Home / Horor / Dendam Kuntilanak Merah / 6. Sosok Menur yang Berbeda

Share

6. Sosok Menur yang Berbeda

last update Last Updated: 2022-08-11 22:22:09

Pria dan pemuda yang lain manggut-manggut menyetujui. Sanusi berpikir sejenak. Satu demi satu dia menatap wajah-wajah lelah warganya yang masih setia melakukan pencarian hingga berjam-jam. Dia sendiri pun kelelahan, hanya saja hatinya ikut perih mengingat tangisan Hasnah yang datang menemuinya dini hari tadi.

"Baiklah kalau begitu. Kita istirahat dulu di sini."

Rombongan menghentikan pencarian. Ada yang terenyak di rerumputan. Ada yang menyandarkan punggungnya yang basah oleh peluh ke batang pohon terdekat sembari memejamkan mata. Sebagian warga ada juga yang mulai menyulut obor sebagai sumber penerangan mereka.

Sanusi mengayunkan langkah mendekati Hasnah yang masih memeluk erat tas Menur. Wanita itu tersedu-sedan. Suaranya semakin serak memanggil-manggil nama putrinya.

"Menur ... di mana kah dirimu, Nak? Tak kasihan kah kau pada emakmu ini ...?"

Dengan sabar Sanusi meraih bahu Hasnah. Membawa wanita itu untuk duduk di rerumputan seperti yang lainnya.

"Sabar, Mak Menur. Mari kita istirahat dulu barang sekejap." Sanusi menepuk-nepuk bahu Hasnah yang berguncang-guncang hebat. "Pasti Menur bisa kita temukan. Saya juga mohon agar Emak tak putus berdoa. Saya yakin ada kekuatan dahsyat dari doa seorang ibu."

Setelah dirasa cukup, setengah jam kemudian mereka kembali bergerak. Menyusuri semak-semak, balik pepohonan nan rimbun sembari memanggil-manggil nama Menur, dibantu dengan penerangan berupa beberapa obor yang berhasil dinyalakan. Semangat mereka tak pernah redup demi memberi harapan pada Hasnah, salah seorang warga yang terkenal ramah, lagi tidak banyak tingkah.

Hingga pada momen ketika kaki salah seorang warga hanya berjarak satu meter saja dari gua tersembunyi, petir menggelegar secara tiba-tiba. Pohon-pohon tinggi bergoyang-goyang tersapu angin kencang. Angin itu juga memadamkan api-api obor sehingga tidak ada lagi cahaya yang menerangi mereka. Semuanya kembali menjadi gelap gulita.

Ujang dan Bedul saling merapatkan tubuh masing-masing. Nyali kedua pemuda itu ciut seketika. Ketegangan dan ketakutan pun menular kepada raut wajah warga yang lain.

"Bagaimana ini, Pak Sanusi?" Seorang pria berkumis tebal bertubuh tambun berbicara. "Tampaknya mau hujan badai."

Sanusi mendongak ke langit tinggi. Aneh. Bukankah tadi cuaca cerah dan baik-baik saja? Kenapa tiba-tiba berubah dalam kedipan mata? Sanusi bergumam dalam hati.

"Tidak apa-apa, Pak." Sanusi menenangkan. "Hanya geluduk biasa. Awan dan hujannya bakal terbawa angin lalu. Ayo, kita lanjutkan kembali pencarian ini."

Ketika mereka kembali bergerak, hujan deras, angin kencang dan petir menyambar-nyambar secara bersamaan. Tanpa dikomando, para warga yang sejak tadi merasakan ada sesuatu yang tidak beres, segera membubarkan diri. Mereka tak lagi memedulikan kepala kampung yang mematung menatap aksi kepergian mereka.

Wati menyambar dan mematahkan pangkal pelepah pisang terdekat. Daunnya dia jadikan payung untuk menaungi Hasnah dan juga dirinya sendiri.

"Mak, cuaca tidak bersahabat. Mari kita pulang saja. Mari, Mak!" Wati menarik lengan kanan Hasnah, berusaha menyeret wanita itu pulang, tetapi Hasnah masih juga bertahan.

