Home / Horor / Dendam Kuntilanak Merah / 8. Pembalasan Pertama

Share

8. Pembalasan Pertama

last update Last Updated: 2022-08-11 22:24:44

Maymun melanjutkan langkah takut-takut. Dia berhasil melewati pintu. Tangannya meraba-raba dalam kegelapan mencari sesuatu, menyusuri lekukan dinding tempat biasanya dia menyimpan kotak korek api. Kosong. Dia tak berhasil menemukan benda persegi empat itu.

Tangannya meraba-raba lagi, sembari melangkah berhati-hati.

Jemarinya mengenai sesuatu: dingin, kaku, dan bikin jantungnya berdesir-desir. Maymun menelan ludah. Dia mencoba menerka dan fokus pada sentuhannya.

"Hi-hi-hi!"

Sesuatu itu mengikik nyaring. Maymun memekik, lantas terpelanting.

Kilatan cahaya dari luar, sedikit membantu memberikan penerangan hingga ke dalam rumah. Mata Maymun terbelalak tak percaya. Ternyata sosok hantu perempuan berkebaya merah itu nyata adanya, bukan hanya di mimpinya saja. Hantu kuntilanak merah itu kini tepat berhadapan-hadapan dengannya.

Mata menyala Menur menyorot ke wajah Maymun. Saat menyeringai, sudut bibirnya panjang hampir menyentuh telinga.

Dengkul Maymun menggigil. Tanpa dia sadari selangkangannya basah mengeluarkan cairan yang berbau pesing. Maymun ketakutan hingga terkencing-kencing.

Akan tetapi, entah mendapat kekuatan dari mana, Maymun sanggup berdiri, kemudian dia berlari sekencang mungkin.

"Tolong! Tolong! Kun-kuntilanak merah!" teriak Maymun meminta pertolongan.

Maymun terus berlari tanpa arah. Dia hanya mengikuti naluri yang mengatakan bahwa: Pergi saja dari sana. Pergi sejauh mungkin hingga kuntilanak merah itu tak bisa lagi menemukannya.

Maymun salah besar. Energi tak kasat mata yang tanpa dia sadari, telah mempengaruhinya, menuntun Maymun untuk pergi menuju tempat di mana Maymun ikut andil dalam kematian Menur di malam jahanam tempo hari.

Maymun melompati kebun singkong, menerabas semak belukar, menabrak dan mematahkan tanaman apa saja yang menghalangi kakinya. Dia tidak peduli asal menjauhi rumahnya sendiri. Maymun terus berlari sejauh mungkin ke arah Barat.

Kesadaran Maymun kembali setelah tubuhnya menabrak pohon beringin yang tumbuh kokoh lagi tinggi. Maymun terjengkang. Persis sama ketika Arman, temannya, mendorong tubuh Menur secara kasar.

Sosok Menur kini berdiri tepat di depan Maymun. Menatapnya dengan kedua mata yang semerah darah dan amarah yang menyala-nyala terbalur dendam membara.

Maymun megap-megap hampir kehabisan napas. Ditambah dengan keberanian yang hilang keseluruhan, membuat jantung pria itu berdetak tak karuan.

"Ampun ... ampuni saya." Maymun terisak-isak seperti bocah kecil yang menginginkan hadiah. Kedua tangannya menangkup di depan dada, memohon agar Menur tidak menyakitinya.

"Di malam itu aku juga mengiba sepertimu, Maymun. Tapi kau sama sekali tidak memedulikan kesakitanku. Kalian berenam manusia keji. Kalian pantas mati dengan cara yang lebih mengenaskan daripada kematianku."

Sosok Menur yang kini hanya berjarak sejengkal saja dari Maymun, berbicara. Meski bibirnya yang bergerak-gerak, tetapi suara yang keluar dari mulutnya ialah suara berat laki-laki dewasa bercampur geraman beruang liar.

Maymun yang semakin meringkuk, sama sekali tidak diberi kesempatan untuk berbicara.

