Di ruang VIP penerima tamu bandara Soekarno-Hatta di Kota Jakarta, Aldan tersenyum hangat saat dirinya melihat kedatangan seorang wanita berusia 50 tahunan.
Dia adalah Bundanya,“Selamat datang kembali di Negara kelahiranmu, nak.”
Aldan tersenyum lembut. Lalu dia meraih tangan wanita berambut sebahu itu dan langsung menciumnya dengan penuh kasih sayang, “Makasih Bunda sudah menyambut kedatanganku.”
“Mana mungkin Bunda gak menyambutmu pulang? Emm mari pulang. Bunda sudah menyiapkan tempat tinggal khusus untuk anak Bunda.” Wanita yang memakai kacamata hitam dan masker itu tersenyum dengan penuh kasih sayang, meskipun Aldan bukan anak kandungnya. “Bunda juga sudah menyusun rencana biar kamu bisa masuk di perusahaan tempat Papamu dulu bekerja.”
“Makasih, Bunda. 10 tahun bukan waktu yang singkat. Aldan menderita, tersiksa ... Sekarang waktunya Aldan menuntut keadilan. Mereka harus merasakan apa yang Aldan, Papa, Mama rasakan.”
Energi membunuh dalam diri Aldan mulai keluar. Tatapannya menerawang jauh, membayangkan para pembunuh yang menghabisi nyawa kedua orang tercinta.
Wanita itu tersenyum sembari menepuk bahu Aldan, “Kamu benar. Kamu harus menemukan siapa saja yang terlibat dalam pembunuhan kedua orang tuamu. Mereka harus dihukum seberat-beratnya ... Bersihkan namamu, buktikan pada dunia bahwa kamu tidak bersalah ... Tapi kamu harus tetap waspada. Jangan sampai amarahmu menghancurkan rencanamu sendiri.”
10 tahun silam!
Pihak kepolisan malah memberi keterangan yang mengejutkan. Penyelidikan yang mereka lakukan menyimpulkan bahwa pembunuh Chandra dan Yuyun adalah anak kandungnya sendiri, Aldan.
Mendengar itu, tentu saja Aldan sangat sedih, terluka, kecewa, dan marah bercampur menjadi satu. Namun, publik justru percaya dan termakan oleh keterangan kepolisan. Akibatnya, semua orang sangat membenci dan mengutuk Aldan dengan kalimat sampah. Di saat itu pula, datang wanita yang menyelamatkan Aldan dan membawanya pergi ke Malaysia.
***
Aldan pergi mengunjungi daerah lain di kediaman Kakeknya. Namun, dia datang bukan sebagai Aldan Pratama Chandra Putra. Dia membawa identitas lain, menyamar dengan memakai rambut palsu serta aksesoris yang mendukung.
Saat tiba di sana, tampaknya ada sebuah pesta yang sedang berlangsung.
‘Pesta apa ini?’ batin Aldan bertanya sambil tetap membawa langkahnya masuk ke dalam dan berbaur dengan tamu pesta.
Aldan semakin berjalan menyusuri ruangan tengah yang dipadati tamu pesta. Langkahnya terhenti ketika melihat dua bingkai foto besar mendiang Chandra dan Yuyun terpampang di samping sebuah banner pesta yang ada di depan.
Kedua mata Aldan berkaca-kaca tak kuasa menahan tangis. Perasaan sedih yang amat mendalam membekas hingga detik ini. Jiwa dan raganya terkoyak setiap kali mengingat kematian mengenaskan kedua orang tuanya.
Aldan segera mengusap air mata saat hampir saja terjatuh. Pandangannya bergeser ke arah banner pesta dan membacanya, “Ow jadi kakek mengadakan pesta tahunan dan mengundang banyak orang.”
Di titik ini, pria sepuh berjalan ke depan dan berdiri tepat di depan banner. Seketika itu pula, tamu pesta menatap dengan tatapan penuh hormat. Aldan yang memperhatikannya Pun menerbitkan senyuman, ada kerinduan yang mendalam di matanya.
Dia adalah Ilham , kakek Aldan.“Setiap tahun, keluarga kita mengadakan pesta sebagai rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Terima kasih pada saudara yang berkenan hadir.”
