Di sebuah rumah mungil berdinding anyaman bambu betung yang terletak di ujung desa, seorang wanita bergerak-gerak gelisah. Dalam temaramnya cahaya lampu petromaks, Hasnah menanti kepulangan putri satu-satunya, Menur.
Biasanya gadis itu tidak pernah pulang terlambat. Biasanya gadis rajin yang dia besarkan seorang diri sedari bayi itu selalu tiba di rumah tepat waktu.
Hasnah sungguh resah. Malam ini sungguh tidak biasa. Ada perasaan aneh yang menjalar isi dadanya, tetapi Hasnah tidak tahu bagaimana menyebutnya. Bisa dibilang seperti firasat buruk, tetapi batin Hasnah sekuat mungkin menyangkal dan menepis perasaan tidak enak tersebut.
Amben berderit ketika Hasnah bangkit dari rebah yang gundah. Di tepian tempat tidur bambu itu kakinya menjuntai. Sorot matanya yang cemas menatap ke jam persegi empat di dinding rumah. Hari telah lewat tengah malam, bahkan hampir memasuki subuh. Namun, telinganya tak jua menangkap tanda-tanda akan kedatangan Menur.
Ibarat memakan buah simalakama, Hasnah serba salah. Sedari awal dia sudah melarang Menur untuk tidak berjualan larut malam, untuk tidak terlalu jauh menjajakan dagangannya hingga desa tetangga. Akan tetapi, Hasnah juga tahu putrinya punya semangat yang gigih untuk mendapatkan sesuatu dari hasil jerih payahnya sendiri. Rasanya tidak tega mematikan kobaran semangat gadis yang selama ini mandiri dan tidak pernah menyusahkannya itu.
Hasnah tahu sejak lama Menur menginginkan alat peralatan merajut seperti milik Wati, teman dekat Menur. Selain menyenangkan, hasil merajut juga menghasilkan. Impian Menur ialah ingin mempunyai penghasilan dari hobinya tersebut, sehingga dia tidak perlu lagi berpeluh penat menempuh perjalanan jauh menjajakan dagangan hingga ke desa-desa sebelah. Namun apalah daya, Hasnah sendiri tidak bisa memberikan apa yang Menur inginkan, kecuali kemiskinan, gubuk sepetak yang sudah bolong-bolong sebagian dindingnya, dan juga gelar sebagai anak yatim.
Ayam jago milik tetangga Hasnah mulai berkokok. Wanita itu kembali mendongak menatap jam di dinding. Pukul empat subuh.
Hasnah bangkit berdiri. Dia menyambar sweter merah marun hadiah dari Menur yang tergantung di pintu. Baju hangat hasil bikinan putrinya itu dia kenakan terburu-buru. Hasnah tidak boleh diam saja. Dia harus melakukan sesuatu, ketimbang berkeluh kesah pada laba-laba yang mendiami sudut rumah.
Hasnah berjalan di antara kebun-kebun singkong. Hasnah yang terbiasa pergi bekerja di jam segini, tidak membutuhkan penerangan apa pun. Matanya hafal betul jalanan di desa meski minim cahaya.
Tujuan Hasnah ialah rumah Wati, satu-satunya sahabat Menur. Tentu Wati pasti tahu, di mana keberadaan putrinya. Hasnah berharap, sekarang Menur sedang berada di sana. Mungkin gadis itu takut pulang ke rumah karena terlalu telat. Mungkin Menur takut membangunkan ibunya yang telah terlelap, atau mungkin dia ingin bermalam di rumah Wati.
Kemungkinan-kemungkinan itu memicu harapan Hasnah untuk tidak terlalu berburuk sangka.
Kaki Hasnah sudah menapak di halaman rumah semi permanen, setengah batu bata merah dan setengah lagi papan kayu bulian. Belum sempat Hasnah mengucap salam, Wati memunculkan diri dari pintu belakang. Gadis itu hendak ke kamar mandi yang terletak di belakang rumahnya.
"Nak Wati!"
Wati terperanjat. Gadis berambut bergelombang sebahu itu lantas menoleh pada Hasnah. "Emak Menur? Ada gerangan apa, Mak? Menur sakit, kah?"
