“Lapor, Bos!” ucap seorang pria berbadan tegap pada Aldan. “kami sudah berhasil melumpuhkannya.”
“Good job, Faiz. Bawa dia ke hadapanku.”
“Baik, Bos!”
Faizal Hamid bergerak cepat membawa seorang pria gendut ke hadapan Aldan Pratama Chandra Putra, pimpinan pasukan White Master yang terkenal dingin dan kejam.
“Arrrgghhhh ...”
Tanpa basa-basi, Aldan langsung menusuk perut pria gendut itu, “Manusia sampah sepertimu tidak pantas hidup!”
Teriakan pria gendut itu memekakkan telinga, sembari memegangi perutnya yang berlumuran darah. Namun, Aldan tak memberinya napas. Pisau miliknya menebas wajah dan badan musuhnya secara acak berulang kali hingga mati.
Ini bukan pertama kalinya, sudah banyak nyawa melayang di tangan pasukan white master yang bermarkas di Malaysia. Pasukan rahasia ini tidak asal membunuh, mereka hanya membasmi seorang penjahat.
“Jangan berbelas kasihan pada seorang penjahat. Bunuh atau kita yang akan dibunuh!” seru Aldan menatap puas pada mayat yang tergelimpang di bawah dengan bermandikan air merah kental.
Puas melihat pemandangan yang ada di depannya, Aldan menoleh ke arah kaki tangannya, “Faiz, waktunya sudah tiba.”
Faiz mengerti ucapan Aldan, “Apa Bos benar-benar ingin kembali ke Indonesia?”
“Ya, Faiz. Sudah 10 tahun aku berada di Malaysia. Sudah waktunya aku pulang, aku rindu kota kelahiranku.” Aldan tersenyum, tetapi tatapannya berkata lain. Matanya malah bersinar dengan cahaya dingin.
Faizal mendadak menundukkan kepala, dia tidak berani melihat ke arah Aldan yang tiba-tiba mengeluarkan aura yang sangat mengerikan. Tatapan membunuh tergambar jelas di wajah pimpinan pasukan White Master itu.
‘Sebenarnya apa yang dirahasiakan, Bos? Kenapa Bos terlihat sangat marah?’ Faizal bertanya-tanya dalam batinnya. Hingga saat ini, dia tidak tahu cerita masa lalu Aldan ketika masih berada di Indonesia.
***
10 tahun yang lalu, di kota Jakarta.Waktu itu, hujan sangat deras. Perkelahian hidup mati antara dua orang di dalam rumah tak terhindarkan. Pria bersepatu mendominasi, beberapa kali Chandra terkena pukulan dan tendangan yang begitu keras.
JLEBBB!
Hanya butuh dua gerakan, Pria bersepatu berhasil menancapkan pisau di perut Chandra.
“Akhhh.” Chandra meringis kesakitan. Cairan berwarna merah keluar dari perutnya, sementara Pria bersepatu tersenyum penuh kemenangan.
Pria bersepatu menoleh ke arah pintu kamar yang terkunci. Di dalam sana ada seorang anak yang bersembunyi, “Nak, keluarlah atau Papamu akan aku habisi. Nak?” ucapannya santai, tapi sudah cukup membuat Aldan bergemetar dan diselimuti rasa takut yang amat dalam. “Keluarlah, nak! Lihatlah Papamu!”
“Al-dan! Dengar-kan Papa. Cepat hubungi Polisi. Jangan pikirkan Papa, ka-mu harus selamatkan Mama.” Sambil menahan rasa sakit yang luar biasa, Chandra mencoba mencegah Aldan agar tidak terkecoh oleh tipu daya pria bersepatu.
Plak! Bukk!
Pria bersepatu memukul keras wajah Chandra, dilanjutkan dengan tendangan hingga terjerembab jatuh tak tertahan.
“Aku tau kamu mendengarnya, nak. Keluar atau kamu mau melihat mayat Papamu?” tanya Pria bersepatu dengan tersenyum jahat menatap pisau yang masih tertancap sempurna di perut Chandra.
“Ja-ngan, Aldan. Ini jebakan!” titah Chandra.
