Ujang mencegah. "Tidak usah, Bu. Biar saya saja yang menjemputnya."Gadis yang memerhatikan percakapan mereka sedari tadi, ikut turun dari mobil. Namun sebelumnya dia berpesan pada Teh Reni agar jangan membangunkan Nopi yang baru saja tertidur. Teh Reni mengiakan. Dia juga enggan untuk keluar dari mobilnya. Lebih baik di dalam mobil saja. Aman dari gigitan nyamuk-nyamuk kebun yang ukurannya lebih besar dari nyamuk biasa.Gadis mengikuti langkah Ujang. Pria itu berjalan cepat menuju ke arah pondok yang terlihat hanya atapnya saja. Meski terkesan dekat, tetapi mereka butuh sepuluh menit untuk mencapai tempat itu.Tampak seorang pria kekar membelakangi. Urat-urat tangannya menyembul saat mencangkul tanah. Posturnya berubah seratus delapan puluh derajat dari yang dulu. Rambutnya pun hampir keseluruhannya memutih. Wajar saja, Ujang saja sudah hampir memasuki lima puluh tahun, sedangkan Sanusi pastilah lebih dari itu."Pak Sanusi!" Ujang memanggilnya setelah jarak mereka tidak begitu jauh.
Suasana berubah menjadi tak nyaman ketika nama Menur dan Pakdo Ramli disebut oleh Ujang. Raut Sanusi pun berubah masam. Lirikannya tajam menatap tiap kepala yang berada di ruang tamunya.Seperti bisa membaca situasi, Teh Reni mengajak Nopi untuk mengikutinya ke luar rumah. Awalnya Nopi menolak. Dia tidak mau meninggalkan Gadis seorang diri di situ, tapi Gadis memberi kode seraya mengulas senyum menenangkan hingga akhirnya Nopi mau juga pergi."Teteh mau cari makanan dulu, ya, Dis. Gak apa, kan, kalau Teteh ajak Nopi?" Teh Reni meminta persetujuan sebelum melewati ambang pintu. Gadis hanya mengangguk setuju.Deru mesin mobil Teh Reni melaju menjauh. Setelahnya suasana kembali senyap dan canggung.Ujang yang serba salah, mencoba memberi penjelasan. Dia secara panjang lebar menceritakan semua yang terjadi: sedari pertama kali bertemu Gadis hingga Hasnah yang berbicara untuk pertama kalinya setelah sekian lama membisu."Awalnya saya sendiri tidak percaya, Pak, tapi ... saya melihat dengan
Mereka kembali melanjutkan langkah, tetapi sosok hantu perempuan itu tetap mengikuti ke mana Gadis pergi. Ia hinggap dari pohon ke pohon di sepanjang jalan.Hantu itu menguping pembicaraan mereka ketika Gadis memberitahu Ujang bahwa dia bisa melihat makhluk gaib. Apalagi hantu itu sempat melihat energi makhluk gaib lain yang dibawa Gadis ke sana. Tentu hal ini sangat menarik perhatiannya.Gadis dan Nopi terus saja berjalan tanpa menghiraukan apa pun. Setiba di depan pagar kebun Teh Reni, Gadis berhenti. Ketika menoleh, hantu tadi—yang sering disebut 'Kuntilanak' oleh orang kebanyakan—berhenti mengikuti mereka, malah bersembunyi di pohon yang berada tak jauh dari sana.Gadis memang aneh. Bukannya lega, hal itu malah menggelitik rasa penasarannya."Kamu temui Teh Reni dulu, Nop. Aku ada urusan sebentar."Nopi menyambar lengan Gadis sebelum pergi. "Mau ke mana lagi? Kita udah telat banget ini," cegahnya.Gadis menunjuk pohon tempat kuntilanak sedang duduk manis. "Aku penasaran kenapa dia
