Gadis dan Nopi melangkah pelan-pelan menuju kembali ke tempat di mana Teh Reni tengah menunggu mereka. Perut kedua gadis itu kini terasa kenyang, mata mereka pun menjadi mengantuk. Ditambah angin sepoi-sepoi yang berembus yang menerpa wajah mereka."Nopi kenal Bang Ujang udah lama, ya?" Tiba-tiba Gadis melemparkan tanya.Meski merasa heran, Nopi mengangguk sembari menjawab, "Dulu Bang Ujang berjualan bakso berkeliling sampai ke rumah Kak Dani. Tapi sekarang dia mangkal di warung yang tadi.""Oh ....""Kenapa, Dis?"Gadis menggeleng. "Gak apa-apa. Feeling-ku bilang kalau Bang Ujang mengetahui sesuatu. Cuma kayaknya dia sengaja merahasiakannya.""Mengenai apa?" Nopi masih belum mengerti. "Sikap Bang Ujang memang kayak gitu kalau ketemu orang baru." Bahu Nopi mengedik."Perihal kebun Teh Reni yang kata warga sini angker itu, lho." Gadis memutar bola matanya. "Masak kamu gak paham, sih?""He-he. Abis aku cuma fokus makan bakso aja. Keburu lapar." Nopi nyengir.Selebihnya Gadis memilih dia
Makhluk merah tersebut kemudian menyeret si perempuan berkebaya ke dalam sebuah lubang menganga di belakangnya. Tanpa berpikir panjang, Gadis berlari menyusul. Sayangnya dia kalah cepat. Makhluk besar menyeramkan dan juga perempuan berkebaya merah yang diseretnya telah menghilang ke dalam lubang yang kini berubah menjadi gundukan sarang semut.Puas Gadis berkeliling untuk memastikan dan mencari lubang yang kira-kira berdiameter dua langkah kaki orang dewasa itu, tetapi matanya hanya menangkap gundukan setinggi lutut serta rerumputan ilalang yang mengelilingi lagi gersang sehabis disiram menggunakan racun rumput oleh para tukang yang diupah Teh Reni.Nopi yang terheran-heran melihat kelakuan Gadis tak bisa lagi menahan dirinya untuk tidak menyusul. Nopi tidak mau terjadi sesuatu kepada sepupunya itu sebab dia yang membawanya ke sini."Gadis kenapa?" Nopi terengah-engah sehabis berlari.Gadis tidak menjawab. Dia masih mondar-mandir berkeliling mencari sesuatu. Namun, tak lama Gadis berh
Ujang terduduk pada bangku panjang di warung baksonya sembari tafakur. Detakan jantung pria itu masih terasa meski gadis bermata tajam yang tadi melontarkan pertanyaan kepadanya, telah pergi setengah jam yang lalu.Untung gadis itu tidak terus-terusan mendesaknya. Jika tidak, bisa jadi Ujang menjadi gugup dan tanpa sengaja bakal merusak janji yang telah dibuat berpuluh-puluh tahun yang lalu bersama Sanusi.Ujang telah berhasil menyimpan rahasia itu selama ini, bahkan dari istrinya sendiri. Meski ada perasaan bersalah, meski sejujurnya batinnya terus tersiksa sebab menyimpan kenyataan yang ada. Namun, mau apa lagi, seperti yang pernah dikatakan Sanusi tempo hari bahwa ini merupakan cara yang terbaik, menurut mereka berdua.Setelah sukses menenteramkan perasaannya yang sempat tak karuan, Ujang kembali berbenah: mencuci piring dan gelas kotor, menyimpan sendok-sendok ke kolong gerobak, mengelap meja dan membersihkan sampah-sampah sisa para pelanggan.Baksonya tersisa dua porsi. Seperti k
