk hingga tandas. "Aku mendengar Permaisuri berteriak." Khandra muncul dari luar dengan membawa kayu bakar. "Ah, tidak ada apa-apa, Permaisuri hanya mimpi buruk," terang Mbok Berek. Apa yang kau bawa Khandra?" tanyanya. Lelaki tersebu
Rengganis mengganti pakaian dengan lebih sederhana. Selipat kain batik melilit tubuh serta selendang warna hitam menutup bagian atas. Semua aksesoris dilepas termasuk mahkota. Agar tidak ada yang curiga saat melewati pedesaan. Semua dirancang sedemikian rupa oleh Mbok Berek. Berjalan menyusuri sungai, melewati semak belukar tidak terasa matahari sudah berdiri di atas kepala. Rengganis menelan saliva menahan haus dan lapar yang tertahan, sejak pagi mereka belum makan apa pun, jalan mulai sempoyongan. Rengganis menatap ke arah atas langit cerah, burung berterbangan riang, nyiur melambai-lambai tertiup angin. Wanita itu meneguk air dari bumbung bambu. “Apa masih jauh, Mbok?” tanya Rengganis. Mbok Berek menggeleng kepala, “Tidak, Nduk di depan sana ada jalan setapak, kita memasuki perkampungan. Singgah sebentar ke pasar dan kedai makan,” jawab Mbok Berek, “ingat, kita sedang berperan sebagai keluarga pura-pura. Kalian jangan keceplosan memanggil dia Permaisuri.”
Mbok Berek menarik Rengganis untuk segera meninggalkan pedesaan, tidak aman berada terlalu lama di sana. Mereka kembali masuk ke dalam hutan, kemudian berhenti di sebuah gua. Rengganis menelengkan kepala, lagi-lagi dia menemui gua. Ksatria yang menghantar Rengganis bersiul tiga kali. Rengganis seperti melihat bayangan hitam lewat di hadapan. Dia menelan saliva saat seorang lelaki berdiri di belakangnya. “Mohon ampun Permaisuri, kami hanya takut ada penyusup,” kata seorang lelaki asing. Rengganis menoleh ke belakang, melihat sosok pemuda tampan bertubuh tinggi membungkukkan badan dengan posisi berjongkok. “Apa yang kau lakukan, siapa kau?” Rengganis membungkuk. Pemuda tadi mendongakkan kepala. “Saya Kayana, salah satu prajurit pilihan mendiang Raja Arkha,” ucapnya tersenyum genit. “Amboi, cantiknya,” katanya lagi. Bletak! “Dasar tidak sopan!” Mbok Berek memukul kepala pemuda bernama kayana itu. “Aw, sakit Mbok!” pekik Kayana mengelus kepala nyengir. “
Tubuh Rengganis bergetar melihat sosok wanita cantik terlihat tidak asing baginya. Pernah ditemui di dalam mimpi mengerikan. Sosok wanita setengah ular terapi. Jantung berdegup kencang seperti hendak loncat keluar, tubuhnya menggigil bersamaan keringat dingin mengucur di pelipis. Rengganis menahan sekuat tenaga agar tidak luruh, dia mengepalkan tangan, menggenggam selendang yang dikenakan. Asap putih mengepul mengelilingi tubuh wanita itu perlahan memudar, lenyap. Kini dia berdiri berhadapan dengannya. Mata Rengganis melebar, "Nyi Gendeng Sukmo," lirihnya. Dalam hati merasa lega tak diperlihatkan tubuh setengah ular Nyi Gendeng Sukmo. Kesadaran perlahan menghampiri, berhasil berdiam, tenang. "Bagaimana keadaan dirimu, Cah Ayu." Suara Nyi Gendeng datar, wajahnya menatap tanpa ekspresi. "Syukurlah kau tidak tersesat menuju kemari," kata Nyi Gendeng raut berubah sekejap, tersenyum ramah. Rengganis tidak menjawab, dia mengedarkan pandang ke segala penjuru. Mengi