Sementara Aldan, matanya memerah. Keringat dingin membasahi tubuhnya, dia tidak tahu harus berbuat apa. Dia ingin berteriak sekencang mungkin untuk meminta bantuan, tetapi sepertinya percuma karena hujan sangat deras.
‘Apa yang harus aku lakukan?’ tanya Aldan dalam batinnya sambil menatap wanita yang berbaring di lantai. Mamanya harus segera diselamatkan, tetapi disisi lain ancaman pria bersepatu tidak main-main. Jika dia menghubungi polisi, maka Papanya pasti dihabisi oleh pria jahat itu.
“Nak?” panggil pria bersepatu dengan santai sambil berjalan maju dan berjongkok di depan Chandra. Lalu dia mencabut pisau dengan kasar dari perut Chandra.
“Akhhhh!”
Jeritan Chandra memekakkan telinga, membuat Aldan berteriak sekencang mungkin dari dalam kamar. “Papa!”
Tidak berhenti disitu, iblis yang ada di dalam diri pria bersepatu semakin menjadi-jadi. Dia merobek baju Chandra dan mengiris kulit perutnya.
“Akhhhhhh!” Chandra mengerang kesakitan, pandangannya semakin kabur. Di detik selanjutnya, ada sebuah pukulan yang mendarat di kepalanya hingga dirinya hilang kesadaran diri.
Aldan yang tidak tahan mendengar penyiksaan itu, dia membuka pintu kamar. Dia syok bukan kepalang ketika menyaksikan pria bersepatu memainkan pisau di perut Papanya, diiris-iris sampai membentuk banyak garis bak melukis di atas kertas. Sangat kejam!
“Papa!” Aldan hanya bisa menangis dan berteriak histeris. Dia berdiri di ambang pintu, tidak berani melangkah ke depan.
“Sudah kubilang, nak. Jika saja kamu cepat keluar, aku tidak akan melukis di perut Papamu,” ucap pria bersepatu tersenyum tipis menatap Aldan. Lalu dia menunduk dan menggerakkan pisau itu kembali.
“Hentikan!” teriak Aldan menunduk dengan deraian air mata. Dia tidak tahan melihat penyiksaan sadis di depan mata, Papanya seperti kelinci percobaan. Perlahan anak itu memberanikan mendongak menatap pria bersepatu dengan wajah memelas-semelasnya. “Aku sudah keluar, aku gak menelpon polisi. Pergilah, jangan bunuh Papaku!”
Mendengar itu, pria bersepatu hanya tersenyum tipis.
“Aldan mohon lepaskan Papaku, Om” pinta Aldan dengan sesegukan tangisan. “Aldan mohon, Om.”
Di saat bersamaan, ponsel di dalam saku pria bersepatu berbunyi. Dia mengambil dan menerima panggilan itu, “Ini aku ... Aku belum menemukannya ... Anda tenang saja, aku pasti membereskan semuanya. Aku juga menjamin kasus ini akan tertutup rapi.”
Aldan yang mendengarnya terkejut bercampur takut. Ternyata pria bersepatu adalah suruhan seseorang untuk menghabisi kedua orang tuanya.
Pria bersepatu menyimpan kembali ponselnya dan menoleh ke arah Aldan dengan segurat senyuman licik, “Kemarilah, nak,” ucapnya santai, tapi itu sudah cukup membuat Aldan mengerti bahwa itu adalah sebuah perintah.
Aldan masih membeku di ambang pintu dengan tubuh bergetar hebat dan bekeringat dingin.
“Kemarilah, nak.” Pria bersepatu mengulang ucapannya kembali sambil memainkan pisau di perut Chandra, memberi isyarat pada Aldan agar segera berjalan mendekat.
Aldan pun mau tidak mau satu langkah maju ke depan dengan air mata dan keringat bercampur jadi satu. Jantungnya seolah ingin pergi dari tubuh itu.
“Cepatlah, nak.”
Aldan mulai melangkah kembali dengan harapan pria bersepatu mengurungkan niat untuk membunuh Papanya.
“Bagus.” Pria bersepatu tersenyum penuh kemenangan ketika Aldan sudah satu langkah berada di depannya.