Jleb!

Tahu-tahu kelima kuku runcing Menur menancap telak ke tengkorak Maymun. Menembus hingga ke batang tenggorokannya. Maymun mendelik, kelojotan. Suaranya seperti lembu disembelih, sumbang tak karuan.

Sekali sentak, Menur mencabut kembali kukunya yang berdarah-darah. Makhluk itu mengikik tanpa jeda, lalu melayang, menghilang. Meninggalkan tubuh Maymun yang sudah tidak bernyawa dengan luka menganga pada kepala dan batang lehernya.

~AA~

Related chapters

  • Dendam Kuntilanak Merah   9. Menemui Dukun Sakti Mandraguna

    Sabtu Pahing yang gusar. Segusar hati Hasnah yang tak kunjung jua mendapat kabar akan keberadaan Menur. Genap tiga puluh hari sudah putrinya itu menghilang, tapi segala upaya yang dia maupun warga lakukan, tak jua membuahkan hasil.Tempo hari ketika mereka gagal melakukan pencarian di hari pertama, esoknya mereka melakukan pencarian kembali, bahkan Sanusi mengikuti saran para tetua adat kampung untuk bertanya pada seseorang yang paham perihal dunia gaib, Pakdo Ramli, dukun sakti yang tinggal menyendiri di tepian sungai Batanghari.Kala itu sore hendak mendekati senja, ketika semburat jingga masih terlihat di sela-sela dedaunan pohon karet. Sanusi duduk manis di boncengan sepeda ontel yang dikayuh Ujang, asisten kepercayaannya, menuju kediaman Pakdo Ramli. Sanusi kalut, putus asa dan berusaha demi Hasnah agar wanita itu mau makan meski hanya sesuap nasi.Atas kaduan Wati yang selalu menemani Hasnah, Sanusi tahu bahwa Hasnah tidak berniat hidup lagi. Dia menghindari makan, tidur, dan min

    Last Updated : 2022-08-11
  • Dendam Kuntilanak Merah   10. Desa Kumpeh Geger

    Meski sudah tahu bahwa pria di hadapannya adalah dukun sakti yang kata orang-orang: 'Tak perlu lagi memberitahu tujuan kita datang menemuinya, sebab tak ada satu pun rahasia yang bisa disembunyikan pada Pakdo Ramli', tetapi Sanusi dan Ujang tetap saja merasa terheran-heran.Bagian dalam gubuk, tidak kalah seramnya dengan bagian luar. Dinding rumah berhiaskan berbagai macam keris yang beragam bentuk dan ukuran, serta tengkorak dan tanduk kijang yang bersisian.Pakdo Ramli duduk di belakang meja yang mengepulkan asap dari dupa. Dupa tersebut berjejer dengan bermacam sesajen lainnya: segelas kopi, segelas air putih, segelas susu, kembang tujuh rupa, ayam cemani, dan keris berlekuk tiga.Tanpa diperintah lagi, Sanusi memberi kode pada Ujang agar duduk di tikar pandan yang tergelar tak jauh dari mereka berdiri."Saya sudah tahu maksud kedatangan kalian kemari. Jika seorang pemimpin kampung berpayah-payah harus menempuh perjalanan jauh, tentulah ada perkara yang tidak mudah dipecahkan, bukan

    Last Updated : 2022-08-11
  • Dendam Kuntilanak Merah   11. Malam Pernikahan Berdarah