Berderet pertanyaan yang diberikan Wati. Hasnah terdiam. Dahinya berkerut dalam. Dia bingung dengan pertanyaan itu, khususnya pertanyaan paling ujung."Emak ke sini malah hendak mencari Menur, Nak. Mana dia? Masih tidur kah di kamarmu?"Gantian kini Wati yang kebingungan."Kami sama-sama pulang jam sepuluh tadi, Mak. Tapi Menur memilih jalan setapak di dekat kebun karet sana. Supaya cepat tiba di rumah katanya."Keterangan Wati barusan membikin hati Hasnah kembali tak tenang. Kepalanya pusing seketika. Jantungnya dirasa tak aman, degupnya semakin tak karuan."Bagaimana ini, Wati? Emak mesti mencari Menur ke mana?" Tangan Hasnah memilin-milin ujung sweter dengan kegundahan teramat sangat.Wati pun terbungkam. Dia tahu Menur tidak dekat dengan siapa pun kecuali dirinya."Begini saja, Mak. Wati temani Emak mencari Menur. Kalau Menur tidak juga ketemu, kita laporkan pada kepala kampung."Hasnah mengangguk pasrah. Di saat kebingungan, otaknya dirasa buntu untuk mencari jalan keluar. Dia iku
"Menur! Menur!" Hampir semua warga turut melakukan pencarian: pria-pria, para pemuda, hingga aparat desa. Mereka menyusuri jalan-jalan, kebun-kebun, hingga tepian sungai sembari memukul-mukul tampah menggunakan tongkat kayu. Warga yang mempercayai bahwa Menur telah diculik hantu kopek, berharap gadis itu segera dilepaskan. Sebagian area telah dirambah, tetapi tak jua mereka temui keberadaan jejak maupun bayangan diri Menur. Hasnah pun ikut mencari, ditemani oleh Wati yang tak sedetik pun beranjak dari sisinya. Hati gadis itu mengiba. Wati tak tega meninggalkan wanita yang sudah dia anggap seperti ibu kandungnya sendiri itu, tersedu-sedu seorang diri. Hingga kaki mereka sampai pada satu-satunya area yang tersisa, yakni jalan setapak di dekat pohon beringin, yang dianggap sebagian warga ialah tempat paling wingit di Desa Kumpeh. Beberapa pria memperlambat langkah. Hanya yang bernyali besar yang mendahului menuju ke sana. Termasuk si kepala kampung dan Hasnah yang tidak peduli, yang p
Pria dan pemuda yang lain manggut-manggut menyetujui. Sanusi berpikir sejenak. Satu demi satu dia menatap wajah-wajah lelah warganya yang masih setia melakukan pencarian hingga berjam-jam. Dia sendiri pun kelelahan, hanya saja hatinya ikut perih mengingat tangisan Hasnah yang datang menemuinya dini hari tadi."Baiklah kalau begitu. Kita istirahat dulu di sini."Rombongan menghentikan pencarian. Ada yang terenyak di rerumputan. Ada yang menyandarkan punggungnya yang basah oleh peluh ke batang pohon terdekat sembari memejamkan mata. Sebagian warga ada juga yang mulai menyulut obor sebagai sumber penerangan mereka.Sanusi mengayunkan langkah mendekati Hasnah yang masih memeluk erat tas Menur. Wanita itu tersedu-sedan. Suaranya semakin serak memanggil-manggil nama putrinya."Menur ... di mana kah dirimu, Nak? Tak kasihan kah kau pada emakmu ini ...?"Dengan sabar Sanusi meraih bahu Hasnah. Membawa wanita itu untuk duduk di rerumputan seperti yang lainnya."Sabar, Mak Menur. Mari kita istir