“Jangan bunuh Papaku.” Aldan menangis dengan napas dan jantung saling memburu. Dia berharap mendapat belas kasihan dari pria bersepatu.
Pria bersepatu masih dengan gayanya, terlihat santai dengan senyuman penuh arti.
“Maafkan aku, nak,” ujar pria bersepatu sambil mengayunkan pisau ke arah Aldan.
“Papa!”
Bersamaan dengan teriakan Aldan, naluri orang tua dari Chandra bangkit. Dia reflek membuka mata dan menahan tangan pria bersepatu di udara sebelum pisau itu bersarang di tubuh anaknya.
“Lari Aldan!” titah Chandra disisa-sisa hidupnya untuk menyelamatkan nyawa Aldan.
Aldan berlari ke arah kamar dan mengunci pintu, sedangkan pria bersepatu seketika menghabisi Chandra dengan cara menusukkan pisau berulang kali ke perutnya.
“Papa!” Aldan hanya bisa berteriak dari dalam kamar dengan kesedihan yang luar biasa tak tertahan.
Pria bersepatu berhenti menusuk Chandra, tetapi Aldan masih terus menangis sejadi-jadinya. Perlahan sorot matanya tertuju pada sang Mama yang terbaring di bawah.
Aldan menghampiri Yuyun dan mengecek denyut nadi dan detak jantungnya. Tidak ada tanda-tanda kehidupan lagi. Air mata anak itu pun semakin turun deras tak terbendung.
“Mama, Papa!” Dada Aldan seolah dihujani ribuan anak panah beracun yang mematikan. Dia tidak bisa menerima kenyataan bahwa kedua orang tuanya sudah tidak bernyawa. “Mama, Papa! Jangan tinggalkan Aldan!”
Di menit selanjutnya, wajah Aldan memerah dengan sorot mata yang sangat tajam.
“Aku pastikan kau akan mati di tanganku. Aku akan mencarimu. Kau akan kubuat menderita dan mati mengenaskan!”
***
Sudah 10 tahun Aldan bersembunyi di Malaysia. Tentu itu jasa dari Bunda, seseorang yang menjadikan Aldan sebagai anak angkatnya. Wanita itu membawa Aldan pergi ke Negeri Jiran untuk menghindari para pembunuh yang juga menginginkan nyawanya.Kini Aldan sudah kembali untuk membuat perhitungan kepada para pembunuh yang mempunyai hati iblis!
“Bos, pesawatnya sudah tiba.” Faizal berkata dengan wajah menunduk karena energi membunuh dari Aldan masih bercahaya di wajahnya.
“Terima kasih, Faiz. Jaga dirimu baik-baik selama aku pergi.”
Senyuman memang terbit di bibir Aldan, tetapi cahaya dingin masih mengambang di sana. Hal itu membuat Faizal berkeringat dingin. Dia bisa melawan dengan banyak musuh sekalipun, tetapi nyalinya langsung menciut ketika melihat aura istimewa dari sang Bos.
“Jika Bos butuh bantuan, aku siap terbang ke Indonesia.” Faizal berkata sungkan.
“Oke,” ucap Aldan, lalu memutar badan dan menuju lapangan penerbangan.
Faizal memperhatikan punggung Aldan yang semakin menjauh. Dia kenal betul siapa pimpinan pasukan white master. Dia yakin Pimpinannya itu bukan hanya pulang kampung, tetapi ingin menyelesaikan sebuah masalah di Indonesia. Dia yakin Sang master sedang mengincar nyawa seseorang.
Sementara itu,
Di dalam pesawat, tatapan Aldan terpancar aura balas dendam, “Aku kembali!”