    Kuak lembu diselingi derik jangkrik mengisi kesunyian malam Desa Niaso, sebuah desa yang berjarak tiga desa saja dari Desa Kumpeh. Berbeda sekali dengan suasana tadi siang, kini desa itu diliputi oleh sepi yang mencengkam. Entahlah, seperti ada yang aneh. Suhu udaranya pun dingin menusuk kulit.Di sebuah rumah berhalaman luas, sampah-sampah sisa pembungkus makanan para tamu berserak di sana-sini. Tenda-tenda yang masih terpancang di tengah halaman, menandakan si empunya baru saja melaksanakan hajatan besar-besaran.Pak Broto menikahkan putri semata wayangnya, Ratna, dengan pemuda kekar nan tampan dari luar desa. Samin berhasil memikat hati dan mempersunting perempuan itu hanya dalam kurun waktu dua bulan pendekatan saja. Anak gadis juragan kaya itu terbuai dalam sejuta janji manis yang diberikan Samin beserta mimpi-mimpi yang masih direncanakannya.Dari teras rumah, lampu kamar Ratna terlihat menyala. Ratna sendiri masih terjaga, di depan kaca rias dia tengah sibuk menyisir rambutnya y

    Last Updated : 2022-08-30
  • Dendam Kuntilanak Merah   12. Pelarian Samin

    Sedetik kemudian barulah Samin menyadari, kesalahan fatal yang baru saja dia perbuat telah berhasil menghancurkan masa depannya."Tidak! Tidaaak!"Samin histeris. Tanpa membuang waktu dia mendobrak daun jendela yang berada tepat di belakangnya, lantas keluar dari kamar dalam satu kali lompatan.Samin berlari sekencang mungkin tanpa menoleh ke belakang. Derap kakinya seperti orang kesetanan. Dia takut sekali orang-orang yang mengejarnya, berhasil menangkap dan menyeretnya ke kantor polisi.Selintas memori beberapa waktu lalu, memenuhi kepalanya.Malam itu temannya, Arman, mengajaknya berpesta minum minuman keras untuk merayakan atas berhasilnya Samin memikat hati Ratna, anak juragan kaya yang telah dia incar sejak lama. Gadis itu akhirnya bersedia menerima lamaran Samin dan mau menjadi istrinya. Arman ingin Samin membikin pesta bujangan.Mereka pun memutuskan untuk berkumpul di rumah Samin. Kebetulan tetangga yang tinggal tepat di sebelah rumah Samin sedang mengadakan acara hajatan. Seh

    Last Updated : 2022-08-30
  • Dendam Kuntilanak Merah   13. Nyawa dibalas Nyawa

    Sepenggal memori itu yang mengiringi derap kaki Samin dalam pelariannya. Sebagian ingatannya kabur karena dipengaruhi minuman memabukkan yang berhasil meracuni pikiran baik saat itu.Yang dia ingat, mereka bersama-sama membuntuti Menur. Yang Samin ingat, Arman yang memulai duluan. Mendorong gadis itu dan mencabik-cabik pakaian Menur seperti harimau yang sedang kelaparan.Samin terus berlari di kegelapan malam. Tujuannya ialah tempat di mana kelima temannya yang lain: Alwi, Ijat, Maymun, Wahab, Arman sering berkumpul untuk bermain kartu domino.Sedetik pun Samin tidak berhenti untuk mengistirahatkan diri. Meski napasnya tinggal satu-satu, meski baju kemeja di badannya sudah basah oleh peluh. Meski kakinya sudah lecet, luka, karena tersandung batu atau pun terkena tanaman menjalar yang berduri. Samin tidak peduli. Yang penting saat ini dia segera mendapat perlindungan dari teman-temannya yang lain.Mata Samin sudah menangkap bangunan persegi empat persis di tepi jalan raya, sebuah gubuk

    Last Updated : 2022-08-30
  • Dendam Kuntilanak Merah   14. Kematian Empat Pemuda

