Home / Horor / Dendam Kuntilanak Merah / 4. Asumsi Warga Desa

Share

4. Asumsi Warga Desa

last update Last Updated: 2022-08-11 22:20:16

Berderet pertanyaan yang diberikan Wati. Hasnah terdiam. Dahinya berkerut dalam. Dia bingung dengan pertanyaan itu, khususnya pertanyaan paling ujung.

"Emak ke sini malah hendak mencari Menur, Nak. Mana dia? Masih tidur kah di kamarmu?"

Gantian kini Wati yang kebingungan.

"Kami sama-sama pulang jam sepuluh tadi, Mak. Tapi Menur memilih jalan setapak di dekat kebun karet sana. Supaya cepat tiba di rumah katanya."

Keterangan Wati barusan membikin hati Hasnah kembali tak tenang. Kepalanya pusing seketika. Jantungnya dirasa tak aman, degupnya semakin tak karuan.

"Bagaimana ini, Wati? Emak mesti mencari Menur ke mana?" Tangan Hasnah memilin-milin ujung sweter dengan kegundahan teramat sangat.

Wati pun terbungkam. Dia tahu Menur tidak dekat dengan siapa pun kecuali dirinya.

"Begini saja, Mak. Wati temani Emak mencari Menur. Kalau Menur tidak juga ketemu, kita laporkan pada kepala kampung."

Hasnah mengangguk pasrah. Di saat kebingungan, otaknya dirasa buntu untuk mencari jalan keluar. Dia ikuti saja saran dari Wati. Gadis itu kini terburu-buru ke kamar mandi, berlari ke dalam rumah, lalu keluar lagi dengan jaket tebal yang menutupi tubuhnya yang kurus semampai.

~AA~

Pagi hari Desa Kumpeh geger. Salah seorang warganya dinyatakan hilang sedari tadi malam. Banyak asumsi-asumsi tak jelas yang beredar: Menur melarikan diri bersama kekasihnya, Menur pergi sebab tak tahan lagi hidup menderita, atau Menur diculik hantu kopek penunggu pohon beringin di jalan setapak dekat kebun karet sana.

Untuk opsi yang pertama, jelas-jelas terbantahkan. Selama ini warga desa tidak pernah melihat Menur bersama laki-laki mana pun. Untuk opsi kedua, fakta yang tergambar malah Menur tidak pernah sedikit pun mengeluh akan kehidupannya yang susah.

Akan tetapi, warga desa lebih banyak mempercayai asumsi ketiga, yakni Menur diculik hantu kopek meski ada sebagian warga menyangkalnya sebab mereka tahu bahwa hantu kopek hanya tertarik pada anak-anak saja, bukan gadis dewasa seperti Menur.

Warga berkumpul karena bunyi kentungan dari poskamling di lapangan desa yang tak biasa. Mereka berdesak-desakan menanti kepala kampung buka suara.

"Bapak-Bapak, Ibu-Ibu. Terima kasih sudah sudi berkumpul di sini. Saya hendak menyampaikan berita penting sepagi ini." Sanusi, si kepala kampung, terdiam sejenak. "Tadi, Bu Hasnah mendatangi saya, membawa kabar yang tidak enak bahwa putrinya, Menur, belum juga pulang ke rumah sedari malam hari."

Bisik-bisik dan gumaman terdengar di sana-sini. Ada yang cemas, ada yang mengerutkan dahi, ada yang biasa-biasa saja.

"Maka dari itu, mari kita bersama-sama membantu mencari keberadaan Menur. Saya berharap Menur lekas kembali sebelum tengah hari."

Para warga mengangguk-angguk setuju. Pencarian pun dimulai. Mereka berpencar, mencari hingga ke sudut-sudut desa. Ada yang membawa parang, bambu, dan tampah beserta pemukulnya.

Konon katanya hantu kopek takut mendengar suara gaduh tampah yang dipukul-pukul. Sehingga mau tidak mau hantu itu akan melepaskan orang yang disembunyikannya.

