Beranda / Fantasi / Dendam Permaisuri yang Terbuang / 10. Kitab Empu Jagat Trengginas

Share

10. Kitab Empu Jagat Trengginas

Penulis: KarRa
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

“Aku Sawer Geni, tidak akan mati dengan mudah. Aku kekal abadi, kau tahu.” Ular itu perlahan seperti melebur, kepulan api dalam tubuhnya lenyap, Sawer Geni berubah menjadi sosok lelaki bertubuh putih mulus seputih kapas. Nyi Gendeng Sukmo melihat lengan lelaki tersebut memeluk perutnya. “Aku bisa berganti tubuh saat raga ini menua, mulai tidak berguna.” Sapuan napas lelaki itu terasa hangat di pipi Nyi Gendeng Sukmo.

“Lepas, bajingan!” Nyi Gendeng mengerakkan keris, tangan lelaki itu menyibakkanya dengan mudah. Pyash! Keris berubah kembali menjadi selendang.

Lelaki itu tertawa kemudian membalikkan tubuh Nyi Gendeng Sukmo, kini gadis tersebut dapat melihat sosok gagah pemuda ular itu. “Jadilah anak buahku, Nyi Gendeng Sukmo. Sudah begitu lama aku memperhatikan dirimu dan yeah. Kau sosok sempurna yang aku pilih. Akan aku berikan ilmu kekebalan juga keabadian. Kau bisa hidup kekal, menguasai jagat raya,” terang Sawer Geni.

“Aku tidak yakin kau lebih hebat dari guruk
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Dendam Permaisuri yang Terbuang   11. Tumbal Pertama Gendeng Sukmo

    Gendeng Sukmo, merapalkan ajian mantra jaran goyang pada ritual sebuah malam selesai bersetubuh dengan Sawer Geni. Atas bimbingan lelaki ular api tersebut, Nyi Gendeng mampu menuntaskan ajian dalam waktu singkat. Tiga hari tiga malam dia melakukan tirakat, dan tepat tengah malam ini, dirinya untuk kesekian kali menggunakan ajian tersebut untuk memikat lawan jenis demi tumbal yang dia butuhkan untuk keabadian. Saat terbit wajar lalu ketika terbenam matahari, mantra tersebut dirapalkan Gendeng Sukmo. Tumbal ketujuh dia butuhkan sebagai syarat dari Sawer Geni yang mengatakan sebagai syarat keabadian pertama dia harus mencari tujuh pemuda. Gendeng Sukmo memerlukan ajian jaran goyang, ilmu pelet yang dia temui dalam catatan kitab Empu Jagat Trengginas untuk kelancaran memikat lawan jenis, selagi keduanya pernah berjumpa, bertegur sapa bukan hal sulit untuk melancarkan ajian jaran goyang tersebut. “Sungguh disayangkan kitab ini hanya bagian depan saja yang aku dapatkan,” keluh

  • Dendam Permaisuri yang Terbuang   12. Tipu Muslihat

    Kerajaan Baskara Istana Utama sedang gaduh atas kaburnya Rengganis dari menara Istana Dingin tanpa ada jejak sama sekali membuat Raja Abra murka. Bersamaan dengan itu Senapati Khandra juga prajurit yang pergi berperang memasuki aula istana. Tidak ada penyambutan sama sekali pada pahlawan yang telah mempertahankan perbatasan. Hanya ada beberapa abdi dalem menghampiri lalu mengungkapkan murka sang raja. Dari obrolan yang terjadi, Khandra merasa sangat miris, Abra benar telah memonopoli keadaan istana. Walau dia tahu ada beberapa anggota pendukung Permaisuri Rengganis namun, lelaki tersebut tidak mungkin bisa bergerak sembarangan, banyak mata melihat. "Selamat datang para Ksatria hebat Kerajaan Baskara," ucap Ki Kastara menyambut. Khandra tersenyum, dia paham benar bahwa sanya lelaki tua tersebut pasti ikut andil dalam penggulingan permaisuri. Selir Madhavi tidak mungkin bergerak sendiri. "Ah, terima kasih atas sambutan Ki Kastara, di medan perang