    "Kenapa aku tak kalian beri tahu?""Karena kau terlalu sibuk dengan pesta pernikahanmu. Lagi pula, kami tak ingin merusak kebahagiaanmu," jawab Ijat takut-takut."Bagaimana dengan Arman?""Sudah lama kami tidak mendengar kabar darinya." Ijat menjawab."Ini karena ide gila darinya! Duda haram jadah!" Samin mengumpat. "Kenapa bukan dia saja yang diteror hantu gadis itu? Kenapa harus aku?"Alwi menggeleng-gelengkan kepala tanda tidak setuju. "Kita ikut andil di malam itu, Min. Apa kau lupa? Bahkan kau melakukannya setelah Arman."Samin semakin terpuruk. Dia jatuh terduduk di hadapan tiga pasang kaki teman-temannya. "Andai saja aku tidak minum tuak terlalu banyak malam itu." Samin kembali tergugu. "Apa yang harus aku lakukan sekarang? Aku sekarang ialah seorang buronan. Aku sudah membunuh istriku sendiri!""Bagaimana kalau kita ke rumah Arman saja? Sekalian melihat kondisinya. Mungkin dia punya jalan keluar untuk masalah ini." Wahab memberi ide.Bukan tanpa alasan. Di antara mereka memang

    Last Updated : 2022-08-30
  • Dendam Kuntilanak Merah   15. Sakit Kepala yang Mendera

    Sanusi memijit-mijit kedua pelipisnya. Dia merasakan sakit kepala yang tiada tara: berdenyut-denyut, mengentak membuatnya tak bisa lagi berpikir jernih. Rasanya seperti kepalanya sedang dihantam palu raksasa saja. Padahal sejak sejam yang lalu, dia sudah meminum obat pereda nyeri yang dibeli istrinya di warung depan rumah.Bagaimana dia tidak mendapatkan sakit kepala yang hebat, kasus hilangnya Menur masih menjadi sebuah misteri yang sama sekali belum ditemukan titik terangnya. Ditambah lagi ada penemuan mayat warga desa lain yang ditemukan di desa yang dia pimpin. Tentu hal ini bakal menjadi bahan kecurigaan pihak kepolisian, bahwa salah seorang warganya adalah pelaku pembunuhan.Belum lagi Sanusi juga harus memikirkan teka-teki yang diberikan Pakdo Ramli. Sanusi hanya disuruh menunggu saja, tetapi dia sendiri pun tidak tahu apakah yang dimaksud dukun sakti itu. Hal apakah yang bakal terjadi, yang menurut Pakdo Ramli ialah jawaban dari segala perkara yang menimpa? Ah ... Sanusi benar-

    Last Updated : 2022-08-30
  • Dendam Kuntilanak Merah   16. Sebuah Teka-Teki

    Ujang tidak bertanya lagi sebab dia tidak ingin kepala kampung itu berubah pikiran, lantas mengajaknya ikut serta. Sudah cukup terakhir kali Ujang mendapat sorotan mata tajam dari dukun itu. Demi apa pun, dia tidak menginginkannya lagi.Ujang berdiri di pekarangan rumah, seraya menatap kepergian Sanusi hingga menghilang di tikungan jalan merah berbatu.~AA~Sanusi tiba di gubuk Pakdo Ramli tepat tengah hari. Di saat mentari bersinar dengan garangnya. Di saat tak satu pun burung yang berani berkicau atau binatang lain bersuara. Kata orang-orang jaman dulu, tengah hari ialah waktu di mana makhluk bunian berkeliaran mencari makan atau mangsa, seperti: hantu kopek yang menculik anak-anak, hantu air yang menarik seseorang saat berenang sendirian, atau penguasa hutan yang membikin pengelana tersesat tanpa arah.Pintu gubuk Pakdo Ramli tertutup rapat. Meski Sanusi agak bingung, dia tidak kehabisan akal. Setelah menyandarkan sepeda ontel milik Ujang ke pohon terdekat, Sanusi berjalan memutari