~AA~

*Hantu kopek ialah hantu bertubuh tinggi. Puncak kepalanya bisa setinggi pohon durian. Kepalanya besar dengan rambut yang hampir menyentuh tanah begitu pula payudaranya. Mitosnya hantu kopek suka menculik anak-anak, menyimpan mereka di balik payudara atau ketiak. Bagi yang bisa pulang, biasanya dalam keadaan linglung, lupa diri. Hantu kopek juga memberi makan korbannya berupa cacing-cacing tanah.

Related chapters

  • Dendam Kuntilanak Merah   5. Pencarian Menur

    "Menur! Menur!" Hampir semua warga turut melakukan pencarian: pria-pria, para pemuda, hingga aparat desa. Mereka menyusuri jalan-jalan, kebun-kebun, hingga tepian sungai sembari memukul-mukul tampah menggunakan tongkat kayu. Warga yang mempercayai bahwa Menur telah diculik hantu kopek, berharap gadis itu segera dilepaskan. Sebagian area telah dirambah, tetapi tak jua mereka temui keberadaan jejak maupun bayangan diri Menur. Hasnah pun ikut mencari, ditemani oleh Wati yang tak sedetik pun beranjak dari sisinya. Hati gadis itu mengiba. Wati tak tega meninggalkan wanita yang sudah dia anggap seperti ibu kandungnya sendiri itu, tersedu-sedu seorang diri. Hingga kaki mereka sampai pada satu-satunya area yang tersisa, yakni jalan setapak di dekat pohon beringin, yang dianggap sebagian warga ialah tempat paling wingit di Desa Kumpeh. Beberapa pria memperlambat langkah. Hanya yang bernyali besar yang mendahului menuju ke sana. Termasuk si kepala kampung dan Hasnah yang tidak peduli, yang p

    Last Updated : 2022-08-11
  • Dendam Kuntilanak Merah   6. Sosok Menur yang Berbeda

    Pria dan pemuda yang lain manggut-manggut menyetujui. Sanusi berpikir sejenak. Satu demi satu dia menatap wajah-wajah lelah warganya yang masih setia melakukan pencarian hingga berjam-jam. Dia sendiri pun kelelahan, hanya saja hatinya ikut perih mengingat tangisan Hasnah yang datang menemuinya dini hari tadi."Baiklah kalau begitu. Kita istirahat dulu di sini."Rombongan menghentikan pencarian. Ada yang terenyak di rerumputan. Ada yang menyandarkan punggungnya yang basah oleh peluh ke batang pohon terdekat sembari memejamkan mata. Sebagian warga ada juga yang mulai menyulut obor sebagai sumber penerangan mereka.Sanusi mengayunkan langkah mendekati Hasnah yang masih memeluk erat tas Menur. Wanita itu tersedu-sedan. Suaranya semakin serak memanggil-manggil nama putrinya."Menur ... di mana kah dirimu, Nak? Tak kasihan kah kau pada emakmu ini ...?"Dengan sabar Sanusi meraih bahu Hasnah. Membawa wanita itu untuk duduk di rerumputan seperti yang lainnya."Sabar, Mak Menur. Mari kita istir