Sanusi yang melihat, ikut membujuk. "Betul kata Wati, Mak. Tidak memungkinkan kita melanjutkan pencarian ini. Lihatlah. Hanya tinggal kita bertiga di sini."

Hasnah akhirnya pasrah. Kedua tangannya lunglai. Dia ikut saja ketika kedua orang yang peduli padanya, menuntunnya ke arah jalan pulang.

Akan tetapi, tanpa mereka bertiga sadari, ada sosok lain berkebaya merah yang sedang mengamati kepergian mereka dari balik rimbunnya pohon beringin.

"Emak ...."

Sosok itu ialah Menur dalam wujud yang tak lagi sama. Wajahnya pucat pasi. Bola matanya merah menyala-nyala. Kukunya runcing tajam bak pisau baja. Ada sosok lain yang bersemayam dan menyatu di raganya. Sosok yang menguasai, yang menjanjikan kekuatan pada Menur untuk membalaskan kesumatnya pada enam orang pria durjana.

~AA~

Related chapters

  • Dendam Kuntilanak Merah   7. Suara Ciap Anak Ayam

    Sepasang tangan dengan beberapa bekas luka yang cukup dalam, bergerak kepayahan mengerek air dari sumur. Suara cipratan air akibat gesekan timba dengan tepian sumur, berisik memecah kesunyian malam. Berulang kali air di timba itu muncrat dan tumpah karena lengan pria itu gemetar.Tetes-tetes keringat meluncur dari wajah serta lehernya yang basah. Pria itu, Maymun, baru saja terbangun dari mimpi buruk. Mimpi berulang setiap malam yang menghantuinya. Mimpi mengerikan yang membuatnya depresi, menggila dan hilang kendali. Kemudian setelah bersusah payah kembali pada alam bawah sadarnya, Maymun lari ke luar rumah.Si bujang lapuk itu mengguyur wajah dan sebagian kepalanya menggunakan air dari timba, berharap rasa takut, emosi dan gelisah sirna dalam seketika. Dia tidak ingin kembali tidur. Dia tidak ingin memejamkan mata meski sedetik pun.Masih terpatri jelas dalam ingatannya sosok hantu perempuan berkebaya merah yang datang ke mimpinya. Seraut wajah seputih kapas, matanya semerah darah, k

    Last Updated : 2022-08-11
  • Dendam Kuntilanak Merah   8. Pembalasan Pertama

    Maymun melanjutkan langkah takut-takut. Dia berhasil melewati pintu. Tangannya meraba-raba dalam kegelapan mencari sesuatu, menyusuri lekukan dinding tempat biasanya dia menyimpan kotak korek api. Kosong. Dia tak berhasil menemukan benda persegi empat itu.Tangannya meraba-raba lagi, sembari melangkah berhati-hati.Jemarinya mengenai sesuatu: dingin, kaku, dan bikin jantungnya berdesir-desir. Maymun menelan ludah. Dia mencoba menerka dan fokus pada sentuhannya."Hi-hi-hi!"Sesuatu itu mengikik nyaring. Maymun memekik, lantas terpelanting.Kilatan cahaya dari luar, sedikit membantu memberikan penerangan hingga ke dalam rumah. Mata Maymun terbelalak tak percaya. Ternyata sosok hantu perempuan berkebaya merah itu nyata adanya, bukan hanya di mimpinya saja. Hantu kuntilanak merah itu kini tepat berhadapan-hadapan dengannya.Mata menyala Menur menyorot ke wajah Maymun. Saat menyeringai, sudut bibirnya panjang hampir menyentuh telinga.Dengkul Maymun menggigil. Tanpa dia sadari selangkangann

    Last Updated : 2022-08-11
  • Dendam Kuntilanak Merah   9. Menemui Dukun Sakti Mandraguna