Nopi yang sejak tadi terheran-heran menyaksikan percakapan dua orang di depannya, mendongak dan menatap ke langit biru. "Cerah gini, kok, apanya yang mau hujan?" Gadis tomboi itu geleng-geleng kepala.Gadis menepuk bahu Nopi gemas, "Itu cuma alasan Bang Ujang aja supaya bisa ninggalin kita. Ayo, kita buntutin Bang Ujang. Katamu rumahnya gak jauh dari sini, kan?"Nopi bertambah heran lagi melihat keputusan sepupunya yang menurutnya lebih aneh dan tidak mau peduli meski telah diabaikan. Apa gerangan yang membuat Gadis keras kepala dan bersikap demikian? Namun, Nopi tidak sempat bertanya. Sepupunya telah meninggalkannya, mendahului berjalan cepat menyusul ke arah Ujang pergi."Hei, Gadis, tunggu aku! Hei!"~AA~Setiba di rumah, Ujang disambut istrinya, Wati, dengan raut terheran-heran. Bagaimana tidak, wanita itu mendapati suaminya bak habis dikejar setan. Wajahnya sepucat kapas, napasnya cengap-cengap, baju kaosnya basah oleh peluh."Abang kenapa, kok, seperti habis dikejar hantu?" Wati
Hasnah tertidur dalam posisi miring di ranjang besi berukuran nomor dua. Bibirnya mengulas senyum manis, seolah segala nestapa yang selama ini mengimpitnya, sirna sudah. Kedua tangannya erat menggenggam jemari Gadis yang dengan penuh kasih sayang telah berhasil meninabobokannya.Ada perasaan haru mengisi relung hati Gadis. Gadis sadar betul bahwa tadi dirinya sempat dikuasai oleh energi Menur yang mengikutinya hingga ke rumah Ujang. Dibiarkannya saja. Ternyata kepasrahannya berakhir seperti ini, tanpa dia duga sebelumnya.Sesudah memastikan Hasnah tertidur pulas, Gadis bangkit dari duduk. Diraihnya selimut yang terbuat dari potongan kain perca yang terletak di dekat kaki Hasnah, lalu dia selimuti tubuh ringkih wanita itu.Gadis menarik napas panjang-panjang sebelum melangkah melewati pintu kamar Hasnah. Dia tentu harus mempersiapkan diri serta jawaban yang masuk akal untuk diberikan kepada semua orang, yang kini sedang menunggunya di kursi ruang tamu rumah sederhana itu.Ujang bertopa
Ujang semakin terpana. Bagaimana gadis berbadan mungil di depannya ini bahkan tahu nama Sanusi?Seperti tahu isi batin Ujang, Gadis lalu berkata, "Saya juga tau. Bukan hanya satu orang saja yang menghilang di desa ini, kan, Bang? Melainkan dua orang."Ujang kian tak berkutik. Tanpa sadar, punggungnya terenyak ke sandaran sofa. Berakhir sudah pikirnya. Dia tidak bisa lagi menyimpan rahasia ini terlalu lama."Kau benar, Nak." Ujang menelan ludah. "Baiklah, besok ikut saya menemui Pak Sanusi. Sebenarnya dia satu-satunya saksi kunci mengenai peristiwa di malam itu, saat Pakdo Ramli menghilang hingga sampai saat ini.""Pakdo Ramli hilang, Bang?" Wati memotong pembicaraan. "Bukankah orang-orang bilang Pakdo pindah ke Kerinci, Bang? Semadi di gunung sana?"Ujang menggeleng lemah, "Maafkan Abang, Wati. Bukan seperti itu ceritanya. Bersabarlah, pasti nanti kau bakal kuberi tahu."Lagi-lagi Wati harus menyimpan rasa penasarannya. Sebenarnya apa yang telah terjadi? Apa yang disembunyikan suaminy
Seunit mobil Avanza melaju menuju Kabupaten Muaro Jambi. Pengemudinya seorang perempuan yang memakai kacamata hitam dan juga headseat pada telinga.Teh Reni, hanya memilih untuk tidak ingin mendengar percakapan yang terjadi di bangku penumpang. Selain menurutnya tak beradab menguping perbincangan orang lain, bahan obrolan mereka juga dapat merusak konsentrasinya ketika menyetir, yakni percakapan mengenai hantu atau semacamnya. Sudah cukup perkara pohon beringin yang beberapa minggu ini cukup memusingkan kepalanya.Di sebelah Teh Reni, duduk Ujang yang berpakaian agak rapi: kemeja garis-garis dan berpeci hitam, sedang di bangku belakang ada Gadis dan Nopi yang sesekali menguap karena mengantuk.Berdasarkan keterangan yang didapat Ujang, Sanusi telah pindah ke desa lain semenjak mengundurkan diri dari jabatannya sebagai kepala kampung. Sama seperti Ujang, rasa bersalah dan penyesalan selalu menghantui dirinya setiap waktu.Bagaimana bisa Sanusi duduk manis menikmati gaji plus bonus di r