Mengingat beberapa waktu silam, Nyi Gendeng Sukmo begitu berambisi pada keinginan untuk tetap awet muda dan memiliki kekuatan abadi tiada tanding. Semua berawal dari pertemuan dirinya pada sosok siluman ular api bernama Sawer Geni. Kecantikan Nyi Gendeng Sukmo mampu memikat lelaki dari bangsa manusia maupun siluman. Termasuk Sawer Geni yang tidak sengaja melihat tubuh menggoda Nyi Gendeng yang sedang berendam di danau, dekat air terjun Sidangkrong tempat dirinya tinggal. Kedatangan Sawer Geni, ular besar berbalut api di sekujur tubuhnya tidak membuat Nyi Gendeng Sukmo takut. Melihat siluman dan hal janggal semenjak menjadi murid Empu Jagat Trengginas adalah hal biasa. Wanita itu masih tetap mandi dengan santai, menghiraukan Sawer Geni menyaksikan dari pinggir danau. Kejadian berulang hingga beberapa hari kemudian, Nyi Gendeng yang awalnya diam, melompat dari bawah air mengibaskan tangan, menutup tubuh telanjang dengan gumpalan air yang ikut naik seiring tarian tangan yang di
“Aku Sawer Geni, tidak akan mati dengan mudah. Aku kekal abadi, kau tahu.” Ular itu perlahan seperti melebur, kepulan api dalam tubuhnya lenyap, Sawer Geni berubah menjadi sosok lelaki bertubuh putih mulus seputih kapas. Nyi Gendeng Sukmo melihat lengan lelaki tersebut memeluk perutnya. “Aku bisa berganti tubuh saat raga ini menua, mulai tidak berguna.” Sapuan napas lelaki itu terasa hangat di pipi Nyi Gendeng Sukmo. “Lepas, bajingan!” Nyi Gendeng mengerakkan keris, tangan lelaki itu menyibakkanya dengan mudah. Pyash! Keris berubah kembali menjadi selendang. Lelaki itu tertawa kemudian membalikkan tubuh Nyi Gendeng Sukmo, kini gadis tersebut dapat melihat sosok gagah pemuda ular itu. “Jadilah anak buahku, Nyi Gendeng Sukmo. Sudah begitu lama aku memperhatikan dirimu dan yeah. Kau sosok sempurna yang aku pilih. Akan aku berikan ilmu kekebalan juga keabadian. Kau bisa hidup kekal, menguasai jagat raya,” terang Sawer Geni. “Aku tidak yakin kau lebih hebat dari guruk
Gendeng Sukmo, merapalkan ajian mantra jaran goyang pada ritual sebuah malam selesai bersetubuh dengan Sawer Geni. Atas bimbingan lelaki ular api tersebut, Nyi Gendeng mampu menuntaskan ajian dalam waktu singkat. Tiga hari tiga malam dia melakukan tirakat, dan tepat tengah malam ini, dirinya untuk kesekian kali menggunakan ajian tersebut untuk memikat lawan jenis demi tumbal yang dia butuhkan untuk keabadian. Saat terbit wajar lalu ketika terbenam matahari, mantra tersebut dirapalkan Gendeng Sukmo. Tumbal ketujuh dia butuhkan sebagai syarat dari Sawer Geni yang mengatakan sebagai syarat keabadian pertama dia harus mencari tujuh pemuda. Gendeng Sukmo memerlukan ajian jaran goyang, ilmu pelet yang dia temui dalam catatan kitab Empu Jagat Trengginas untuk kelancaran memikat lawan jenis, selagi keduanya pernah berjumpa, bertegur sapa bukan hal sulit untuk melancarkan ajian jaran goyang tersebut. “Sungguh disayangkan kitab ini hanya bagian depan saja yang aku dapatkan,” keluh