    Sabtu Pahing yang gusar. Segusar hati Hasnah yang tak kunjung jua mendapat kabar akan keberadaan Menur. Genap tiga puluh hari sudah putrinya itu menghilang, tapi segala upaya yang dia maupun warga lakukan, tak jua membuahkan hasil.Tempo hari ketika mereka gagal melakukan pencarian di hari pertama, esoknya mereka melakukan pencarian kembali, bahkan Sanusi mengikuti saran para tetua adat kampung untuk bertanya pada seseorang yang paham perihal dunia gaib, Pakdo Ramli, dukun sakti yang tinggal menyendiri di tepian sungai Batanghari.Kala itu sore hendak mendekati senja, ketika semburat jingga masih terlihat di sela-sela dedaunan pohon karet. Sanusi duduk manis di boncengan sepeda ontel yang dikayuh Ujang, asisten kepercayaannya, menuju kediaman Pakdo Ramli. Sanusi kalut, putus asa dan berusaha demi Hasnah agar wanita itu mau makan meski hanya sesuap nasi.Atas kaduan Wati yang selalu menemani Hasnah, Sanusi tahu bahwa Hasnah tidak berniat hidup lagi. Dia menghindari makan, tidur, dan min

    Last Updated : 2022-08-11
  • Dendam Kuntilanak Merah   10. Desa Kumpeh Geger

    Meski sudah tahu bahwa pria di hadapannya adalah dukun sakti yang kata orang-orang: 'Tak perlu lagi memberitahu tujuan kita datang menemuinya, sebab tak ada satu pun rahasia yang bisa disembunyikan pada Pakdo Ramli', tetapi Sanusi dan Ujang tetap saja merasa terheran-heran.Bagian dalam gubuk, tidak kalah seramnya dengan bagian luar. Dinding rumah berhiaskan berbagai macam keris yang beragam bentuk dan ukuran, serta tengkorak dan tanduk kijang yang bersisian.Pakdo Ramli duduk di belakang meja yang mengepulkan asap dari dupa. Dupa tersebut berjejer dengan bermacam sesajen lainnya: segelas kopi, segelas air putih, segelas susu, kembang tujuh rupa, ayam cemani, dan keris berlekuk tiga.Tanpa diperintah lagi, Sanusi memberi kode pada Ujang agar duduk di tikar pandan yang tergelar tak jauh dari mereka berdiri."Saya sudah tahu maksud kedatangan kalian kemari. Jika seorang pemimpin kampung berpayah-payah harus menempuh perjalanan jauh, tentulah ada perkara yang tidak mudah dipecahkan, bukan

    Last Updated : 2022-08-11
  • Dendam Kuntilanak Merah   11. Malam Pernikahan Berdarah

    Kuak lembu diselingi derik jangkrik mengisi kesunyian malam Desa Niaso, sebuah desa yang berjarak tiga desa saja dari Desa Kumpeh. Berbeda sekali dengan suasana tadi siang, kini desa itu diliputi oleh sepi yang mencengkam. Entahlah, seperti ada yang aneh. Suhu udaranya pun dingin menusuk kulit.Di sebuah rumah berhalaman luas, sampah-sampah sisa pembungkus makanan para tamu berserak di sana-sini. Tenda-tenda yang masih terpancang di tengah halaman, menandakan si empunya baru saja melaksanakan hajatan besar-besaran.Pak Broto menikahkan putri semata wayangnya, Ratna, dengan pemuda kekar nan tampan dari luar desa. Samin berhasil memikat hati dan mempersunting perempuan itu hanya dalam kurun waktu dua bulan pendekatan saja. Anak gadis juragan kaya itu terbuai dalam sejuta janji manis yang diberikan Samin beserta mimpi-mimpi yang masih direncanakannya.Dari teras rumah, lampu kamar Ratna terlihat menyala. Ratna sendiri masih terjaga, di depan kaca rias dia tengah sibuk menyisir rambutnya y