Sepasang tangan dengan beberapa bekas luka yang cukup dalam, bergerak kepayahan mengerek air dari sumur. Suara cipratan air akibat gesekan timba dengan tepian sumur, berisik memecah kesunyian malam. Berulang kali air di timba itu muncrat dan tumpah karena lengan pria itu gemetar.Tetes-tetes keringat meluncur dari wajah serta lehernya yang basah. Pria itu, Maymun, baru saja terbangun dari mimpi buruk. Mimpi berulang setiap malam yang menghantuinya. Mimpi mengerikan yang membuatnya depresi, menggila dan hilang kendali. Kemudian setelah bersusah payah kembali pada alam bawah sadarnya, Maymun lari ke luar rumah.Si bujang lapuk itu mengguyur wajah dan sebagian kepalanya menggunakan air dari timba, berharap rasa takut, emosi dan gelisah sirna dalam seketika. Dia tidak ingin kembali tidur. Dia tidak ingin memejamkan mata meski sedetik pun.Masih terpatri jelas dalam ingatannya sosok hantu perempuan berkebaya merah yang datang ke mimpinya. Seraut wajah seputih kapas, matanya semerah darah, k
Maymun melanjutkan langkah takut-takut. Dia berhasil melewati pintu. Tangannya meraba-raba dalam kegelapan mencari sesuatu, menyusuri lekukan dinding tempat biasanya dia menyimpan kotak korek api. Kosong. Dia tak berhasil menemukan benda persegi empat itu.Tangannya meraba-raba lagi, sembari melangkah berhati-hati.Jemarinya mengenai sesuatu: dingin, kaku, dan bikin jantungnya berdesir-desir. Maymun menelan ludah. Dia mencoba menerka dan fokus pada sentuhannya."Hi-hi-hi!"Sesuatu itu mengikik nyaring. Maymun memekik, lantas terpelanting.Kilatan cahaya dari luar, sedikit membantu memberikan penerangan hingga ke dalam rumah. Mata Maymun terbelalak tak percaya. Ternyata sosok hantu perempuan berkebaya merah itu nyata adanya, bukan hanya di mimpinya saja. Hantu kuntilanak merah itu kini tepat berhadapan-hadapan dengannya.Mata menyala Menur menyorot ke wajah Maymun. Saat menyeringai, sudut bibirnya panjang hampir menyentuh telinga.Dengkul Maymun menggigil. Tanpa dia sadari selangkangann
Sabtu Pahing yang gusar. Segusar hati Hasnah yang tak kunjung jua mendapat kabar akan keberadaan Menur. Genap tiga puluh hari sudah putrinya itu menghilang, tapi segala upaya yang dia maupun warga lakukan, tak jua membuahkan hasil.Tempo hari ketika mereka gagal melakukan pencarian di hari pertama, esoknya mereka melakukan pencarian kembali, bahkan Sanusi mengikuti saran para tetua adat kampung untuk bertanya pada seseorang yang paham perihal dunia gaib, Pakdo Ramli, dukun sakti yang tinggal menyendiri di tepian sungai Batanghari.Kala itu sore hendak mendekati senja, ketika semburat jingga masih terlihat di sela-sela dedaunan pohon karet. Sanusi duduk manis di boncengan sepeda ontel yang dikayuh Ujang, asisten kepercayaannya, menuju kediaman Pakdo Ramli. Sanusi kalut, putus asa dan berusaha demi Hasnah agar wanita itu mau makan meski hanya sesuap nasi.Atas kaduan Wati yang selalu menemani Hasnah, Sanusi tahu bahwa Hasnah tidak berniat hidup lagi. Dia menghindari makan, tidur, dan min
Meski sudah tahu bahwa pria di hadapannya adalah dukun sakti yang kata orang-orang: 'Tak perlu lagi memberitahu tujuan kita datang menemuinya, sebab tak ada satu pun rahasia yang bisa disembunyikan pada Pakdo Ramli', tetapi Sanusi dan Ujang tetap saja merasa terheran-heran.Bagian dalam gubuk, tidak kalah seramnya dengan bagian luar. Dinding rumah berhiaskan berbagai macam keris yang beragam bentuk dan ukuran, serta tengkorak dan tanduk kijang yang bersisian.Pakdo Ramli duduk di belakang meja yang mengepulkan asap dari dupa. Dupa tersebut berjejer dengan bermacam sesajen lainnya: segelas kopi, segelas air putih, segelas susu, kembang tujuh rupa, ayam cemani, dan keris berlekuk tiga.Tanpa diperintah lagi, Sanusi memberi kode pada Ujang agar duduk di tikar pandan yang tergelar tak jauh dari mereka berdiri."Saya sudah tahu maksud kedatangan kalian kemari. Jika seorang pemimpin kampung berpayah-payah harus menempuh perjalanan jauh, tentulah ada perkara yang tidak mudah dipecahkan, bukan
