***
"Apa?" tanya Kalania—masih di mode singa, karena demi apa pun dia tak takut sama sekali pada Calista. "Udahlah, enggak penting banget saya ngeladenin cewek ambisius kaya Ibu. Cari sana bu cowok lain yang mau sama ibu, jangan ambil pacar saya. Nanti saya viralin lho di sosmed. Gini-gini saya pengikutnya banyak.""Belagu kamu!" ujar Calista—masih dengan suara tinggi, yang justru dimanfaatkan Kalania untuk meledek."Iri bilang sahabat, wle!"Terlalu malas untuk berdebat lebih lama, setelahnya Kalania memutuskan untuk pergi meninggalkan ruangan Calista dan begitu keluar, dia cukup terkejut melihat para staff yang berkumpul sambil memandangnya."Apa lihat-lihat? Mau gue kasih upil?" tanya Kalania sambil memasukan telunjuknya ke hidung tanpa merasa malu.Tak menunggu jawaban, setelahnya yang dilakukan Kalania adalah pergi dengan segera menuju mobilnya dan begitu sampai, yang dia lakukan adalah; mengomel hingga setelah perasaan***"Witwiw, cewek!"Berdiri dengan tubuh condong di pagar pembatas lantai dua, godaan tersebut lantas dilontarkan Rajendra pada dua perempuan yang kini terlihat asyik dengan kegiatannya menonton televisi.Bukan orang lain, dua perempuan tersebut adalah Aleora juga Aisha dan tentunya setelah mendapat godaan, kedua perempuan tersebut kompak mendongak untuk melihat sosok Rajendra sebelum akhirnya salah satu dari mereka, buka suara dan bukan Aisha, yang bertanya adalah Aleora sang sesepuh rumah."Kenapa, Jen?" tanya Aleora. "Kamu manggil Mama sendiri udah kaya godain cewek lewat aja.""Hehe." Nyengir, itulah yang dilakukan Rajendra sebelum akhirnya buka suara lagi. "Enggak, Ma, cuman mau nanyain Rainer. Dia kok belum pulang ya? Perasaan ini udah jam lima kurang.""Dia pulang telat hari ini, Jen. Jam tujuhan katanya baru pulang," ucap Aleora."Lembur?" tanya Rajendra."Enggak, ketemu Kala," ucap Aleora. "Tadi Rainer
***Menghela napas kemudian mengubah posisi menjadi miring, Rajendra kini memandang rak berisi album di kamarnya hingga tak berselang lama dia beringsut secara spontan setelah sebuah ide muncul di otak.Tak banyak menunda, setelahnya yang dilakukan Rajendra adalah; mengambil ponsel dan mencari kontak Rainer untuk kemudian dihubungi. Menunggu selama beberapa detik, senyuman terukir di bibir setelah panggilannya dijawab oleh sang kakak."Halo," sapa Rainer singkat seperti biasa."Lo di mana? Kok belum balik?" tanya Rajendra—pura-pura tak tahu."Basement apartemen," kata Rainer. "Kenapa?""Apartemen siapa?" tanya Rajendra yang cukup terkejut, karena dia pikir Rainer akan bertemu dengan Kalania di luar."Kala, gue mau ketemu sama dia sore ini karena ada sesuatu," ucap Rainer. "Kenapa?""Lo ketemuan sama Kala di apartemen dia?" tanya Rajendra kepo. "Kenapa enggak di luar, njir? Bahaya lho.""Bahaya apa?
***"Gila, kan?" tanya Rainer tanpa ragu. "Saya takut kamu mendadak gila kalau enggak dikasih es krim.""Ish."Tak menimpali, Kalania hanya bisa mendengkus sebelum akhirnya berpamitan untuk menyimpan es krim sekaligus membawakan minum. Tanpa membutuhkan waktu lama, Kalania kembali dengan minuman kaleng juga beberapa camilan di toples kecil yang dia bawa secara bersamaan."Minum," ucap Kalania sambil menyodorkan minuman kaleng yang dia bawa. "Di apartemen enggak ada yang spesial, jadi aku cuman bisa suguhin kamu itu.""Kamu minum minuman kaleng?" tanya Rainer dengan raut wajah yang terlihat penasaran."Iya, kenapa?" Kalania balik bertanya. "Air putih juga minum kok, cuman sering aja minum minuman itu. Segar.""Enggak sehat," kata Rainer. "Kurangin minum minuman kaleng karena kadar gulanya tinggi. Diabetes nanti.""Udah," ucap Kalania yang justru membuat Rainer tak mengerti."Maksud kamu?"
