Lampu yang remang dengan musik yang begitu keras menyambutnya ketika dia masuk ke dalam. Xavier mengedarkan pandangannya mencari sosok yang dikenalnya. Tiba-tiba Noah mendekat dan membisikkan sesuatu padanya, tangan Noah terulur menunjuk tempat paling pojok ruangan bar ini.
Xavier mengangguk, dia berjalan melewati lautan manusia yang sedang asyik berjoget. Banyak tatapan liar dari para wanita penghibur, tapi Xavier mengabaikan mereka.
Salah satu wanita tiba-tiba menghadang jalannya, berpose menggoda sambil mengelus sensual dada Xavier. "Tuan, aku bisa menemanimu malam ini."
Tapi Xavier hanya terkekeh, dia mencekal tangan wanita itu lalu mendorongnya. Xavier terlihat acuh meskipun wanita tadi nampak mengumpat padanya.
"Kau bersenang-senang?" tanya Xavier ketika sampai di depan sebuah meja. Ada seorang lelaki di depannya yang sedang memangku wanita.
"Xavier," ucap lelaki itu riang, dia langsung berdiri, membiarkan wanita yang dipangkunya tadi terjungkal.
Xavier tersenyum, dia langsung memeluk tubuh sahabatnya. "Kenapa kau tak menghubungiku, Scoot?" tanya Xavier.
"Aku berencana datang setelah mengisi tenagaku. Kau tahu, kan, jika aku butuh wanita setiap malamnya." Scoot terkekeh, dia menyuruh Xavier untuk duduk. Tak lupa juga dia menyapa Noah, orang kepercayaan Xavier.
Mata Scoot melirik ke arah wanita yang menemaninya tadi. Mengerti dengan kode itu, wanita itu berdiri, melambai pada temannya yang sedang tidak sibuk. Beberapa saat kemudian, beberapa wanita datang ke meja mereka. Langsung duduk mendekati Xavier dan juga Noah.
Tapi Xavier nampak tak suka, dia mendengus menatap Scoot kesal. "Kau sudah tahu, kan? Aku tak suka ditemani para wanita."
Scoot hanya terkekeh, dia meneguk segelas Red Wine di depannya. "Kukira hal itu sudah berubah."
Melihat Xavier yang tak nyaman, Noah berinisiatif untuk mengusir wanita itu. Dia bahkan menyeret sendiri wanita itu dari dekat Xavier. Mengakibatkan wanita itu menjadi marah karena sikap Noah. Dia bahkan mengumpat pada Noah sebelum beranjak pergi dari sana.
"Kau juga tak berubah, Noah. Selalu tahu apa yang diinginkan oleh Xavier." kata Scoot.
"Aku tak tahu itu pujian atau hinaan," balas Noah melirik Scoot.
Mereka bertiga sama-sama tertawa sesaat, sebelum suasana menjadi canggung. Scoot tampak menyandarkan tubuhnya pada sofa, tangan kanannya mengelus paha wanita yang ada di sampingnya. Tapi tatapannya mengarah ke arah Xavier. "Aku tak menduga jika James akan pergi secepat ini."
"Ini semua salahku, aku yang mengajak James ke tempat sialan itu," kata Xavier sedikit menyesal dengan apa yang telah terjadi.
"Kau tak perlu menyalahkan dirimu seperti ini, itu pasti akan membuat James menyesal. Lebih baik pikirkan cara untuk balas dendam," kata Scoot menasihati.
"Ya, kau benar." Xavier menyalakan rokok di tangannya, menghisapnya lalu mengeluarkan asapnya. Pikirannya saat ini mengarah pada wanita yang ada di rumahnya. Wanita itulah yang pantas bertanggung jawab atas kematian James.
"Bagaimana kabar Grace, kenapa dia tak mengekor di belakangmu?" tanya Scoot yang terkesan menyindir Xavier. Entah mengapa dia tak suka pada kekasih Xavier itu.
"Entahlah, dia bilang ada pekerjaan di luar kota. Sudah hampir sebulan tapi dia belum kembali juga," jawab Xavier dengan acuh.
"Wow, tumben sekali dia betah berjauhan denganmu?" Scoot mengangkat salah satu alisnya mendengar perkataan Xavier. Dia terkekeh kecil, Noah yang di depannya pun ikut tertawa.
"Dia memang seperti anjing Xavier," kata Noah ikut menimpali.