Ujang mencegah. "Tidak usah, Bu. Biar saya saja yang menjemputnya."Gadis yang memerhatikan percakapan mereka sedari tadi, ikut turun dari mobil. Namun sebelumnya dia berpesan pada Teh Reni agar jangan membangunkan Nopi yang baru saja tertidur. Teh Reni mengiakan. Dia juga enggan untuk keluar dari mobilnya. Lebih baik di dalam mobil saja. Aman dari gigitan nyamuk-nyamuk kebun yang ukurannya lebih besar dari nyamuk biasa.Gadis mengikuti langkah Ujang. Pria itu berjalan cepat menuju ke arah pondok yang terlihat hanya atapnya saja. Meski terkesan dekat, tetapi mereka butuh sepuluh menit untuk mencapai tempat itu.Tampak seorang pria kekar membelakangi. Urat-urat tangannya menyembul saat mencangkul tanah. Posturnya berubah seratus delapan puluh derajat dari yang dulu. Rambutnya pun hampir keseluruhannya memutih. Wajar saja, Ujang saja sudah hampir memasuki lima puluh tahun, sedangkan Sanusi pastilah lebih dari itu."Pak Sanusi!" Ujang memanggilnya setelah jarak mereka tidak begitu jauh.
Senyum Pakdo Ramli mengembang penuh wibawa. "Pakdo ingin berpamitan padamu, Nak. Entah kapan kita bisa berjumpa lagi. Rasanya belum puas jika Pakdo tidak berpesan padamu.""Apa itu, Pakdo?" Gadis penasaran."Kau gadis istimewa. Teruslah menebar welas asih. Bantulah sesama makhluk yang membutuhkan bantuanmu, Nak. Kelebihan yang kau punya, jadikan ladang amal bagimu sendiri." Pakdo Ramli menepuk-nepuk pundak Gadis yang terdiam mendengarkan amanat dari dukun sakti itu.Pakdo Ramli lantas berbalik badan, mulai melangkah meninggalkan kebun. Sanusi dan Ujang turut mengantarkan kepergiannya."Sebelum pergi, ada baiknya Pakdo mampir ke warung bakso saya dulu, Pakdo. Saya kasih secara cuma-cuma." Ujang menawarkan."Bagaimana denganku?" Sanusi bersuara. "Perutku juga lapar, Ujang. Tak kasihankah kau padaku, bekas bosmu ini? Setelah ini aku masih akan menempuh perjalanan jauh hingga sampai ke rumah.""Boleh, Pak, boleh. Apa, sih, yang tidak buat Bapak."Percakapan mereka terus berlanjut hingga t
Gerimis membasahi sebuah tempat pemakamam umum di Desa Kumpeh kala senja hari. Para pelayat sejak tadi telah pulang menuju rumah mereka masing-masing. Yang tersisa hanya beberapa orang yang mana wajah mereka terbalut duka lara: Pakdo Ramli, Sanusi, Teh Reni, Nopi, Gadis, serta Ujang yang setia mendekap istrinya yang masih menangis pilu.Tiada yang menyangka sedikit pun, Hasnah meninggalkan dunia selepas jasad Menur diketemukan. Ternyata selama ini dia terus menunggu, hingga pada akhirnya benar-benar pergi setelah mendapatkan kabar yang dinanti-nantikan.Hasnah pun seperti ingin dikebumikan satu liang lahat bersama putrinya, Menur. Hal itu akhirnya terjadi pada hari ini.Gadis yang berdiri di sebelah Nopi, mendekatkan kepalanya ke sepupunya itu lantas berbisik, "Baru sekarang aku melihat cinta seorang ibu yang benar-benar besar untuk anaknya, Nop," ucap Gadis lirih. "Tiba-tiba aja aku jadi pengin pulang dan peluk Ibu," katanya lagi.Nopi tidak bisa berkata-kata. Ucapan Gadis benar adan