    Last Updated : 2022-08-11
  • Dendam Kuntilanak Merah   7. Suara Ciap Anak Ayam

    Sepasang tangan dengan beberapa bekas luka yang cukup dalam, bergerak kepayahan mengerek air dari sumur. Suara cipratan air akibat gesekan timba dengan tepian sumur, berisik memecah kesunyian malam. Berulang kali air di timba itu muncrat dan tumpah karena lengan pria itu gemetar.Tetes-tetes keringat meluncur dari wajah serta lehernya yang basah. Pria itu, Maymun, baru saja terbangun dari mimpi buruk. Mimpi berulang setiap malam yang menghantuinya. Mimpi mengerikan yang membuatnya depresi, menggila dan hilang kendali. Kemudian setelah bersusah payah kembali pada alam bawah sadarnya, Maymun lari ke luar rumah.Si bujang lapuk itu mengguyur wajah dan sebagian kepalanya menggunakan air dari timba, berharap rasa takut, emosi dan gelisah sirna dalam seketika. Dia tidak ingin kembali tidur. Dia tidak ingin memejamkan mata meski sedetik pun.Masih terpatri jelas dalam ingatannya sosok hantu perempuan berkebaya merah yang datang ke mimpinya. Seraut wajah seputih kapas, matanya semerah darah, k

    Last Updated : 2022-08-11
  • Dendam Kuntilanak Merah   8. Pembalasan Pertama

    Maymun melanjutkan langkah takut-takut. Dia berhasil melewati pintu. Tangannya meraba-raba dalam kegelapan mencari sesuatu, menyusuri lekukan dinding tempat biasanya dia menyimpan kotak korek api. Kosong. Dia tak berhasil menemukan benda persegi empat itu.Tangannya meraba-raba lagi, sembari melangkah berhati-hati.Jemarinya mengenai sesuatu: dingin, kaku, dan bikin jantungnya berdesir-desir. Maymun menelan ludah. Dia mencoba menerka dan fokus pada sentuhannya."Hi-hi-hi!"Sesuatu itu mengikik nyaring. Maymun memekik, lantas terpelanting.Kilatan cahaya dari luar, sedikit membantu memberikan penerangan hingga ke dalam rumah. Mata Maymun terbelalak tak percaya. Ternyata sosok hantu perempuan berkebaya merah itu nyata adanya, bukan hanya di mimpinya saja. Hantu kuntilanak merah itu kini tepat berhadapan-hadapan dengannya.Mata menyala Menur menyorot ke wajah Maymun. Saat menyeringai, sudut bibirnya panjang hampir menyentuh telinga.Dengkul Maymun menggigil. Tanpa dia sadari selangkangann

    Last Updated : 2022-08-11
  • Dendam Kuntilanak Merah   9. Menemui Dukun Sakti Mandraguna

    Sabtu Pahing yang gusar. Segusar hati Hasnah yang tak kunjung jua mendapat kabar akan keberadaan Menur. Genap tiga puluh hari sudah putrinya itu menghilang, tapi segala upaya yang dia maupun warga lakukan, tak jua membuahkan hasil.Tempo hari ketika mereka gagal melakukan pencarian di hari pertama, esoknya mereka melakukan pencarian kembali, bahkan Sanusi mengikuti saran para tetua adat kampung untuk bertanya pada seseorang yang paham perihal dunia gaib, Pakdo Ramli, dukun sakti yang tinggal menyendiri di tepian sungai Batanghari.Kala itu sore hendak mendekati senja, ketika semburat jingga masih terlihat di sela-sela dedaunan pohon karet. Sanusi duduk manis di boncengan sepeda ontel yang dikayuh Ujang, asisten kepercayaannya, menuju kediaman Pakdo Ramli. Sanusi kalut, putus asa dan berusaha demi Hasnah agar wanita itu mau makan meski hanya sesuap nasi.Atas kaduan Wati yang selalu menemani Hasnah, Sanusi tahu bahwa Hasnah tidak berniat hidup lagi. Dia menghindari makan, tidur, dan min