"Sudah selesai mengejekku?" Xavier menatap kesal pada dua temannya itu. Tapi mereka seolah tak peduli dengan Xavier.
Karena Scoot baru saja pulang dari luar negeri, mereka merayakan pertemuan mereka dengan berbincang sampai larut malam. Besok, Scoot berjanji akan datang ke tempat Xavier setelah dia menengok makam James dan mengunjungi keluarga James.
Xavier pulang sendirian malam ini, Noah memutuskan menginap di bar bersama wanita. Jangan ditanya soal Scoot, dia juga pasti mengikuti jejak Noah.
Keheningan malam itu membuat Xavier memikirkan kekasihnya. Dia meraih telepon yang ada di sampingnya, melihat layarnya sebentar untuk mencari nama kekasihnya. Setelahnya dia bergerak untuk menelpon kekasihnya.
Tapi sudah dua kali panggilan, kekasihnya itu tak menjawab. Entah mengapa Xavier merasakan ada yang tidak beres. Kekasihnya itu jarang menghubungi setelah berpamitan pergi sebulan yang lalu. Dia akan memerintahkan Noah untuk menyelidikinya besok. Hati Xavier merasa tak tenang.
**
Sinokmput
Hari masih pagi, tapi suara berisik itu benar-benar mengganggu tidur Xavier. Dengan malas dia terpaksa membuka matanya, bangun dan berjalan ke kamar mandi untuk membasuh wajahnya.Ketika dia membuka pintunya, suara teriakan nyaring langsung memenuhi indra pendengarannya. Seorang wanita cantik dengan mata coklat, bergaya sangat anggun itu langsung memeluknya. Xavier hanya bisa pasrah ketika adiknya itu mulai bermanja-manja padanya."Kau benar mengganggu tidurku, Raylin." keluh Xavier."Oh, ayolah. Sudah 6 bulan kita tak bertemu, tapi kau tetap saja menyebalkan. Aku menunggumu di depan pintu sejak tadi," ucap Raylin merajuk."Kau bisa langsung masuk ke kamar, kenapa harus di depan pintu?" tanya Xavier dengan alis berkerut.Seda
"Kenapa kalian diam saja, cepat tolong," teriak Raylin pada penjaga di depan pintu. Sedangkan para penjaga itu tampak kebingungan. Dia tak mungkin menolong wanita itu karena dia tawanan dari tuan mereka. Tapi melihat keseriusan Raylin yang marah, akhirnya dengan terpaksa mereka menolong wanita itu. Raylin berjalan dengan langkah cepat, diikuti seorang penjaga yang menggendong tubuh Bianca. Raylin menyuruh penjaga itu masuk ke kamar tamu, dan meletakkan tubuh Bianca di ranjang. Setelahnya Raylin memanggil dokter untuk datang ke sini. Sedangkan salah satu penjaga yang ada di depan gudang tadi langsung menemui Xavier untuk memberikan laporan. Tentu saja hal ini membuat Xavier sangat marah, dia langsung pergi meninggalkan teman-temannya di ruang kerja untuk menyusul adiknya itu.
"Kakak," ucap Raylin tercekat. Suasana menjadi tegang, di belakang Xavier, Noah dan Scoot baru saja datang. Xavier masih menatap adiknya tanpa berkedip, seolah matanya itu mampu menguliti adiknya. "Hai, Xavier, apa kabar?" William memecah suasana, dia menampilkan senyuman di bibirnya. Dia yang tak mengetahui permasalahannya tak mengerti dengan situasi yang terjadi di depannya. "Aku baik, kau boleh pulang, William." Xavier bahkan tak menatap ke arah William. Noah yang ada di belakang mencoba memberi isyarat pada William. Membuat William akhirnya pamit pada mereka dan beranjak pergi dari sana. "Jangan gegabah, Xavier. Dia adikmu," ucap Scoot memperingati. Tapi Xavier seolah ta
"Apa dia mencoba kabur?" tanya Scoot melihat seorang wanita di depannya. "Sepertinya iya," gumam Noah menimpali. Xavier masih diam menatap tajam Bianca. Melihat bekas darah yang menetes di lantai, Xavier yakin jika wanita itu mencabut paksa selang infusnya. Xavier mendekati Bianca, kakinya menendang tubuh Bianca. Tapi wanita itu sama sekali tak meresponnya. "Dia tak mungkin bangun, bodoh. Dia pingsan." Scoot mencemooh Xavier, dia langsung bergerak menggendong tubuh Bianca dan membawanya kembali ke kamar tamu. Xavier yang melihat itu mendengus, padahal dia ingin menyeret saja wanita itu. Benar-benar merepotkan. Akhirnya dia berjalan mengikuti Scoot, sedangkan Noah memanggil Tia untuk membersihkan lantai yang terkena
Setelah memastikan tak ada yang melihatnya, Raylin segera mengunci kamar tamu. Dia berbalik, dan betapa terkejutnya dia melihat Bianca yang tergolek lemas di lantai.Raylin segera menghampiri Bianca, mencoba mengguncang tubuh Bianca. "Kau tak apa?" tanya Raylin pelan.Mata Bianca berkedip, dia hanya bisa mengangguk pada Raylin. Dirinya benar- benar sangat lemas. Raylin yang melihat itu membantu Bianca untuk berbaring di ranjang. Meski tampak kesusahan, tapi akhirnya dia berhasil juga."Apa yang sebenarnya kakak lakukan padamu?" gumam Raylin dengan nafas terengah setelah mengangkat Bianca.Melihat luka Bianca yang kembali berdarah, Raylin berinisiatif untuk mengobatinya. Untung saja tadi William meninggalkan beberapa peralatan P3K di kamar ini.
