Beranda / Horor / Dendam Kuntilanak Merah / 21. Kegundahan Sanusi

Share

21. Kegundahan Sanusi

last update Terakhir Diperbarui: 2022-08-30 17:07:16
Selama satu minggu Sanusi merahasiakan peristiwa itu. Dia tidak berani menceritakan kejadian yang hingga kini membuat bulu kuduknya berdiri, kepada siapa pun termasuk istrinya.

Di dalam hati Sanusi, ada perasaan bersalah yang menyerang sanubari baiknya. Namun di sisi yang lain, dia takut sekali jika nanti pada akhirnya dia yang akan disalahkan oleh orang lain.

Pekerjaan Sanusi menjadi tidak beres. Ada saja yang terlalai. Makannya pun tak enak, tidur pun menjadi tak lelap. Sanusi serba salah. Hendak mengadu, tapi kepada siapa? Dia benar-benar hilang akal.

Satu-satunya orang yang bisa diajak diskusi saat ini ialah Ujang, asisten pribadinya yang sejak beberapa hari lalu memberikan tatapan penasaran. Mungkin karena Uajng mendapati si kepala kampung berperilaku tidak seperti biasanya: menjadi pemurung dan lebih sering melamun di belakang meja kerjanya.

"Ujang." Sanusi berkata ragu-ragu.

Ujang yang sedang merapikan berkas-berkas berisi laporan para warga desa, meninggalkan pekerjaannya lalu
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Dendam Kuntilanak Merah   22. Mencari Keberadaan Pakdo Ramli

    "Kalau Bapak mau, saya akan menemani Bapak ke sana." Ujang mengangguk mantap.Meski penakut, Ujang ialah asisten yang setia. Demi melihat bosnya tidak bergundah gulana lagi, pemuda itu bersiap melawan rasa ketakutannya.Bagi Ujang seorang pemimpin desa haruslah dalam keadaan sehat jiwa dan raga. Sedangkan kondisi Sanusi sekarang, tidak mengarah ke sana. Beberapa kali Sanusi salah menandatangi berkas-berkas warga. Beberapa kali Ujang mengoreksinya. Ujang tidak mau hal ini terus-terusan terjadi dan ujung-ujungnya dia juga yang ikut kesusahan.~AA~Untuk kedua kalinya, Ujang ke tempat itu. Gubuk Pakdo Ramli yang kini terlihat lebih menyeramkan. Halaman yang dulunya tidak dtumbuhi rumput liar, kini pagarnya telah dirambati tanaman menjalar yang memiliki bulu-bulu halus pada daun serta seluruh batangnya.Sanusi dan Ujang saling pandang. Tempat itu kini benar-benar seperti bangunan tak berpenghuni. Semakin menyeramkan."Bapak cek saja dulu ke dalam. Mungkin Pakdo Ramli sedang semedi atau mel

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-30
  • Dendam Kuntilanak Merah   23. Keris Berlekuk Tiga

    Pukul sembilan pagi. Kali ini Sanusi yang mengayuh sepeda dan Ujang yang duduk manis di boncengan belakang. Terakhir kali kaki Ujang keseleo akibat terburu-buru mengendarai sepeda ontelnya meninggalkan kediaman Pakdo Ramli yang tidak lagi berpenghuni. Tentu dengan kondisi pergelangan kaki yang cidera seperti itu, Ujang tidak mungkin membawa beban yang lebih berat dari berat badannya sendiri.Sebab jarak antara rumah Sanusi dan pohon beringin keramat tidak begitu jauh letaknya, Sanusi mengayuh sepeda pelan-pelan saja. Waktu yang dia butuhkan hanya tiga puluh menit untuk mencapai tempat itu.Udara lembab. Tadi subuh hujan deras membasahi bumi. Terlihat masih ada sisa-sisa buliran air pada daun-daun di kanan-kiri jalan yang mereka lewati. Seharusnya jika tidak ada peristiwa tidak menyenangkan di desa, pastilah suasana hati mereka menjadi menyenangkan. Namun, semenjak desa ditimpa berbagai kemalangan, pemandangan asri, udara sejuk, tidak lagi berhasil mengusir kegundahan dari benak dan per