Ilham menghentikan ucapannya sebentar. Dia terlihat sangat sedih, “Andai anakku Yuyun dan suaminya, Chandra masih hidup ... kebahagiaan keluarga ini semakin lengkap. Meski 10 tahun, bahkan sampai aku mati ... aku masih merindukan mereka.”
“Ini semua gara-gara anaknya yang biadap membunuh kak Chandra dan kak Yuyun.” Tiba-tiba ada orang yang menyahut dengan penuh emosi. Dia adalah Syarif, saudara kandung Yuyun. “Aldan, anak iblis! Dia bukan manusia! Jika sekarang anak itu masih hidup, aku berdoa semoga hidupnya menderita. Jika anak itu sudah mati, aku yakin dia membusuk di neraka!”
Sumpah serapah itu membuat hati Aldan tertusuk. Dia menangis dalam hati karena menanggung derita yang bukan kesalahannya. Namun, dia tidak marah. Dia memaklumi kenapa Syarif merutukinya, itu karena termakan oleh hasutan para pembunuh itu.
“Tidak ada yang tau keberadaan Aldan. Apakah dia masih hidup atau sudah membusuk di Neraka? Tapi dimanapun dia berada, Tuhan pasti menghukumnya.”
“Ya, anak durhaka seperti Aldan tidak pantas hidup.”
“Dia pasti kekal di jurang neraka.”
Awalnya Aldan cukup tenang, tetapi dia tidak bisa menahan lagi saat para tamu pesta ikut memberikan sumpah serapah padanya atas dosa yang tak pernah dia lakukan.
“Cukup! Aldan bukan pembunuh! Aldan difitnah!”
Suara lantang Aldan seperti memiliki kekuatan magic sehingga membuat seluruh tamu pesta melihat ke arahnya.
Dia? Siapa dia? Semua orang pun kasak-kusuk mempertanyakan orang yang berani bicara lantang itu.
“Siapa kamu? Sepertinya aku gak mengenalmu.” Syarif berjalan mendekati Aldan dengan tatapan penuh curiga. “Siapa kamu? Kenapa kamu bilang seperti itu barusan?”
“Aku teman kecil Aldan. Dulu aku sangat akrab dengannya. Aku sangat mengenalnya, Aldan anak baik, Aldan bukan pembunuh. Aldan juga korban dari pembunuhan itu.” Aldan serius memberitahu kebenaran, meskipun dia berbohong mengenai identitas aslinya.
“Semua orang pun dulu sempat percaya dengan bualan anak iblis itu! Siapa yang bakalan menduka Aldan akan membunuh orang tuanya? Tidak ada ... Tapi setelah polisi menyelidikinya, bukti-bukti pembunuhan mengarah pada Aldan.” Syarif merespon dengan wajah serius, semua orang pun mengangguk.
“Yang dikatakan anakku, benar. Dulu kakek juga gak percaya, tapi bukti-bukti itu sangat kuat. Aldan tega membunuh kedua orang tuanya dengan sangat kejam.” Ilham menyahut. Lalu dia berjalan mendekati Aldan dengan wajah berbalut kesedihan. “Polisi berhasil menemukan fakta di balik pembunuhan itu. Aldan membunuh karena cuma masalah sepele. Dia gak diberikan uang buat beli laptop mahal buat dipamerin ke teman-temannya. Kakek gak habis pikir. Kenapa cucuku menjadi seorang pembunuh?”
Syarif mengusap air matanya yang menetes, Aldan pun juga tak kuasa menumpahkan air mata. Aldan bersedih karena kakek dan kerabat lainnya termakan oleh tipu daya para pembunuh itu.
“Aku mengerti apa yang kamu pikirkan, tapi itulah kenyataannya,” kata Syarif sambil menepuk pelan bahu Aldan.
“Mereka berbohong. Mereka telah memberikan keterangan palsu. Bukan Aldan yang membunuh Papa Mamanya, tapi justru mereka yang membunuh. Dan salah satu pembunuhnya adalah seorang polisi,” ungkap Aldan lembut meskipun dia tahu semua orang tidak akan percaya, tetapi setidaknya dia berusaha membuka mata kebenaran.
Namun, Ilham dan Syarif justru mulai menaruh rasa curiga kembali setelah mendengar penjelasan Aldan.
