“Apakah kamu mencintai anak saya?” tanya Haira. Bengisnya kata, yang membuat hati April terluka. Beberapa kali, gadis yatim piatu itu hanya bisa menghela nafas dengan sabar. Menahan amarahnya agar tidak meledak di tempat yang salah. Tapi rasa sakit hati, sudah jelas terukir di hatinya. “Apakah sulit bagimu untuk menjawabnya ketika saya bertanya langsung seperti ini? Saya ingin sekali mendengar jawaban Anda dengan lantang seperti tadi,” ungkap Haira. Hati ini rasanya seperti tercabik dan hampir meledak karena sakit tak tertahan. Keringat dingin tiba-tiba bercucuran tanpa diundang. Ya, benar kata Haira. April kesulit a untuk menjawabnya ketika ditanya langsung seperti ini. Karena hatinya berlawanan dengan ucapan tadi. “Tidak. Saya tidak mencintainya, sedikitpun.” Pada akhirnya, April menjawab dengan pernyataan yang sama. Walau dua kali, dia sudah berbohong pada mereka, termasuk Angga. “Apa? April, haruskah kamu mengatakannya dengan terang-terangan seperti ini? Aku tahu jika kamu t
Bunga yang layu, kini mekar kembali. Sayap yang patah, kini lebih baik dan dapat mengepakan sayapnya lagi. Lalu keraguan Ratu, kini mulai sedikit menunduk seperti padi. Semua pertanyaan dan keraguan Angga beserta keluarganya hilang terhadap April. Cekcok seperti ini sebenarnya sering terjadi, pada anak yatim yang tidak tahu asalnya bagaimana dan dimana. Namun akhirnya mereka dapat mengerti April, walau tak sedalam sampai mengetahui luka-lukanya. Sudah lebih dari satu bulan keluarga Angga mengenal April. April juga sedikit terbuka tentang masa kecilnya bersama sang orang. Lalu hubungan April dan Angga, mulai membaik, akibat kejujuran perasaan April padanya. “Sayang, apakah kamu sudah siap? Kita akan bertemu disana, ya. Tunggu kami.” Sebuah pesan hangat dari sang kekasih. April tersenyum saat membalasnya. Dia masih tidak menyangka, jika keluarga paling sukses di Negara ini, dapat menerima orang biasa sepertinya. Walaupun belum menjadi bagian keluarganya secara sah, tapi jika April
Selang beberapa minggu, Haira dan Janu mengundang keluarga Mawar ke rumahnya untuk makan malam. “Bu, keluarga Nona Mawar sudah tiba di depan rumah,” kata seorang ART di rumahnya. “Apakah hidangan favorit mereka sudah siap?” tanya Haira. “Sudah, Bu. Semuanya masih panas dan ada di meja makan.” “Baiklah, biarkan mereka masuk, Bi,” perintahnya. Mereka segera masuk pada kediaman Endaru yang mewah. Seperti biasa, penampilan Teni selalu mewah dan bersinar dengan warna yang tidak pernah elegan melekat di tubuhnya. Riasan yang tebal dan buruk, tidak pernah padam. Kemudian Johan—Ayah Mawar, yang selalu datang tanpa basa basi membahas bisnis, dan memamerkan pencapaiannya berkat keluarga Endaru. Tapi dia tidak pernah menyadarinya, dan malah berbangga diri. Terakhir, Mawar—Tunangan Angga. Dia selalu datang dengan pakaian yang menunjukkan belah dadanya. Pakaiannya memang tidak seheboh Ibunya, tapi tetap saja. Mawar selalu berpenampilan seksi demi menggoda Angga yang tidak pernah tergoda den
“Ah, begitu, ya. Mawar, saya mengerti dengan perasaanmu kepada anak saya. Tapi cinta sepihak malah kana menimbulkan keamanan atau bahkan pertengkaran kedepannya,” ungkap Haira. Mawar mengerti dengan yang dikatakan oleh Haira. Perkara Angga yang tidak pernah mencintai Mawar sejak dulu. Tapi tak pernah Mawar sangka, jika Haira tahu tentang hal ini. Namun Mawar akan berpura-pura tidak mengerti. “Ah, Tante. Maksudnya apa, ya?” katanya sambill menyelipkan rambut ke belakang telinga. “Ada apa Haira? Kami tidak mengerti dengan apa yang Anda katakan,” seru Teni. Ya, Teni tidak tahu apa-apa. Jadi dia benar-benar bingung dengan yang dikatakan Haira. Siapa yang bertepuk sebelah tangan? Anaknya atau anak Haira. Teni selalu mengetahui dari Mawar, bahwa hubungan anaknya itu berjalan baik. “Perjodohan enam tahun yang lalu, terjadi karena Anda,” katanya sambill menunjuk Johan. “Menginginkan bantuan dari kami, agar usahamu tidak bangkrut. Walaupun beberapa kali kami menolaknya, Anda tetap berpega
