Sanusi memijit-mijit kedua pelipisnya. Dia merasakan sakit kepala yang tiada tara: berdenyut-denyut, mengentak membuatnya tak bisa lagi berpikir jernih. Rasanya seperti kepalanya sedang dihantam palu raksasa saja. Padahal sejak sejam yang lalu, dia sudah meminum obat pereda nyeri yang dibeli istrinya di warung depan rumah.Bagaimana dia tidak mendapatkan sakit kepala yang hebat, kasus hilangnya Menur masih menjadi sebuah misteri yang sama sekali belum ditemukan titik terangnya. Ditambah lagi ada penemuan mayat warga desa lain yang ditemukan di desa yang dia pimpin. Tentu hal ini bakal menjadi bahan kecurigaan pihak kepolisian, bahwa salah seorang warganya adalah pelaku pembunuhan.Belum lagi Sanusi juga harus memikirkan teka-teki yang diberikan Pakdo Ramli. Sanusi hanya disuruh menunggu saja, tetapi dia sendiri pun tidak tahu apakah yang dimaksud dukun sakti itu. Hal apakah yang bakal terjadi, yang menurut Pakdo Ramli ialah jawaban dari segala perkara yang menimpa? Ah ... Sanusi benar-
Ujang tidak bertanya lagi sebab dia tidak ingin kepala kampung itu berubah pikiran, lantas mengajaknya ikut serta. Sudah cukup terakhir kali Ujang mendapat sorotan mata tajam dari dukun itu. Demi apa pun, dia tidak menginginkannya lagi.Ujang berdiri di pekarangan rumah, seraya menatap kepergian Sanusi hingga menghilang di tikungan jalan merah berbatu.~AA~Sanusi tiba di gubuk Pakdo Ramli tepat tengah hari. Di saat mentari bersinar dengan garangnya. Di saat tak satu pun burung yang berani berkicau atau binatang lain bersuara. Kata orang-orang jaman dulu, tengah hari ialah waktu di mana makhluk bunian berkeliaran mencari makan atau mangsa, seperti: hantu kopek yang menculik anak-anak, hantu air yang menarik seseorang saat berenang sendirian, atau penguasa hutan yang membikin pengelana tersesat tanpa arah.Pintu gubuk Pakdo Ramli tertutup rapat. Meski Sanusi agak bingung, dia tidak kehabisan akal. Setelah menyandarkan sepeda ontel milik Ujang ke pohon terdekat, Sanusi berjalan memutari
Di sudut ruangan tanpa penerangan, Arman menggigil. Bahunya yang kurus ringkih berselimutkan kain sarung yang penuh tambalan di sana-sini. Pria itu ketakutan. Matanya nyalang menatap sekitar, seolah-olah ada sesuatu yang menakutkan sedang mengincar nyawanya.Semenjak Arman mendengar kabar tentang kematian kelima temannya, dia tidak pernah lagi keluar dari rumah. Tiap pintu, jendela, dia kunci dari dalam. Bahkan seekor nyamuk kebun pun tak dibiarkan bisa lolos karena tiap celah telah Arman tutup rapat memakai kepingan papan kayu bulian, dipaku kuat dari dalam. Arman begitu ketakutan setengah mati.Sesungguhnya teror demi teror sudah menghantuinya sejak lama. Namun, Arman tidak begitu ambil peduli. Dia pikir mana bisa hantu penasaran bisa sampai merenggut nyawa manusia. Yang dia tahu, hantu hanya bisa menakut-nakuti atau paling parah hanya bisa membikin manusia demam tinggi atau ketempelan saja.Siapa sangka, hantu Menur mampu melakukan aksi brutal. Terbukti dengan kematian Maymun, Samin