Memori Sanusi kembali terbang mundur. Pria itu dipaksa mengenang lagi peristiwa yang membikinnya merutuki diri hingga di separuh usianya. Rasa penyesalan yang sedikit demi sedikit berhasil dia timbun, kini kembali terkuak karena kalimat yang diberikan Gadis.Siapa gadis ini sebenarnya? Dan kenapa dia bertindak sejauh ini? Begitu lancangnya dia menyibak aib yang mati-matian telah Sanusi sembunyikan sejak lama."Pulanglah!" Sanusi membentak. "Jangan ingatkan aku pada peristiwa itu lagi." Dia memegang dadanya yang tiba-tiba terasa nyeri. Seperti ada sesuatu yang mengimpitnya, begitu berat dan menyakitkan."Melarikan diri bukan cara penyelesaian yang terbaik, Pak Sanusi. Saya tau sekali bahwa Bapak orang baik, sebab sampai sekarang Bapak masih menyimpan keris milik Pakdo Ramli di situ. Benar, kan?" Gadis melirik ke arah bilik. Sejak tadi matanya melihat cahaya berpendar kuning dari arah sana.Bak tertangkap basah, Sanusi tidak bisa berkata-kata lagi. Dia mati kutu. Ucapan Gadis benar adan
Di sofa ruang tamu rumahnya, Gadis melamun sembari menikmati angin malam yang masuk melalui pintu depan yang sengaja dibuka lebar. Di meja, buku-buku sekolah masih bertebaran. Gadis itu baru saja mengerjakan tugas sekolahnya.Oleh sebab teringat sesuatu, Gadis berdiri dan pergi ke belakang. Ibunya tadi sore bilang membikin bolu pandan kesukaannya. Lumayan, untuk mengganjal perutnya yang lapar. Meski tadi jam tujuh dia sudah makan nasi, tetapi perutnya masih terasa ingin diisi. Mungkin ini akibat karena Gadis banyak memikirkan masalah yang tengah dihadapi.Gadis berhasil menemukan beberapa potongan bolu pandan di bawah tudung saji. Dia kembali ke ruang tamu bersama piring berisi bolu-bolu itu. Namun, piring di tangan Gadis hampir saja terlepas jika dia tidak segera menguasai diri.Sesosok kuntilanak kini berdiri di sudut ruang tamu, bersembunyi tepat di belakang pintu yang disinari cahaya lampu temaram. Rambutnya yang kusut masai dan panjang, menjuntai hingga ke ubin. Bola matanya berw
Sepanjang jalan Nopi tak henti-hentinya mengingatkan kepada Gadis untuk tidak terlalu ikut campur terlalu jauh ke dalam urusan pribadi orang lain. Meski agak kesal, tetap saja gadis tomboi itu menurut untuk mengantarkan sepupunya itu ke rumah Ujang sore ini."Kamu kenapa jadi gini, sih, Dis? Segala kunti mau dicari? Ah, elah ...." Suaranya berbaur dengan mesin motor metic yang dikendarainya. Jalanan sepi, hanya beberapa motor dan mobil saja yang berpapasan dengan mereka.Gadis tersenyum geli sembari memeluk erat Nopi dari belakang. Sepupunya itu melajukan kendaraan roda duanya dengan kecepatan kencang untuk mengejar waktu. Sebab jarak yang ditempuh lumayan jauh.Gadis sempat menghubungi Teh Reni, berharap perempuan itu mau mengantarkan. Namun, Teh Reni punya pekerjaan penting yang tidak bisa ditinggalkan."Soalnya Surti punya info penting, Nop. Kalau kita tau alamat Pakdo Ramli, kan, kita gak perlu menunggu kabar dari Pak Sanusi lagi." Gadis membela diri. "Lagian, entah kenapa aku yak
Nopi melajukan motornya pelan-pelan di belakang sepeda ontel yang dikendarai Ujang. Mereka bersama-sama menuju ke rumah pria itu.Setiba di rumah Ujang, azan magrib berkumandang. Gadis sempat melirik ke pohon kantil yang berada di persimpangan jalan. Namun, tempat itu kosong. Dia sama sekali tidak melihat Surti. Entah itu sekelebatan daster putihnya yang kumal, atau pun rambutnya yang menjuntai hingga ke bawah. Ke mana perginya makhluk itu?"Masuk dulu ke dalam, tampaknya hari mau hujan." Ujang menatap ke langit abu-abu berpadu pekat, lalu mendahului masuk ke rumah.Wati menyongsong ke depan, "Eh, ada tamu." Dia tersenyum ramah. Semenjak Hasnah menjadi bisa berbicara dan kembali riang, sejujurnya Wati jadi menyukai Gadis. Dia senang sekali tiap Gadis mengunjungi rumahnya."Iya, Kak." Nopi menjawab ramah.Mereka berdua masuk dan duduk di kursi ruang tamu. Benar saja, hujan tiba-tiba turun dengan derasnya."Yah ... gimana ini? Mana aku gak bawa mantel, Dis." Nopi memandang buliran-bulir