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-30
  • Dendam Kuntilanak Merah   24. Sebongkah Hati yang Patah

    Seketika tubuh Sanusi lemas bagai kehilangan tulang. Apalagi tak jauh dari ikat kepala itu, terdapat sebelah sandal jepit Pakdo Ramli. Kuat dugaan mereka, dukun itu terjatuh ke dasar jurang yang di bawahnya terdapat sungai berarus deras.Kaki Sanusi tak kuat lagi menopang berat tubuhnya. Dia jatuh terduduk. Ujang yang melihat, segera mendekat.Dengan bibir bergetar Sanusi berkata, "Bagaimana ini, Jang? Apa yang harus aku lakukan? Bagaimana caraku menjelaskan pada Mak Hasnah tentang pencarian anaknya? Sedangkan satu-satunya orang yang bisa membantu kita, malah ... malah menjadi korban, Jang.""Mari kita pulang dulu, Pak. Lebih baik kita pulang saja. Kita bicarakan lagi setelah kita di rumah." Ujang menenangkan.Bersusah payah Ujang membantu si kepala kampung berdiri, lalu pemuda itu menggotong bahkan sesekali menyeret tubuh menggigil Sanusi ke arah sepeda yang terparkir.~AA~Seorang wanita melamun terbingkai dalam jendela kamarnya. Rutinnya masih sama, menerawang menatap ke arah area p

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-30
  • Dendam Kuntilanak Merah   25. Gadis Indigo

    Tiga puluh tahun kemudian ....Seorang pelajar berseragam putih abu-abu turun dari angkutan kota berwarna merah. Setelah membayar ongkos pada pak sopir, dia mengedarkan pandangan ke sekeliling. Sorot matanya berhenti pada sebuah warung makan di seberang trotoar tempat dia berdiri tercenung.Nama siswi itu ialah Gadis. Dia punya janji temu dengan Nopi, sepupunya. Nopi bilang akan mentraktir Gadis makan mi ayam bakso di warung yang sedang ramai diperbincangkan orang-orang. Kata Nopi lagi rasa mi ayam di situ enak sekali, sehingga selalu ramai oleh pengunjung.Memang benar, suasananya ramai. Sampai-sampai tidak ada lagi kursi yang kosong. Bahkan beberapa orang rela berdiri di teras warung untuk mengantre makan di situ.Itu sebabnya Nopi tiba di sana lebih dulu untuk mendapatkan tempat, supaya Gadis tidak terlalu lama menunggu. Gadis bermata sipit berkulit putih itu tentu letih sehabis pulang dari sekolah."Gadis!" Nopi, memiliki rambut bergelombang sebahu berpostur tomboi, melambai-lambai

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-30
  • Dendam Kuntilanak Merah   26. Permintaan Nopi

    Gadis bersiap-siap ketika pocong tersebut hendak melompat ke meja mereka. Kedua tangan Gadis serta-merta menutupi kedua mangkuk di hadapannya saat pocong itu ingin meludahi mangkuk-mangkuk bakso mereka. "Heh, pergi!" desis Gadis agak menghardik.Sosok pocong sejenak berhenti, seperti heran ada seseorang yang bisa mengetahui aksi dan keberadaannya.Nopi yang memperhatikan perilaku Gadis yang tak biasa, mengusap tengkuknya yang mendadak merinding. Apalagi ketika Gadis menyipitkan mata pertanda tak senang sembari mendongak menatap plafon ruangan yang terlihat kosong.Sosok pocong akhirnya melompat ke meja yang lain, meludahi tiap mangkuk-mangkuk bakso yang masih mengepulkan asap."Makanlah," perintah Gadis, "sudah gak apa-apa, kok.""Yakin gak apa-apa?" Nopi malah ragu.Gadis tergelak, lantas meraih sendok dan melakukan suapan pertama sebagai bukti ucapannya.Nopi tentu meniru. "Ah, rasanya biasa aja. Malah hambar," keluhnya. "Masih enak bakso Bang Ujang langgananku tiap ke rumah Kak Dani