    Last Updated : 2022-08-30

Latest chapter

  • Dendam Kuntilanak Merah   56. Sebuah Amanat

    Senyum Pakdo Ramli mengembang penuh wibawa. "Pakdo ingin berpamitan padamu, Nak. Entah kapan kita bisa berjumpa lagi. Rasanya belum puas jika Pakdo tidak berpesan padamu.""Apa itu, Pakdo?" Gadis penasaran."Kau gadis istimewa. Teruslah menebar welas asih. Bantulah sesama makhluk yang membutuhkan bantuanmu, Nak. Kelebihan yang kau punya, jadikan ladang amal bagimu sendiri." Pakdo Ramli menepuk-nepuk pundak Gadis yang terdiam mendengarkan amanat dari dukun sakti itu.Pakdo Ramli lantas berbalik badan, mulai melangkah meninggalkan kebun. Sanusi dan Ujang turut mengantarkan kepergiannya."Sebelum pergi, ada baiknya Pakdo mampir ke warung bakso saya dulu, Pakdo. Saya kasih secara cuma-cuma." Ujang menawarkan."Bagaimana denganku?" Sanusi bersuara. "Perutku juga lapar, Ujang. Tak kasihankah kau padaku, bekas bosmu ini? Setelah ini aku masih akan menempuh perjalanan jauh hingga sampai ke rumah.""Boleh, Pak, boleh. Apa, sih, yang tidak buat Bapak."Percakapan mereka terus berlanjut hingga t

  • Dendam Kuntilanak Merah   55. Pemakaman

    Gerimis membasahi sebuah tempat pemakamam umum di Desa Kumpeh kala senja hari. Para pelayat sejak tadi telah pulang menuju rumah mereka masing-masing. Yang tersisa hanya beberapa orang yang mana wajah mereka terbalut duka lara: Pakdo Ramli, Sanusi, Teh Reni, Nopi, Gadis, serta Ujang yang setia mendekap istrinya yang masih menangis pilu.Tiada yang menyangka sedikit pun, Hasnah meninggalkan dunia selepas jasad Menur diketemukan. Ternyata selama ini dia terus menunggu, hingga pada akhirnya benar-benar pergi setelah mendapatkan kabar yang dinanti-nantikan.Hasnah pun seperti ingin dikebumikan satu liang lahat bersama putrinya, Menur. Hal itu akhirnya terjadi pada hari ini.Gadis yang berdiri di sebelah Nopi, mendekatkan kepalanya ke sepupunya itu lantas berbisik, "Baru sekarang aku melihat cinta seorang ibu yang benar-benar besar untuk anaknya, Nop," ucap Gadis lirih. "Tiba-tiba aja aku jadi pengin pulang dan peluk Ibu," katanya lagi.Nopi tidak bisa berkata-kata. Ucapan Gadis benar adan

  • Dendam Kuntilanak Merah   54. Mendung di Langit Desa Kumpeh

    Teh Reni, Gadis, juga Nopi pun tak mau ketinggalan. Mereka terlanjur ikut campur dan tidak ingin melewatkan perkembangan masalah itu. Kini mereka juga sudah berada di kebun Teh Reni, turut menyaksikan penggalian, meski tubuh dan mata mereka lelah karena menahan kantuk sepanjang malam.Oleh karena ada kejadian yang memancing penasaran, beberapa warga yang lewat menjadi mampir dan ikut menonton. Alhasil kebun Teh Reni kini dikelilingi oleh banyak warga.Wati dan Hasnah baru saja tiba. Tertatih-tatih wanita tua itu berusaha menyeruak kerumunan warga. Kedatangannya disambut Sanusi yang langsung ikut memapahnya.Hasnah menatap heran Sanusi sebentar. Dia agak susah mengenali postur Sanusi yang tak lagi sama."Mak Hasnah.""Ini kau, si kepala kampung, Sanusi?""Ya, Mak. Mari ikuti saya."Mereka kembali melangkah mendekati sebuah lubang bekas galian. Di sebelah lubang, tergelar selembar tikar yang di atasnya terdapat tengkorak dan tulang belulang manusia. Tak jauh dari tulang belulang itu, ad