Tetes-tetes air pada dedaunan pohon kantil bak irama tersendiri di telinga Gadis. Dinaungi payung kuning bermerek sebuah pabrik kopi yang ternama di Kota Jambi, dia meneduhkan diri.Gadis mendongak, matanya terus saja mencari-cari keberadaan Surti di antara cabang-cabang pohon yang rindang. Namun, kuntilanak itu tidak berada pada tempat tinggalnya.Lima belas menit lalu Gadis sempat berdebat dengan Nopi. Sepupunya itu melarang Gadis untuk tidak tetap nekat keluar rumah berbasah-basahan seperti ini. Namun, pada akhirnya Nopi menyerah. Dia sama sekali tidak pernah menang jika mendebat gadis bermata sipit yang dinilainya sangat keras kepala. Nopi akhirnya membiarkan Gadis pergi sendiri, tetapi dengan syarat tidak boleh terlalu jauh dan masih bisa terlihat olehnya yang terus mengawasi dari jendela rumah Ujang.Gadis resah. Dia sungguh gelisah dikejar waktu. Dia tidak punya petunjuk apa pun untuk melakukan yang terbaik selain ini. Ck! Gadis merutuki diri. Kenapa di saat genting seperti ini
Senyum Pakdo Ramli mengembang penuh wibawa. "Pakdo ingin berpamitan padamu, Nak. Entah kapan kita bisa berjumpa lagi. Rasanya belum puas jika Pakdo tidak berpesan padamu.""Apa itu, Pakdo?" Gadis penasaran."Kau gadis istimewa. Teruslah menebar welas asih. Bantulah sesama makhluk yang membutuhkan bantuanmu, Nak. Kelebihan yang kau punya, jadikan ladang amal bagimu sendiri." Pakdo Ramli menepuk-nepuk pundak Gadis yang terdiam mendengarkan amanat dari dukun sakti itu.Pakdo Ramli lantas berbalik badan, mulai melangkah meninggalkan kebun. Sanusi dan Ujang turut mengantarkan kepergiannya."Sebelum pergi, ada baiknya Pakdo mampir ke warung bakso saya dulu, Pakdo. Saya kasih secara cuma-cuma." Ujang menawarkan."Bagaimana denganku?" Sanusi bersuara. "Perutku juga lapar, Ujang. Tak kasihankah kau padaku, bekas bosmu ini? Setelah ini aku masih akan menempuh perjalanan jauh hingga sampai ke rumah.""Boleh, Pak, boleh. Apa, sih, yang tidak buat Bapak."Percakapan mereka terus berlanjut hingga t
Gerimis membasahi sebuah tempat pemakamam umum di Desa Kumpeh kala senja hari. Para pelayat sejak tadi telah pulang menuju rumah mereka masing-masing. Yang tersisa hanya beberapa orang yang mana wajah mereka terbalut duka lara: Pakdo Ramli, Sanusi, Teh Reni, Nopi, Gadis, serta Ujang yang setia mendekap istrinya yang masih menangis pilu.Tiada yang menyangka sedikit pun, Hasnah meninggalkan dunia selepas jasad Menur diketemukan. Ternyata selama ini dia terus menunggu, hingga pada akhirnya benar-benar pergi setelah mendapatkan kabar yang dinanti-nantikan.Hasnah pun seperti ingin dikebumikan satu liang lahat bersama putrinya, Menur. Hal itu akhirnya terjadi pada hari ini.Gadis yang berdiri di sebelah Nopi, mendekatkan kepalanya ke sepupunya itu lantas berbisik, "Baru sekarang aku melihat cinta seorang ibu yang benar-benar besar untuk anaknya, Nop," ucap Gadis lirih. "Tiba-tiba aja aku jadi pengin pulang dan peluk Ibu," katanya lagi.Nopi tidak bisa berkata-kata. Ucapan Gadis benar adan