Kerajaan Baskara Istana Utama sedang gaduh atas kaburnya Rengganis dari menara Istana Dingin tanpa ada jejak sama sekali membuat Raja Abra murka. Bersamaan dengan itu Senapati Khandra juga prajurit yang pergi berperang memasuki aula istana. Tidak ada penyambutan sama sekali pada pahlawan yang telah mempertahankan perbatasan. Hanya ada beberapa abdi dalem menghampiri lalu mengungkapkan murka sang raja. Dari obrolan yang terjadi, Khandra merasa sangat miris, Abra benar telah memonopoli keadaan istana. Walau dia tahu ada beberapa anggota pendukung Permaisuri Rengganis namun, lelaki tersebut tidak mungkin bisa bergerak sembarangan, banyak mata melihat. "Selamat datang para Ksatria hebat Kerajaan Baskara," ucap Ki Kastara menyambut. Khandra tersenyum, dia paham benar bahwa sanya lelaki tua tersebut pasti ikut andil dalam penggulingan permaisuri. Selir Madhavi tidak mungkin bergerak sendiri. "Ah, terima kasih atas sambutan Ki Kastara, di medan perang
Next Novel: Tumbal Pengantin Iblis By: KarRa “Awalnya Kalina menerima balutan bibir itu, hingga sebuah bayangan muncul samar dalam ingatan. Sosok lelaki tampan tertutup cahaya putih, spontan Kalina mendorong tubuh Elard. “Maaf,” pinta Kalina merasa bersalah. Tidak terbersit dirinya untuk mendorong Elard, hanya saja bayangan yang selalu mengintai itu sangat menyiksa, menyesakkan dada. “Kau baik-baik saja, Sayang?” tanya Elard mengernyitkan kening melihat wajah sang kekasih pucat pasi. “Kau---?” “Bayangan dalam mimpiku terlintas dalam ingatan. Aku lelah jika harus seperti ini,” keluh Kalina. Dia mengingat setelah insiden kecelakaan dirinya sering bermimpi bertemu dengan seorang lelaki bersayap, lelaki tampan bak malaikat. Namun, bayangan lelaki itu kini semakin sering muncul, bahkan saat dirinya berdekatan dengan Elard. Sang tunangan pun tahu, Elard orang yang tahu tentang mimpi yang dia alami. Mimpi, tentu saja bukan. Apa yang terjadi pada Kalina
Pertempuran berlangsung cukup lama, Ki Kastara memiliki beberapa pendekar bayangan dengan ilmu bela diri dan kanuragan tinggi. Crask! Terdengar daging yang dihunus. Crash! Sebilah pedang berlumur darah berhasil merobek perut lawan. Teriakan menggema tanpa henti, beberapa prajurit Baskara sudah mulai tumbang. Anak buah Ki Kastara banyak yang tumbang. 'Kurang ajar, bagaimana mungkin mata-mata yang aku taruh di padepokan Elang Putih tidak memberi kabar jika Guru Besar keluar?' Ki Kastara memperhatikan satu per satu kesatria bayarannya tewas mengenaskan. Lelaki itu menggertakkan gigi hingga bergemeletuk. 'Apa mungkin mereka tewas? Atau jangan-jangan malah kabur?' dengkusnya masih dalam hati. Beberapa waktu sebelumnya, di mana aura berbeda melingkupi Padepokan Elang Putih. Saat itu Guru Besar tengah memberi arahan pada murid didiknya. Lelaki itu mendadak berhenti dan menoleh ke arah kanan-kiri serta atas, membuat beberapa murid kebingungan bukan main. Saat ini mereka tengah dud