“Siapa kamu sebenarnya? Atas dasar apa kamu membela Aldan?” tanya Syarif memicingkan mata. Lalu perlahan dia melebarkan matanya. “atau jangan-jangan kamu ...”
Syarif menggantungkan ucapannya, semua orang pun curiga dan menebak-nebak orang asing itu yang datang ke pesta.
“Siapa kamu? Jawab!” Seorang perempuan cantik datang mendekat dengan raut wajah memerah.
Dia adalah sepupu Aldan. Namanya Nisa, “Ow jangan-jangan kamu orang suruhan Aldan? Kamu datang buat menghasut kami, bukan?!” tanya Nisa meninggikan suaranya.
“Hah? Aldan masih hidup?” tanya Syarif sambil mengepalkan tangan. Lalu tiba-tiba dia mencengkeram kerah baju Aldan dengan penuh emosi. “Dimana anak iblis itu berada? Cepat katakan! Aku ingin membunuhnya!”
“Aku mengetahui segala-nya.” Aldan kesusahan berbicara karena cengkeraman Syarif sedikit mencekik lehernya. “Aku saksi pembunuhan itu, aku berada di tempat kejadian.”
Syarif melepaskan cengkeramannya, tetapi tatapannya masih terpancar kecurigaan yang amat besar.
“Jika memang kamu berada di tempat kejadian, jelaskan pada kami apa yang sebenarnya terjadi,” pinta Ilham ramah. Sepertinya dia tak sabar mendengarkan penjelasan orang asing di hadapannya, karena di lubuh hatinya dia berharap bahwa Aldan memang bukan sang pembunuh.
“Tidak perlu!” Ada suara lantang yang menyahut dan berjalan mendekat. Dia adalah anak pertama Ilham, namanya Mukafi. Dia menatap Aldan dengan senyuman miring. “jelaskan saja di kantor polisi. Aku yang akan membawamu kesana.”
Syarif dan Nisa mengambangkan senyuman. Mereka mengerti maksud dari Mukafi yang berpikir bahwa orang asing itu adalah penjahat suruhan Aldan untuk menghasut keluarga ini.
Sementara itu Aldan seketika berpikir keras. Dia tidak mungkin pergi ke kantor polisi karena identitasnya pasti terbongkar. Balas dendamnya masih belum dimulai, dia tidak mau 10 tahun penantian berakhir sia-sia. Dia harus menghukum para pembunuh kedua orang tuanya.
“Kenapa diam? Takut?” tanya Mukafi, diiringi dengan senyuman seringai di bibir. “Kamu sudah tertangkap basah, bung. Apa Aldan menyuruhmu berakting di depan semua orang? Tidak semudah itu, bung. Kami tidak bodoh!”
Semua orang pun kini sangat yakin bahwa orang asing itu adalah penjahat suruhan Aldan. Dengan kata lain, Aldan masih hidup.
PLAK!
Tiba-tiba Ilham memberikan tamparan keras pada Aldan.
“Kurang ajar!” berang Ilham dengan wajah memerah dan otot-otot leher tuanya menyembul di atas permukaan kulit. “Dimana Aldan? Aku ingin menghajarnya!”
“Kakek, aku—”
“Aku bukan kakekmu. Cepat katakan dimana Aldan bersembunyi. Dia harus bertanggung jawab atas semua dosa-dosanya,” potong Ilham tegas.
Saat ini Aldan menahan air mata yang mulai memberontak ingin keluar. Dia menderita selama 10 tahun lamanya, ditambah lagi keluarga besarnya sangat membenci dirinya atas sesuatu yang tak pernah dia lakukan.
“Aku sudah menelpon polisi. Tahan dia.” Istri Syarif berucap. Dia Melanie. “Bodoh sekali! Aldan sendiri yang memberi tahu persembunyiannya dengan mengirim orang ini datang kesini.”
Mendengar ucapan Melanie, mata Aldan bergerak-gerak memperhatikan sekitar. Dia tidak mau kejadian 10 tahun lalu terulang kembali saat dirinya tertangkap dan hampir terbunuh oleh sang pembunuh. Saat ini dia harus pergi sebelum polisi datang.
Namun, saat tubuh Aldan bergerak sedikit saja, Mukafi memegang kuat tangan kanannya.
“Mau kemana? Tunjukkan keberadaan Aldan. Dia harus mendapatkan hukuman seberat-beratnya!”