Teh Reni, Gadis, juga Nopi pun tak mau ketinggalan. Mereka terlanjur ikut campur dan tidak ingin melewatkan perkembangan masalah itu. Kini mereka juga sudah berada di kebun Teh Reni, turut menyaksikan penggalian, meski tubuh dan mata mereka lelah karena menahan kantuk sepanjang malam.Oleh karena ada kejadian yang memancing penasaran, beberapa warga yang lewat menjadi mampir dan ikut menonton. Alhasil kebun Teh Reni kini dikelilingi oleh banyak warga.Wati dan Hasnah baru saja tiba. Tertatih-tatih wanita tua itu berusaha menyeruak kerumunan warga. Kedatangannya disambut Sanusi yang langsung ikut memapahnya.Hasnah menatap heran Sanusi sebentar. Dia agak susah mengenali postur Sanusi yang tak lagi sama."Mak Hasnah.""Ini kau, si kepala kampung, Sanusi?""Ya, Mak. Mari ikuti saya."Mereka kembali melangkah mendekati sebuah lubang bekas galian. Di sebelah lubang, tergelar selembar tikar yang di atasnya terdapat tengkorak dan tulang belulang manusia. Tak jauh dari tulang belulang itu, ad
Mentari pagi bersinar hangat, berhasil mengusir kabut, lalu mengenyahkan hawa dingin yang menusuk kulit kala subuh hari. Tunas pisang bermunculan, kuncup bunga mulai bermekaran, menandakan kehidupan baru telah datang. Sisa-sisa embun pun masih menempel pada daun dan rerumputan, tetapi siapa pun tahu, mereka akan menguap seiringnya waktu yang terus berjalan.Di ranjang besinya, Hasnah mengerjap-ngerjap. Sinar mentari yang masuk melalui celah-celah jendela, menyilaukan matanya yang dulu berbulu lentik, tetapi kini mulai rabun. Dia bangkit dari rebah, lalu duduk menjuntai kaki di tepian tempat tidur. Lama dipandanginya ubin kamar yang bolong-bolong di sebagian permukaannya itu.Gorden kamarnya disibak Wati yang baru saja melangkah masuk. "Emak sudah bangun?" Wati tersenyum ramah, memperlakukan Hasnah semanis biasanya, tapi mata wanita itu kali ini terlihat bengkak dan sembab."Kenapa dengan wajahmu, Wati? Apa kau habis menangis?"Lagi-lagi Wati hanya tersenyum sebagai jawaban. "Emak mau
Ujang lantas memeluk Pakdo Ramli. "Terima kasih, Pakdo, terima kasih." Suara Ujang bergetar, terselubung rasa haru dan juga rasa syukur. Rasanya beban yang ikut diembannya selama ini, telah menguap bersama asap dari sisa api yang menghanguskan si makhluk merah."Kau juga harus berterima kasih pada bosmu, Ujang. Dia yang telah merawat dan menyimpan keris ini selama aku tak ada." Pakdo menepuk bahu Ujang yang bergetar karena menangis.Sanusi berjalan mendekati. "Kau masih saja cengeng, Ujang. Sudahlah. Malu sama umur." Sanusi dan Pakdo Ramli terbahak bersama. Ujang pun menjadi tersenyum, meski sembari menyeka air mata yang tersisa."Gadis mana, Pakdo?"Nopi yang telah turun dari mobil, menatap ke sekeliling, mencari keberadaan sepupunya.Pertanyaan Nopi membuat Pakdo Ramli teringat bahwa ada satu hal lagi yang harus dia selesaikan malam ini, yakni membebaskan jiwa Menur yang kini terkunci di dalam liontin yang tadi dibawa pergi oleh Gadis.~AA~Hari masih gelap. Waktu masih menunjukkan
Makhluk merah sudah menghunuskan kelima kuku jarinya yang runcing nan tajam, bersiap menyerang Pakdo Ramli yang menatapnya dengan raut pasrah. Dukun itu bukan lah menyerah, hanya saja dia tidak bisa berkerlit. Gerakannya sudah terkunci, tidak bisa berpindah posisi lagi.Akan tetapi, tiba-tiba saja dari arah gerbang masuk kebun, klakson mobil yang berbunyi nyaring mengalihkan perhatian mereka berdua. Makhluk merah tersentak mundur saat lampu mobil Avanza hitam menyorot tepat ke arahnya."Pakdo Ramli!" Sanusi yang baru saja keluar dari bangku penumpang berlari menghampiri. "Ambil ini!" Sekuat tenaga pria itu melemparkan keris berlekuk tiga yang telah terbungkus kembali pada sarung kulitnya.Pakdo Ramli mengambil kesempatan. Pria itu berguling ke samping tiga kali, lalu melompat dengan bertumpu kaki kanannya. Tangan kirinya berhasil menyambar keris, lalu dengan tangan yang lain dia menarik gagang keris itu lantas merapalkan mantra yang telah dia pelajari selama bersamadi.Keris yang tela