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-30
  • Dendam Kuntilanak Merah   27. Pohon Beringin Angker

    Minggu siang yang terik dan berdebu. Di dalam mobil Avanza hitam, Gadis duduk termangu di bangku penumpang. Di sebelahnya, Nopi menyandarkan kepala ke bahu Gadis sembari terpejam.Hampir satu jam mereka menempuh perjalanan. Kata Teh Reni yang sejak tadi berceloteh di bangku depan, sebentar lagi mereka akan tiba di desa tujuan, Desa Kumpeh.Gadis sendiri cukup menikmati pemandangan yang terpampang di kiri jalan. Pepohonan rimbun menyejukkan mata, sangat jarang dia temui di sekitar rumahnya. Apalagi sekarang lagi musim buah duku. Buah yang kulitnya berwarna cokelat muda itu banyak sekali dijajakan di tepi-tepi jalan, dan itu menggiurkan bagi Gadis. Sepulang nanti dia berniat akan meminta Teh Reni mampir dulu membeli buah duku untuk ibunya di rumah.Mobil Avanza mulai melaju perlahan ketika memasuki jalanan belum beraspal. Permukaannya masih berupa berbatuan kasar berpadu tanah merah yang diratakan secara asal.Entah kenapa saat memasuki area ini, Gadis merasakan atmosfer yang berbeda, te

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-30
  • Dendam Kuntilanak Merah   28. Bakso Ujang

    Mereka berdua berjalan kaki sekitar lima belas menit, lalu tiba di simpang tiga dekat pangkalan ojek. Warung bakso Bang Ujang yang dimaksud Nopi hanya warung sederhana. Bangunan itu berukuran tak lebih dari tiga kali tiga meter persegi, hanya dikelilingi terpal biru dan beratap seng.Pria berusia lima puluhan menyambut mereka ramah. Badannya kurus, tampilannya seadanya. "Nak Nopi ke sini lagi?""Iya, Bang." Nopi mengangguk sopan sembari tersenyum. "Bang, kami pesan dua mangkuk bakso, ya. Minumnya air putih aja.""Siap, Nop." Ujang segera meracik pesanan para gadis itu.Gadis mengambil tempat duduk di bangku panjang sebelah Nopi. Badannya dicondongkan sedikit ke arah sepupunya itu sembari berbisik, "Kenapa kamu panggil 'Abang', tampilannya lebih tua dari dugaanku." Gadis protes. Tentu Nopi tergelak."Karena orang-orang sini memanggilnya begitu. Aku cuma ikutan aja."Tak lama, datang pengunjung lain, seorang ibu-ibu yang juga berjalan kaki seperti mereka. Tampaknya ibu-ibu itu juga menge

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-30
  • Dendam Kuntilanak Merah   29. Mata Batin Gadis

    Gadis dan Nopi melangkah pelan-pelan menuju kembali ke tempat di mana Teh Reni tengah menunggu mereka. Perut kedua gadis itu kini terasa kenyang, mata mereka pun menjadi mengantuk. Ditambah angin sepoi-sepoi yang berembus yang menerpa wajah mereka."Nopi kenal Bang Ujang udah lama, ya?" Tiba-tiba Gadis melemparkan tanya.Meski merasa heran, Nopi mengangguk sembari menjawab, "Dulu Bang Ujang berjualan bakso berkeliling sampai ke rumah Kak Dani. Tapi sekarang dia mangkal di warung yang tadi.""Oh ....""Kenapa, Dis?"Gadis menggeleng. "Gak apa-apa. Feeling-ku bilang kalau Bang Ujang mengetahui sesuatu. Cuma kayaknya dia sengaja merahasiakannya.""Mengenai apa?" Nopi masih belum mengerti. "Sikap Bang Ujang memang kayak gitu kalau ketemu orang baru." Bahu Nopi mengedik."Perihal kebun Teh Reni yang kata warga sini angker itu, lho." Gadis memutar bola matanya. "Masak kamu gak paham, sih?""He-he. Abis aku cuma fokus makan bakso aja. Keburu lapar." Nopi nyengir.Selebihnya Gadis memilih dia