Arman bergeser pelan-pelan, turun dari ranjang, melangkah mengendap-endap. Dia berusaha tidak menghasilkan suara sedikit pun.Arman ingat ada sebuah lubang kecil di pintu kamarnya yang tempo hari dia tutupi menggunakan potongan tripleks bekas. Lebih baik Arman mencoba mengintip saja dari sana, ketimbang menanti yang tak pasti sembari menduga-duga.Untungnya potongan tripleks itu tidak sulit dibuka. Arman mendekatkan sebelah matanya ke pintu, mengintip. Namun, pria kurus itu salah terka. Ternyata sosok Menur yang telah berubah wujud menjadi lebih mengerikan, sedang menyeringai ke arahnya. Jarak mereka hanya terhalang daun pintu saja.Arman tak sempat lari maupun mengelak ketika Menur menancapkan kukunya yang runcing tajam ke bola mata kanan pria itu."Arrggh!"Teriakan Arman membungkam katak rawa, menghentikan jangkrik yang mengerik, membuat burung hantu mengarahkan kepalanya ke sumber suara.Di detik-detik terakhir, Arman masih berusaha berontak melepaskan diri. Namun sayangnya kuku Me
Malam ini Desa Kumpeh diselimuti kabut tebal yang tak biasa. Jarak pandang ke depan hanya terbatas hingga beberapa meter saja, selebihnya gelap dan pekat. Padahal tidak ada siapa pun yang membakar sampah sembarangan. Bulan ini pun bukan pula musim kemarau yang biasanya berkabut akibat kebakaran hutan yang terjadi karena gesekan ranting-ranting kering.Semenjak adanya kematian beberapa orang pria secara mengenaskan, tak ada lagi warga desa yang berani unjuk hidung di luar rumah pada waktu senja hingga fajar menjelang. Mereka takut sekali bakal menjadi 'korban' berikutnya.Desas-desus dan bisik-bisik di antara warga mengatakan bahwa kematian keenam pemuda akibat dijadikan tumbal dari pabrik karet getah yang baru saja dibangun di wilayah Kota Jambi.Tentu warga tidak berani mengambil risiko. Mereka masih ingin hidup lebih lama. Mereka masih ingin merasakan bernapas hingga usia tua, bukan menjadi tumbal keserakahan manusia tak beriman yang hanya memikirkan harta semata.Situasi mencekam se
Seketika nyali Sanusi yang biasanya besar menjadi menciut mendengar wasiat aneh dari dukun yang dianggap aneh oleh Sanusi sendiri.Bagaimana bisa dia kabur seorang diri? Bukankah itu dianggap pengecut dan tidak setia kawan? Apalagi dia ialah pemimpin kampung, ke mana tanggung jawabnya? Sedangkan dia sendiri yang meminta Pakdo Ramli ke sini untuk membantu memecahkan misteri hilangnya salah satu warganya. Nurani dan pikiran Sanusi berdebat tak terkendali."Turuti saja permintaanku!" Pakdo Ramli seperti bisa membaca segala perdebatan di hati Sanusi. Mau tidak mau, Sanusi hanya bisa mengangguk patuh. Lagi dan lagi.Pakdo Ramli kemudian duduk bersila di depan sesajen. Kedua tangannya bersandar pada lutut. Matanya terpejam. Bibirnya yang dinaungi kumis lebat bergerak-gerak sebab sedang merapal mantra-mantra.Sanusi memperhatikan aksi dukun tersebut selama tiga puluh menit, tak ada yang terjadi. Namun, tiba-tiba terdengar suara ledakan persis di atas gua tersembunyi yang hanya bisa dilihat Pa
Selama satu minggu Sanusi merahasiakan peristiwa itu. Dia tidak berani menceritakan kejadian yang hingga kini membuat bulu kuduknya berdiri, kepada siapa pun termasuk istrinya.Di dalam hati Sanusi, ada perasaan bersalah yang menyerang sanubari baiknya. Namun di sisi yang lain, dia takut sekali jika nanti pada akhirnya dia yang akan disalahkan oleh orang lain.Pekerjaan Sanusi menjadi tidak beres. Ada saja yang terlalai. Makannya pun tak enak, tidur pun menjadi tak lelap. Sanusi serba salah. Hendak mengadu, tapi kepada siapa? Dia benar-benar hilang akal.Satu-satunya orang yang bisa diajak diskusi saat ini ialah Ujang, asisten pribadinya yang sejak beberapa hari lalu memberikan tatapan penasaran. Mungkin karena Uajng mendapati si kepala kampung berperilaku tidak seperti biasanya: menjadi pemurung dan lebih sering melamun di belakang meja kerjanya."Ujang." Sanusi berkata ragu-ragu.Ujang yang sedang merapikan berkas-berkas berisi laporan para warga desa, meninggalkan pekerjaannya lalu
