***
Menghela napas kemudian mengubah posisi menjadi miring, Rajendra kini memandang rak berisi album di kamarnya hingga tak berselang lama dia beringsut secara spontan setelah sebuah ide muncul di otak.Tak banyak menunda, setelahnya yang dilakukan Rajendra adalah; mengambil ponsel dan mencari kontak Rainer untuk kemudian dihubungi. Menunggu selama beberapa detik, senyuman terukir di bibir setelah panggilannya dijawab oleh sang kakak."Halo," sapa Rainer singkat seperti biasa."Lo di mana? Kok belum balik?" tanya Rajendra—pura-pura tak tahu."Basement apartemen," kata Rainer. "Kenapa?""Apartemen siapa?" tanya Rajendra yang cukup terkejut, karena dia pikir Rainer akan bertemu dengan Kalania di luar."Kala, gue mau ketemu sama dia sore ini karena ada sesuatu," ucap Rainer. "Kenapa?""Lo ketemuan sama Kala di apartemen dia?" tanya Rajendra kepo. "Kenapa enggak di luar, njir? Bahaya lho.""Bahaya apa?***"Gila, kan?" tanya Rainer tanpa ragu. "Saya takut kamu mendadak gila kalau enggak dikasih es krim.""Ish."Tak menimpali, Kalania hanya bisa mendengkus sebelum akhirnya berpamitan untuk menyimpan es krim sekaligus membawakan minum. Tanpa membutuhkan waktu lama, Kalania kembali dengan minuman kaleng juga beberapa camilan di toples kecil yang dia bawa secara bersamaan."Minum," ucap Kalania sambil menyodorkan minuman kaleng yang dia bawa. "Di apartemen enggak ada yang spesial, jadi aku cuman bisa suguhin kamu itu.""Kamu minum minuman kaleng?" tanya Rainer dengan raut wajah yang terlihat penasaran."Iya, kenapa?" Kalania balik bertanya. "Air putih juga minum kok, cuman sering aja minum minuman itu. Segar.""Enggak sehat," kata Rainer. "Kurangin minum minuman kaleng karena kadar gulanya tinggi. Diabetes nanti.""Udah," ucap Kalania yang justru membuat Rainer tak mengerti."Maksud kamu?"
***"Rainer gimana? Bisa?""Astaga!"Baru memutuskan sambungan telepon dengan Nadine, Rainer hampir saja terperanjat ketika pertanyaan tersebut tiba-tiba saja didapatkannya dari Kalania yang kini berdiri di ambang pintu.Tak di ruang tengah, sejak beberapa saat lalu Rainer memang berdiri di balkon apartemen untuk menghubungi Nadine—sang sepupu yang kebetulan memegang kendali sebuah penerbitan milik orang tuanya.Mengajukan naskah milik Kalania.Tentu saja itu tujuan Rainer menghubungi Nadine dan yaps! Karena tak suka didengarkan ketika mengobrol dengan seseorang di telepon, Rainer memilih balkon sebagai tempatnya mengobrol dengan sang sepupu.Kalania?Setelah sempat salah paham terhadap Nadine yang dia pikir kekasih Rainer, pada akhirnya Kalania pasrah ketika kekasih pura-puranya itu meminta dia menunggu di ruang tengah. Namun, memang setelah cukul lama Rainer menetap di balkon, rasa penasaran datang—membuat dia pada akhirnya menghampiri putra sulung Aleora tersebut untuk bertanya ten
***"Mau ya? Please," ucap Kalania memohon. "Aku tuh setiap hari makan sendiri. Jadi pengen aja gitu ada teman pas makan. Kalau kamu khawatir sama makanannya, kamu tenang aja karena aku enggak akan pesan diluar, aku masak sendiri.""Bisa masak?""Lumayan," kata Kalania. "Aku belajar masak sejak pindah ke apartemen. Jadi enggak noob banget."Kembali diam, itulah yang dilakukan Rainer usai mendengar ucapan Kalania dan diamnya dia tentu saja membuat gadis di depannya itu kembali buka suara."Mau, kan? Please kali ini aja," kata Kalania—kembali memohon. "Aku jamin kamu enggak akan nyesal sama makanan yang aku buat dan kamu mungkin bakalan ketagihan.""Mau masak apa kamu?""Enggak tahu sih, tapi di kulkas ada udang, ikan, ayam, daging sapi sama yang lain," kata Kalania. "Kamu boleh pilih makanan mana yang pengen kamu makan, biar nanti aku masakin.""Saya mau katsu," celetuk Rainer."Bisa!" seru Kalania. "Kalau itu gampang banget. Paling nanti bikin sausnya biar lebih enak."Bingung.Itulah
***"Awas," kata Kalania yang tak menimpali pertanyaan Rainer. "Kalau berani kabur, aku samperin kamu ke rumah terus bilang yang sebenarnya ke Tante Ale. Lagian kamu jangan geer dulu karena aku lakuin ini bukan karena aku suka sama kamu, tapi karena bentuk terima kasih aja karena kamu mau atasin masalah aku.""Lalu yang mengira kamu cinta sama saya memangnya siapa?" tanya Rainer, sebisa mungkin sabar meskipun tekanan darahnya perlahan naik."Ya kali aja kamu nyangkanya gitu," kata Kalania. "Kalau iya, hapus prasangkanya karena sampai sekarang aku enggak ada perasaan sama kamu. Lagian kamu