    Terakhir Diperbarui : 2022-09-21

Bab terbaru

  • Dendam Kuntilanak Merah   56. Sebuah Amanat

    Senyum Pakdo Ramli mengembang penuh wibawa. "Pakdo ingin berpamitan padamu, Nak. Entah kapan kita bisa berjumpa lagi. Rasanya belum puas jika Pakdo tidak berpesan padamu.""Apa itu, Pakdo?" Gadis penasaran."Kau gadis istimewa. Teruslah menebar welas asih. Bantulah sesama makhluk yang membutuhkan bantuanmu, Nak. Kelebihan yang kau punya, jadikan ladang amal bagimu sendiri." Pakdo Ramli menepuk-nepuk pundak Gadis yang terdiam mendengarkan amanat dari dukun sakti itu.Pakdo Ramli lantas berbalik badan, mulai melangkah meninggalkan kebun. Sanusi dan Ujang turut mengantarkan kepergiannya."Sebelum pergi, ada baiknya Pakdo mampir ke warung bakso saya dulu, Pakdo. Saya kasih secara cuma-cuma." Ujang menawarkan."Bagaimana denganku?" Sanusi bersuara. "Perutku juga lapar, Ujang. Tak kasihankah kau padaku, bekas bosmu ini? Setelah ini aku masih akan menempuh perjalanan jauh hingga sampai ke rumah.""Boleh, Pak, boleh. Apa, sih, yang tidak buat Bapak."Percakapan mereka terus berlanjut hingga t

  • Dendam Kuntilanak Merah   55. Pemakaman

    Gerimis membasahi sebuah tempat pemakamam umum di Desa Kumpeh kala senja hari. Para pelayat sejak tadi telah pulang menuju rumah mereka masing-masing. Yang tersisa hanya beberapa orang yang mana wajah mereka terbalut duka lara: Pakdo Ramli, Sanusi, Teh Reni, Nopi, Gadis, serta Ujang yang setia mendekap istrinya yang masih menangis pilu.Tiada yang menyangka sedikit pun, Hasnah meninggalkan dunia selepas jasad Menur diketemukan. Ternyata selama ini dia terus menunggu, hingga pada akhirnya benar-benar pergi setelah mendapatkan kabar yang dinanti-nantikan.Hasnah pun seperti ingin dikebumikan satu liang lahat bersama putrinya, Menur. Hal itu akhirnya terjadi pada hari ini.Gadis yang berdiri di sebelah Nopi, mendekatkan kepalanya ke sepupunya itu lantas berbisik, "Baru sekarang aku melihat cinta seorang ibu yang benar-benar besar untuk anaknya, Nop," ucap Gadis lirih. "Tiba-tiba aja aku jadi pengin pulang dan peluk Ibu," katanya lagi.Nopi tidak bisa berkata-kata. Ucapan Gadis benar adan

  • Dendam Kuntilanak Merah   54. Mendung di Langit Desa Kumpeh

    Teh Reni, Gadis, juga Nopi pun tak mau ketinggalan. Mereka terlanjur ikut campur dan tidak ingin melewatkan perkembangan masalah itu. Kini mereka juga sudah berada di kebun Teh Reni, turut menyaksikan penggalian, meski tubuh dan mata mereka lelah karena menahan kantuk sepanjang malam.Oleh karena ada kejadian yang memancing penasaran, beberapa warga yang lewat menjadi mampir dan ikut menonton. Alhasil kebun Teh Reni kini dikelilingi oleh banyak warga.Wati dan Hasnah baru saja tiba. Tertatih-tatih wanita tua itu berusaha menyeruak kerumunan warga. Kedatangannya disambut Sanusi yang langsung ikut memapahnya.Hasnah menatap heran Sanusi sebentar. Dia agak susah mengenali postur Sanusi yang tak lagi sama."Mak Hasnah.""Ini kau, si kepala kampung, Sanusi?""Ya, Mak. Mari ikuti saya."Mereka kembali melangkah mendekati sebuah lubang bekas galian. Di sebelah lubang, tergelar selembar tikar yang di atasnya terdapat tengkorak dan tulang belulang manusia. Tak jauh dari tulang belulang itu, ad