"Raylin, kemarilah," pinta Scoot antusias ketika melihat adik temannya itu keluar dari pintu samping.Mendengar itu, Xavier menoleh. Xavier melihat adiknya itu mengerucutkan bibir sambil menatap kesal pada Scoot. Bukannya duduk di samping Scoot, Raylin malah duduk di samping Noah."Menyingkir, Noah. Aku ingin duduk di samping wanitaku," kata Scoot mengusir Noah.Tapi Noah mengabaikan Scoot, dia kembali sibuk dengan teleponnya. Scoot yang melihat ini menjadi kesal dan Raylin hanya bisa terkekeh dengan tingkah mereka.Kemudian, Raylin menoleh untuk menatap kakaknya. Dia sedikit gugup menyadari kesalahannya. "Ada apa, Kak?""Dari mana saja kau? Mommy menelpon, dia tak bisa menghubungi dirimu." Xavier menatap Raylin seksama.
"Adikmu meminta...""Mommy sedikit bosan, di sana terlalu dingin membuat aktivitas menjadi tak nyaman." Maria meringis setelah memotong ucapan suaminya, dia menatap suaminya dengan kode kedipan mata. Dia sudah berjanji, ini akan menjadi rahasia tentang dirinya dan Raylin.Melihat itu, Jacob hanya menghela nafas malas. Dia berjalan mendekat ke arah Noah dan Scoot, ikut duduk bersama lelaki muda di sana.Xavier yang masih ada di depan Maria hanya ber-oh ria. "Apa udaranya begitu dingin? Aku jadi ingin bermain sky di sana." Xavier melepas halus dekapan Maria pada Raylin, setelah itu dia memeluk ibunya dan membawanya masuk ke dalam.Raylin yang melihat ini menjadi cemberut, dia ingin segera menyusul ibunya. Tapi tugasnya seakan berteriak memanggil namanya untuk segera disele
Maria masih menatap tajam tiga lelaki di depannya. Kakinya menyilang dengan anggun. Di belakang Maria, ada Jacob yang senantiasa menemani. Jacob memegang pundak Maria, seakan menahan wanita paruh baya itu agar tidak kelewatan ketika marah."Siapa yang bisa menjelaskan tentang ini?" tanya Maria dengan dingin. Wanita yang biasanya lembut itu berubah seperti singa yang siap menerkam mangsanya"Aku benar-benar tidak tahu, jadi aku tak bisa menjelaskan," ucap Scoot angkat tangan dengan masalah yang terjadi. Hal ini membuat Xavier dan Noah meliriknya tajam."Xavier, Noah," panggil Maria menatap mereka.Xavier menghembuskan nafas pelan, duduk dengan tegak dan menatap ibunya. "Dia yang membunuh James," ucap Xavier dengan singkat.Mar
"Xavier," panggil Bianca sekali lagi, karena lelaki itu tak merespon. Dia yang awalnya rebahan di sofa, kini beranjak untuk mendekati Xavier. "Hey, ada apa?" tanya Bianca sekali lagi dengan raut wajah yang cemas, apalagi saat melihat Xavier terlihat begitu serius. Embusan napas kasar terdengar dari bibir Xavier. Dia yang tadinya sedang mengancingkan baju kemejanya, mulai terhenti. Dia berbalik untuk menatap Bianca, sedangkan tubuhnya menyandar pada lemari. "Ada masalah dengan pengiriman barang-barangku, Bianca. Seseorang telah mencurinya," jawab Xavier terkesan lemas. "Barang apa?" tanya Bianca dengan dahi berkerut dalam. Seulas senyum tipis terukir di bibir Xavier. Dia mengacak-acak rambut Bianca dengan sedikit kasar. "Kau tak akan paham, sekalipun aku menjelaskan."Lelaki itu kembali merapikan pakaiannya, setelah siap, dia menatap Bianca dengan lekat. Kedua tangannya menangkup pipi Bianca, tatapannya begitu lembut pada wanita itu. "Jangan khawatir, semuanya pasti akan baik-baik