    Last Updated : 2022-08-30
  • Dendam Kuntilanak Merah   12. Pelarian Samin

    Sedetik kemudian barulah Samin menyadari, kesalahan fatal yang baru saja dia perbuat telah berhasil menghancurkan masa depannya."Tidak! Tidaaak!"Samin histeris. Tanpa membuang waktu dia mendobrak daun jendela yang berada tepat di belakangnya, lantas keluar dari kamar dalam satu kali lompatan.Samin berlari sekencang mungkin tanpa menoleh ke belakang. Derap kakinya seperti orang kesetanan. Dia takut sekali orang-orang yang mengejarnya, berhasil menangkap dan menyeretnya ke kantor polisi.Selintas memori beberapa waktu lalu, memenuhi kepalanya.Malam itu temannya, Arman, mengajaknya berpesta minum minuman keras untuk merayakan atas berhasilnya Samin memikat hati Ratna, anak juragan kaya yang telah dia incar sejak lama. Gadis itu akhirnya bersedia menerima lamaran Samin dan mau menjadi istrinya. Arman ingin Samin membikin pesta bujangan.Mereka pun memutuskan untuk berkumpul di rumah Samin. Kebetulan tetangga yang tinggal tepat di sebelah rumah Samin sedang mengadakan acara hajatan. Seh

    Last Updated : 2022-08-30
  • Dendam Kuntilanak Merah   13. Nyawa dibalas Nyawa

    Sepenggal memori itu yang mengiringi derap kaki Samin dalam pelariannya. Sebagian ingatannya kabur karena dipengaruhi minuman memabukkan yang berhasil meracuni pikiran baik saat itu.Yang dia ingat, mereka bersama-sama membuntuti Menur. Yang Samin ingat, Arman yang memulai duluan. Mendorong gadis itu dan mencabik-cabik pakaian Menur seperti harimau yang sedang kelaparan.Samin terus berlari di kegelapan malam. Tujuannya ialah tempat di mana kelima temannya yang lain: Alwi, Ijat, Maymun, Wahab, Arman sering berkumpul untuk bermain kartu domino.Sedetik pun Samin tidak berhenti untuk mengistirahatkan diri. Meski napasnya tinggal satu-satu, meski baju kemeja di badannya sudah basah oleh peluh. Meski kakinya sudah lecet, luka, karena tersandung batu atau pun terkena tanaman menjalar yang berduri. Samin tidak peduli. Yang penting saat ini dia segera mendapat perlindungan dari teman-temannya yang lain.Mata Samin sudah menangkap bangunan persegi empat persis di tepi jalan raya, sebuah gubuk

    Last Updated : 2022-08-30
  • Dendam Kuntilanak Merah   14. Kematian Empat Pemuda

    "Kenapa aku tak kalian beri tahu?""Karena kau terlalu sibuk dengan pesta pernikahanmu. Lagi pula, kami tak ingin merusak kebahagiaanmu," jawab Ijat takut-takut."Bagaimana dengan Arman?""Sudah lama kami tidak mendengar kabar darinya." Ijat menjawab."Ini karena ide gila darinya! Duda haram jadah!" Samin mengumpat. "Kenapa bukan dia saja yang diteror hantu gadis itu? Kenapa harus aku?"Alwi menggeleng-gelengkan kepala tanda tidak setuju. "Kita ikut andil di malam itu, Min. Apa kau lupa? Bahkan kau melakukannya setelah Arman."Samin semakin terpuruk. Dia jatuh terduduk di hadapan tiga pasang kaki teman-temannya. "Andai saja aku tidak minum tuak terlalu banyak malam itu." Samin kembali tergugu. "Apa yang harus aku lakukan sekarang? Aku sekarang ialah seorang buronan. Aku sudah membunuh istriku sendiri!""Bagaimana kalau kita ke rumah Arman saja? Sekalian melihat kondisinya. Mungkin dia punya jalan keluar untuk masalah ini." Wahab memberi ide.Bukan tanpa alasan. Di antara mereka memang