Di ruang VIP penerima tamu bandara Soekarno-Hatta di Kota Jakarta, Aldan tersenyum hangat saat dirinya melihat kedatangan seorang wanita berusia 50 tahunan.Dia adalah Bundanya,“Selamat datang kembali di Negara kelahiranmu, nak.”Aldan tersenyum lembut. Lalu dia meraih tangan wanita berambut sebahu itu dan langsung menciumnya dengan penuh kasih sayang, “Makasih Bunda sudah menyambut kedatanganku.”“Mana mungkin Bunda gak menyambutmu pulang? Emm mari pulang. Bunda sudah menyiapkan tempat tinggal khusus untuk anak Bunda.” Wanita yang memakai kacamata hitam dan masker itu tersenyum dengan penuh kasih sayang, meskipun Aldan bukan anak kandungnya. “Bunda juga sudah menyusun rencana biar kamu bisa masuk di perusahaan tempat Papamu dulu bekerja.”“Makasih, Bunda. 10 tahun bukan waktu yang singkat. Aldan menderita, tersiksa ... Sekarang waktunya Aldan menuntut keadilan. Mereka harus merasakan apa yang Aldan, Papa, Mama rasakan.”Energi membunuh dalam diri Aldan mulai keluar. Tatapannya menera
Aldan tidak panik, dia pimpinan pasukan rahasia white master yang sangat ahli dalam bela diri. Jika mau, dia bisa saja melepaskan tangannya dari pegangan Mukafi tanpa menyakiti.“Maaf, aku harus pergi. Tapi suatu saat aku akan kembali dengan membawa sebuah kebenaran.”Namun, Aldan tidak mudah begitu saja pergi dari sana. Semua orang menghadang kepergiannya.“Haha bukannya barusan kamu bilang melihat kejadian pembunuhan Chandra dan Yuyun 10 tahun silam? Tapi kenapa sekarang kamu malah mau pergi?” tanya Mukafi menerbitkan senyuman miring. Dia yakin orang asing di hadapannya itu adalah orang suruhan Aldan yang ingin menghasut keluarganya.Ilham dan semua orang pun menerbitkan senyuman miring. Mereka malah semakin yakin bahwa Aldan masih hidup. Mereka juga menilai Aldan bodoh karena sudah berani mengirim orang lain untuk memberi tahu persembunyiannya.“Aku berkata benar. Suatu hari nanti kalian akan tahu siapa pembunuh yang sebenarnya, bukan Aldan ... Aku janji akan mengungkap kejahatan
Aldan tiba di sebuah rumah kontrakan yang sudah disediakan oleh Bundanya. Ukuran Kota Jakarta, di daerah itu tidak terlalu padat penduduk.Saat Aldan membuka pintu rumah, ujung matanya bergerak ke arah tembok tak jauh di samping kanannya.‘Hemm rupanya kamu tidak bisa berpisah denganku.’Aldan tersenyum kecut, menyadari siapa yang membuntutinya. Lalu dia memutar tubuh, menatap ke arah tembok samping kanannya.“Kaluarlah, Faiz. Aku tahu kamu bersembunyi di sana.”Faiz malu-malu menyembul dari balik tembok. Dia berjalan mendekat dan berdiri dengan membungkukkan badan di hadapan Aldan.“Maaf, Bos. Aku ingin liburan ke Indonesia. Aku ingin tahu indahnya Negara ini,” kilah Faiz menyengir sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Aldan tersenyum kecut, “Kenapa kamu mengikutiku, Faiz?”Faiz menghembus napas pelan, “Aku mau berada di dekat-dekat Bos. Siapa tau tenagaku dibutuhkan.”Aldan tersenyum lebar, “Apa kamu mengkhawatirkan keselamatanku?”Faiz mendongak menatap Aldan. Dia bin