Teh Reni, Gadis, juga Nopi pun tak mau ketinggalan. Mereka terlanjur ikut campur dan tidak ingin melewatkan perkembangan masalah itu. Kini mereka juga sudah berada di kebun Teh Reni, turut menyaksikan penggalian, meski tubuh dan mata mereka lelah karena menahan kantuk sepanjang malam.Oleh karena ada kejadian yang memancing penasaran, beberapa warga yang lewat menjadi mampir dan ikut menonton. Alhasil kebun Teh Reni kini dikelilingi oleh banyak warga.Wati dan Hasnah baru saja tiba. Tertatih-tatih wanita tua itu berusaha menyeruak kerumunan warga. Kedatangannya disambut Sanusi yang langsung ikut memapahnya.Hasnah menatap heran Sanusi sebentar. Dia agak susah mengenali postur Sanusi yang tak lagi sama."Mak Hasnah.""Ini kau, si kepala kampung, Sanusi?""Ya, Mak. Mari ikuti saya."Mereka kembali melangkah mendekati sebuah lubang bekas galian. Di sebelah lubang, tergelar selembar tikar yang di atasnya terdapat tengkorak dan tulang belulang manusia. Tak jauh dari tulang belulang itu, ad
Mentari pagi bersinar hangat, berhasil mengusir kabut, lalu mengenyahkan hawa dingin yang menusuk kulit kala subuh hari. Tunas pisang bermunculan, kuncup bunga mulai bermekaran, menandakan kehidupan baru telah datang. Sisa-sisa embun pun masih menempel pada daun dan rerumputan, tetapi siapa pun tahu, mereka akan menguap seiringnya waktu yang terus berjalan.Di ranjang besinya, Hasnah mengerjap-ngerjap. Sinar mentari yang masuk melalui celah-celah jendela, menyilaukan matanya yang dulu berbulu lentik, tetapi kini mulai rabun. Dia bangkit dari rebah, lalu duduk menjuntai kaki di tepian tempat tidur. Lama dipandanginya ubin kamar yang bolong-bolong di sebagian permukaannya itu.Gorden kamarnya disibak Wati yang baru saja melangkah masuk. "Emak sudah bangun?" Wati tersenyum ramah, memperlakukan Hasnah semanis biasanya, tapi mata wanita itu kali ini terlihat bengkak dan sembab."Kenapa dengan wajahmu, Wati? Apa kau habis menangis?"Lagi-lagi Wati hanya tersenyum sebagai jawaban. "Emak mau
Ujang lantas memeluk Pakdo Ramli. "Terima kasih, Pakdo, terima kasih." Suara Ujang bergetar, terselubung rasa haru dan juga rasa syukur. Rasanya beban yang ikut diembannya selama ini, telah menguap bersama asap dari sisa api yang menghanguskan si makhluk merah."Kau juga harus berterima kasih pada bosmu, Ujang. Dia yang telah merawat dan menyimpan keris ini selama aku tak ada." Pakdo menepuk bahu Ujang yang bergetar karena menangis.Sanusi berjalan mendekati. "Kau masih saja cengeng, Ujang. Sudahlah. Malu sama umur." Sanusi dan Pakdo Ramli terbahak bersama. Ujang pun menjadi tersenyum, meski sembari menyeka air mata yang tersisa."Gadis mana, Pakdo?"Nopi yang telah turun dari mobil, menatap ke sekeliling, mencari keberadaan sepupunya.Pertanyaan Nopi membuat Pakdo Ramli teringat bahwa ada satu hal lagi yang harus dia selesaikan malam ini, yakni membebaskan jiwa Menur yang kini terkunci di dalam liontin yang tadi dibawa pergi oleh Gadis.~AA~Hari masih gelap. Waktu masih menunjukkan
Makhluk merah sudah menghunuskan kelima kuku jarinya yang runcing nan tajam, bersiap menyerang Pakdo Ramli yang menatapnya dengan raut pasrah. Dukun itu bukan lah menyerah, hanya saja dia tidak bisa berkerlit. Gerakannya sudah terkunci, tidak bisa berpindah posisi lagi.Akan tetapi, tiba-tiba saja dari arah gerbang masuk kebun, klakson mobil yang berbunyi nyaring mengalihkan perhatian mereka berdua. Makhluk merah tersentak mundur saat lampu mobil Avanza hitam menyorot tepat ke arahnya."Pakdo Ramli!" Sanusi yang baru saja keluar dari bangku penumpang berlari menghampiri. "Ambil ini!" Sekuat tenaga pria itu melemparkan keris berlekuk tiga yang telah terbungkus kembali pada sarung kulitnya.Pakdo Ramli mengambil kesempatan. Pria itu berguling ke samping tiga kali, lalu melompat dengan bertumpu kaki kanannya. Tangan kirinya berhasil menyambar keris, lalu dengan tangan yang lain dia menarik gagang keris itu lantas merapalkan mantra yang telah dia pelajari selama bersamadi.Keris yang tela