    Last Updated : 2022-08-30

Latest chapter

  • Dendam Kuntilanak Merah   56. Sebuah Amanat

    Senyum Pakdo Ramli mengembang penuh wibawa. "Pakdo ingin berpamitan padamu, Nak. Entah kapan kita bisa berjumpa lagi. Rasanya belum puas jika Pakdo tidak berpesan padamu.""Apa itu, Pakdo?" Gadis penasaran."Kau gadis istimewa. Teruslah menebar welas asih. Bantulah sesama makhluk yang membutuhkan bantuanmu, Nak. Kelebihan yang kau punya, jadikan ladang amal bagimu sendiri." Pakdo Ramli menepuk-nepuk pundak Gadis yang terdiam mendengarkan amanat dari dukun sakti itu.Pakdo Ramli lantas berbalik badan, mulai melangkah meninggalkan kebun. Sanusi dan Ujang turut mengantarkan kepergiannya."Sebelum pergi, ada baiknya Pakdo mampir ke warung bakso saya dulu, Pakdo. Saya kasih secara cuma-cuma." Ujang menawarkan."Bagaimana denganku?" Sanusi bersuara. "Perutku juga lapar, Ujang. Tak kasihankah kau padaku, bekas bosmu ini? Setelah ini aku masih akan menempuh perjalanan jauh hingga sampai ke rumah.""Boleh, Pak, boleh. Apa, sih, yang tidak buat Bapak."Percakapan mereka terus berlanjut hingga t

  • Dendam Kuntilanak Merah   55. Pemakaman

    Gerimis membasahi sebuah tempat pemakamam umum di Desa Kumpeh kala senja hari. Para pelayat sejak tadi telah pulang menuju rumah mereka masing-masing. Yang tersisa hanya beberapa orang yang mana wajah mereka terbalut duka lara: Pakdo Ramli, Sanusi, Teh Reni, Nopi, Gadis, serta Ujang yang setia mendekap istrinya yang masih menangis pilu.Tiada yang menyangka sedikit pun, Hasnah meninggalkan dunia selepas jasad Menur diketemukan. Ternyata selama ini dia terus menunggu, hingga pada akhirnya benar-benar pergi setelah mendapatkan kabar yang dinanti-nantikan.Hasnah pun seperti ingin dikebumikan satu liang lahat bersama putrinya, Menur. Hal itu akhirnya terjadi pada hari ini.Gadis yang berdiri di sebelah Nopi, mendekatkan kepalanya ke sepupunya itu lantas berbisik, "Baru sekarang aku melihat cinta seorang ibu yang benar-benar besar untuk anaknya, Nop," ucap Gadis lirih. "Tiba-tiba aja aku jadi pengin pulang dan peluk Ibu," katanya lagi.Nopi tidak bisa berkata-kata. Ucapan Gadis benar adan

  • Dendam Kuntilanak Merah   54. Mendung di Langit Desa Kumpeh

    Teh Reni, Gadis, juga Nopi pun tak mau ketinggalan. Mereka terlanjur ikut campur dan tidak ingin melewatkan perkembangan masalah itu. Kini mereka juga sudah berada di kebun Teh Reni, turut menyaksikan penggalian, meski tubuh dan mata mereka lelah karena menahan kantuk sepanjang malam.Oleh karena ada kejadian yang memancing penasaran, beberapa warga yang lewat menjadi mampir dan ikut menonton. Alhasil kebun Teh Reni kini dikelilingi oleh banyak warga.Wati dan Hasnah baru saja tiba. Tertatih-tatih wanita tua itu berusaha menyeruak kerumunan warga. Kedatangannya disambut Sanusi yang langsung ikut memapahnya.Hasnah menatap heran Sanusi sebentar. Dia agak susah mengenali postur Sanusi yang tak lagi sama."Mak Hasnah.""Ini kau, si kepala kampung, Sanusi?""Ya, Mak. Mari ikuti saya."Mereka kembali melangkah mendekati sebuah lubang bekas galian. Di sebelah lubang, tergelar selembar tikar yang di atasnya terdapat tengkorak dan tulang belulang manusia. Tak jauh dari tulang belulang itu, ad