"Kalau Bapak mau, saya akan menemani Bapak ke sana." Ujang mengangguk mantap.Meski penakut, Ujang ialah asisten yang setia. Demi melihat bosnya tidak bergundah gulana lagi, pemuda itu bersiap melawan rasa ketakutannya.Bagi Ujang seorang pemimpin desa haruslah dalam keadaan sehat jiwa dan raga. Sedangkan kondisi Sanusi sekarang, tidak mengarah ke sana. Beberapa kali Sanusi salah menandatangi berkas-berkas warga. Beberapa kali Ujang mengoreksinya. Ujang tidak mau hal ini terus-terusan terjadi dan ujung-ujungnya dia juga yang ikut kesusahan.~AA~Untuk kedua kalinya, Ujang ke tempat itu. Gubuk Pakdo Ramli yang kini terlihat lebih menyeramkan. Halaman yang dulunya tidak dtumbuhi rumput liar, kini pagarnya telah dirambati tanaman menjalar yang memiliki bulu-bulu halus pada daun serta seluruh batangnya.Sanusi dan Ujang saling pandang. Tempat itu kini benar-benar seperti bangunan tak berpenghuni. Semakin menyeramkan."Bapak cek saja dulu ke dalam. Mungkin Pakdo Ramli sedang semedi atau mel
Senyum Pakdo Ramli mengembang penuh wibawa. "Pakdo ingin berpamitan padamu, Nak. Entah kapan kita bisa berjumpa lagi. Rasanya belum puas jika Pakdo tidak berpesan padamu.""Apa itu, Pakdo?" Gadis penasaran."Kau gadis istimewa. Teruslah menebar welas asih. Bantulah sesama makhluk yang membutuhkan bantuanmu, Nak. Kelebihan yang kau punya, jadikan ladang amal bagimu sendiri." Pakdo Ramli menepuk-nepuk pundak Gadis yang terdiam mendengarkan amanat dari dukun sakti itu.Pakdo Ramli lantas berbalik badan, mulai melangkah meninggalkan kebun. Sanusi dan Ujang turut mengantarkan kepergiannya."Sebelum pergi, ada baiknya Pakdo mampir ke warung bakso saya dulu, Pakdo. Saya kasih secara cuma-cuma." Ujang menawarkan."Bagaimana denganku?" Sanusi bersuara. "Perutku juga lapar, Ujang. Tak kasihankah kau padaku, bekas bosmu ini? Setelah ini aku masih akan menempuh perjalanan jauh hingga sampai ke rumah.""Boleh, Pak, boleh. Apa, sih, yang tidak buat Bapak."Percakapan mereka terus berlanjut hingga t
Gerimis membasahi sebuah tempat pemakamam umum di Desa Kumpeh kala senja hari. Para pelayat sejak tadi telah pulang menuju rumah mereka masing-masing. Yang tersisa hanya beberapa orang yang mana wajah mereka terbalut duka lara: Pakdo Ramli, Sanusi, Teh Reni, Nopi, Gadis, serta Ujang yang setia mendekap istrinya yang masih menangis pilu.Tiada yang menyangka sedikit pun, Hasnah meninggalkan dunia selepas jasad Menur diketemukan. Ternyata selama ini dia terus menunggu, hingga pada akhirnya benar-benar pergi setelah mendapatkan kabar yang dinanti-nantikan.Hasnah pun seperti ingin dikebumikan satu liang lahat bersama putrinya, Menur. Hal itu akhirnya terjadi pada hari ini.Gadis yang berdiri di sebelah Nopi, mendekatkan kepalanya ke sepupunya itu lantas berbisik, "Baru sekarang aku melihat cinta seorang ibu yang benar-benar besar untuk anaknya, Nop," ucap Gadis lirih. "Tiba-tiba aja aku jadi pengin pulang dan peluk Ibu," katanya lagi.Nopi tidak bisa berkata-kata. Ucapan Gadis benar adan