Kuak lembu diselingi derik jangkrik mengisi kesunyian malam Desa Niaso, sebuah desa yang berjarak tiga desa saja dari Desa Kumpeh. Berbeda sekali dengan suasana tadi siang, kini desa itu diliputi oleh sepi yang mencengkam. Entahlah, seperti ada yang aneh. Suhu udaranya pun dingin menusuk kulit.Di sebuah rumah berhalaman luas, sampah-sampah sisa pembungkus makanan para tamu berserak di sana-sini. Tenda-tenda yang masih terpancang di tengah halaman, menandakan si empunya baru saja melaksanakan hajatan besar-besaran.Pak Broto menikahkan putri semata wayangnya, Ratna, dengan pemuda kekar nan tampan dari luar desa. Samin berhasil memikat hati dan mempersunting perempuan itu hanya dalam kurun waktu dua bulan pendekatan saja. Anak gadis juragan kaya itu terbuai dalam sejuta janji manis yang diberikan Samin beserta mimpi-mimpi yang masih direncanakannya.Dari teras rumah, lampu kamar Ratna terlihat menyala. Ratna sendiri masih terjaga, di depan kaca rias dia tengah sibuk menyisir rambutnya y
Senyum Pakdo Ramli mengembang penuh wibawa. "Pakdo ingin berpamitan padamu, Nak. Entah kapan kita bisa berjumpa lagi. Rasanya belum puas jika Pakdo tidak berpesan padamu.""Apa itu, Pakdo?" Gadis penasaran."Kau gadis istimewa. Teruslah menebar welas asih. Bantulah sesama makhluk yang membutuhkan bantuanmu, Nak. Kelebihan yang kau punya, jadikan ladang amal bagimu sendiri." Pakdo Ramli menepuk-nepuk pundak Gadis yang terdiam mendengarkan amanat dari dukun sakti itu.Pakdo Ramli lantas berbalik badan, mulai melangkah meninggalkan kebun. Sanusi dan Ujang turut mengantarkan kepergiannya."Sebelum pergi, ada baiknya Pakdo mampir ke warung bakso saya dulu, Pakdo. Saya kasih secara cuma-cuma." Ujang menawarkan."Bagaimana denganku?" Sanusi bersuara. "Perutku juga lapar, Ujang. Tak kasihankah kau padaku, bekas bosmu ini? Setelah ini aku masih akan menempuh perjalanan jauh hingga sampai ke rumah.""Boleh, Pak, boleh. Apa, sih, yang tidak buat Bapak."Percakapan mereka terus berlanjut hingga t
Gerimis membasahi sebuah tempat pemakamam umum di Desa Kumpeh kala senja hari. Para pelayat sejak tadi telah pulang menuju rumah mereka masing-masing. Yang tersisa hanya beberapa orang yang mana wajah mereka terbalut duka lara: Pakdo Ramli, Sanusi, Teh Reni, Nopi, Gadis, serta Ujang yang setia mendekap istrinya yang masih menangis pilu.Tiada yang menyangka sedikit pun, Hasnah meninggalkan dunia selepas jasad Menur diketemukan. Ternyata selama ini dia terus menunggu, hingga pada akhirnya benar-benar pergi setelah mendapatkan kabar yang dinanti-nantikan.Hasnah pun seperti ingin dikebumikan satu liang lahat bersama putrinya, Menur. Hal itu akhirnya terjadi pada hari ini.Gadis yang berdiri di sebelah Nopi, mendekatkan kepalanya ke sepupunya itu lantas berbisik, "Baru sekarang aku melihat cinta seorang ibu yang benar-benar besar untuk anaknya, Nop," ucap Gadis lirih. "Tiba-tiba aja aku jadi pengin pulang dan peluk Ibu," katanya lagi.Nopi tidak bisa berkata-kata. Ucapan Gadis benar adan