"Maafkan aku, Bianca, tapi aku tidak bisa meneruskan ini," lirih Xavier masih dengan napas terengah begitu ciumannya terlepas. Dia memejamkan mata, sambil menyatukan keningnya di kening Bianca. Lelaki itu masih berada di atas tubuh Bianca, dengan tangan sedikit menopang agar tak menindih wanita itu. Bianca mengangguk pelan, dia ikut memejamkan mata, seolah meresap kehangatan napas Xavier yang menerpa wajahnya. Tangannya masih melingkar apik di leher Xavier, dengan kaki yang sudah terbuka. "Maafkan aku," ucap Xavier sekali lagi. Dia mengecup kening Bianca lalu bangun dengan perlahan. Penampilan mereka benar-benar sudah berantakan saat ini. Xavier yang bertelanjang dada dengan pakaian yang sudah tercecer di lantai, dengan Bianca yang kancing blousenya sudah terlepas sebagian. Rambut wanita itu bahkan terlihat acak-acakan saat mencoba untuk bangun. "Apa semua ini salah bagimu, Xavier? Apa kali ini kau akan bilang kau kalap lagi?" tanya Bianca dengan tatapan
"Xavier," ucap Bianca lirih begitu ciuman mereka terlepas. Napasnya tampak kepayahan, akibat Xavier tak membiarkannya bernapas sedikit pun. Matanya juga tampak sendu dengan jantung yang berdegup kencang. Tangan Bianca masih mencengkram bahu Xavier dengan keras. Xavier tak menjawab, lelaki itu malah membawa Bianca berenang ke tepian. Tapi bukannya mengajak wanita itu naik, Xavier malah menggendong Bianca dalam air. Dia membiarkan kaki wanita itu melingkar pada pinggulnya, dengan tangan yang memeluk lehernya erat. Mata Xavier menatap wajah Bianca tanpa berkedip, kedua tangannya bahkan sudah menangkup pipi wanita itu. Lagi-lagi, tanpa aba-aba, dia kembali mencium bibir Bianca. Kali ini ciuman itu terkesan sedikit liar, keduanya saling membalas dengan rakus. Melumat bahkan menggigit kecil bibir satu sama lain. Berpindah posisi kepala saling miring dari kiri ke kanan. Langit seolah mendukung, sore yang beranjak malam menampilkan senja yang begitu indah. Angin bertiup lembut mengiringi
"Grace, apa yang kau lakukan di sini?" tanya Xavier dengan dahi berkerut dalam saat menatap sang kekasih. "Siapa dia?" tanya Xavier lagi, melirik sadis lelaki yang ada di samping Grace. Grace terkekeh, saat melihat tatapan cemburu dari Xavier. Dia menggenggam tangan lelaki itu dengan lembut. "Dia David, klien baruku. Kami baru saja membicarakan bisnis di sini," kata Grace. Tiba-tiba saja dia berjinjit untuk lebih mendekat ke arah Xavier, dengan nada yang berbisik, dia mulai berkata, "Kau tahu, dia menawariku menjadi model iklan sebuah produk dari perusahaannya, dan harganya benar-benar fantastis." "Grace." Xavier sedikit menggeram setelah mendengar ucapan Grace, dia menatap tajam kekasihnya. Dengan nada yang angkuh, dia mulai berkata, "Aku bahkan bisa memberikanmu semuanya, kenapa kau masih saja menerima pekerjaan seperti ini? Bukankah kau hilang akan libur panjang untuk menemaniku?" Mata Grace melotot, dia langsung menarik tangan Xavier untuk sedikit menjauh dari David dan juga