Aldan melanjutkan cerita pembunuhan 10 tahun yang lalu pada Faizal Hamid.Waktu itu! Setelah berhasil membunuh Chandra, pria bersepatu berusaha melenyapkan Aldan yang mengunci di dalam kamar orang tuanya.‘Bodoh!’Aldan merutuki dirinya sendiri yang tak mampu berbuat banyak untuk menyelamatkan nyawa kedua orang tuanya. “Ma, Mama ... Bangun, Ma!” Aldan menangis sambil menggoyangkan tubuh Yuyun. Dia berharap sang Mama hidup kembali meskipun itu tidak mungkin terjadi.Beberapa menit kemudian, hujan masih deras. Dengan bermandikan air mata, Aldan mencoba kuat berdiri dan melangkah ke arah pintu.Aldan bimbang dan ketakutan. Dia tidak tahu apakah pria bersepatu masih ada di rumahnya atau sudah pergi. “Tolong!” Satu-satunya cara yang Aldan bisa lakukan adalah berteriak meminta bantuan meskipun sulit didengar karena hujan masih deras. “Siapapun yang mendengarnya, tolong Aldan!”“Ya aku mendengarnya, nak.” Ada suara yang menyahut dari luar kamar tepat di depan pintu, membuat Aldan sangat t
Mata Aldan membelalak sempurna, jantungnya memompa begitu cepat. Sementara pria bersepatu tersenyum penuh arti bersitatap dengan mangsanya. “Kita bertemu lagi, nak.” Tak menunggu lama, Aldan memutar badan dan berlari sekencang mungkin. Pria bersepatu pun tak tinggal diam, dia mengejar anak itu. Aldan berlari dengan napas yang tersengal-sengal. Rasa sedih, takut, serta panik menjadi satu dalam hatinya. Yang ada di pikirannya hanya berlari dan berlari meloloskan diri dari kejaran pria bersepatu. “Tolong!” sambil berlari kencang, Aldan berteriak. Namun suaranya seperti tertahan, tak terdengar nyaring karena napas dan jantungnya ikut berlari. Rasa takut sangat jelas menyelimuti anak itu. Bagai seekor kucing yang mengejar tikus, mereka berlari adu kecepatan dengan tujuan masing-masing. Di sekolah itu sangat luas, Aldan terus menyusuri lantai dua hingga akhirnya dia menuruni tangga. Aldan memenangkan adu lari. Selepas dari tangga, ada sebuah lorong yang mengarah ke kanan dan ke kiri.
“Lepaskan aku!” Aldan memberontak sekuat tenaga. Namun, kekuatannya tak sebanding, cengkraman pria bersepatu sangat kuat.Pria bersepatu melemparkan Aldan ke dalam kandang, “Aku menepati janjiku padamu, nak. Bermainlah, kamu pasti menyukai permainan ini.”“Apa yang Om mau dariku? Jangan sakiti Aldan.”“Siapa yang mau menyakitimu,nak? Kami gak bakalan menyentuhmu,” respon Hendrawan mengulas senyuman licik. Aldan tidak percaya, dia sangat yakin kedua orang jahat itu sudah mempersiapkan suatu yang buruk untuknya. Mungkin sebentar lagi dirinya akan menyusul Chandra dan Yuyun ke surga.“Tolong lepaskan Aldan, Om.” Berulang kali Aldan memelas mengharap belas kasihan, tetapi itu tidak ada artinya.“Itu tergantung dirimu, nak. Kamu sendiri yang menentukan nasibmu,” kata pria bersepatu.“Apa maksudmu, Om? Aldan gak ngerti?” tanya Aldan yang terlihat semakin gusar.Hendrawan menjawab dengan bertepuk tangan berulang kali, seolah memberi isyarat pada seseorang. Hal itu membuat jantung Aldan memo
Pria bersepatu dan Hendrawan sangat kesal karena tidak menemukan kalung liontin di sekolah.“Bocah ingusan itu telah menipu kita,” kata Hendrawan.“Kau tidak perlu khawatir, Hendra. Meskipun kalungnya tidak ditemukan, kasus ini akan tertutup rapi. Tidak ada saksi hidup yang tersisa, anak Chandra sekarang pasti sudah ada di perut seekor anjing ... Tugasmu hanya mengurus di kantor polisi.” sahut pria bersepatu. Mendengarnya, perlahan senyum mengambang di bibir Hendrawan, “Benar, kita gak perlu repot-repot mencarinya. Sisanya serahkan padaku. Aku seorang polisi, sangat mudah bagiku menutup kasus ini.”Sementara itu,Aldan mengusap mulutnya yang dipenuhi darah dengan tetap menatap nanar pada seekor Anjing yang berhasil dibunuhnya. Perlahan kedua tangannya bergerak di perut binatang itu.“yaakkkkkkkk ...” Aldan berperilaku seperti seekor binatang buas. Dia mencakar dan mengoyak hingga akhirnya berhasil membelah perut Anjing. Aldan mengeluarkan isi perut Anjing dan menatapnya dengan mata