Empu Jagat Trengginas menutup mata, merasakan kesejukan, dunia pak tua itu terkesan damai. Suara-suara binatang hutan memekik perlahan memudar, pun bunyi-bunyian khas hutan menjadi tidak terdengar. Lelaki sepuh tersebut masih memusatkan perhatian pada satu titik. Menyatu bersama alam, mendadak waktu bahkan seperti lambat berjalan dalam satu pusat pikiran. Hingga setetes air dari daun yang menetes jatuh ke kubangan pun terdengar. Clang! Air itu jatuh, Empu Jagat Trengginas tersenyum mendengar derap langkah kuda. Aura yang sangat dia kenal terasa meski jarak mereka berjauhan. Daun dari ranting pohon mulai berguguran tertiup angin. Empu Jagat Trengginas membuka mata, gerakannya secepat kilat berlari menyusuri hutan tanpa kendala, ah bukan tanpa kendala. Hanya saja gerakan lelaki sepuh iru terlampau cepat. Bertepatan pada daun jatuh di tanah. Kaki lelaki itu melompati ranting pohon lalu menapak di tanah. Seorang lelaki gagah menunggang kuda kemudian menarik tali. Kuda me
Sudah berhari-hari Kayana dan juga pasukan kesatria bayangan berkeliling hutan tanpa tahu jalan keluar. Mereka sudah merasakan gusar lantaran berulang kali melewati tempat sama. Mereka turun dari kuda kemudian duduk di akar pohon besar yang menjulang keluar tanah. Mereka tampak lelah dan letih secara bersamaan. Seorang lelaki tiba-tiba datang melompat dari atas pohon. Kakinya berpijak di tanah kering dengan tangan membawa bungkusan daun. "Kau lama sekali mencari makan," ujar Kayana. "Ah, maaf. Aku baru mengisi bumbung air untuk kita minum di air terjun arah sana. Ini sudah kesekian kalinya berputar-putar di tempat yang sama," keluh lelaku itu meletakkan buah-buahan hutang yang di pertik di tanah dekat mereka semua duduk. "Sepertinya kita terkena uyut mimang," ujar salah seorang. "Ah, sungguh sial!" keluh Kayana menggaruk kepala. "Ketua, sekarang kita harus bagaimana?" Salah seorang lagi bertanya pada Kayana membuat lelaki itu semakin pening.
Rengganis dan Guru Besar sempat berbincang-bincang sebelum Kayana pergi. Lelaki itu berpesan pada Khandra untuk berjalan ke arah berlawanan yang Kayana tuju. Perjalanan tidak tentu arah mencari Ki Kastara juga Empu Jagat Trengginas semakin pelik. Jika Sajani berjalan ke arah ujung utara demi meminimalisir pencarian. Sebenarnya jalan yang di tempuh ketiga kesatria tersebut sudah dalam saran Guru Besar. Kini sepasang kesatria elang putih terpisah di jalan masing-masing. Pun tidak jauh berbeda dengan Khandra yang diutus Guru Besar menjelajahi arah selatan. Berharap Empu Jagat Trengginas dapat ditemukan. "Guru, guru mengatakan jika di arah utara banyak sekali hutan yang berkabut tertutup uyut mimang. Apa Kayana akan baik-baik saja?" tanya Rengganis usai Gautam dan Goga meningggalkan istana. "Tenang saja, Kayana bukan sembarangan pendekar bela diri tanah air. Dia salah satu murid terbaik yang hamba miliki," ungkap Guru Besar yakin. "Semoga saja Empu Jagat Trengginas da
Saat Rengganis dan juga Guru Besar yang sesungguhnya merupakan Mang Damar itu tengah membahas serius kelanjutan rencana. Di luar Istana sudah dibuat geger akan kemunculan para bandit. Siapa lagi jika bukan Gautam dan Goga. Mereka muncul dengan mendorong gerobak berisi mayat Madhavi. Para warga berteriak histeris antara terkejut dan takut. Hingga keributan itu terdengar sampai ruangan Taman Sari. “Ada ribut apa di luar?” tanya Rengganis teralihkan perhatian atas teriakan orang-orang. Mang Damar menutup mata, dia mencoba merasakan aura yang ada di sekitar. “Nampaknya ada tamu tidak terduga berencana bertemu Permaisuri,” kata Mang Damar tersenyum. “Tapi saat ini saya tidak bisa menerima tamu, Mang Damar pun paham dengan keadaan saya, bukan?” “Sungguh sangat paham, tetapi jika tidak ditemui nantinya Permaisuri yang akan repot,” ujar Mang Damar. “Baiklah, selama Guru Besar berada di samping saya,” jawab Rengganis. Mang Damar kembali menggunakan ca
