“Berapa yang kalian terima dari Lukman?” tanya Aldan pada Bahri. “Tiga juta, tapi kami masih menerima seperuhnya. Pak Lukman mau membayar separuhnya lagi jika kami sudah menghajarmu,” jawab Bahri sambil memegangi mulutnya. “Ya udah ambil separuhnya lagi. Bilang saja kalau kalian berhasil menjalani tugas dengan baik,” ucap Aldan tersenyum penuh arti, membuat Dani dan Bahri terkejut. “Maksudnya?” tanya Bahri bingung. “Ya aku mau membantu kalian buat mendapatkan uang dari tua bangka itu. Katakan saja kalau kalian sudah menghajarku,” jawab Aldan menyunggingkan senyuman sambil mengulurkan tangan. “Maaf barusan aku memukul kalian. Sekarang kita adalah teman, pergilah buat menagih janji tua bangka itu.” Bahri seketika senang, dia menerima uluran tangan Aldan, “Gue gak percaya setelah apa yang gue dan Dani lakukan padamu.” “Hem santai saja.” Aldan tersenyum, lalu dia berjalan menghampiri Dani yang masih tersungkur dibawah. Dani menyambut uluran tangan Aldan yang membantunya untuk berd
“Gak mungkin sih menurutku. Meskipun aku baru mengenalnya, aku rasa pak Hendrawan adalah polisi yang amanah dan bertanggung jawab. Bahkan aku dengar pak Hendrawan sangat dekat dengan masyarakat.” Aldan pura-pura tidak mempercayai ucapan gadis itu. Gadis itu menyandarkan punggungnya dengan napas kesal, “ Wajar kamu gak percaya. Kamu belum mengenal dalamnya Hendrawan. Dia bermuka dua. Dekat dengan masyarakat, tapi juga dekat dengan penjahat. Dia mengerjakan sesuatu yang menguntungkan dirinya sendiri.” “Mungkin kamu salah paham.” Aldan menatap lekat pada gadis itu. “Emang kasus apa yang barusan kamu katakan? Gadis itu terdiam, ekor matanya bergerak seirama dengan otaknya yang berputar cepat mencari sebuah jawaban yang pas. Tiba-tiba dia memajukan tubuh dengan tatapan serius pada Aldan, “Seminggu yang lalu siswi SMA, namanya Clara, diperkosa anak pejabat. Clara melapor ke kantor polisi, tapi di sana dia gak digubris. Hingga akhirnya Clara meminta bantuanku. Aku membantu Clara dan berhas
Hari yang indah di tempat wisata, liburan bersama keluarga.“Pemandangannya bagus nih. Foto yuk,” ajak Yuyun sambil menggandeng tangan Aldan.“Iya nih, Ma. Gak kalah bagus dengan menara eifel,” imbuh Aldan takjub.“Yaudah sini Papa yang fotoin,” kata Chandra mengarahkan kamera pada Aldan dan Yuyun. “Aldan, Mama, mana senyumnya?” Chandra memotret keduanya yang sedang berpose narsis.“Ayo foto bareng, Pa,” pinta Yuyun.“Iya Pa ayo biar lengkap,” imbuh Aldan.“Oke-oke bentar.” Chandra mendekati seseorang yang lewat di sampingnya. “Mas boleh minta tolong fotoin kami?”“Boleh.”Aldan dan kedua orang tuanya berfoto bersama dengan berbagai macam pose. Mereka tampak bahagia sekali. Namun, disaat bersamaan ada seorang pria bersepatu datang mendekat. Tanpa basa-basi orang itu menebaskan pedang pada tubuh Chandra dan Yuyun.“Lari, Aldan.”“Lari, nak. Selamatkan dirimu.”Chandra dan Yuyun membiarkan tubuhnya menjadi makanan senjata pria bersepatu demi melindungi sang buah hati. Sementara Aldan h