    Last Updated : 2022-08-11
  • Dendam Kuntilanak Merah   10. Desa Kumpeh Geger

    Meski sudah tahu bahwa pria di hadapannya adalah dukun sakti yang kata orang-orang: 'Tak perlu lagi memberitahu tujuan kita datang menemuinya, sebab tak ada satu pun rahasia yang bisa disembunyikan pada Pakdo Ramli', tetapi Sanusi dan Ujang tetap saja merasa terheran-heran.Bagian dalam gubuk, tidak kalah seramnya dengan bagian luar. Dinding rumah berhiaskan berbagai macam keris yang beragam bentuk dan ukuran, serta tengkorak dan tanduk kijang yang bersisian.Pakdo Ramli duduk di belakang meja yang mengepulkan asap dari dupa. Dupa tersebut berjejer dengan bermacam sesajen lainnya: segelas kopi, segelas air putih, segelas susu, kembang tujuh rupa, ayam cemani, dan keris berlekuk tiga.Tanpa diperintah lagi, Sanusi memberi kode pada Ujang agar duduk di tikar pandan yang tergelar tak jauh dari mereka berdiri."Saya sudah tahu maksud kedatangan kalian kemari. Jika seorang pemimpin kampung berpayah-payah harus menempuh perjalanan jauh, tentulah ada perkara yang tidak mudah dipecahkan, bukan

    Last Updated : 2022-08-11
  • Dendam Kuntilanak Merah   11. Malam Pernikahan Berdarah

    Kuak lembu diselingi derik jangkrik mengisi kesunyian malam Desa Niaso, sebuah desa yang berjarak tiga desa saja dari Desa Kumpeh. Berbeda sekali dengan suasana tadi siang, kini desa itu diliputi oleh sepi yang mencengkam. Entahlah, seperti ada yang aneh. Suhu udaranya pun dingin menusuk kulit.Di sebuah rumah berhalaman luas, sampah-sampah sisa pembungkus makanan para tamu berserak di sana-sini. Tenda-tenda yang masih terpancang di tengah halaman, menandakan si empunya baru saja melaksanakan hajatan besar-besaran.Pak Broto menikahkan putri semata wayangnya, Ratna, dengan pemuda kekar nan tampan dari luar desa. Samin berhasil memikat hati dan mempersunting perempuan itu hanya dalam kurun waktu dua bulan pendekatan saja. Anak gadis juragan kaya itu terbuai dalam sejuta janji manis yang diberikan Samin beserta mimpi-mimpi yang masih direncanakannya.Dari teras rumah, lampu kamar Ratna terlihat menyala. Ratna sendiri masih terjaga, di depan kaca rias dia tengah sibuk menyisir rambutnya y

    Last Updated : 2022-08-30
  • Dendam Kuntilanak Merah   12. Pelarian Samin

    Sedetik kemudian barulah Samin menyadari, kesalahan fatal yang baru saja dia perbuat telah berhasil menghancurkan masa depannya."Tidak! Tidaaak!"Samin histeris. Tanpa membuang waktu dia mendobrak daun jendela yang berada tepat di belakangnya, lantas keluar dari kamar dalam satu kali lompatan.Samin berlari sekencang mungkin tanpa menoleh ke belakang. Derap kakinya seperti orang kesetanan. Dia takut sekali orang-orang yang mengejarnya, berhasil menangkap dan menyeretnya ke kantor polisi.Selintas memori beberapa waktu lalu, memenuhi kepalanya.Malam itu temannya, Arman, mengajaknya berpesta minum minuman keras untuk merayakan atas berhasilnya Samin memikat hati Ratna, anak juragan kaya yang telah dia incar sejak lama. Gadis itu akhirnya bersedia menerima lamaran Samin dan mau menjadi istrinya. Arman ingin Samin membikin pesta bujangan.Mereka pun memutuskan untuk berkumpul di rumah Samin. Kebetulan tetangga yang tinggal tepat di sebelah rumah Samin sedang mengadakan acara hajatan. Seh