Sajani merasa tak enak hati, takut pula jika para bandit tersebut bersikap tidak suka akan tindakan tidak sopannya. Gautam dan Goga memandang tajam bak menguliti. Lalu keduanya terbahak membuat perut buncit itu mengangguk-angguk. “Maaf atas ketidaksopanan saya,” kata Sajani lagi. “Hahaha … tidak masalah Cah Ayu, aku bahkan dengan senang hati akan mengantarkan kau ke arah sumber suara,” ujar Gautam lantas berdiri. Sajani tersenyum angkuh, “Jika Kisanak tidak keberatan,” sambut Sajani tersenyum. “Hahaha … dasar wanita culas!” ejek Goga. Sajani hanya tertawa mencibir, dia tidak akan mengambil hati pada ucapan kasar terkesan sampah yang terlontar dari mulut para bandit. Karena memang demikianlah mereka. Mereka pun melangkah ke arah sumber suara. Mata Sajani melebar menangkap sosok wanita tidak asing tengah dilecehkan seorang lelaki. “Kau kenal dengannya bukan?” Gautam bertanya seraya bersandar pada dinding gua pengap itu. “Ma … Madhavi,” bisikny
Derap lompatan kaki kuda terdengar, sebagai pertanda sang empunya terlalu tergesa memacunya. Kayana menatap lurus ke arah depan, mulai membelah hutan yang mulai dingin nan lembab. Belum lagi guyuran hujan turut serta. Namun, hal tersebut tidak menyurutkan langkah. Demi mencari pelaku kejhahatan yang sesungguhnya tidak peduli semak berduri maupun hujan lebar diterjang. “Kayana, kita sudah berjalan terlalu lama, mari istirahatkan diri,” teriak salah seorang kawan. Kayana menarik tali kuda membuat terhenti, dia menoleh sekeliling yang ditemui hanya pepohonan tertutup semak-belukar. “Kita istirahat jika menemukan perkampungan, akan sangat bahaya jika berada di hutan asing. Terlebih banyak bandit berkeliaran di saat cuaca seperti ini,” ujar Kayana. “Baiklah, mari bergegas!” ajak salah seorang. Hyat! Mereka kembali memacu kuda membelah semakin belukar, entah akan sampai mana mereka berjalan tanpa tentu arah tersebut. hutan terlalu mengerikan juga membuat tersesat.
Rengganis memeluk tubuh Khandra, lelaki itu tersenyum berusaha membuat nyaman sang permaisuri. Entah bagaimana mengartikan hubungan keduanya. Baik Khandra maupun Rengganis pun tidak paham. Rengganis menutup mata, menghidu aroma keringat Khandra yang khas. Rasanya sungguh menenangkan, Permaisuri Rengganis benar-benar terlena dia mempererat pelukan. Hingga tanpa sadar tangan itu menelusup ke bagian pakaian mirip rompi yang dikenakan Khandra saat ini. Tangan halusnya meraba perut rata, berotot, dan berbentuk selayaknya lelaki perkasa. Mendapat perlakuan itu darah Khandra berdesir. Aroma wangi rambut Rengganis membuat sisi lain lelaki itu bangkit. Ada keinginan menarik segera sang permaisuri agar kembali berbaring kemudian membuat berteriak di bawahnya. Sayang, bayangan wajah pias Rengganis usai sadar tadi berlarian dalam ingatan Khandra. Tidak kuasa ia bertindak terlalu jauh. Khandra menghela napas berat. "Permaisuri, apa tidak sebaiknya saya pergi setelah Kayana dan pasukan baya