Pakdo Ramli mengeretakan rahang. Dadanya dipenuhi amarah menggebu-gebu. Namun, dia tidak boleh terpancing oleh ucapan makhluk merah tersebut. Pakdo Ramli harus bisa berpikir jernih dan mengikuti rencana matang yang telah terpatri di benaknya.Pakdo Ramli mengembuskan napas panjang-panjang. Suaranya terdengar lebih lembut dan membujuk."Menur, anakku. Kau ingat ini, Nak?" Tangan kanan Pakdo teracung di udara, memamerkan kalung liontin milik Menur pada makhluk merah itu. "Kalung ini hadiah dari emakmu di saat usiamu lima belas tahun. Apa kau masih ingat?"Ucapan Pakdo Ramli berhasil mengubah suasana. Angin tak lagi berputar-putar. Kilat yang tadinya menyambar-nyambar, kini berhenti.Separuh sosok menur yang melekat di wujud makhluk merah pun memberi sikap berbeda. Matanya yang tadi semerah bara, kini berubah hitam. "Emak ...," bisiknya lirih. Suaranya pun kembali menjadi milik Menur."Ya, Nak!" teriak Pakdo semakin lantang. "Lawan dia. Bebaskan belenggu yang menahanmu pada dirinya. Aku
Pakdo Ramli duduk bersila menghadap tepat ke arah pohon beringin. Bibirnya yang dikelilingi kumis dan jenggot putih tebal, sibuk komat-kamit merapal mantra. Matanya yang seperti mata elang, fokus menatap tajam. Tangannya bersedekap di depan dadanya yang bidang.Cahaya rembulan yang samar-samar, menyinari sebuah benda yang terselip pada kedua telapak tangannya. Benda itu ialah sebuah kalung liontin berwarna biru. Tertera huruf M pada bandulnya. Kalung itu milik Menur yang diberikan oleh Wati pada Pakdo Ramli, sebelum pria itu meninggalkan rumah Ujang beberapa waktu lalu.Berdasarkan penerawangan Pakdo, jiwa Menur hampir bersatu dengan energi gelap dari makhluk merah penguasa pohon beringin. Menur akan kehilangan kendali dan melupakan jati dirinya jika tidak segera diselamatkan.Untuk itu Pakdo membutuhkan sebuah barang milik Menur yang akan dijadikan alat pemancing agar Menur ingat dan kembali pada dirinya yang dulu."Tunggu sebentar, Pakdo," kata Wati ketika Pakdo Ramli menanyakan per
Pakdo Ramli memperlihatkan bekas luka yang terdapat pada lehernya di bagian sebelah kanan. Wati meringis melihatnya. Luka itu berlubang cukup dalam."Dengan kekuatannya pula, aku dilemparkan hingga ke tebing jurang sana." Pakdo Ramli melanjutkan cerita. "Hingga akhirnya aku tercebur ke arus sungai yang deras. Aku bukan perenang yang handal. Sekuat tenaga aku mencoba mempertahankan diri. Lalu di tepian sungai dekat berbatuan besar, aku melihat Surti.""Lalu, Pakdo?" Nopi kian penasaran."Ada tiupan angin entah dari mana, mendorong tubuhku ke tepian. Di situlah akhirnya aku selamat, meski leherku berdarah-darah."Gadis mengembuskan napas. "Itu Surti, Pakdo. Seperti itulah caranya dia menolongku di malam tempo hari.""Lantas, apa yang Pakdo lakukan selama ini? Kenapa tidak pulang ke rumah Pakdo sendiri?" tanya Ujang."Aku memutuskan pergi dari desa ini, menuju tanah kelahiran kakek buyutku. Di sana aku semadi dan memperdalam ilmu kebatinan. Sengaja, agar setelah aku merasa siap, aku bisa