Aldan mematikan laptop miliknya. Dia berbaring di tempat tidur. Dia memejamkan mata, tetapi dia sulit tidur kembali. Pikirannya masih melayang-layang.Banyak yang Aldan pikirkan. Salah satunya bagaimana caranya dia membuat perhitungan pada pembunuh kedua orang tuanya. Dia juga berpikir keras untuk menemukan seseorang yang menyuruh mereka. Dia harus balas dendam serapi mungkin agar identitasnya tak terendus.“Aku harus bergerak cepat buat menghukum mereka. Sudah terlalu lama mereka menikmati hidup. Saat ini Hendrawan adalah kunci keberadaan pelaku lainnya,” ucap Aldan menatap langit kamar dengan tatapan menerawang jauh.Tiga puluh menit berlalu, Aldan masih belum terlelap tidur. Dia mendudukkan tubuhnya di tepi ranjang, lalu bangkit ke luar kamar.Aldan mendaratkan tubuhnya di sofa ruang tamu. Sebelah tangannya meraih remot di sofa untuk menyalakan tv.Awalnya Aldan merasa jenuh, mengganti beberapa chanel tv. Namun, matanya membelalak sempurna saat melihat wajah seseorang di salah satu
Aldan melangkah dengan penuh keyakinan tanpa rasa gelisah sedikit pun. Dia mendekat ke jendela samping pintu utama rumah yang lumayan besar.Aldan mengeluarkan alat potong kaca di kantong kiri celananya. Perlahan tapi pasti, dia mulai memotong kaca dengan perhitungan yang matang agar kaca itu tidak terjatuh.CRASH! TEEK!“Yes,” pekik Aldan pelan saat berhasil memotong kaca tanpa membuat kegaduhan. Lalu dia memindahkan kaca itu ke sisi tembok dan memasukkan kembali alat potong kaca ke kantong celana.Tangan kanan Aldan bergerak ke atas melewati jendela yang sudah tak berkaca, badannya setengah membungkuk sembari di dorong ke depan untuk masuk ke dalam. Kemudian kaki kirinya bergantian bergerak melewati jendela.“Huh.” Aldan menghembus napas panjang saat dirinya berhasil masuk ke dalam. Lalu dia berjalan menyusuri setiap ruangan yang ada di rumah itu. “Dimana kamarnya?”Aldan berhenti di sebuah kamar yang tidak terkunci, sepertinya di dalam ada orang. Tanpa menimbulkan suara, dia mendek
Wahyu terkejut bukan main, pukulan orang bertopeng itu sangat keras. Bahkan mulutnya berdarah.“Hei apa yang kamu lakukan? Candaanmu di luar batas.” Wahyu masih kekeh bahwa orang bertopeng itu utusan salah satu stasiun televisi. “aku bisa menuntut kalian.”“Kalian? Aku cuma datang sendiri. Aku datang untuk membunuhmu, Wahyu Kosim,” sungut Aldan diiringi dengan senyuman seringai di bibir.Mendengar itu, Tatang tersulut emosi. Namun, dia masih belum percaya bahwa orang di hadapannya itu benar-benar ingin membunuhnya.“Cukup! Hentikan omong kosong ini. Prank boleh saja asal jangan berlebihan.” Wahyu mengangkat tangan sambil menatap tubuh Aldan dari atas ke bawah. Wahyu yakin ada kamera kecil di sana, tetapi dia sama sekali tak menemukannya.“Apa yang kamu cari, Wahyu?” ejek Aldan.“Sudah cukup sandiwaranya. Acara ini berlebihan, aku akan menuntut kalian,” ucap Wahyu serius.Aldan tersenyum miring, lalu dia melangkah ke depan dengan tatapan membunuh yang membuat Wahyu mundur ketakutan.BU
Wahyu berpikir keras, dia tidak ingin mati konyol.“Uang 1 miliar,” ucap Wahyu.Aldan mendengus, “1 miliar? Jangan bermain-main, Wahyu.”“Sebutkan saja apa yang kamu mau. Aku tambahin, sumpah. Bahkan jika kamu minta selain uang, aku berikan. Mobil, rumah, perhiasan, apapun itu pasti aku turuti.” Tanpa pikir panjang, Wahyu bisa menyanggupi segalanya. Yang terpenting saat ini dia bisa selamat. Masalah harta, dia pasti bisa merebutnya kembali dari pria pembunuh bayaran itu melalui bantuan Hendrawan.Namun, Wahyu tidak sadar bahwa Aldan tidak sebodoh yang dia kira. Andai Wahyu tahu orang di hadapannya adalah seorang anak yang dia hampir bunuh 10 tahun silam, mungkin saat ini dia tidak akan menawarkan sebuah harta, melainkan memberi tahu keberadaan orang-orang yang telah membunuh orang tua Aldan.“Hemm aku sangat tertarik dengan penawaranmu. Bagus, bagus. Tapi tunggu dulu, ada hadiah menarik dari orang yang menyuruhku. Berdirilah dan duduk di sana.” Aldan menunjuk kursi yang berada di sisi