Aldan tidak panik, dia pimpinan pasukan rahasia white master yang sangat ahli dalam bela diri. Jika mau, dia bisa saja melepaskan tangannya dari pegangan Mukafi tanpa menyakiti.“Maaf, aku harus pergi. Tapi suatu saat aku akan kembali dengan membawa sebuah kebenaran.”Namun, Aldan tidak mudah begitu saja pergi dari sana. Semua orang menghadang kepergiannya.“Haha bukannya barusan kamu bilang melihat kejadian pembunuhan Chandra dan Yuyun 10 tahun silam? Tapi kenapa sekarang kamu malah mau pergi?” tanya Mukafi menerbitkan senyuman miring. Dia yakin orang asing di hadapannya itu adalah orang suruhan Aldan yang ingin menghasut keluarganya.Ilham dan semua orang pun menerbitkan senyuman miring. Mereka malah semakin yakin bahwa Aldan masih hidup. Mereka juga menilai Aldan bodoh karena sudah berani mengirim orang lain untuk memberi tahu persembunyiannya.“Aku berkata benar. Suatu hari nanti kalian akan tahu siapa pembunuh yang sebenarnya, bukan Aldan ... Aku janji akan mengungkap kejahatan
Aldan tiba di sebuah rumah kontrakan yang sudah disediakan oleh Bundanya. Ukuran Kota Jakarta, di daerah itu tidak terlalu padat penduduk.Saat Aldan membuka pintu rumah, ujung matanya bergerak ke arah tembok tak jauh di samping kanannya.‘Hemm rupanya kamu tidak bisa berpisah denganku.’Aldan tersenyum kecut, menyadari siapa yang membuntutinya. Lalu dia memutar tubuh, menatap ke arah tembok samping kanannya.“Kaluarlah, Faiz. Aku tahu kamu bersembunyi di sana.”Faiz malu-malu menyembul dari balik tembok. Dia berjalan mendekat dan berdiri dengan membungkukkan badan di hadapan Aldan.“Maaf, Bos. Aku ingin liburan ke Indonesia. Aku ingin tahu indahnya Negara ini,” kilah Faiz menyengir sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Aldan tersenyum kecut, “Kenapa kamu mengikutiku, Faiz?”Faiz menghembus napas pelan, “Aku mau berada di dekat-dekat Bos. Siapa tau tenagaku dibutuhkan.”Aldan tersenyum lebar, “Apa kamu mengkhawatirkan keselamatanku?”Faiz mendongak menatap Aldan. Dia bin
Aldan melanjutkan cerita pembunuhan 10 tahun yang lalu pada Faizal Hamid.Waktu itu! Setelah berhasil membunuh Chandra, pria bersepatu berusaha melenyapkan Aldan yang mengunci di dalam kamar orang tuanya.‘Bodoh!’Aldan merutuki dirinya sendiri yang tak mampu berbuat banyak untuk menyelamatkan nyawa kedua orang tuanya. “Ma, Mama ... Bangun, Ma!” Aldan menangis sambil menggoyangkan tubuh Yuyun. Dia berharap sang Mama hidup kembali meskipun itu tidak mungkin terjadi.Beberapa menit kemudian, hujan masih deras. Dengan bermandikan air mata, Aldan mencoba kuat berdiri dan melangkah ke arah pintu.Aldan bimbang dan ketakutan. Dia tidak tahu apakah pria bersepatu masih ada di rumahnya atau sudah pergi. “Tolong!” Satu-satunya cara yang Aldan bisa lakukan adalah berteriak meminta bantuan meskipun sulit didengar karena hujan masih deras. “Siapapun yang mendengarnya, tolong Aldan!”“Ya aku mendengarnya, nak.” Ada suara yang menyahut dari luar kamar tepat di depan pintu, membuat Aldan sangat t
Mata Aldan membelalak sempurna, jantungnya memompa begitu cepat. Sementara pria bersepatu tersenyum penuh arti bersitatap dengan mangsanya. “Kita bertemu lagi, nak.” Tak menunggu lama, Aldan memutar badan dan berlari sekencang mungkin. Pria bersepatu pun tak tinggal diam, dia mengejar anak itu. Aldan berlari dengan napas yang tersengal-sengal. Rasa sedih, takut, serta panik menjadi satu dalam hatinya. Yang ada di pikirannya hanya berlari dan berlari meloloskan diri dari kejaran pria bersepatu. “Tolong!” sambil berlari kencang, Aldan berteriak. Namun suaranya seperti tertahan, tak terdengar nyaring karena napas dan jantungnya ikut berlari. Rasa takut sangat jelas menyelimuti anak itu. Bagai seekor kucing yang mengejar tikus, mereka berlari adu kecepatan dengan tujuan masing-masing. Di sekolah itu sangat luas, Aldan terus menyusuri lantai dua hingga akhirnya dia menuruni tangga. Aldan memenangkan adu lari. Selepas dari tangga, ada sebuah lorong yang mengarah ke kanan dan ke kiri.