kan gay.""Saya bukan gay, saya normal.""Oh ya?""Iya," kata Rainer. "Sekarang sana buka pintunya biar tamu kamu enggak terus pencet bel. Berisik.""Iya-iya sabar," kata Kalania. "Kesabaran kamu setipis tisu dibelah tujuh ya?""Sepuluh.""Oh pantes aja," celetuk Kalania. "Udah sekarang duduk di kursi dan jangan ke mana-mana. Diem aja yang anteng.""Kamu memperlakukan saya seperti anak kecil," celetu
***[Jaga sikap ya, awas kalau sampai keceplosan nyebut diri kamu dengan panggilan 'saya' pas ada Rajendra, karena terlalu awal kalau pacaran pura-pura kita kebongkar sekarang.]Dengan raut wajah datar seperti biasa, Rainer terlihat fokus membaca pesan yang dikirimkan Kalania beberapa waktu lalu ke nomornya. Tak berpindah tempat, saat ini dia masih berada di ruang tengah seperti beberapa waktu lalu. Namun, bukan lagi bersama Kalania, orang yang menemani Rainer sekarang adalah Rajendra.Ya, benar. Rajendra.Datang dengan alasan; disuruh mama untuk mengawasi Rainer dan Kalania, Rajendra memang meminta izin pada sang mantan untuk menetap di apartemen selama Rainer ada dan karena tak punya alasan untuk menolak, Kalania mengizinkan pria itu masuk sehingga setelah mengobrol lama di ambang pintu, Rajendra akhirnya dipersilakan masuk—membuat Rainer tentu saja kaget karena kedatangan sang saudara kembar tak pernah dia prediksi sebelumnya.Bertanya alasan Rajendra datang bahkan tanpa ragu memin
***Tak diam, Rainer beranjak untuk mengecek luka Kalania hingga ucapan yang dilontarkan perempuan itu membuat dia menoleh."Kamu awas, aku mau emut dulu biar-""Kotor," potong Rainer. "Daripada diemut mending dicuci di air. Sini.""Apanya?""Tangan kamu," kata Rainer yang pada akhirnya meraih pergelangan tangan kiri Kalania untuk kemudian dituntun pelan menuju wastafel. "Cuci darahnya bukan diemut.""Oh."Pasrah, Kalania memutuskan untuk mengikuti perintah Rainer sehingga selang beberapa menit telunjuknya sudah berada di bawah guyuran kran dan tak dibiarkan begitu saja, Rainer tanpa ragu menekan ujung telunjuknya untuk mengeluarkan darah dan tak memakan waktu lama, darah pun berhenti keluar."Makasih," ucap Kalania. "Aku bisa kehabisan darah kayanya kalau enggak kamu tolongin."Tak menjawab, yang dilakukan Rainer setelahnya adalah; memandang Kalania sambil menaikkan sebelah alis dan hal tersebut entah kenapa membuat Kalania sendiri mendadak tak menentu.Degdegan.Itulah yang dirasaka
***"Boleh," kata Rainer.Tersenyum tipis, setelahnya Kalania mengambil piring Rainer kemudian mengisi secentong nasi sebelum akhirnya bertanya,"Cukup?""Cukup," kata Rainer. "Makasih.""Sama-sama.""Gue enggak diambilin juga?" tanya Rajendra yang entah kenapa mendadak iri pada perlakuan yang didapatkan Rainer dari Kalania karena selama berpacaran dengannya, Kalania tak pernah mengajak dia makan bersama di apartemen apalagi menuangkan nasi di piringnya."Punya tangan, kan?" tanya Kalania dengan wajah songong. "Ambil sendiri.""Rainer punya tangan, kenapa diambilin?" tanya Rajendra."Ya karena dia pacar aku," kata Kalania. "Kamu? Kamu cuman mantan aku jadi sikap aku ke kamu dan ke Rainer tentu aja harus beda.""Mandang status banget," celetuk Rajendra. "Lagian sebagai mantan, gue ngerasa dipilih kasihin lho. Lo enggak pernah ajak gue makan di apartemen apalagi ambilin nasi kaya barusan. Padahal, kita pacaran dua bulan. Rainer? Lo sama dia baru pacaran seminggu lebih, tapi udah semanis
***[Gue balik ya, Rai, barusan manajer band minta gue sama yang lain buat datang ke apartemennya karena sesuatu. Lo baik-baik sama Kala dan jangan macam-macam karena Mama pasti enggak suka. Oh ya, yang tadi pencet bel ternyata orang salah unit. Dia mau bertamu ke unit di sebelah unit Kala, tapi malah datang ke unitnya pacar lo dan sekarang orangnya udah ketemu sama yang dia cari jadi gue balik dan sampai ketemu di rumah, kembaran."Menunduk dengan netra yang fokus pada layar ponsel, Rainer tak menunjukan ekspresi apa pun setelah membaca pesan dari Rajendra dan hal tersebut tentunya membuat Kalania penasaran.Menunggu Rajendra yang beberapa waktu lalu pergi untuk mengecek siapa tamu yang datang, Kalania dan Rainer memang memutuskan untuk menunda dulu kegiatan makan mereka hingga di tengah keheningan, bunyi singkat ponsel Rainer tiba-tiba saja terdenger—membuat sang pemilik sendiri lekas mengeceknya dan sebuaah pesan ternyata masuk dari sang saudara kambar.Kalania tahu? Ya, tentu saja