  • Dendam Permaisuri yang Terbuang   13. Siasat Khandra

    Seorang berjubah hitam dengan kepala tertutup tudung melompat dari atas pohon ke sebuah bangunan di Kerajaan Baskara. Sayup terdengar dentuman musik gamelan mengalun bersama tembang yang dilantunkan pesinden. Dia menyipitkan mata untuk melihat ke bawah, ke sebuah pondok. Ah benar saja, pesta penyambutan untuk kedatangan prajurit yang kembali dari medan perang. Tawa terdengar menggelegar, ada penari melenggak-lenggok nan gemulai. Bibirnya menyeringai, kembali dia melompat lalu menengok ke arah sekeliling. Melompat ke bawah dan masuk lewat jendela kayu ke dalam sebuah bangunan. 'Syukurlah aku bisa masuk tanpa ketahuan,' ucapnya kemudian. Lampu minyak Remang-remang menyinari sebuah kamar ukuran kecil. Hanya ada satu dipan dan meja kayu pendek di sana. Lantai beralaskan tikar dari daun pandan, sama seperti alas dipan di sampingnya. Dia kemudian meletakkan pedang miliknya, melucuti tudung dan jubah hitam miliknya kemudian merebahkan tubuh di dipan kayu tersebut.

  • Dendam Permaisuri yang Terbuang   14. Masa Lalu

    Rengganis terbangun dari tidur dengan terkejut, pasalnya semalam dia berada di dekat sungai bersama Khandra. Lalu sekarang berbaring di kamar sederhana di dalam gua. Rengganis tersenyum, baru dia merasakan tertidur pulas dan nyaman. Biasanya mimpi buruk menghantui. Nampaknya kehadiran Khandra bisa menjadi sebuah ketenangan. Rengganis turun lalu gegas keluar. “Mbok Berek, ada yang bisa saya bantu?” tanya Rengganis pada wanita tua yang tengah membungkuk memasukkan kayu dalam perapian. “Selamat pagi Permaisuri, tidak perlu silakan Permaisuri duduk sambil menunggu makanan matang. “Kayana!” teriak Mbok Berek, “Ambilkan air mencuci wajah,’ lanjutnya. Tidak berapa lama Kayana datang dengan baskom terbuat dari tembaga lalu meletakkan di atas dipan kayu. “Em, anu silakan Permaisuri,” kata pemuda tersebut malu-malu. “Terima kasih, Kayana,” ucap Rengganis. “Em, anu Permaisuri,” kata Kayana lagi membuat Rengganis berhenti di tempat. “Katakan.”

  • Dendam Permaisuri yang Terbuang   15. Tali Merah Pengikat

    Empu Jagat Trengginas membalikkan tubuh menghindari serangan muridnya. Dia mencabut satu rambut lalu menggoreskan pada jari, darah mengalir dari jari itu melumuri rambut “Tali merah pengikat!” teriak lelaki tua itu, dia melemparkan rambut yang kemudian berubah memanjang seperti tali merah setipis benang. Tepat mengenai sasaran tubuh Gendeng Sukmo, melilit kuat. Sawer Geni berjingkat, dia melebarkan mata melihat wanitanya tanpa daya. ‘Pak tua itu sakti juga,’ gumam Sawer Geni. “Argh, sakit!” teriak Gendeng Sukmo tubuh terasa remuk redam, dia meringis kesakitan. “Sawer Geni, tolong aku!” pintanya membuat lamunan sesaat Sawer Geni buyar. Sawer Geni melompat mendekati mereka, dia menatap ke arah Empu Jagat yang masih sibuk menarik tali yang melilit Gendeng Sukmo. tangan lelaki tua itu terulur ke depan, mengepal seperti memeras. Lelaki itu mengeluarkan tenaga dalam kemudian memutar tubuh, sebuah cahaya merah, gumpalan api melesat ke arah Empu jagat. Empu Jagat mengguna