Pagi hari, nampak seorang pria tampan nan gagah berjalan ke arah gedung tinggi pencakar langit. Dia Aldan Pratama Chandra Putra, tetapi di perusahaan dia mengganti namanya menjadi Putra Saputra. Ketampanannya nyaris sempurna. Dengan tinggi 175 cm dan kulit putih, siapapun yang melihatnya pasti jatuh cinta pada pandangan pertama. Hari ini adalah hari pertama kerja Aldan di perusahaan cosmo indofood. Sekarang misi balas dendamnya dimulai. Dia berhasil menjadi asisten direktur keuangan di perusahaan cosmo indofood, jabatan yang sama seperti mendiang Papanya. Tentu ini semua berkat orang dalam yang berjasa memasukkan Aldan ke perusahaan, tetapi sebenarnya dia orang yang sangat cerdas dan pantas menduduki jabatan yang dia inginkan. “Saya harap anda bekerja dengan baik. Satu lagi, anda harus cepat beradaptasi dengan lingkungan perusahaan,” kata Ridwan , direktur keuangan. “Baik, Pak. Saya sangat senang bisa menjadi bagian perusahaan terbesar yang ada di Indonesia. Saya berjanji akan beke
Di ruang tengah, Faizal dan Adelia tampak semangat mengerjakan tugasnya masing-masing. Faizal membuat beberapa akun berbagai media sosial untuk memanas-manasi perusahaan media agar meliput berita lama kasus Joshua Suherman yang masa tahanannya kurang dari 1 tahun.Sementara Adelia, dia mencari jenis-jenis kalung liontin di google. Meski matanya memerah efek tidak tdur semalaman, dia tetap semangat mencari sebuah petunjuk.“Faizal bagaimana? Sudah selesai?” tanya Adelia. Lalu dia menyruput kopi untuk memghilangkan rasa kantuk.“Sudah selesai. Tinggal menunggu respon. Semoga cepat trending. Semoga cepat dilihat dan dikomentari banyak netisen, biar seluruh media di Indonesia bakalan berlomba-lomba meliput kasus Joshua Suherman yang trending di medsos,” jawab Faizal sembari tetap bercelancar di dunia maya.“Sip. Kebobrokan hukum di Negara ini harus segera dibongkar.” Adelia mengerjap berulang kali untuk menghilangkan rasa kantuk yang semakin menyerang, dan akhirnya dia menggerakkan kedua
Verra dan Rangga sudah ada di depan pintu ruangan ceo.“Selamat pagi, bu Dhea.” Verra mengetuk pintu dengan sopan.“masuk,” sahut Dhea dari dalam.Verra dan Rangga masuk ke dalam. Mereka melirik ke arah Aldan yang sudah ada di sana. Seketika mereka bernapas lega melihat asisten manager keuangan itu tampak dalam keadaan sehat.“Duduklah,” kata Dhea.“Baik, Bu.” Verra dan Rangga memilih duduk di samping Aldan.“Ada keperluan apa kalian datang kesini?” tanya Dhea.“Barusan kami melihat pak Lukman dibawa polisi. Beliau katanya ditangkap karena terbukti menyuruh karyawan lainnya untuk mencelakai Putra. Jadi kami kesini untuk memastikan kalau Putra baik-baik saja.” Verra menjawab dengan sesekali menoleh ke arah Aldan yang duduk di sampingnya.Aldan melebarkan senyuman, “Saya baik-baik saja. Tuhan menolong saya dari kecelakaan.” Aldan memposisikan diri sebagai karyawan, bicaranya lebih sopan dan formal.Verra lagi-lagi bernapas lega. Dia benar-benar mengkhawatirkan Aldan. Padahal pria yang d