“Lepaskan aku!” Aldan memberontak sekuat tenaga. Namun, kekuatannya tak sebanding, cengkraman pria bersepatu sangat kuat.Pria bersepatu melemparkan Aldan ke dalam kandang, “Aku menepati janjiku padamu, nak. Bermainlah, kamu pasti menyukai permainan ini.”“Apa yang Om mau dariku? Jangan sakiti Aldan.”“Siapa yang mau menyakitimu,nak? Kami gak bakalan menyentuhmu,” respon Hendrawan mengulas senyuman licik. Aldan tidak percaya, dia sangat yakin kedua orang jahat itu sudah mempersiapkan suatu yang buruk untuknya. Mungkin sebentar lagi dirinya akan menyusul Chandra dan Yuyun ke surga.“Tolong lepaskan Aldan, Om.” Berulang kali Aldan memelas mengharap belas kasihan, tetapi itu tidak ada artinya.“Itu tergantung dirimu, nak. Kamu sendiri yang menentukan nasibmu,” kata pria bersepatu.“Apa maksudmu, Om? Aldan gak ngerti?” tanya Aldan yang terlihat semakin gusar.Hendrawan menjawab dengan bertepuk tangan berulang kali, seolah memberi isyarat pada seseorang. Hal itu membuat jantung Aldan memo
Pria bersepatu dan Hendrawan sangat kesal karena tidak menemukan kalung liontin di sekolah.“Bocah ingusan itu telah menipu kita,” kata Hendrawan.“Kau tidak perlu khawatir, Hendra. Meskipun kalungnya tidak ditemukan, kasus ini akan tertutup rapi. Tidak ada saksi hidup yang tersisa, anak Chandra sekarang pasti sudah ada di perut seekor anjing ... Tugasmu hanya mengurus di kantor polisi.” sahut pria bersepatu. Mendengarnya, perlahan senyum mengambang di bibir Hendrawan, “Benar, kita gak perlu repot-repot mencarinya. Sisanya serahkan padaku. Aku seorang polisi, sangat mudah bagiku menutup kasus ini.”Sementara itu,Aldan mengusap mulutnya yang dipenuhi darah dengan tetap menatap nanar pada seekor Anjing yang berhasil dibunuhnya. Perlahan kedua tangannya bergerak di perut binatang itu.“yaakkkkkkkk ...” Aldan berperilaku seperti seekor binatang buas. Dia mencakar dan mengoyak hingga akhirnya berhasil membelah perut Anjing. Aldan mengeluarkan isi perut Anjing dan menatapnya dengan mata
Pagi hari, nampak seorang pria tampan nan gagah berjalan ke arah gedung tinggi pencakar langit. Dia Aldan Pratama Chandra Putra, tetapi di perusahaan dia mengganti namanya menjadi Putra Saputra. Ketampanannya nyaris sempurna. Dengan tinggi 175 cm dan kulit putih, siapapun yang melihatnya pasti jatuh cinta pada pandangan pertama. Hari ini adalah hari pertama kerja Aldan di perusahaan cosmo indofood. Sekarang misi balas dendamnya dimulai. Dia berhasil menjadi asisten direktur keuangan di perusahaan cosmo indofood, jabatan yang sama seperti mendiang Papanya. Tentu ini semua berkat orang dalam yang berjasa memasukkan Aldan ke perusahaan, tetapi sebenarnya dia orang yang sangat cerdas dan pantas menduduki jabatan yang dia inginkan. “Saya harap anda bekerja dengan baik. Satu lagi, anda harus cepat beradaptasi dengan lingkungan perusahaan,” kata Ridwan , direktur keuangan. “Baik, Pak. Saya sangat senang bisa menjadi bagian perusahaan terbesar yang ada di Indonesia. Saya berjanji akan beke