  • Dendam Permaisuri yang Terbuang   16. Pedang Sawer Geni

    Empu Jagat Trengginas memandang ke arah danau yang tidak jauh dari air terjun. Kedua tangan terentang, mantra dia lantunkan, tiba-tiba bumi berguncang seperti gempa. Empu Jagat Trengginas bergeming guncangan dahsyat tersebut tidak membuatnya beralih tempat, dia mengentakkan kaki kanan ke tanah di dekat danau.Blar! Blar! Pyash! Byur! Tras! Tanah seperti terbelah, air danau masuk ke dalam belahan tanah tersebut. kemudian Empu Jagat Trengginas kembali mengentakkan kakinya beberapa kali, tanah yang telah kering itu seperti naik membentuk bukit kecil. Kedua tangan menyatu ke depan, terlihat sebuah cahaya biru menyembul di tengah. Empu Jagat melempar ke arah danau kering. Blar! Cahaya biru tersebut menjadi percikan api biru. “Uhuk!” Empu Jagat Trengginas kembali, muntah darah, kali ini lebih banyak, tubuhnya lemas, dia tersungkur ke tanah. “Celaka, tenagaku sudah terkuras habis!” Lelaki tua tersebut mengatur napas yang putus-putus. Bersamaan dengan itu, tanah kembali

  • Dendam Permaisuri yang Terbuang   17. Madhavi Menggoda Khandra

    Kerajaan Baskara Masa lalu memang akan membuat seseorang tetap mengingat. Bukan berarti tidak dapat berjalan maju, hanya saja sebagai lonceng akan sebuah sebab akibat sebuah perjuangan. Begitu pun Khandra tidak mungkin dia melupakan begitu saja masa lalu. Usai pertempuran sengit antara guru dan kakak seperjuangan, Khandra tidak lagi bersua Empu Jagat Trengginas, entah ke mana lelaki tua itu pergi. 'Guru,' bisik Khandra ketika tidak sadar mengingat wajah tua berjanggut putih. Cuaca siang itu terasa panas, Khandra mengusap peluh yang membasahi kening. Dia memejamkan mata menghilangkan segala ingatan yang mampir. Dia menoleh ke arah tanah lapang tempatnya berlatih pedang. Beberapa anak buahnya terkapar tanpa daya, kelelahan. Sama seperti dirinya, napas kembang kempis. Tangannya meraih kendi yang berada di atas meja kayu. Dia meneguk airnya beberapa kali. "Senapati Khandra," panggil seorang wanita, suara terdengar mendayu-dayu bak alunan kidung indah.

  • Dendam Permaisuri yang Terbuang   18. Putri Mbok Berek yang Diasingkan

    Suara langkah kaki kuda terdengar di jalan setapak. Nampak dua orang pemuda memacu kuda masing-masing melewati alun-alun kota, Khandra menoleh ke arah tengah. Di mana kepala Kanjeng Ibu yang mulai membusuk dibiarkan begitu saja oleh para penjaga. Khandra menarik tali membuat kuda berhenti, disusul kemudian Kayana. “Biadab sekali mereka!” umpat Kayana. “Jaga bicaramu, banyak lalat hinggap di sekitar!” Khandra mengingatkan sang sahabat seraya menoleh kanan-kiri. “Entah sampai kapan kepala Kanjeng Ibu akan tergantung seperti itu,” lirih Khandra. Keduanya saling pandang lalu mengangguk, mereka kembali memacu kuda ke arah sebuah kedai. “Mbok, ada ruangan kosong? Kami berdua ingin minum arak sampai mabuk.” Kayana tersenyum ketika Mbok Berek si pemilik kedai menghampiri. Mbok Berek membalas senyum, “Ada, mari ikut saya ke bilik ujung, tidak apa kan, bilik lain sudah terisi,” kata Mbok Berek. Mereka kemudian berjalan masuk, beberapa pengunjung yang tengah ma