Teh Reni, Gadis, juga Nopi pun tak mau ketinggalan. Mereka terlanjur ikut campur dan tidak ingin melewatkan perkembangan masalah itu. Kini mereka juga sudah berada di kebun Teh Reni, turut menyaksikan penggalian, meski tubuh dan mata mereka lelah karena menahan kantuk sepanjang malam.Oleh karena ada kejadian yang memancing penasaran, beberapa warga yang lewat menjadi mampir dan ikut menonton. Alhasil kebun Teh Reni kini dikelilingi oleh banyak warga.Wati dan Hasnah baru saja tiba. Tertatih-tatih wanita tua itu berusaha menyeruak kerumunan warga. Kedatangannya disambut Sanusi yang langsung ikut memapahnya.Hasnah menatap heran Sanusi sebentar. Dia agak susah mengenali postur Sanusi yang tak lagi sama."Mak Hasnah.""Ini kau, si kepala kampung, Sanusi?""Ya, Mak. Mari ikuti saya."Mereka kembali melangkah mendekati sebuah lubang bekas galian. Di sebelah lubang, tergelar selembar tikar yang di atasnya terdapat tengkorak dan tulang belulang manusia. Tak jauh dari tulang belulang itu, ad
Mentari pagi bersinar hangat, berhasil mengusir kabut, lalu mengenyahkan hawa dingin yang menusuk kulit kala subuh hari. Tunas pisang bermunculan, kuncup bunga mulai bermekaran, menandakan kehidupan baru telah datang. Sisa-sisa embun pun masih menempel pada daun dan rerumputan, tetapi siapa pun tahu, mereka akan menguap seiringnya waktu yang terus berjalan.Di ranjang besinya, Hasnah mengerjap-ngerjap. Sinar mentari yang masuk melalui celah-celah jendela, menyilaukan matanya yang dulu berbulu lentik, tetapi kini mulai rabun. Dia bangkit dari rebah, lalu duduk menjuntai kaki di tepian tempat tidur. Lama dipandanginya ubin kamar yang bolong-bolong di sebagian permukaannya itu.Gorden kamarnya disibak Wati yang baru saja melangkah masuk. "Emak sudah bangun?" Wati tersenyum ramah, memperlakukan Hasnah semanis biasanya, tapi mata wanita itu kali ini terlihat bengkak dan sembab."Kenapa dengan wajahmu, Wati? Apa kau habis menangis?"Lagi-lagi Wati hanya tersenyum sebagai jawaban. "Emak mau
Ujang lantas memeluk Pakdo Ramli. "Terima kasih, Pakdo, terima kasih." Suara Ujang bergetar, terselubung rasa haru dan juga rasa syukur. Rasanya beban yang ikut diembannya selama ini, telah menguap bersama asap dari sisa api yang menghanguskan si makhluk merah."Kau juga harus berterima kasih pada bosmu, Ujang. Dia yang telah merawat dan menyimpan keris ini selama aku tak ada." Pakdo menepuk bahu Ujang yang bergetar karena menangis.Sanusi berjalan mendekati. "Kau masih saja cengeng, Ujang. Sudahlah. Malu sama umur." Sanusi dan Pakdo Ramli terbahak bersama. Ujang pun menjadi tersenyum, meski sembari menyeka air mata yang tersisa."Gadis mana, Pakdo?"Nopi yang telah turun dari mobil, menatap ke sekeliling, mencari keberadaan sepupunya.Pertanyaan Nopi membuat Pakdo Ramli teringat bahwa ada satu hal lagi yang harus dia selesaikan malam ini, yakni membebaskan jiwa Menur yang kini terkunci di dalam liontin yang tadi dibawa pergi oleh Gadis.~AA~Hari masih gelap. Waktu masih menunjukkan
Makhluk merah sudah menghunuskan kelima kuku jarinya yang runcing nan tajam, bersiap menyerang Pakdo Ramli yang menatapnya dengan raut pasrah. Dukun itu bukan lah menyerah, hanya saja dia tidak bisa berkerlit. Gerakannya sudah terkunci, tidak bisa berpindah posisi lagi.Akan tetapi, tiba-tiba saja dari arah gerbang masuk kebun, klakson mobil yang berbunyi nyaring mengalihkan perhatian mereka berdua. Makhluk merah tersentak mundur saat lampu mobil Avanza hitam menyorot tepat ke arahnya."Pakdo Ramli!" Sanusi yang baru saja keluar dari bangku penumpang berlari menghampiri. "Ambil ini!" Sekuat tenaga pria itu melemparkan keris berlekuk tiga yang telah terbungkus kembali pada sarung kulitnya.Pakdo Ramli mengambil kesempatan. Pria itu berguling ke samping tiga kali, lalu melompat dengan bertumpu kaki kanannya. Tangan kirinya berhasil menyambar keris, lalu dengan tangan yang lain dia menarik gagang keris itu lantas merapalkan mantra yang telah dia pelajari selama bersamadi.Keris yang tela