Teh Reni, Gadis, juga Nopi pun tak mau ketinggalan. Mereka terlanjur ikut campur dan tidak ingin melewatkan perkembangan masalah itu. Kini mereka juga sudah berada di kebun Teh Reni, turut menyaksikan penggalian, meski tubuh dan mata mereka lelah karena menahan kantuk sepanjang malam.Oleh karena ada kejadian yang memancing penasaran, beberapa warga yang lewat menjadi mampir dan ikut menonton. Alhasil kebun Teh Reni kini dikelilingi oleh banyak warga.Wati dan Hasnah baru saja tiba. Tertatih-tatih wanita tua itu berusaha menyeruak kerumunan warga. Kedatangannya disambut Sanusi yang langsung ikut memapahnya.Hasnah menatap heran Sanusi sebentar. Dia agak susah mengenali postur Sanusi yang tak lagi sama."Mak Hasnah.""Ini kau, si kepala kampung, Sanusi?""Ya, Mak. Mari ikuti saya."Mereka kembali melangkah mendekati sebuah lubang bekas galian. Di sebelah lubang, tergelar selembar tikar yang di atasnya terdapat tengkorak dan tulang belulang manusia. Tak jauh dari tulang belulang itu, ad
Mentari pagi bersinar hangat, berhasil mengusir kabut, lalu mengenyahkan hawa dingin yang menusuk kulit kala subuh hari. Tunas pisang bermunculan, kuncup bunga mulai bermekaran, menandakan kehidupan baru telah datang. Sisa-sisa embun pun masih menempel pada daun dan rerumputan, tetapi siapa pun tahu, mereka akan menguap seiringnya waktu yang terus berjalan.Di ranjang besinya, Hasnah mengerjap-ngerjap. Sinar mentari yang masuk melalui celah-celah jendela, menyilaukan matanya yang dulu berbulu lentik, tetapi kini mulai rabun. Dia bangkit dari rebah, lalu duduk menjuntai kaki di tepian tempat tidur. Lama dipandanginya ubin kamar yang bolong-bolong di sebagian permukaannya itu.Gorden kamarnya disibak Wati yang baru saja melangkah masuk. "Emak sudah bangun?" Wati tersenyum ramah, memperlakukan Hasnah semanis biasanya, tapi mata wanita itu kali ini terlihat bengkak dan sembab."Kenapa dengan wajahmu, Wati? Apa kau habis menangis?"Lagi-lagi Wati hanya tersenyum sebagai jawaban. "Emak mau
Ujang lantas memeluk Pakdo Ramli. "Terima kasih, Pakdo, terima kasih." Suara Ujang bergetar, terselubung rasa haru dan juga rasa syukur. Rasanya beban yang ikut diembannya selama ini, telah menguap bersama asap dari sisa api yang menghanguskan si makhluk merah."Kau juga harus berterima kasih pada bosmu, Ujang. Dia yang telah merawat dan menyimpan keris ini selama aku tak ada." Pakdo menepuk bahu Ujang yang bergetar karena menangis.Sanusi berjalan mendekati. "Kau masih saja cengeng, Ujang. Sudahlah. Malu sama umur." Sanusi dan Pakdo Ramli terbahak bersama. Ujang pun menjadi tersenyum, meski sembari menyeka air mata yang tersisa."Gadis mana, Pakdo?"Nopi yang telah turun dari mobil, menatap ke sekeliling, mencari keberadaan sepupunya.Pertanyaan Nopi membuat Pakdo Ramli teringat bahwa ada satu hal lagi yang harus dia selesaikan malam ini, yakni membebaskan jiwa Menur yang kini terkunci di dalam liontin yang tadi dibawa pergi oleh Gadis.~AA~Hari masih gelap. Waktu masih menunjukkan
Makhluk merah sudah menghunuskan kelima kuku jarinya yang runcing nan tajam, bersiap menyerang Pakdo Ramli yang menatapnya dengan raut pasrah. Dukun itu bukan lah menyerah, hanya saja dia tidak bisa berkerlit. Gerakannya sudah terkunci, tidak bisa berpindah posisi lagi.Akan tetapi, tiba-tiba saja dari arah gerbang masuk kebun, klakson mobil yang berbunyi nyaring mengalihkan perhatian mereka berdua. Makhluk merah tersentak mundur saat lampu mobil Avanza hitam menyorot tepat ke arahnya."Pakdo Ramli!" Sanusi yang baru saja keluar dari bangku penumpang berlari menghampiri. "Ambil ini!" Sekuat tenaga pria itu melemparkan keris berlekuk tiga yang telah terbungkus kembali pada sarung kulitnya.Pakdo Ramli mengambil kesempatan. Pria itu berguling ke samping tiga kali, lalu melompat dengan bertumpu kaki kanannya. Tangan kirinya berhasil menyambar keris, lalu dengan tangan yang lain dia menarik gagang keris itu lantas merapalkan mantra yang telah dia pelajari selama bersamadi.Keris yang tela