Aldan menidurkan Wahyu di lantai, lalu dia menyeret tubuh musuhnya ke luar kamar hingga cairan merah kental pun berceceran mengikuti jejaknya. Aldan membawa Wahyu ke kandang hewan yang berada di belakang. Saat membuka pintu, seketika itu pula berbagai hewan seperti anjing, serigala, macan, dan singa yang terkurung di kurungan besi yang berada di kandang itu berbunyi bersahutan tanpa henti. “Aku gak akan membunuhmu hari ini.” Aldan meletakkan tubuh Wahyu di tengah-tengah kandang. “Kau harus menderita sebelum mati.” GUK! GUK! GUK! AUUUUU UUUU! HAUMMMMMM! Semua hewan berbunyi tanpa henti. Tatapan bringas hewan-hewan itu justru mengarah pada Wahyu yang terkapar di lantai. Tentu saja bau anyir darah yang membuat mereka mengeluarkan naluri hewan buas. “Lihatlah, hewan peliharaanmu ingin memakanmu.” Aldan tersenyum puas melihat hewan-hewan itu menatap nafsu pada tubuh Wahyu. “Selamat bertemu lagi, Wahyu.” Aldan meninggalkan Wahyu di kandang. Dia masuk ke dalam rumah dan memeriksa
Di ruang tengah, Faizal dan Adelia tampak semangat mengerjakan tugasnya masing-masing. Faizal membuat beberapa akun berbagai media sosial untuk memanas-manasi perusahaan media agar meliput berita lama kasus Joshua Suherman yang masa tahanannya kurang dari 1 tahun.Sementara Adelia, dia mencari jenis-jenis kalung liontin di google. Meski matanya memerah efek tidak tdur semalaman, dia tetap semangat mencari sebuah petunjuk.“Faizal bagaimana? Sudah selesai?” tanya Adelia. Lalu dia menyruput kopi untuk memghilangkan rasa kantuk.“Sudah selesai. Tinggal menunggu respon. Semoga cepat trending. Semoga cepat dilihat dan dikomentari banyak netisen, biar seluruh media di Indonesia bakalan berlomba-lomba meliput kasus Joshua Suherman yang trending di medsos,” jawab Faizal sembari tetap bercelancar di dunia maya.“Sip. Kebobrokan hukum di Negara ini harus segera dibongkar.” Adelia mengerjap berulang kali untuk menghilangkan rasa kantuk yang semakin menyerang, dan akhirnya dia menggerakkan kedua
Verra dan Rangga sudah ada di depan pintu ruangan ceo.“Selamat pagi, bu Dhea.” Verra mengetuk pintu dengan sopan.“masuk,” sahut Dhea dari dalam.Verra dan Rangga masuk ke dalam. Mereka melirik ke arah Aldan yang sudah ada di sana. Seketika mereka bernapas lega melihat asisten manager keuangan itu tampak dalam keadaan sehat.“Duduklah,” kata Dhea.“Baik, Bu.” Verra dan Rangga memilih duduk di samping Aldan.“Ada keperluan apa kalian datang kesini?” tanya Dhea.“Barusan kami melihat pak Lukman dibawa polisi. Beliau katanya ditangkap karena terbukti menyuruh karyawan lainnya untuk mencelakai Putra. Jadi kami kesini untuk memastikan kalau Putra baik-baik saja.” Verra menjawab dengan sesekali menoleh ke arah Aldan yang duduk di sampingnya.Aldan melebarkan senyuman, “Saya baik-baik saja. Tuhan menolong saya dari kecelakaan.” Aldan memposisikan diri sebagai karyawan, bicaranya lebih sopan dan formal.Verra lagi-lagi bernapas lega. Dia benar-benar mengkhawatirkan Aldan. Padahal pria yang d