Bab terbaru

  • Dendam Permaisuri yang Terbuang   Next Novel KarRa & Pengumuman Giveaway

    Next Novel: Tumbal Pengantin Iblis By: KarRa “Awalnya Kalina menerima balutan bibir itu, hingga sebuah bayangan muncul samar dalam ingatan. Sosok lelaki tampan tertutup cahaya putih, spontan Kalina mendorong tubuh Elard. “Maaf,” pinta Kalina merasa bersalah. Tidak terbersit dirinya untuk mendorong Elard, hanya saja bayangan yang selalu mengintai itu sangat menyiksa, menyesakkan dada. “Kau baik-baik saja, Sayang?” tanya Elard mengernyitkan kening melihat wajah sang kekasih pucat pasi. “Kau---?” “Bayangan dalam mimpiku terlintas dalam ingatan. Aku lelah jika harus seperti ini,” keluh Kalina. Dia mengingat setelah insiden kecelakaan dirinya sering bermimpi bertemu dengan seorang lelaki bersayap, lelaki tampan bak malaikat. Namun, bayangan lelaki itu kini semakin sering muncul, bahkan saat dirinya berdekatan dengan Elard. Sang tunangan pun tahu, Elard orang yang tahu tentang mimpi yang dia alami. Mimpi, tentu saja bukan. Apa yang terjadi pada Kalina

  • Dendam Permaisuri yang Terbuang   Pemungkas (Tamat)

    Pertempuran berlangsung cukup lama, Ki Kastara memiliki beberapa pendekar bayangan dengan ilmu bela diri dan kanuragan tinggi. Crask! Terdengar daging yang dihunus. Crash! Sebilah pedang berlumur darah berhasil merobek perut lawan. Teriakan menggema tanpa henti, beberapa prajurit Baskara sudah mulai tumbang. Anak buah Ki Kastara banyak yang tumbang. 'Kurang ajar, bagaimana mungkin mata-mata yang aku taruh di padepokan Elang Putih tidak memberi kabar jika Guru Besar keluar?' Ki Kastara memperhatikan satu per satu kesatria bayarannya tewas mengenaskan. Lelaki itu menggertakkan gigi hingga bergemeletuk. 'Apa mungkin mereka tewas? Atau jangan-jangan malah kabur?' dengkusnya masih dalam hati. Beberapa waktu sebelumnya, di mana aura berbeda melingkupi Padepokan Elang Putih. Saat itu Guru Besar tengah memberi arahan pada murid didiknya. Lelaki itu mendadak berhenti dan menoleh ke arah kanan-kiri serta atas, membuat beberapa murid kebingungan bukan main. Saat ini mereka tengah dud

  • Dendam Permaisuri yang Terbuang   133. Menghabisi Ratu Rengganis

    Empu Jagat Trengginas menutup mata, merasakan kesejukan, dunia pak tua itu terkesan damai. Suara-suara binatang hutan memekik perlahan memudar, pun bunyi-bunyian khas hutan menjadi tidak terdengar. Lelaki sepuh tersebut masih memusatkan perhatian pada satu titik. Menyatu bersama alam, mendadak waktu bahkan seperti lambat berjalan dalam satu pusat pikiran. Hingga setetes air dari daun yang menetes jatuh ke kubangan pun terdengar. Clang! Air itu jatuh, Empu Jagat Trengginas tersenyum mendengar derap langkah kuda. Aura yang sangat dia kenal terasa meski jarak mereka berjauhan. Daun dari ranting pohon mulai berguguran tertiup angin. Empu Jagat Trengginas membuka mata, gerakannya secepat kilat berlari menyusuri hutan tanpa kendala, ah bukan tanpa kendala. Hanya saja gerakan lelaki sepuh iru terlampau cepat. Bertepatan pada daun jatuh di tanah. Kaki lelaki itu melompati ranting pohon lalu menapak di tanah. Seorang lelaki gagah menunggang kuda kemudian menarik tali. Kuda me