Aldan mengulurkan tangan, tetapi langsung ditepis oleh Lukman. “Jangan banyak gaya. Hadapi aku kalau berani!” raung Lukman penuh emosi. “Baiklah.” Aldan malah tersenyum santai. “Bapak tinggal pilih para napi mana yang ingin Bapak ajak berduel di dalam penjara.” Setelah mengatakan itu, Aldan tertawa lepas dengan mata menghina. Bahkan Dhea dan 3 orang polisi juga melemparkan tawa penuh ejekan. Tentu saja Lukman merasa terhina, tetapi keberaniannya justru semakin menciut. Tubuhnya gemetaran dengan detakan jantung yang berbunyi kencang. “Seret Pak Lukman,” titah Dhea menahan tawa. “Baik, Bu.” Ketiga orang polisi mengangguk dan melangkah mendekati Lukman. “Mau apa kalian, hah?!” bentak Lukman ketika 3 orang polisi mulai bekerja sama meringkus dirinya. “Bapak jangan melawan.” Salah satu polisi memasang borgol di tangan Lukman. “Lepaskan saya! Aku tidak bersalah!” teriak Lukman ketika 3 orang polisi mulai menyeretnya ke luar. Namun, tenaganya tak cukup untuk melawan. “Bapak ikut sa
“Kurang ajar! Beraninya kamu menjebakku!” teriak Lukman menatap Aldan dengan mata melotot. “Kamu tukang fitnah! Pasti kamu bersekongkol dengan Santoso 'kan? Cepat ngaku!”Aldan hanya tersenyum kecut sembari menggelengkan kepala ke arah Lukman yang tengah menatapnya dengan wajah merah padam. “Bangsat! Tukang fitnah!” raung Lukman sembari menunjuk kasar pada Aldan. Lalu dia menoleh ke arah Dhea dengan memasang wajah serius. “Saya harap Ibu tidak percaya dengan fitnahnya. Tidak mungkin saya melakukan perbuatan sekeji itu. Ini pasti jebakan untuk menyingkirkan saya. Putra dan Santoso pasti bersekongkol menjebak saya. Dari awal saya sudah curiga kalau Putra bukan orang baik-baik. Putra selalu berusaha menyingkirkan saya dari perusahaan. Putra punya ambisi untuk menjadi sekretaris di perusahaan cosmo indofood.”“Sudah selesai mengoceh?” sindir Dhea dengan senyuman kecut.Dhea memutar video rekaman itu kembali yang menunjukkan Santoso sedang menghubungi Lukman. Di sana diperdengarkan sang
Pagi hari ini, Adelia membuat sarapan roti canai untuk Aldan dan Faizal. Mereka makan bersama-sama di ruang tengah.“Ow ya aku baru nyadar, kemarin kamu kok naik gojek? Kemana motormu?” tanya Adelia sembari menuangkan susu tambahan di roti canai.“Ow motorku rusak. Kemarin ditinggal di kantor,” jawab Aldan berbohong. Lalu dia menguyah roti canai miliknya.Sementara Faizal hanya fokus menyantap makanan di depannya, meskipun dalam benaknya sangat yakin motor Aldan rusak karena ada tangan jahil.“Eh aku berangkat ngantor dulu ya. Tukang gojeknya udah nungguin di depan.” Aldan bangkit dari duduknya sembari jari-jemarinya mengetik pesan di ponsel.“Iya, semangat. Fokus kerjanya. Urusan kalung liontin biar aku dan Faizal yang nyari,” ucap Adelia dengan senyuman kecil.“Aku juga akan mengompori beberapa media buat mengangkat kasus Joshua. Jadi Bos nikmati saja kehidupan di kantor, hehe,” sambung Faizal. Aldan tersenyum pada Faizal dan Adelia, “Thanks, aku bersyukur bisa mengenal kalian berd
Pada saat Adelia menuruni anak tangga pertama, dia menghentikan langkah ketika melihat di bawah sana kekasihnya sedang tidur pulas.“Nanti aja deh. Kasian aku,” gumamnya sembari memutar badan dan kembali melangkah ke dalam kamarnya.Adelia duduk di tepi ranjang dan mengamati kalung liontin berwarna putih yang ada di genggaman tangan.“Mungkinkah ini alasannya kenapa kalung ini seakan-akan menolak jika setiap kali aku ingin menguploadnya di medsos? Kalung ini ingin aku menjaganya agar gak jatuh ke tangan Hendrawan dan komplotannya, karena kalung ini bisa menjawab teka-teki siapa orang yang telah menyuruh mereka untuk membunuh orang tua Aldan,” ucap Adelia sembari membolak-balikkan benda berharga itu. “Jangan-jangan sebelum terjadinya insiden pembunuhan, pemilik kalung ini datang menemui Mamanya Aldan di rumahnya,” Adelia berhenti sejenak. Tatapannya menerawang jauh, mencoba menebak-nebak kejadian di rumah Aldan 10 tahun silam.“Dia ingin memberikan kalung ini pada Mamanya Aldan sebaga