Ada hitungan waktu yang ditunggu dapat dihitung dengan jari. Salah satu keinginan April yang terpendam di hatinya sendiri adalah, bisa diterima baik oleh keluarga. Ya, setidaknya, dia tidak perlu khawatir tentang satu hal ini. Setidaknya, dia memiliki orang dewasa yang menariknya dalam kesedihan yang akan datang. Seperti mendiang orang tuanya. Tapi, detik ini, April dikejutkan dengan sesuatu. Sebuah pengkhianatan di kehidupan keduanya. Di kehidupan setelah keinginan untuk mati, pengkhianat itu masih ada, ternyata. April memegang layar ponselnya tanpa bergeming. Lututnya lemas, tangannya juga tak sengaja menjatuhkan layar ponsel itu. Bagaimana tidak, jika April yang senang dengan kewarasannya sedikit kembali, kini harus benar-benar gila karena kepercayaannya direnggut kembali. “Padahal hanya mereka satu-satunya harapanku. Ah, seharusnya aku tidak senang dulu saat mereka menerimaku dengan mudah. Aku ini, kan, hanya sebatas anak yatim piatu yang tidak bisa dibanggakan. Mereka adalah p
Berita tersebut tersebar lebih cepat, bagaikan api yang tak sengaja melahap sebuah pegunungan. Ketika waktu istirahat tiba, semua pandangan orang-orang tertunduk takut. Walaupun begitu, mereka saling berbisik. “Ada apa dengan pandangan mereka akhir-akhir ini? Apakah aku terlihat menakutkan? Padahal aku sudah bersikap sedikit lebih lembut,” kata CEO itu kepada Sekretaris Zayn. Zayn langsung meminta Angga untuk mengikutinya ke kantor pusat. Dan disanalah, Zayn menunjukan sebuah berita yang tersebar dalam hitungan menit. Angga yang yang terkejut itu langsung berlari tanpa memberitahu Zayn kemana dia akan pergi. Tapi tentu saja, pikiran Angga sekarang adalah wanita yang tengah terluka, dan sedang mengasingkan diri dari dirinya. “April, jangan-jangan dia sudah tahu tentang ini?” batinnya. Angga berdiri dengan nafas terengah-engah di tengah karyawan kantor yang tengah menyantap makan siangnya dengan rasa yang hambar. Semua orang diam, padahal tadi sedang banyak bicara terkait gosip ini
“Kau tahu dengan yang kau lakukan padaku, kan, Angga?” kata gadis yang memilukan itu. Angga memahami perasaan April sekarang. Kecewa, terluka bahkan bisa saja April enggan memaafkannya. Namun entah kenapa, Angga sulit mengatakan yang sebenarnya. Karena dia juga tidak bisa mencerna baik-baik kasus ini. “Sudah kuduga, dia tidak akan menjawabnya. Aku … Aku seharusnya tidak berharap lebih pada pria yang telah mengkhianatiku seperti ini. Aku muak! Muak sekali dengan orang yang berusaha mendekatiku dan malah berperilaku seenaknya seperti ini!” batin April. April berlari lebih jauh. Punggungnya bahkan mengecil dan hampir hilang, tapi pria sejati itu tidak berusaha mengejarnya. Angga merasa tidak pantas untuknya, seketika. Sedangkan April terus berlari ditengah malam yang hujan nan dingin. Suara hujan bahkan tidak mampu menyamarkan suara Angga. Namun karena Angga tidak berteriak atau bahkan mengejarnya, April sudah bulat, dengan perasaan akhirnya. Gadis yang kelelahan itu melepas sepatu
Seketika April terdiam karena mulai mengerti situasi ini. Meskipun perasaannya ingin menolak bahwa ini tidak seperti yang dia pikirkan, tapi perasaan seolah-olah sulit untuk bekerja sama. “Maafkan Ibu, Nak. Kami yang melakukan itu semua. Rumormu dengan teman kecilmu itu kamilah yang melakukannya,” ungkapnya. Siapa yang tidak hancur, ketika keluarga laki-laki yang telah melakukan kejahatan ini. Seberapa besar, seberapa luas, April harus bersabar. Seberapa banyak pertanyaannya harus melayang di udara, tentang kenapa sesulit ini mendapat cinta yang damai? April memilikinya sejak dulu. “Apa?! Bu, kenapa Anda tega melakukan ini kepadaku?! Apa Ibu sadar bukan hanya aku yang merasa kecewa padamu?!” teriaknya. Urat nadi yang timbul itu tampak menakutkan. Seperti ada yang akan keluar dari leher dan pelipisnya. Haira menghampiri sang putra, berusaha meraih tangan anaknya. Namun Angga langsung menepisnya dengan kasar. “Kau salah, Bu! Aku bukanlah anak-anak yang akan mengangguk terus menerus