  • Dendam Permaisuri yang Terbuang   132. Pukulan Dahsyat Ajian Brajamusti

    Sudah berhari-hari Kayana dan juga pasukan kesatria bayangan berkeliling hutan tanpa tahu jalan keluar. Mereka sudah merasakan gusar lantaran berulang kali melewati tempat sama. Mereka turun dari kuda kemudian duduk di akar pohon besar yang menjulang keluar tanah. Mereka tampak lelah dan letih secara bersamaan. Seorang lelaki tiba-tiba datang melompat dari atas pohon. Kakinya berpijak di tanah kering dengan tangan membawa bungkusan daun. "Kau lama sekali mencari makan," ujar Kayana. "Ah, maaf. Aku baru mengisi bumbung air untuk kita minum di air terjun arah sana. Ini sudah kesekian kalinya berputar-putar di tempat yang sama," keluh lelaku itu meletakkan buah-buahan hutang yang di pertik di tanah dekat mereka semua duduk. "Sepertinya kita terkena uyut mimang," ujar salah seorang. "Ah, sungguh sial!" keluh Kayana menggaruk kepala. "Ketua, sekarang kita harus bagaimana?" Salah seorang lagi bertanya pada Kayana membuat lelaki itu semakin pening.

  • Dendam Permaisuri yang Terbuang   131. Ajian Saipi Angin

    Rengganis dan Guru Besar sempat berbincang-bincang sebelum Kayana pergi. Lelaki itu berpesan pada Khandra untuk berjalan ke arah berlawanan yang Kayana tuju. Perjalanan tidak tentu arah mencari Ki Kastara juga Empu Jagat Trengginas semakin pelik. Jika Sajani berjalan ke arah ujung utara demi meminimalisir pencarian. Sebenarnya jalan yang di tempuh ketiga kesatria tersebut sudah dalam saran Guru Besar. Kini sepasang kesatria elang putih terpisah di jalan masing-masing. Pun tidak jauh berbeda dengan Khandra yang diutus Guru Besar menjelajahi arah selatan. Berharap Empu Jagat Trengginas dapat ditemukan. "Guru, guru mengatakan jika di arah utara banyak sekali hutan yang berkabut tertutup uyut mimang. Apa Kayana akan baik-baik saja?" tanya Rengganis usai Gautam dan Goga meningggalkan istana. "Tenang saja, Kayana bukan sembarangan pendekar bela diri tanah air. Dia salah satu murid terbaik yang hamba miliki," ungkap Guru Besar yakin. "Semoga saja Empu Jagat Trengginas da

  • Dendam Permaisuri yang Terbuang   130. Kematian Tragis Madhavi

    Saat Rengganis dan juga Guru Besar yang sesungguhnya merupakan Mang Damar itu tengah membahas serius kelanjutan rencana. Di luar Istana sudah dibuat geger akan kemunculan para bandit. Siapa lagi jika bukan Gautam dan Goga. Mereka muncul dengan mendorong gerobak berisi mayat Madhavi. Para warga berteriak histeris antara terkejut dan takut. Hingga keributan itu terdengar sampai ruangan Taman Sari. “Ada ribut apa di luar?” tanya Rengganis teralihkan perhatian atas teriakan orang-orang. Mang Damar menutup mata, dia mencoba merasakan aura yang ada di sekitar. “Nampaknya ada tamu tidak terduga berencana bertemu Permaisuri,” kata Mang Damar tersenyum. “Tapi saat ini saya tidak bisa menerima tamu, Mang Damar pun paham dengan keadaan saya, bukan?” “Sungguh sangat paham, tetapi jika tidak ditemui nantinya Permaisuri yang akan repot,” ujar Mang Damar. “Baiklah, selama Guru Besar berada di samping saya,” jawab Rengganis. Mang Damar kembali menggunakan ca