Jam istirahat kerja, Aldan dan Rangga pergi bersama ke restoran yang ada di belakang perusahaan. “Kamu sudah berapa tahun kerja di sini?” tanya Aldan sambil berjalan di sisi kanan Rangga. “Sudah satu tahun ... Ow ya aku yakin kamu banyak prestasinya, baru masuk kerja langsung ditempatkan di posisi asisten divisi keuangan. Satu tingkat di atasku,” jawab Rangga setengah memberikan pujian pada Aldan. “Aku hanya orang biasa. Aku hanya beruntung saja.” Di tengah perjalanan dari arah berlawanan ada seorang pria tua berkacamata berjalan sambil fokus memainkan ponselnya, sehingga tanpa sengaja menabrak Aldan yang sudah mencoba menghindar. “Ah sialan, kalau jalan lihat-lihat. Pakai matamu!” berang pria tua itu dengan nada yang begitu tinggi. “Maaf, pak. Tapi anda yang salah. Anda fokus bermain hp saat berjalan,” protes Aldan. PLAK! Aldan memegang pipinya yang mendapat tamparan dari pria tua berkacamata. “Lancang sekali! Kau tau siapa aku? Hah?!” sergah pria tua berkacamata dengan sor
Di ruang tengah, Faizal dan Adelia tampak semangat mengerjakan tugasnya masing-masing. Faizal membuat beberapa akun berbagai media sosial untuk memanas-manasi perusahaan media agar meliput berita lama kasus Joshua Suherman yang masa tahanannya kurang dari 1 tahun.Sementara Adelia, dia mencari jenis-jenis kalung liontin di google. Meski matanya memerah efek tidak tdur semalaman, dia tetap semangat mencari sebuah petunjuk.“Faizal bagaimana? Sudah selesai?” tanya Adelia. Lalu dia menyruput kopi untuk memghilangkan rasa kantuk.“Sudah selesai. Tinggal menunggu respon. Semoga cepat trending. Semoga cepat dilihat dan dikomentari banyak netisen, biar seluruh media di Indonesia bakalan berlomba-lomba meliput kasus Joshua Suherman yang trending di medsos,” jawab Faizal sembari tetap bercelancar di dunia maya.“Sip. Kebobrokan hukum di Negara ini harus segera dibongkar.” Adelia mengerjap berulang kali untuk menghilangkan rasa kantuk yang semakin menyerang, dan akhirnya dia menggerakkan kedua
Verra dan Rangga sudah ada di depan pintu ruangan ceo.“Selamat pagi, bu Dhea.” Verra mengetuk pintu dengan sopan.“masuk,” sahut Dhea dari dalam.Verra dan Rangga masuk ke dalam. Mereka melirik ke arah Aldan yang sudah ada di sana. Seketika mereka bernapas lega melihat asisten manager keuangan itu tampak dalam keadaan sehat.“Duduklah,” kata Dhea.“Baik, Bu.” Verra dan Rangga memilih duduk di samping Aldan.“Ada keperluan apa kalian datang kesini?” tanya Dhea.“Barusan kami melihat pak Lukman dibawa polisi. Beliau katanya ditangkap karena terbukti menyuruh karyawan lainnya untuk mencelakai Putra. Jadi kami kesini untuk memastikan kalau Putra baik-baik saja.” Verra menjawab dengan sesekali menoleh ke arah Aldan yang duduk di sampingnya.Aldan melebarkan senyuman, “Saya baik-baik saja. Tuhan menolong saya dari kecelakaan.” Aldan memposisikan diri sebagai karyawan, bicaranya lebih sopan dan formal.Verra lagi-lagi bernapas lega. Dia benar-benar mengkhawatirkan Aldan. Padahal pria yang d
Aldan mengulurkan tangan, tetapi langsung ditepis oleh Lukman. “Jangan banyak gaya. Hadapi aku kalau berani!” raung Lukman penuh emosi. “Baiklah.” Aldan malah tersenyum santai. “Bapak tinggal pilih para napi mana yang ingin Bapak ajak berduel di dalam penjara.” Setelah mengatakan itu, Aldan tertawa lepas dengan mata menghina. Bahkan Dhea dan 3 orang polisi juga melemparkan tawa penuh ejekan. Tentu saja Lukman merasa terhina, tetapi keberaniannya justru semakin menciut. Tubuhnya gemetaran dengan