  • Dendam Kuntilanak Merah   53. Penemuan Tulang Belulang

    Mentari pagi bersinar hangat, berhasil mengusir kabut, lalu mengenyahkan hawa dingin yang menusuk kulit kala subuh hari. Tunas pisang bermunculan, kuncup bunga mulai bermekaran, menandakan kehidupan baru telah datang. Sisa-sisa embun pun masih menempel pada daun dan rerumputan, tetapi siapa pun tahu, mereka akan menguap seiringnya waktu yang terus berjalan.Di ranjang besinya, Hasnah mengerjap-ngerjap. Sinar mentari yang masuk melalui celah-celah jendela, menyilaukan matanya yang dulu berbulu lentik, tetapi kini mulai rabun. Dia bangkit dari rebah, lalu duduk menjuntai kaki di tepian tempat tidur. Lama dipandanginya ubin kamar yang bolong-bolong di sebagian permukaannya itu.Gorden kamarnya disibak Wati yang baru saja melangkah masuk. "Emak sudah bangun?" Wati tersenyum ramah, memperlakukan Hasnah semanis biasanya, tapi mata wanita itu kali ini terlihat bengkak dan sembab."Kenapa dengan wajahmu, Wati? Apa kau habis menangis?"Lagi-lagi Wati hanya tersenyum sebagai jawaban. "Emak mau

  • Dendam Kuntilanak Merah   52. Jiwa yang Terbebas

    Ujang lantas memeluk Pakdo Ramli. "Terima kasih, Pakdo, terima kasih." Suara Ujang bergetar, terselubung rasa haru dan juga rasa syukur. Rasanya beban yang ikut diembannya selama ini, telah menguap bersama asap dari sisa api yang menghanguskan si makhluk merah."Kau juga harus berterima kasih pada bosmu, Ujang. Dia yang telah merawat dan menyimpan keris ini selama aku tak ada." Pakdo menepuk bahu Ujang yang bergetar karena menangis.Sanusi berjalan mendekati. "Kau masih saja cengeng, Ujang. Sudahlah. Malu sama umur." Sanusi dan Pakdo Ramli terbahak bersama. Ujang pun menjadi tersenyum, meski sembari menyeka air mata yang tersisa."Gadis mana, Pakdo?"Nopi yang telah turun dari mobil, menatap ke sekeliling, mencari keberadaan sepupunya.Pertanyaan Nopi membuat Pakdo Ramli teringat bahwa ada satu hal lagi yang harus dia selesaikan malam ini, yakni membebaskan jiwa Menur yang kini terkunci di dalam liontin yang tadi dibawa pergi oleh Gadis.~AA~Hari masih gelap. Waktu masih menunjukkan

  • Dendam Kuntilanak Merah   51. Musnahnya Makhluk Merah

    Makhluk merah sudah menghunuskan kelima kuku jarinya yang runcing nan tajam, bersiap menyerang Pakdo Ramli yang menatapnya dengan raut pasrah. Dukun itu bukan lah menyerah, hanya saja dia tidak bisa berkerlit. Gerakannya sudah terkunci, tidak bisa berpindah posisi lagi.Akan tetapi, tiba-tiba saja dari arah gerbang masuk kebun, klakson mobil yang berbunyi nyaring mengalihkan perhatian mereka berdua. Makhluk merah tersentak mundur saat lampu mobil Avanza hitam menyorot tepat ke arahnya."Pakdo Ramli!" Sanusi yang baru saja keluar dari bangku penumpang berlari menghampiri. "Ambil ini!" Sekuat tenaga pria itu melemparkan keris berlekuk tiga yang telah terbungkus kembali pada sarung kulitnya.Pakdo Ramli mengambil kesempatan. Pria itu berguling ke samping tiga kali, lalu melompat dengan bertumpu kaki kanannya. Tangan kirinya berhasil menyambar keris, lalu dengan tangan yang lain dia menarik gagang keris itu lantas merapalkan mantra yang telah dia pelajari selama bersamadi.Keris yang tela