  • Dendam Permaisuri yang Terbuang   129. Hukuman Menyakitkan

    Sajani merasa tak enak hati, takut pula jika para bandit tersebut bersikap tidak suka akan tindakan tidak sopannya. Gautam dan Goga memandang tajam bak menguliti. Lalu keduanya terbahak membuat perut buncit itu mengangguk-angguk. “Maaf atas ketidaksopanan saya,” kata Sajani lagi. “Hahaha … tidak masalah Cah Ayu, aku bahkan dengan senang hati akan mengantarkan kau ke arah sumber suara,” ujar Gautam lantas berdiri. Sajani tersenyum angkuh, “Jika Kisanak tidak keberatan,” sambut Sajani tersenyum. “Hahaha … dasar wanita culas!” ejek Goga. Sajani hanya tertawa mencibir, dia tidak akan mengambil hati pada ucapan kasar terkesan sampah yang terlontar dari mulut para bandit. Karena memang demikianlah mereka. Mereka pun melangkah ke arah sumber suara. Mata Sajani melebar menangkap sosok wanita tidak asing tengah dilecehkan seorang lelaki. “Kau kenal dengannya bukan?” Gautam bertanya seraya bersandar pada dinding gua pengap itu. “Ma … Madhavi,” bisikny

  • Dendam Permaisuri yang Terbuang   128. Menyambangi Sarang Penyamun

    Derap lompatan kaki kuda terdengar, sebagai pertanda sang empunya terlalu tergesa memacunya. Kayana menatap lurus ke arah depan, mulai membelah hutan yang mulai dingin nan lembab. Belum lagi guyuran hujan turut serta. Namun, hal tersebut tidak menyurutkan langkah. Demi mencari pelaku kejhahatan yang sesungguhnya tidak peduli semak berduri maupun hujan lebar diterjang. “Kayana, kita sudah berjalan terlalu lama, mari istirahatkan diri,” teriak salah seorang kawan. Kayana menarik tali kuda membuat terhenti, dia menoleh sekeliling yang ditemui hanya pepohonan tertutup semak-belukar. “Kita istirahat jika menemukan perkampungan, akan sangat bahaya jika berada di hutan asing. Terlebih banyak bandit berkeliaran di saat cuaca seperti ini,” ujar Kayana. “Baiklah, mari bergegas!” ajak salah seorang. Hyat! Mereka kembali memacu kuda membelah semakin belukar, entah akan sampai mana mereka berjalan tanpa tentu arah tersebut. hutan terlalu mengerikan juga membuat tersesat.

  • Dendam Permaisuri yang Terbuang   127. Pengakuan Rengganis

    Rengganis memeluk tubuh Khandra, lelaki itu tersenyum berusaha membuat nyaman sang permaisuri. Entah bagaimana mengartikan hubungan keduanya. Baik Khandra maupun Rengganis pun tidak paham. Rengganis menutup mata, menghidu aroma keringat Khandra yang khas. Rasanya sungguh menenangkan, Permaisuri Rengganis benar-benar terlena dia mempererat pelukan. Hingga tanpa sadar tangan itu menelusup ke bagian pakaian mirip rompi yang dikenakan Khandra saat ini. Tangan halusnya meraba perut rata, berotot, dan berbentuk selayaknya lelaki perkasa. Mendapat perlakuan itu darah Khandra berdesir. Aroma wangi rambut Rengganis membuat sisi lain lelaki itu bangkit. Ada keinginan menarik segera sang permaisuri agar kembali berbaring kemudian membuat berteriak di bawahnya. Sayang, bayangan wajah pias Rengganis usai sadar tadi berlarian dalam ingatan Khandra. Tidak kuasa ia bertindak terlalu jauh. Khandra menghela napas berat. "Permaisuri, apa tidak sebaiknya saya pergi setelah Kayana dan pasukan baya

DMCA.com Protection Status