***"Rainer gimana? Bisa?""Astaga!"Baru memutuskan sambungan telepon dengan Nadine, Rainer hampir saja terperanjat ketika pertanyaan tersebut tiba-tiba saja didapatkannya dari Kalania yang kini berdiri di ambang pintu.Tak di ruang tengah, sejak beberapa saat lalu Rainer memang berdiri di balkon apartemen untuk menghubungi Nadine—sang sepupu yang kebetulan memegang kendali sebuah penerbitan milik orang tuanya.Mengajukan naskah milik Kalania.Tentu saja itu tujuan Rainer menghubungi Nadine dan yaps! Karena tak suka didengarkan ketika mengobrol dengan seseorang di telepon, Rainer memilih balkon sebagai tempatnya mengobrol dengan sang sepupu.Kalania?Setelah sempat salah paham terhadap Nadine yang dia pikir kekasih Rainer, pada akhirnya Kalania pasrah ketika kekasih pura-puranya itu meminta dia menunggu di ruang tengah. Namun, memang setelah cukul lama Rainer menetap di balkon, rasa penasaran datang—membuat dia pada akhirnya menghampiri putra sulung Aleora tersebut untuk bertanya ten
***"Mau ya? Please," ucap Kalania memohon. "Aku tuh setiap hari makan sendiri. Jadi pengen aja gitu ada teman pas makan. Kalau kamu khawatir sama makanannya, kamu tenang aja karena aku enggak akan pesan diluar, aku masak sendiri.""Bisa masak?""Lumayan," kata Kalania. "Aku belajar masak sejak pindah ke apartemen. Jadi enggak noob banget."Kembali diam, itulah yang dilakukan Rainer usai mendengar ucapan Kalania dan diamnya dia tentu saja membuat gadis di depannya itu kembali buka suara."Mau, kan? Please kali ini aja," kata Kalania—kembali memohon. "Aku jamin kamu enggak akan nyesal sama makanan yang aku buat dan kamu mungkin bakalan ketagihan.""Mau masak apa kamu?""Enggak tahu sih, tapi di kulkas ada udang, ikan, ayam, daging sapi sama yang lain," kata Kalania. "Kamu boleh pilih makanan mana yang pengen kamu makan, biar nanti aku masakin.""Saya mau katsu," celetuk Rainer."Bisa!" seru Kalania. "Kalau itu gampang banget. Paling nanti bikin sausnya biar lebih enak."Bingung.Itulah
***"Awas," kata Kalania yang tak menimpali pertanyaan Rainer. "Kalau berani kabur, aku samperin kamu ke rumah terus bilang yang sebenarnya ke Tante Ale. Lagian kamu jangan geer dulu karena aku lakuin ini bukan karena aku suka sama kamu, tapi karena bentuk terima kasih aja karena kamu mau atasin masalah aku.""Lalu yang mengira kamu cinta sama saya memangnya siapa?" tanya Rainer, sebisa mungkin sabar meskipun tekanan darahnya perlahan naik."Ya kali aja kamu nyangkanya gitu," kata Kalania. "Kalau iya, hapus prasangkanya karena sampai sekarang aku enggak ada perasaan sama kamu. Lagian kamu kan gay.""Saya bukan gay, saya normal.""Oh ya?""Iya," kata Rainer. "Sekarang sana buka pintunya biar tamu kamu enggak terus pencet bel. Berisik.""Iya-iya sabar," kata Kalania. "Kesabaran kamu setipis tisu dibelah tujuh ya?""Sepuluh.""Oh pantes aja," celetuk Kalania. "Udah sekarang duduk di kursi dan jangan ke mana-mana. Diem aja yang anteng.""Kamu memperlakukan saya seperti anak kecil," celetu
***[Jaga sikap ya, awas kalau sampai keceplosan nyebut diri kamu dengan panggilan 'saya' pas ada Rajendra, karena terlalu awal kalau pacaran pura-pura kita kebongkar sekarang.]Dengan raut wajah datar seperti biasa, Rainer terlihat fokus membaca pesan yang dikirimkan Kalania beberapa waktu lalu ke nomornya. Tak berpindah tempat, saat ini dia masih berada di ruang tengah seperti beberapa waktu lalu. Namun, bukan lagi bersama Kalania, orang yang menemani Rainer sekarang adalah Rajendra.Ya, benar. Rajendra.Datang dengan alasan; disuruh mama untuk mengawasi Rainer dan Kalania, Rajendra memang meminta izin pada sang mantan untuk menetap di apartemen selama Rainer ada dan karena tak punya alasan untuk menolak, Kalania mengizinkan pria itu masuk sehingga setelah mengobrol lama di ambang pintu, Rajendra akhirnya dipersilakan masuk—membuat Rainer tentu saja kaget karena kedatangan sang saudara kembar tak pernah dia prediksi sebelumnya.Bertanya alasan Rajendra datang bahkan tanpa ragu memin
***Tak diam, Rainer beranjak untuk mengecek luka Kalania hingga ucapan yang dilontarkan perempuan itu membuat dia menoleh."Kamu awas, aku mau emut dulu biar-""Kotor," potong Rainer. "Daripada diemut mending dicuci di air. Sini.""Apanya?""Tangan kamu," kata Rainer yang pada akhirnya meraih pergelangan tangan kiri Kalania untuk kemudian dituntun pelan menuju wastafel. "Cuci darahnya bukan diemut.""Oh."Pasrah, Kalania memutuskan untuk mengikuti perintah Rainer sehingga selang beberapa menit telunjuknya sudah berada di bawah guyuran kran dan tak dibiarkan begitu saja, Rainer tanpa ragu menekan ujung telunjuknya untuk mengeluarkan darah dan tak memakan waktu lama, darah pun berhenti keluar."Makasih," ucap Kalania. "Aku bisa kehabisan darah kayanya kalau enggak kamu tolongin."Tak menjawab, yang dilakukan Rainer setelahnya adalah; memandang Kalania sambil menaikkan sebelah alis dan hal tersebut entah kenapa membuat Kalania sendiri mendadak tak menentu.Degdegan.Itulah yang dirasaka