  • Dendam Kuntilanak Merah   53. Penemuan Tulang Belulang

    Mentari pagi bersinar hangat, berhasil mengusir kabut, lalu mengenyahkan hawa dingin yang menusuk kulit kala subuh hari. Tunas pisang bermunculan, kuncup bunga mulai bermekaran, menandakan kehidupan baru telah datang. Sisa-sisa embun pun masih menempel pada daun dan rerumputan, tetapi siapa pun tahu, mereka akan menguap seiringnya waktu yang terus berjalan.Di ranjang besinya, Hasnah mengerjap-ngerjap. Sinar mentari yang masuk melalui celah-celah jendela, menyilaukan matanya yang dulu berbulu lentik, tetapi kini mulai rabun. Dia bangkit dari rebah, lalu duduk menjuntai kaki di tepian tempat tidur. Lama dipandanginya ubin kamar yang bolong-bolong di sebagian permukaannya itu.Gorden kamarnya disibak Wati yang baru saja melangkah masuk. "Emak sudah bangun?" Wati tersenyum ramah, memperlakukan Hasnah semanis biasanya, tapi mata wanita itu kali ini terlihat bengkak dan sembab."Kenapa dengan wajahmu, Wati? Apa kau habis menangis?"Lagi-lagi Wati hanya tersenyum sebagai jawaban. "Emak mau

  • Dendam Kuntilanak Merah   52. Jiwa yang Terbebas

    Ujang lantas memeluk Pakdo Ramli. "Terima kasih, Pakdo, terima kasih." Suara Ujang bergetar, terselubung rasa haru dan juga rasa syukur. Rasanya beban yang ikut diembannya selama ini, telah menguap bersama asap dari sisa api yang menghanguskan si makhluk merah."Kau juga harus berterima kasih pada bosmu, Ujang. Dia yang telah merawat dan menyimpan keris ini selama aku tak ada." Pakdo menepuk bahu Ujang yang bergetar karena menangis.Sanusi berjalan mendekati. "Kau masih saja cengeng, Ujang. Sudahlah. Malu sama umur." Sanusi dan Pakdo Ramli terbahak bersama. Ujang pun menjadi tersenyum, meski sembari menyeka air mata yang tersisa."Gadis mana, Pakdo?"Nopi yang telah turun dari mobil, menatap ke sekeliling, mencari keberadaan sepupunya.Pertanyaan Nopi membuat Pakdo Ramli teringat bahwa ada satu hal lagi yang harus dia selesaikan malam ini, yakni membebaskan jiwa Menur yang kini terkunci di dalam liontin yang tadi dibawa pergi oleh Gadis.~AA~Hari masih gelap. Waktu masih menunjukkan

  • Dendam Kuntilanak Merah   51. Musnahnya Makhluk Merah

    Makhluk merah sudah menghunuskan kelima kuku jarinya yang runcing nan tajam, bersiap menyerang Pakdo Ramli yang menatapnya dengan raut pasrah. Dukun itu bukan lah menyerah, hanya saja dia tidak bisa berkerlit. Gerakannya sudah terkunci, tidak bisa berpindah posisi lagi.Akan tetapi, tiba-tiba saja dari arah gerbang masuk kebun, klakson mobil yang berbunyi nyaring mengalihkan perhatian mereka berdua. Makhluk merah tersentak mundur saat lampu mobil Avanza hitam menyorot tepat ke arahnya."Pakdo Ramli!" Sanusi yang baru saja keluar dari bangku penumpang berlari menghampiri. "Ambil ini!" Sekuat tenaga pria itu melemparkan keris berlekuk tiga yang telah terbungkus kembali pada sarung kulitnya.Pakdo Ramli mengambil kesempatan. Pria itu berguling ke samping tiga kali, lalu melompat dengan bertumpu kaki kanannya. Tangan kirinya berhasil menyambar keris, lalu dengan tangan yang lain dia menarik gagang keris itu lantas merapalkan mantra yang telah dia pelajari selama bersamadi.Keris yang tela