Aldan mengulurkan tangan, tetapi langsung ditepis oleh Lukman. “Jangan banyak gaya. Hadapi aku kalau berani!” raung Lukman penuh emosi. “Baiklah.” Aldan malah tersenyum santai. “Bapak tinggal pilih para napi mana yang ingin Bapak ajak berduel di dalam penjara.” Setelah mengatakan itu, Aldan tertawa lepas dengan mata menghina. Bahkan Dhea dan 3 orang polisi juga melemparkan tawa penuh ejekan. Tentu saja Lukman merasa terhina, tetapi keberaniannya justru semakin menciut. Tubuhnya gemetaran dengan detakan jantung yang berbunyi kencang. “Seret Pak Lukman,” titah Dhea menahan tawa. “Baik, Bu.” Ketiga orang polisi mengangguk dan melangkah mendekati Lukman. “Mau apa kalian, hah?!” bentak Lukman ketika 3 orang polisi mulai bekerja sama meringkus dirinya. “Bapak jangan melawan.” Salah satu polisi memasang borgol di tangan Lukman. “Lepaskan saya! Aku tidak bersalah!” teriak Lukman ketika 3 orang polisi mulai menyeretnya ke luar. Namun, tenaganya tak cukup untuk melawan. “Bapak ikut sa
“Kurang ajar! Beraninya kamu menjebakku!” teriak Lukman menatap Aldan dengan mata melotot. “Kamu tukang fitnah! Pasti kamu bersekongkol dengan Santoso 'kan? Cepat ngaku!”Aldan hanya tersenyum kecut sembari menggelengkan kepala ke arah Lukman yang tengah menatapnya dengan wajah merah padam. “Bangsat! Tukang fitnah!” raung Lukman sembari menunjuk kasar pada Aldan. Lalu dia menoleh ke arah Dhea dengan memasang wajah serius. “Saya harap Ibu tidak percaya dengan fitnahnya. Tidak mungkin saya melakukan perbuatan sekeji itu. Ini pasti jebakan untuk menyingkirkan saya. Putra dan Santoso pasti bersekongkol menjebak saya. Dari awal saya sudah curiga kalau Putra bukan orang baik-baik. Putra selalu berusaha menyingkirkan saya dari perusahaan. Putra punya ambisi untuk menjadi sekretaris di perusahaan cosmo indofood.”“Sudah selesai mengoceh?” sindir Dhea dengan senyuman kecut.Dhea memutar video rekaman itu kembali yang menunjukkan Santoso sedang menghubungi Lukman. Di sana diperdengarkan sang
Pagi hari ini, Adelia membuat sarapan roti canai untuk Aldan dan Faizal. Mereka makan bersama-sama di ruang tengah.“Ow ya aku baru nyadar, kemarin kamu kok naik gojek? Kemana motormu?” tanya Adelia sembari menuangkan susu tambahan di roti canai.“Ow motorku rusak. Kemarin ditinggal di kantor,” jawab Aldan berbohong. Lalu dia menguyah roti canai miliknya.Sementara Faizal hanya fokus menyantap makanan di depannya, meskipun dalam benaknya sangat yakin motor Aldan rusak karena ada tangan jahil.“Eh aku berangkat ngantor dulu ya. Tukang gojeknya udah nungguin di depan.” Aldan bangkit dari duduknya sembari jari-jemarinya mengetik pesan di ponsel.“Iya, semangat. Fokus kerjanya. Urusan kalung liontin biar aku dan Faizal yang nyari,” ucap Adelia dengan senyuman kecil.“Aku juga akan mengompori beberapa media buat mengangkat kasus Joshua. Jadi Bos nikmati saja kehidupan di kantor, hehe,” sambung Faizal. Aldan tersenyum pada Faizal dan Adelia, “Thanks, aku bersyukur bisa mengenal kalian berd
Pada saat Adelia menuruni anak tangga pertama, dia menghentikan langkah ketika melihat di bawah sana kekasihnya sedang tidur pulas.“Nanti aja deh. Kasian aku,” gumamnya sembari memutar badan dan kembali melangkah ke dalam kamarnya.Adelia duduk di tepi ranjang dan mengamati kalung liontin berwarna putih yang ada di genggaman tangan.“Mungkinkah ini alasannya kenapa kalung ini seakan-akan menolak jika setiap kali aku ingin menguploadnya di medsos? Kalung ini ingin aku menjaganya agar gak jatuh ke tangan Hendrawan dan komplotannya, karena kalung ini bisa menjawab teka-teki siapa orang yang telah menyuruh mereka untuk membunuh orang tua Aldan,” ucap Adelia sembari membolak-balikkan benda berharga itu. “Jangan-jangan sebelum terjadinya insiden pembunuhan, pemilik kalung ini datang menemui Mamanya Aldan di rumahnya,” Adelia berhenti sejenak. Tatapannya menerawang jauh, mencoba menebak-nebak kejadian di rumah Aldan 10 tahun silam.“Dia ingin memberikan kalung ini pada Mamanya Aldan sebaga