    Last Updated : 2022-08-30

Latest chapter

  • Dendam Kuntilanak Merah   56. Sebuah Amanat

    Senyum Pakdo Ramli mengembang penuh wibawa. "Pakdo ingin berpamitan padamu, Nak. Entah kapan kita bisa berjumpa lagi. Rasanya belum puas jika Pakdo tidak berpesan padamu.""Apa itu, Pakdo?" Gadis penasaran."Kau gadis istimewa. Teruslah menebar welas asih. Bantulah sesama makhluk yang membutuhkan bantuanmu, Nak. Kelebihan yang kau punya, jadikan ladang amal bagimu sendiri." Pakdo Ramli menepuk-nepuk pundak Gadis yang terdiam mendengarkan amanat dari dukun sakti itu.Pakdo Ramli lantas berbalik badan, mulai melangkah meninggalkan kebun. Sanusi dan Ujang turut mengantarkan kepergiannya."Sebelum pergi, ada baiknya Pakdo mampir ke warung bakso saya dulu, Pakdo. Saya kasih secara cuma-cuma." Ujang menawarkan."Bagaimana denganku?" Sanusi bersuara. "Perutku juga lapar, Ujang. Tak kasihankah kau padaku, bekas bosmu ini? Setelah ini aku masih akan menempuh perjalanan jauh hingga sampai ke rumah.""Boleh, Pak, boleh. Apa, sih, yang tidak buat Bapak."Percakapan mereka terus berlanjut hingga t

  • Dendam Kuntilanak Merah   55. Pemakaman

    Gerimis membasahi sebuah tempat pemakamam umum di Desa Kumpeh kala senja hari. Para pelayat sejak tadi telah pulang menuju rumah mereka masing-masing. Yang tersisa hanya beberapa orang yang mana wajah mereka terbalut duka lara: Pakdo Ramli, Sanusi, Teh Reni, Nopi, Gadis, serta Ujang yang setia mendekap istrinya yang masih menangis pilu.Tiada yang menyangka sedikit pun, Hasnah meninggalkan dunia selepas jasad Menur diketemukan. Ternyata selama ini dia terus menunggu, hingga pada akhirnya benar-benar pergi setelah mendapatkan kabar yang dinanti-nantikan.Hasnah pun seperti ingin dikebumikan satu liang lahat bersama putrinya, Menur. Hal itu akhirnya terjadi pada hari ini.Gadis yang berdiri di sebelah Nopi, mendekatkan kepalanya ke sepupunya itu lantas berbisik, "Baru sekarang aku melihat cinta seorang ibu yang benar-benar besar untuk anaknya, Nop," ucap Gadis lirih. "Tiba-tiba aja aku jadi pengin pulang dan peluk Ibu," katanya lagi.Nopi tidak bisa berkata-kata. Ucapan Gadis benar adan

  • Dendam Kuntilanak Merah   54. Mendung di Langit Desa Kumpeh

    Teh Reni, Gadis, juga Nopi pun tak mau ketinggalan. Mereka terlanjur ikut campur dan tidak ingin melewatkan perkembangan masalah itu. Kini mereka juga sudah berada di kebun Teh Reni, turut menyaksikan penggalian, meski tubuh dan mata mereka lelah karena menahan kantuk sepanjang malam.Oleh karena ada kejadian yang memancing penasaran, beberapa warga yang lewat menjadi mampir dan ikut menonton. Alhasil kebun Teh Reni kini dikelilingi oleh banyak warga.Wati dan Hasnah baru saja tiba. Tertatih-tatih wanita tua itu berusaha menyeruak kerumunan warga. Kedatangannya disambut Sanusi yang langsung ikut memapahnya.Hasnah menatap heran Sanusi sebentar. Dia agak susah mengenali postur Sanusi yang tak lagi sama."Mak Hasnah.""Ini kau, si kepala kampung, Sanusi?""Ya, Mak. Mari ikuti saya."Mereka kembali melangkah mendekati sebuah lubang bekas galian. Di sebelah lubang, tergelar selembar tikar yang di atasnya terdapat tengkorak dan tulang belulang manusia. Tak jauh dari tulang belulang itu, ad