  • Dendam Kuntilanak Merah   50. Pertarungan Sengit

    Pakdo Ramli mengeretakan rahang. Dadanya dipenuhi amarah menggebu-gebu. Namun, dia tidak boleh terpancing oleh ucapan makhluk merah tersebut. Pakdo Ramli harus bisa berpikir jernih dan mengikuti rencana matang yang telah terpatri di benaknya.Pakdo Ramli mengembuskan napas panjang-panjang. Suaranya terdengar lebih lembut dan membujuk."Menur, anakku. Kau ingat ini, Nak?" Tangan kanan Pakdo teracung di udara, memamerkan kalung liontin milik Menur pada makhluk merah itu. "Kalung ini hadiah dari emakmu di saat usiamu lima belas tahun. Apa kau masih ingat?"Ucapan Pakdo Ramli berhasil mengubah suasana. Angin tak lagi berputar-putar. Kilat yang tadinya menyambar-nyambar, kini berhenti.Separuh sosok menur yang melekat di wujud makhluk merah pun memberi sikap berbeda. Matanya yang tadi semerah bara, kini berubah hitam. "Emak ...," bisiknya lirih. Suaranya pun kembali menjadi milik Menur."Ya, Nak!" teriak Pakdo semakin lantang. "Lawan dia. Bebaskan belenggu yang menahanmu pada dirinya. Aku

  • Dendam Kuntilanak Merah   49. Pembebasan Menur

    Pakdo Ramli duduk bersila menghadap tepat ke arah pohon beringin. Bibirnya yang dikelilingi kumis dan jenggot putih tebal, sibuk komat-kamit merapal mantra. Matanya yang seperti mata elang, fokus menatap tajam. Tangannya bersedekap di depan dadanya yang bidang.Cahaya rembulan yang samar-samar, menyinari sebuah benda yang terselip pada kedua telapak tangannya. Benda itu ialah sebuah kalung liontin berwarna biru. Tertera huruf M pada bandulnya. Kalung itu milik Menur yang diberikan oleh Wati pada Pakdo Ramli, sebelum pria itu meninggalkan rumah Ujang beberapa waktu lalu.Berdasarkan penerawangan Pakdo, jiwa Menur hampir bersatu dengan energi gelap dari makhluk merah penguasa pohon beringin. Menur akan kehilangan kendali dan melupakan jati dirinya jika tidak segera diselamatkan.Untuk itu Pakdo membutuhkan sebuah barang milik Menur yang akan dijadikan alat pemancing agar Menur ingat dan kembali pada dirinya yang dulu."Tunggu sebentar, Pakdo," kata Wati ketika Pakdo Ramli menanyakan per

  • Dendam Kuntilanak Merah   48. Taktik

    Pakdo Ramli memperlihatkan bekas luka yang terdapat pada lehernya di bagian sebelah kanan. Wati meringis melihatnya. Luka itu berlubang cukup dalam."Dengan kekuatannya pula, aku dilemparkan hingga ke tebing jurang sana." Pakdo Ramli melanjutkan cerita. "Hingga akhirnya aku tercebur ke arus sungai yang deras. Aku bukan perenang yang handal. Sekuat tenaga aku mencoba mempertahankan diri. Lalu di tepian sungai dekat berbatuan besar, aku melihat Surti.""Lalu, Pakdo?" Nopi kian penasaran."Ada tiupan angin entah dari mana, mendorong tubuhku ke tepian. Di situlah akhirnya aku selamat, meski leherku berdarah-darah."Gadis mengembuskan napas. "Itu Surti, Pakdo. Seperti itulah caranya dia menolongku di malam tempo hari.""Lantas, apa yang Pakdo lakukan selama ini? Kenapa tidak pulang ke rumah Pakdo sendiri?" tanya Ujang."Aku memutuskan pergi dari desa ini, menuju tanah kelahiran kakek buyutku. Di sana aku semadi dan memperdalam ilmu kebatinan. Sengaja, agar setelah aku merasa siap, aku bisa

DMCA.com Protection Status