detakan jantung yang berbunyi kencang. “Seret Pak Lukman,” titah Dhea menahan tawa. “Baik, Bu.” Ketiga orang polisi mengangguk dan melangkah mendekati Lukman. “Mau apa kalian, hah?!” bentak Lukman ketika 3 orang polisi mulai bekerja sama meringkus dirinya. “Bapak jangan melawan.” Salah satu polisi memasang borgol di tangan Lukman. “Lepaskan saya! Aku tidak bersalah!” teriak Lukman ketika 3 orang polisi mulai menyeretnya ke luar. Namun, tenaganya tak cukup untuk melawan. “Bapak ikut sa
“Kurang ajar! Beraninya kamu menjebakku!” teriak Lukman menatap Aldan dengan mata melotot. “Kamu tukang fitnah! Pasti kamu bersekongkol dengan Santoso 'kan? Cepat ngaku!”Aldan hanya tersenyum kecut sembari menggelengkan kepala ke arah Lukman yang tengah menatapnya dengan wajah merah padam. “Bangsat! Tukang fitnah!” raung Lukman sembari menunjuk kasar pada Aldan. Lalu dia menoleh ke arah Dhea dengan memasang wajah serius. “Saya harap Ibu tidak percaya dengan fitnahnya. Tidak mungkin saya melakukan perbuatan sekeji itu. Ini pasti jebakan untuk menyingkirkan saya. Putra dan Santoso pasti bersekongkol menjebak saya. Dari awal saya sudah curiga kalau Putra bukan orang baik-baik. Putra selalu berusaha menyingkirkan saya dari perusahaan. Putra punya ambisi untuk menjadi sekretaris di perusahaan cosmo indofood.”“Sudah selesai mengoceh?” sindir Dhea dengan senyuman kecut.Dhea memutar video rekaman itu kembali yang menunjukkan Santoso sedang menghubungi Lukman. Di sana diperdengarkan sang
Pagi hari ini, Adelia membuat sarapan roti canai untuk Aldan dan Faizal. Mereka makan bersama-sama di ruang tengah.“Ow ya aku baru nyadar, kemarin kamu kok naik gojek? Kemana motormu?” tanya Adelia sembari menuangkan susu tambahan di roti canai.“Ow motorku rusak. Kemarin ditinggal di kantor,” jawab Aldan berbohong. Lalu dia menguyah roti canai miliknya.Sementara Faizal hanya fokus menyantap makanan di depannya, meskipun dalam benaknya sangat yakin motor Aldan rusak karena ada tangan jahil.“Eh aku berangkat ngantor dulu ya. Tukang gojeknya udah nungguin di depan.” Aldan bangkit dari duduknya sembari jari-jemarinya mengetik pesan di ponsel.“Iya, semangat. Fokus kerjanya. Urusan kalung liontin biar aku dan Faizal yang nyari,” ucap Adelia dengan senyuman kecil.“Aku juga akan mengompori beberapa media buat mengangkat kasus Joshua. Jadi Bos nikmati saja kehidupan di kantor, hehe,” sambung Faizal. Aldan tersenyum pada Faizal dan Adelia, “Thanks, aku bersyukur bisa mengenal kalian berd
Pada saat Adelia menuruni anak tangga pertama, dia menghentikan langkah ketika melihat di bawah sana kekasihnya sedang tidur pulas.“Nanti aja deh. Kasian aku,” gumamnya sembari memutar badan dan kembali melangkah ke dalam kamarnya.Adelia duduk di tepi ranjang dan mengamati kalung liontin berwarna putih yang ada di genggaman tangan.“Mungkinkah ini alasannya kenapa kalung ini seakan-akan menolak jika setiap kali aku ingin menguploadnya di medsos? Kalung ini ingin aku menjaganya agar gak jatuh ke tangan Hendrawan dan komplotannya, karena kalung ini bisa menjawab teka-teki siapa orang yang telah menyuruh mereka untuk membunuh orang tua Aldan,” ucap Adelia sembari membolak-balikkan benda berharga itu. “Jangan-jangan sebelum terjadinya insiden pembunuhan, pemilik kalung ini datang menemui Mamanya Aldan di rumahnya,” Adelia berhenti sejenak. Tatapannya menerawang jauh, mencoba menebak-nebak kejadian di rumah Aldan 10 tahun silam.“Dia ingin memberikan kalung ini pada Mamanya Aldan sebaga