“Itu artinya oknum-oknum aparat penegak hukum main belakang dengan Joshua. Mereka menyuruh Joshua pergi ke luar negeri untuk menghindari hukuman. Dan ketika masa tahanannya sudah jatuh tempo, Joshua akan kembali ke Indonesia dan menampakkan batang hidungnya ke publik. Dengan begitu publik akan percaya kalau selama 12 tahun Joshua ada di balik jeruji besi sesuai dengan masa tahanan. Dan jelas sekali bau bangkai di tubuh kepolisian akan tercium harum.” Adelia melanjutkan penjelasannya dengan mengekspresikan melalui gerakan tangan. Tatapan matanya menunjukkan bahwa dirinya sangat geram dengan permainan hukum yang dimainkan aparat penegak hukum di Negaranya.“Wahh sungguh hebat oknum-oknum di tubuh Pemerintah melakukan acara jual beli hukum,” lanjut Adelia sembari menggeleng-gelengkan kepala. Selain merasa geram, tatapannya juga penuh kekecewaan pada hukum di Negeri ini.“Lalu apa yang kamu dapatkan? Apa kamu punya rencana?” tanya Aldan berpura-pura penasaran. Sebenarnya ini hanya pancin
Adelia berhenti mengingat masa kecilnya. Saat ini dia lebih memikirkan perasaan Aldan.Adelia ikut merasakan apa yang dirasakan Aldan. Dia yakin kekasihnya mengalami kepedihan hidup dalam bayang-bayang pembunuhan tragis orang tuanya di depan matanya sendiri. Dia paham pria tampan itu tak mudah menjalani hidup yang dibenci kerabat-kerabatnya sendiri akibat korban fitnah, apalagi penjahat-penjahat itu masih berkeliaran menghirup udara bebas.Adelia menggeleng-gelengkan kepala dengan tatapan menerawang jauh, “Ternyata Hendrawan lebih jahat dari apa yang kubayangkan. Dia bukan hanya benalu yang suka mempermainkan hukum, ternyata dia juga seorang pembunuh yang sangat kejam.”“Hendrawan, Wahyu, dan pria bersepatu bukan seorang manusia. Mereka seorang iblis yang menyamar. Dan seorang iblis harus dimusnahkan,” sahut Faizal sembari mengepalkan tangan dengan tatapan penuh amarah.“Biar Tuhan yang menghukumnya,” tanggap Adelia sembari menatap Aldan yang tengah terlihat bersedih dan marah.Adelia
“Aku akan bunuh kalian!” seru Aldan dengan suara meninggi di bawah alam sadarnya. Wajahnya semakin memerah, air mulai ke luar dari matanya. Tangannya juga terkepal sempurna.Adelia yang duduk di sampingnya semakin penasaran dengan mimpi buruk yang dialami kekasihnya. Awalnya dia mengira mimpi kekasihnya hanya sebatas bunga tidur, tetapi melihat reakasi yang ditunjukkan kekasihnya seperti memimpikan kejadian kelam di masa lalu.Di titik ini, Faizal yang tidur di kasur lipat sebelah Aldan, terbangun dan mendapati Adelia yang duduk di samping tubuh sang Bos yang tengah beraksi akibat mimpi buruk.“Putra kenapa?” tanya Adelia pelan pada Faizal.“Gak tau. Mungkin hanya mimpi buruk,” jawab Faizal sembari mengedikkan bahu. Dia berbohong, sebenarnya diirinya tahu kalau Aldan bukan hanya sebatas mimpi buruk.“Putra.” Adelia memanggil dengan lembut sembari mengusap keringat dan air mata Aldan. “Kamu mimpi apa sih.”“Papa! Mama!” Aldan berteriak sembari membuka matanya lebar-lebar. Dia terbangun