Pakdo Ramli mengeretakan rahang. Dadanya dipenuhi amarah menggebu-gebu. Namun, dia tidak boleh terpancing oleh ucapan makhluk merah tersebut. Pakdo Ramli harus bisa berpikir jernih dan mengikuti rencana matang yang telah terpatri di benaknya.Pakdo Ramli mengembuskan napas panjang-panjang. Suaranya terdengar lebih lembut dan membujuk."Menur, anakku. Kau ingat ini, Nak?" Tangan kanan Pakdo teracung di udara, memamerkan kalung liontin milik Menur pada makhluk merah itu. "Kalung ini hadiah dari emakmu di saat usiamu lima belas tahun. Apa kau masih ingat?"Ucapan Pakdo Ramli berhasil mengubah suasana. Angin tak lagi berputar-putar. Kilat yang tadinya menyambar-nyambar, kini berhenti.Separuh sosok menur yang melekat di wujud makhluk merah pun memberi sikap berbeda. Matanya yang tadi semerah bara, kini berubah hitam. "Emak ...," bisiknya lirih. Suaranya pun kembali menjadi milik Menur."Ya, Nak!" teriak Pakdo semakin lantang. "Lawan dia. Bebaskan belenggu yang menahanmu pada dirinya. Aku
Pakdo Ramli duduk bersila menghadap tepat ke arah pohon beringin. Bibirnya yang dikelilingi kumis dan jenggot putih tebal, sibuk komat-kamit merapal mantra. Matanya yang seperti mata elang, fokus menatap tajam. Tangannya bersedekap di depan dadanya yang bidang.Cahaya rembulan yang samar-samar, menyinari sebuah benda yang terselip pada kedua telapak tangannya. Benda itu ialah sebuah kalung liontin berwarna biru. Tertera huruf M pada bandulnya. Kalung itu milik Menur yang diberikan oleh Wati pada Pakdo Ramli, sebelum pria itu meninggalkan rumah Ujang beberapa waktu lalu.Berdasarkan penerawangan Pakdo, jiwa Menur hampir bersatu dengan energi gelap dari makhluk merah penguasa pohon beringin. Menur akan kehilangan kendali dan melupakan jati dirinya jika tidak segera diselamatkan.Untuk itu Pakdo membutuhkan sebuah barang milik Menur yang akan dijadikan alat pemancing agar Menur ingat dan kembali pada dirinya yang dulu."Tunggu sebentar, Pakdo," kata Wati ketika Pakdo Ramli menanyakan per
Pakdo Ramli memperlihatkan bekas luka yang terdapat pada lehernya di bagian sebelah kanan. Wati meringis melihatnya. Luka itu berlubang cukup dalam."Dengan kekuatannya pula, aku dilemparkan hingga ke tebing jurang sana." Pakdo Ramli melanjutkan cerita. "Hingga akhirnya aku tercebur ke arus sungai yang deras. Aku bukan perenang yang handal. Sekuat tenaga aku mencoba mempertahankan diri. Lalu di tepian sungai dekat berbatuan besar, aku melihat Surti.""Lalu, Pakdo?" Nopi kian penasaran."Ada tiupan angin entah dari mana, mendorong tubuhku ke tepian. Di situlah akhirnya aku selamat, meski leherku berdarah-darah."Gadis mengembuskan napas. "Itu Surti, Pakdo. Seperti itulah caranya dia menolongku di malam tempo hari.""Lantas, apa yang Pakdo lakukan selama ini? Kenapa tidak pulang ke rumah Pakdo sendiri?" tanya Ujang."Aku memutuskan pergi dari desa ini, menuju tanah kelahiran kakek buyutku. Di sana aku semadi dan memperdalam ilmu kebatinan. Sengaja, agar setelah aku merasa siap, aku bisa