“Itu artinya oknum-oknum aparat penegak hukum main belakang dengan Joshua. Mereka menyuruh Joshua pergi ke luar negeri untuk menghindari hukuman. Dan ketika masa tahanannya sudah jatuh tempo, Joshua akan kembali ke Indonesia dan menampakkan batang hidungnya ke publik. Dengan begitu publik akan percaya kalau selama 12 tahun Joshua ada di balik jeruji besi sesuai dengan masa tahanan. Dan jelas sekali bau bangkai di tubuh kepolisian akan tercium harum.” Adelia melanjutkan penjelasannya dengan mengekspresikan melalui gerakan tangan. Tatapan matanya menunjukkan bahwa dirinya sangat geram dengan permainan hukum yang dimainkan aparat penegak hukum di Negaranya.“Wahh sungguh hebat oknum-oknum di tubuh Pemerintah melakukan acara jual beli hukum,” lanjut Adelia sembari menggeleng-gelengkan kepala. Selain merasa geram, tatapannya juga penuh kekecewaan pada hukum di Negeri ini.“Lalu apa yang kamu dapatkan? Apa kamu punya rencana?” tanya Aldan berpura-pura penasaran. Sebenarnya ini hanya pancin
Adelia berhenti mengingat masa kecilnya. Saat ini dia lebih memikirkan perasaan Aldan.Adelia ikut merasakan apa yang dirasakan Aldan. Dia yakin kekasihnya mengalami kepedihan hidup dalam bayang-bayang pembunuhan tragis orang tuanya di depan matanya sendiri. Dia paham pria tampan itu tak mudah menjalani hidup yang dibenci kerabat-kerabatnya sendiri akibat korban fitnah, apalagi penjahat-penjahat itu masih berkeliaran menghirup udara bebas.Adelia menggeleng-gelengkan kepala dengan tatapan menerawang jauh, “Ternyata Hendrawan lebih jahat dari apa yang kubayangkan. Dia bukan hanya benalu yang suka mempermainkan hukum, ternyata dia juga seorang pembunuh yang sangat kejam.”“Hendrawan, Wahyu, dan pria bersepatu bukan seorang manusia. Mereka seorang iblis yang menyamar. Dan seorang iblis harus dimusnahkan,” sahut Faizal sembari mengepalkan tangan dengan tatapan penuh amarah.“Biar Tuhan yang menghukumnya,” tanggap Adelia sembari menatap Aldan yang tengah terlihat bersedih dan marah.Adelia
“Aku akan bunuh kalian!” seru Aldan dengan suara meninggi di bawah alam sadarnya. Wajahnya semakin memerah, air mulai ke luar dari matanya. Tangannya juga terkepal sempurna.Adelia yang duduk di sampingnya semakin penasaran dengan mimpi buruk yang dialami kekasihnya. Awalnya dia mengira mimpi kekasihnya hanya sebatas bunga tidur, tetapi melihat reakasi yang ditunjukkan kekasihnya seperti memimpikan kejadian kelam di masa lalu.Di titik ini, Faizal yang tidur di kasur lipat sebelah Aldan, terbangun dan mendapati Adelia yang duduk di samping tubuh sang Bos yang tengah beraksi akibat mimpi buruk.“Putra kenapa?” tanya Adelia pelan pada Faizal.“Gak tau. Mungkin hanya mimpi buruk,” jawab Faizal sembari mengedikkan bahu. Dia berbohong, sebenarnya diirinya tahu kalau Aldan bukan hanya sebatas mimpi buruk.“Putra.” Adelia memanggil dengan lembut sembari mengusap keringat dan air mata Aldan. “Kamu mimpi apa sih.”“Papa! Mama!” Aldan berteriak sembari membuka matanya lebar-lebar. Dia terbangun