  • Dendam Kuntilanak Merah   53. Penemuan Tulang Belulang

    Mentari pagi bersinar hangat, berhasil mengusir kabut, lalu mengenyahkan hawa dingin yang menusuk kulit kala subuh hari. Tunas pisang bermunculan, kuncup bunga mulai bermekaran, menandakan kehidupan baru telah datang. Sisa-sisa embun pun masih menempel pada daun dan rerumputan, tetapi siapa pun tahu, mereka akan menguap seiringnya waktu yang terus berjalan.Di ranjang besinya, Hasnah mengerjap-ngerjap. Sinar mentari yang masuk melalui celah-celah jendela, menyilaukan matanya yang dulu berbulu lentik, tetapi kini mulai rabun. Dia bangkit dari rebah, lalu duduk menjuntai kaki di tepian tempat tidur. Lama dipandanginya ubin kamar yang bolong-bolong di sebagian permukaannya itu.Gorden kamarnya disibak Wati yang baru saja melangkah masuk. "Emak sudah bangun?" Wati tersenyum ramah, memperlakukan Hasnah semanis biasanya, tapi mata wanita itu kali ini terlihat bengkak dan sembab."Kenapa dengan wajahmu, Wati? Apa kau habis menangis?"Lagi-lagi Wati hanya tersenyum sebagai jawaban. "Emak mau

  • Dendam Kuntilanak Merah   52. Jiwa yang Terbebas

    Ujang lantas memeluk Pakdo Ramli. "Terima kasih, Pakdo, terima kasih." Suara Ujang bergetar, terselubung rasa haru dan juga rasa syukur. Rasanya beban yang ikut diembannya selama ini, telah menguap bersama asap dari sisa api yang menghanguskan si makhluk merah."Kau juga harus berterima kasih pada bosmu, Ujang. Dia yang telah merawat dan menyimpan keris ini selama aku tak ada." Pakdo menepuk bahu Ujang yang bergetar karena menangis.Sanusi berjalan mendekati. "Kau masih saja cengeng, Ujang. Sudahlah. Malu sama umur." Sanusi dan Pakdo Ramli terbahak bersama. Ujang pun menjadi tersenyum, meski sembari menyeka air mata yang tersisa."Gadis mana, Pakdo?"Nopi yang telah turun dari mobil, menatap ke sekeliling, mencari keberadaan sepupunya.Pertanyaan Nopi membuat Pakdo Ramli teringat bahwa ada satu hal lagi yang harus dia selesaikan malam ini, yakni membebaskan jiwa Menur yang kini terkunci di dalam liontin yang tadi dibawa pergi oleh Gadis.~AA~Hari masih gelap. Waktu masih menunjukkan

  • Dendam Kuntilanak Merah   51. Musnahnya Makhluk Merah

    Makhluk merah sudah menghunuskan kelima kuku jarinya yang runcing nan tajam, bersiap menyerang Pakdo Ramli yang menatapnya dengan raut pasrah. Dukun itu bukan lah menyerah, hanya saja dia tidak bisa berkerlit. Gerakannya sudah terkunci, tidak bisa berpindah posisi lagi.Akan tetapi, tiba-tiba saja dari arah gerbang masuk kebun, klakson mobil yang berbunyi nyaring mengalihkan perhatian mereka berdua. Makhluk merah tersentak mundur saat lampu mobil Avanza hitam menyorot tepat ke arahnya."Pakdo Ramli!" Sanusi yang baru saja keluar dari bangku penumpang berlari menghampiri. "Ambil ini!" Sekuat tenaga pria itu melemparkan keris berlekuk tiga yang telah terbungkus kembali pada sarung kulitnya.Pakdo Ramli mengambil kesempatan. Pria itu berguling ke samping tiga kali, lalu melompat dengan bertumpu kaki kanannya. Tangan kirinya berhasil menyambar keris, lalu dengan tangan yang lain dia menarik gagang keris itu lantas merapalkan mantra yang telah dia pelajari selama bersamadi.Keris yang tela