  • Dendam Kuntilanak Merah   53. Penemuan Tulang Belulang

    Mentari pagi bersinar hangat, berhasil mengusir kabut, lalu mengenyahkan hawa dingin yang menusuk kulit kala subuh hari. Tunas pisang bermunculan, kuncup bunga mulai bermekaran, menandakan kehidupan baru telah datang. Sisa-sisa embun pun masih menempel pada daun dan rerumputan, tetapi siapa pun tahu, mereka akan menguap seiringnya waktu yang terus berjalan.Di ranjang besinya, Hasnah mengerjap-ngerjap. Sinar mentari yang masuk melalui celah-celah jendela, menyilaukan matanya yang dulu berbulu lentik, tetapi kini mulai rabun. Dia bangkit dari rebah, lalu duduk menjuntai kaki di tepian tempat tidur. Lama dipandanginya ubin kamar yang bolong-bolong di sebagian permukaannya itu.Gorden kamarnya disibak Wati yang baru saja melangkah masuk. "Emak sudah bangun?" Wati tersenyum ramah, memperlakukan Hasnah semanis biasanya, tapi mata wanita itu kali ini terlihat bengkak dan sembab."Kenapa dengan wajahmu, Wati? Apa kau habis menangis?"Lagi-lagi Wati hanya tersenyum sebagai jawaban. "Emak mau

  • Dendam Kuntilanak Merah   52. Jiwa yang Terbebas

    Ujang lantas memeluk Pakdo Ramli. "Terima kasih, Pakdo, terima kasih." Suara Ujang bergetar, terselubung rasa haru dan juga rasa syukur. Rasanya beban yang ikut diembannya selama ini, telah menguap bersama asap dari sisa api yang menghanguskan si makhluk merah."Kau juga harus berterima kasih pada bosmu, Ujang. Dia yang telah merawat dan menyimpan keris ini selama aku tak ada." Pakdo menepuk bahu Ujang yang bergetar karena menangis.Sanusi berjalan mendekati. "Kau masih saja cengeng, Ujang. Sudahlah. Malu sama umur." Sanusi dan Pakdo Ramli terbahak bersama. Ujang pun menjadi tersenyum, meski sembari menyeka air mata yang tersisa."Gadis mana, Pakdo?"Nopi yang telah turun dari mobil, menatap ke sekeliling, mencari keberadaan sepupunya.Pertanyaan Nopi membuat Pakdo Ramli teringat bahwa ada satu hal lagi yang harus dia selesaikan malam ini, yakni membebaskan jiwa Menur yang kini terkunci di dalam liontin yang tadi dibawa pergi oleh Gadis.~AA~Hari masih gelap. Waktu masih menunjukkan

  • Dendam Kuntilanak Merah   51. Musnahnya Makhluk Merah

    Makhluk merah sudah menghunuskan kelima kuku jarinya yang runcing nan tajam, bersiap menyerang Pakdo Ramli yang menatapnya dengan raut pasrah. Dukun itu bukan lah menyerah, hanya saja dia tidak bisa berkerlit. Gerakannya sudah terkunci, tidak bisa berpindah posisi lagi.Akan tetapi, tiba-tiba saja dari arah gerbang masuk kebun, klakson mobil yang berbunyi nyaring mengalihkan perhatian mereka berdua. Makhluk merah tersentak mundur saat lampu mobil Avanza hitam menyorot tepat ke arahnya."Pakdo Ramli!" Sanusi yang baru saja keluar dari bangku penumpang berlari menghampiri. "Ambil ini!" Sekuat tenaga pria itu melemparkan keris berlekuk tiga yang telah terbungkus kembali pada sarung kulitnya.Pakdo Ramli mengambil kesempatan. Pria itu berguling ke samping tiga kali, lalu melompat dengan bertumpu kaki kanannya. Tangan kirinya berhasil menyambar keris, lalu dengan tangan yang lain dia menarik gagang keris itu lantas merapalkan mantra yang telah dia pelajari selama bersamadi.Keris yang tela