“Itu artinya oknum-oknum aparat penegak hukum main belakang dengan Joshua. Mereka menyuruh Joshua pergi ke luar negeri untuk menghindari hukuman. Dan ketika masa tahanannya sudah jatuh tempo, Joshua akan kembali ke Indonesia dan menampakkan batang hidungnya ke publik. Dengan begitu publik akan percaya kalau selama 12 tahun Joshua ada di balik jeruji besi sesuai dengan masa tahanan. Dan jelas sekali bau bangkai di tubuh kepolisian akan tercium harum.” Adelia melanjutkan penjelasannya dengan mengekspresikan melalui gerakan tangan. Tatapan matanya menunjukkan bahwa dirinya sangat geram dengan permainan hukum yang dimainkan aparat penegak hukum di Negaranya.“Wahh sungguh hebat oknum-oknum di tubuh Pemerintah melakukan acara jual beli hukum,” lanjut Adelia sembari menggeleng-gelengkan kepala. Selain merasa geram, tatapannya juga penuh kekecewaan pada hukum di Negeri ini.“Lalu apa yang kamu dapatkan? Apa kamu punya rencana?” tanya Aldan berpura-pura penasaran. Sebenarnya ini hanya pancin
Adelia berhenti mengingat masa kecilnya. Saat ini dia lebih memikirkan perasaan Aldan.Adelia ikut merasakan apa yang dirasakan Aldan. Dia yakin kekasihnya mengalami kepedihan hidup dalam bayang-bayang pembunuhan tragis orang tuanya di depan matanya sendiri. Dia paham pria tampan itu tak mudah menjalani hidup yang dibenci kerabat-kerabatnya sendiri akibat korban fitnah, apalagi penjahat-penjahat itu masih berkeliaran menghirup udara bebas.Adelia menggeleng-gelengkan kepala dengan tatapan menerawang jauh, “Ternyata Hendrawan lebih jahat dari apa yang kubayangkan. Dia bukan hanya benalu yang suka mempermainkan hukum, ternyata dia juga seorang pembunuh yang sangat kejam.”“Hendrawan, Wahyu, dan pria bersepatu bukan seorang manusia. Mereka seorang iblis yang menyamar. Dan seorang iblis harus dimusnahkan,” sahut Faizal sembari mengepalkan tangan dengan tatapan penuh amarah.“Biar Tuhan yang menghukumnya,” tanggap Adelia sembari menatap Aldan yang tengah terlihat bersedih dan marah.Adelia
“Aku akan bunuh kalian!” seru Aldan dengan suara meninggi di bawah alam sadarnya. Wajahnya semakin memerah, air mulai ke luar dari matanya. Tangannya juga terkepal sempurna.Adelia yang duduk di sampingnya semakin penasaran dengan mimpi buruk yang dialami kekasihnya. Awalnya dia mengira mimpi kekasihnya hanya sebatas bunga tidur, tetapi melihat reakasi yang ditunjukkan kekasihnya seperti memimpikan kejadian kelam di masa lalu.Di titik ini, Faizal yang tidur di kasur lipat sebelah Aldan, terbangun dan mendapati Adelia yang duduk di samping tubuh sang Bos yang tengah beraksi akibat mimpi buruk.“Putra kenapa?” tanya Adelia pelan pada Faizal.“Gak tau. Mungkin hanya mimpi buruk,” jawab Faizal sembari mengedikkan bahu. Dia berbohong, sebenarnya diirinya tahu kalau Aldan bukan hanya sebatas mimpi buruk.“Putra.” Adelia memanggil dengan lembut sembari mengusap keringat dan air mata Aldan. “Kamu mimpi apa sih.”“Papa! Mama!” Aldan berteriak sembari membuka matanya lebar-lebar. Dia terbangun