  • Dendam Kuntilanak Merah   50. Pertarungan Sengit

    Pakdo Ramli mengeretakan rahang. Dadanya dipenuhi amarah menggebu-gebu. Namun, dia tidak boleh terpancing oleh ucapan makhluk merah tersebut. Pakdo Ramli harus bisa berpikir jernih dan mengikuti rencana matang yang telah terpatri di benaknya.Pakdo Ramli mengembuskan napas panjang-panjang. Suaranya terdengar lebih lembut dan membujuk."Menur, anakku. Kau ingat ini, Nak?" Tangan kanan Pakdo teracung di udara, memamerkan kalung liontin milik Menur pada makhluk merah itu. "Kalung ini hadiah dari emakmu di saat usiamu lima belas tahun. Apa kau masih ingat?"Ucapan Pakdo Ramli berhasil mengubah suasana. Angin tak lagi berputar-putar. Kilat yang tadinya menyambar-nyambar, kini berhenti.Separuh sosok menur yang melekat di wujud makhluk merah pun memberi sikap berbeda. Matanya yang tadi semerah bara, kini berubah hitam. "Emak ...," bisiknya lirih. Suaranya pun kembali menjadi milik Menur."Ya, Nak!" teriak Pakdo semakin lantang. "Lawan dia. Bebaskan belenggu yang menahanmu pada dirinya. Aku

  • Dendam Kuntilanak Merah   49. Pembebasan Menur

    Pakdo Ramli duduk bersila menghadap tepat ke arah pohon beringin. Bibirnya yang dikelilingi kumis dan jenggot putih tebal, sibuk komat-kamit merapal mantra. Matanya yang seperti mata elang, fokus menatap tajam. Tangannya bersedekap di depan dadanya yang bidang.Cahaya rembulan yang samar-samar, menyinari sebuah benda yang terselip pada kedua telapak tangannya. Benda itu ialah sebuah kalung liontin berwarna biru. Tertera huruf M pada bandulnya. Kalung itu milik Menur yang diberikan oleh Wati pada Pakdo Ramli, sebelum pria itu meninggalkan rumah Ujang beberapa waktu lalu.Berdasarkan penerawangan Pakdo, jiwa Menur hampir bersatu dengan energi gelap dari makhluk merah penguasa pohon beringin. Menur akan kehilangan kendali dan melupakan jati dirinya jika tidak segera diselamatkan.Untuk itu Pakdo membutuhkan sebuah barang milik Menur yang akan dijadikan alat pemancing agar Menur ingat dan kembali pada dirinya yang dulu."Tunggu sebentar, Pakdo," kata Wati ketika Pakdo Ramli menanyakan per

  • Dendam Kuntilanak Merah   48. Taktik

    Pakdo Ramli memperlihatkan bekas luka yang terdapat pada lehernya di bagian sebelah kanan. Wati meringis melihatnya. Luka itu berlubang cukup dalam."Dengan kekuatannya pula, aku dilemparkan hingga ke tebing jurang sana." Pakdo Ramli melanjutkan cerita. "Hingga akhirnya aku tercebur ke arus sungai yang deras. Aku bukan perenang yang handal. Sekuat tenaga aku mencoba mempertahankan diri. Lalu di tepian sungai dekat berbatuan besar, aku melihat Surti.""Lalu, Pakdo?" Nopi kian penasaran."Ada tiupan angin entah dari mana, mendorong tubuhku ke tepian. Di situlah akhirnya aku selamat, meski leherku berdarah-darah."Gadis mengembuskan napas. "Itu Surti, Pakdo. Seperti itulah caranya dia menolongku di malam tempo hari.""Lantas, apa yang Pakdo lakukan selama ini? Kenapa tidak pulang ke rumah Pakdo sendiri?" tanya Ujang."Aku memutuskan pergi dari desa ini, menuju tanah kelahiran kakek buyutku. Di sana aku semadi dan memperdalam ilmu kebatinan. Sengaja, agar setelah aku merasa siap, aku bisa

DMCA.com Protection Status