  • Dendam Kuntilanak Merah   50. Pertarungan Sengit

    Pakdo Ramli mengeretakan rahang. Dadanya dipenuhi amarah menggebu-gebu. Namun, dia tidak boleh terpancing oleh ucapan makhluk merah tersebut. Pakdo Ramli harus bisa berpikir jernih dan mengikuti rencana matang yang telah terpatri di benaknya.Pakdo Ramli mengembuskan napas panjang-panjang. Suaranya terdengar lebih lembut dan membujuk."Menur, anakku. Kau ingat ini, Nak?" Tangan kanan Pakdo teracung di udara, memamerkan kalung liontin milik Menur pada makhluk merah itu. "Kalung ini hadiah dari emakmu di saat usiamu lima belas tahun. Apa kau masih ingat?"Ucapan Pakdo Ramli berhasil mengubah suasana. Angin tak lagi berputar-putar. Kilat yang tadinya menyambar-nyambar, kini berhenti.Separuh sosok menur yang melekat di wujud makhluk merah pun memberi sikap berbeda. Matanya yang tadi semerah bara, kini berubah hitam. "Emak ...," bisiknya lirih. Suaranya pun kembali menjadi milik Menur."Ya, Nak!" teriak Pakdo semakin lantang. "Lawan dia. Bebaskan belenggu yang menahanmu pada dirinya. Aku

  • Dendam Kuntilanak Merah   49. Pembebasan Menur

    Pakdo Ramli duduk bersila menghadap tepat ke arah pohon beringin. Bibirnya yang dikelilingi kumis dan jenggot putih tebal, sibuk komat-kamit merapal mantra. Matanya yang seperti mata elang, fokus menatap tajam. Tangannya bersedekap di depan dadanya yang bidang.Cahaya rembulan yang samar-samar, menyinari sebuah benda yang terselip pada kedua telapak tangannya. Benda itu ialah sebuah kalung liontin berwarna biru. Tertera huruf M pada bandulnya. Kalung itu milik Menur yang diberikan oleh Wati pada Pakdo Ramli, sebelum pria itu meninggalkan rumah Ujang beberapa waktu lalu.Berdasarkan penerawangan Pakdo, jiwa Menur hampir bersatu dengan energi gelap dari makhluk merah penguasa pohon beringin. Menur akan kehilangan kendali dan melupakan jati dirinya jika tidak segera diselamatkan.Untuk itu Pakdo membutuhkan sebuah barang milik Menur yang akan dijadikan alat pemancing agar Menur ingat dan kembali pada dirinya yang dulu."Tunggu sebentar, Pakdo," kata Wati ketika Pakdo Ramli menanyakan per

  • Dendam Kuntilanak Merah   48. Taktik

    Pakdo Ramli memperlihatkan bekas luka yang terdapat pada lehernya di bagian sebelah kanan. Wati meringis melihatnya. Luka itu berlubang cukup dalam."Dengan kekuatannya pula, aku dilemparkan hingga ke tebing jurang sana." Pakdo Ramli melanjutkan cerita. "Hingga akhirnya aku tercebur ke arus sungai yang deras. Aku bukan perenang yang handal. Sekuat tenaga aku mencoba mempertahankan diri. Lalu di tepian sungai dekat berbatuan besar, aku melihat Surti.""Lalu, Pakdo?" Nopi kian penasaran."Ada tiupan angin entah dari mana, mendorong tubuhku ke tepian. Di situlah akhirnya aku selamat, meski leherku berdarah-darah."Gadis mengembuskan napas. "Itu Surti, Pakdo. Seperti itulah caranya dia menolongku di malam tempo hari.""Lantas, apa yang Pakdo lakukan selama ini? Kenapa tidak pulang ke rumah Pakdo sendiri?" tanya Ujang."Aku memutuskan pergi dari desa ini, menuju tanah kelahiran kakek buyutku. Di sana aku semadi dan memperdalam ilmu kebatinan. Sengaja, agar setelah aku merasa siap, aku bisa

DMCA.com Protection Status