Pakdo Ramli mengeretakan rahang. Dadanya dipenuhi amarah menggebu-gebu. Namun, dia tidak boleh terpancing oleh ucapan makhluk merah tersebut. Pakdo Ramli harus bisa berpikir jernih dan mengikuti rencana matang yang telah terpatri di benaknya.Pakdo Ramli mengembuskan napas panjang-panjang. Suaranya terdengar lebih lembut dan membujuk."Menur, anakku. Kau ingat ini, Nak?" Tangan kanan Pakdo teracung di udara, memamerkan kalung liontin milik Menur pada makhluk merah itu. "Kalung ini hadiah dari emakmu di saat usiamu lima belas tahun. Apa kau masih ingat?"Ucapan Pakdo Ramli berhasil mengubah suasana. Angin tak lagi berputar-putar. Kilat yang tadinya menyambar-nyambar, kini berhenti.Separuh sosok menur yang melekat di wujud makhluk merah pun memberi sikap berbeda. Matanya yang tadi semerah bara, kini berubah hitam. "Emak ...," bisiknya lirih. Suaranya pun kembali menjadi milik Menur."Ya, Nak!" teriak Pakdo semakin lantang. "Lawan dia. Bebaskan belenggu yang menahanmu pada dirinya. Aku
Pakdo Ramli duduk bersila menghadap tepat ke arah pohon beringin. Bibirnya yang dikelilingi kumis dan jenggot putih tebal, sibuk komat-kamit merapal mantra. Matanya yang seperti mata elang, fokus menatap tajam. Tangannya bersedekap di depan dadanya yang bidang.Cahaya rembulan yang samar-samar, menyinari sebuah benda yang terselip pada kedua telapak tangannya. Benda itu ialah sebuah kalung liontin berwarna biru. Tertera huruf M pada bandulnya. Kalung itu milik Menur yang diberikan oleh Wati pada Pakdo Ramli, sebelum pria itu meninggalkan rumah Ujang beberapa waktu lalu.Berdasarkan penerawangan Pakdo, jiwa Menur hampir bersatu dengan energi gelap dari makhluk merah penguasa pohon beringin. Menur akan kehilangan kendali dan melupakan jati dirinya jika tidak segera diselamatkan.Untuk itu Pakdo membutuhkan sebuah barang milik Menur yang akan dijadikan alat pemancing agar Menur ingat dan kembali pada dirinya yang dulu."Tunggu sebentar, Pakdo," kata Wati ketika Pakdo Ramli menanyakan per
Pakdo Ramli memperlihatkan bekas luka yang terdapat pada lehernya di bagian sebelah kanan. Wati meringis melihatnya. Luka itu berlubang cukup dalam."Dengan kekuatannya pula, aku dilemparkan hingga ke tebing jurang sana." Pakdo Ramli melanjutkan cerita. "Hingga akhirnya aku tercebur ke arus sungai yang deras. Aku bukan perenang yang handal. Sekuat tenaga aku mencoba mempertahankan diri. Lalu di tepian sungai dekat berbatuan besar, aku melihat Surti.""Lalu, Pakdo?" Nopi kian penasaran."Ada tiupan angin entah dari mana, mendorong tubuhku ke tepian. Di situlah akhirnya aku selamat, meski leherku berdarah-darah."Gadis mengembuskan napas. "Itu Surti, Pakdo. Seperti itulah caranya dia menolongku di malam tempo hari.""Lantas, apa yang Pakdo lakukan selama ini? Kenapa tidak pulang ke rumah Pakdo sendiri?" tanya Ujang."Aku memutuskan pergi dari desa ini, menuju tanah kelahiran kakek buyutku. Di sana aku semadi dan memperdalam ilmu kebatinan. Sengaja, agar setelah aku merasa siap, aku bisa