  • Dendam Kuntilanak Merah   50. Pertarungan Sengit

    Pakdo Ramli mengeretakan rahang. Dadanya dipenuhi amarah menggebu-gebu. Namun, dia tidak boleh terpancing oleh ucapan makhluk merah tersebut. Pakdo Ramli harus bisa berpikir jernih dan mengikuti rencana matang yang telah terpatri di benaknya.Pakdo Ramli mengembuskan napas panjang-panjang. Suaranya terdengar lebih lembut dan membujuk."Menur, anakku. Kau ingat ini, Nak?" Tangan kanan Pakdo teracung di udara, memamerkan kalung liontin milik Menur pada makhluk merah itu. "Kalung ini hadiah dari emakmu di saat usiamu lima belas tahun. Apa kau masih ingat?"Ucapan Pakdo Ramli berhasil mengubah suasana. Angin tak lagi berputar-putar. Kilat yang tadinya menyambar-nyambar, kini berhenti.Separuh sosok menur yang melekat di wujud makhluk merah pun memberi sikap berbeda. Matanya yang tadi semerah bara, kini berubah hitam. "Emak ...," bisiknya lirih. Suaranya pun kembali menjadi milik Menur."Ya, Nak!" teriak Pakdo semakin lantang. "Lawan dia. Bebaskan belenggu yang menahanmu pada dirinya. Aku

  • Dendam Kuntilanak Merah   49. Pembebasan Menur

    Pakdo Ramli duduk bersila menghadap tepat ke arah pohon beringin. Bibirnya yang dikelilingi kumis dan jenggot putih tebal, sibuk komat-kamit merapal mantra. Matanya yang seperti mata elang, fokus menatap tajam. Tangannya bersedekap di depan dadanya yang bidang.Cahaya rembulan yang samar-samar, menyinari sebuah benda yang terselip pada kedua telapak tangannya. Benda itu ialah sebuah kalung liontin berwarna biru. Tertera huruf M pada bandulnya. Kalung itu milik Menur yang diberikan oleh Wati pada Pakdo Ramli, sebelum pria itu meninggalkan rumah Ujang beberapa waktu lalu.Berdasarkan penerawangan Pakdo, jiwa Menur hampir bersatu dengan energi gelap dari makhluk merah penguasa pohon beringin. Menur akan kehilangan kendali dan melupakan jati dirinya jika tidak segera diselamatkan.Untuk itu Pakdo membutuhkan sebuah barang milik Menur yang akan dijadikan alat pemancing agar Menur ingat dan kembali pada dirinya yang dulu."Tunggu sebentar, Pakdo," kata Wati ketika Pakdo Ramli menanyakan per

  • Dendam Kuntilanak Merah   48. Taktik

    Pakdo Ramli memperlihatkan bekas luka yang terdapat pada lehernya di bagian sebelah kanan. Wati meringis melihatnya. Luka itu berlubang cukup dalam."Dengan kekuatannya pula, aku dilemparkan hingga ke tebing jurang sana." Pakdo Ramli melanjutkan cerita. "Hingga akhirnya aku tercebur ke arus sungai yang deras. Aku bukan perenang yang handal. Sekuat tenaga aku mencoba mempertahankan diri. Lalu di tepian sungai dekat berbatuan besar, aku melihat Surti.""Lalu, Pakdo?" Nopi kian penasaran."Ada tiupan angin entah dari mana, mendorong tubuhku ke tepian. Di situlah akhirnya aku selamat, meski leherku berdarah-darah."Gadis mengembuskan napas. "Itu Surti, Pakdo. Seperti itulah caranya dia menolongku di malam tempo hari.""Lantas, apa yang Pakdo lakukan selama ini? Kenapa tidak pulang ke rumah Pakdo sendiri?" tanya Ujang."Aku memutuskan pergi dari desa ini, menuju tanah kelahiran kakek buyutku. Di sana aku semadi dan memperdalam ilmu kebatinan. Sengaja, agar setelah aku merasa siap, aku bisa

DMCA.com Protection Status