Pakdo Ramli mengeretakan rahang. Dadanya dipenuhi amarah menggebu-gebu. Namun, dia tidak boleh terpancing oleh ucapan makhluk merah tersebut. Pakdo Ramli harus bisa berpikir jernih dan mengikuti rencana matang yang telah terpatri di benaknya.Pakdo Ramli mengembuskan napas panjang-panjang. Suaranya terdengar lebih lembut dan membujuk."Menur, anakku. Kau ingat ini, Nak?" Tangan kanan Pakdo teracung di udara, memamerkan kalung liontin milik Menur pada makhluk merah itu. "Kalung ini hadiah dari emakmu di saat usiamu lima belas tahun. Apa kau masih ingat?"Ucapan Pakdo Ramli berhasil mengubah suasana. Angin tak lagi berputar-putar. Kilat yang tadinya menyambar-nyambar, kini berhenti.Separuh sosok menur yang melekat di wujud makhluk merah pun memberi sikap berbeda. Matanya yang tadi semerah bara, kini berubah hitam. "Emak ...," bisiknya lirih. Suaranya pun kembali menjadi milik Menur."Ya, Nak!" teriak Pakdo semakin lantang. "Lawan dia. Bebaskan belenggu yang menahanmu pada dirinya. Aku
Pakdo Ramli duduk bersila menghadap tepat ke arah pohon beringin. Bibirnya yang dikelilingi kumis dan jenggot putih tebal, sibuk komat-kamit merapal mantra. Matanya yang seperti mata elang, fokus menatap tajam. Tangannya bersedekap di depan dadanya yang bidang.Cahaya rembulan yang samar-samar, menyinari sebuah benda yang terselip pada kedua telapak tangannya. Benda itu ialah sebuah kalung liontin berwarna biru. Tertera huruf M pada bandulnya. Kalung itu milik Menur yang diberikan oleh Wati pada Pakdo Ramli, sebelum pria itu meninggalkan rumah Ujang beberapa waktu lalu.Berdasarkan penerawangan Pakdo, jiwa Menur hampir bersatu dengan energi gelap dari makhluk merah penguasa pohon beringin. Menur akan kehilangan kendali dan melupakan jati dirinya jika tidak segera diselamatkan.Untuk itu Pakdo membutuhkan sebuah barang milik Menur yang akan dijadikan alat pemancing agar Menur ingat dan kembali pada dirinya yang dulu."Tunggu sebentar, Pakdo," kata Wati ketika Pakdo Ramli menanyakan per
Pakdo Ramli memperlihatkan bekas luka yang terdapat pada lehernya di bagian sebelah kanan. Wati meringis melihatnya. Luka itu berlubang cukup dalam."Dengan kekuatannya pula, aku dilemparkan hingga ke tebing jurang sana." Pakdo Ramli melanjutkan cerita. "Hingga akhirnya aku tercebur ke arus sungai yang deras. Aku bukan perenang yang handal. Sekuat tenaga aku mencoba mempertahankan diri. Lalu di tepian sungai dekat berbatuan besar, aku melihat Surti.""Lalu, Pakdo?" Nopi kian penasaran."Ada tiupan angin entah dari mana, mendorong tubuhku ke tepian. Di situlah akhirnya aku selamat, meski leherku berdarah-darah."Gadis mengembuskan napas. "Itu Surti, Pakdo. Seperti itulah caranya dia menolongku di malam tempo hari.""Lantas, apa yang Pakdo lakukan selama ini? Kenapa tidak pulang ke rumah Pakdo sendiri?" tanya Ujang."Aku memutuskan pergi dari desa ini, menuju tanah kelahiran kakek buyutku. Di sana aku semadi dan memperdalam ilmu kebatinan. Sengaja, agar setelah aku merasa siap, aku bisa