"Bianca…." "Bi…." Xavier memanggil-manggil nama wanita yang sekarang menjadi asistennya tersebut, dia juga mengguncang kecil baju Bianca untuk membangunkan wanita itu. Tatapan Xavier begitu lekat, saat memandangi wajah pulas Bianca yang tertidur. Hal ini tentu saja membuat Bianca terusik, dia melenguh sebentar, mencoba mengganti posisi kepalanya ke samping untuk kembali tidur. Tapi ketika dia merasakan sentuhan pada bahunya, tiba-tiba saja dia merasa terkejut. Wanita itu bangun dengan wajah yang kaget, apalagi saat melihat Xavier ada di depannya. Alis Xavier terangkat sebelah melihat hal itu, dia tidak tahan untuk tersenyum karena tingkah Bianca terlihat menggemaskan. Apalagi dengan mata bulat sempurna Bianca yang melotot dengan tubuh yang menegang. "Kau tidak apa-apa?" tanya Xavier yang masih duduk di meja, menatap Bianca lekat. "Xavier…." Bianca sendiri tampak salah tingkah, wanita itu menjadi gugup lalu berpura-pura sibu
"Bianca, kau sudah siap?" Wanita yang baru saja merapikan rambutnya itu segera menoleh ketika mendengar namanya dipanggil. Dia dengan cepat berdiri, berjalan menuju pintu dan membukanya. Bisa Bianca lihat, Noah tengah berdiri di depan kamarnya dengan wajah terlihat datar tanpa emosi. "Hai, Noah," sapa Bianca, meskipun begitu dia tetap memberikan senyum manisnya pada lelaki itu. . "Apa kau sudah siap? Xavier memintaku mengajakmu ke kantor sekarang," kata Noah to the point, mengungkapkan alasannya menghampiri Bianca di pagi hari. "Ah, ya, bisakah kau tunggu sebentar, aku akan mengambil tasku," kata Bianca. Dia bahkan tak menunggu respon Noah dan kembali masuk begitu saja. Kakinya yang masih pincang saat dibawa berjalan, membuatnya tampak kesusahan. Bahkan beberapa kali dia meloncat dengan satu kaki, agar langkahnya tak terlalu lambat. Bianca kembali ke meja riasnya, memoles lipstik di bibirnya dengan tergesa, lalu mengambil tas yang te
"Hai," sapa Grace yang semakin membuat Bianca kikuk. Wanita itu memaksakan senyuman, lalu menyambut uluran tangan kekasih Xavier. Dia mengangguk kecil saat berkata, "Bianca." "Apa kita pernah bertemu sebelumnya? Wajahmu terasa tak asing," ucap Grace berbasa-basi. Tapi hal ini membuat Bianca merasa bingung, pasalnya dia baru pertama kali bertemu dengan Grace, kenapa wanita itu mengatakan hal yang demikian? "Sepertinya kau salah orang, aku baru pertama kali di sini," kata Bianca. "Dia akan menjadi asistenku di kantor mulai besok," tutur Xavier menyela ikut mendekat, lalu merangkul tubuh Grace dari samping. "Benarkah? Bukankah sudah ada Scoot dan Alexander?" pekik Grace seolah terkejut. Hal ini membuat Xavier terkekeh. "Aku masih perlu banyak orang untuk mengurusi bisnis-bisnisku, agar aku mempunyai banyak waktu luang untukmu," ungkapnya sambil mencuri ciuman dari Grace. Maria yang sejak tadi diam memperhatikan menjadi tak tahan lagi. Wanita paruh baya itu berdehem keras, sampai
"Bianca," panggil Maria sedikit terengah saat tangannya ditarik untuk berjalan cepat oleh Bianca. Wanita yang sudah menginjak usia matang itu sedikit kepayahan, mengikuti langkah lebar Bianca. "Berhenti, Bianca, sebenarnya ada apa ini?" tanya Maria yang tidak tahan, akhirnya menghempaskan genggaman tangan wanita itu. Entah kenapa dia merasa penasaran dengan sikap Bianca yang tiba-tiba panik sejak tak sengaja menabrak seseorang tadi. Maria ingat, jika lelaki itu memanggil nama Bianca. Dan sedetik kemudian, Bianca mulai menariknya untuk mengajak kabur. Apa mereka saling mengenal? Pikir Maria bertanya-tanya. Dia menatap Bianca dengan lekat, seolah menunggu jawaban wanita itu. "Jangan di sini, Nyonya. Aku akan menjelaskan semuanya. Tapi tolong jangan di sini," pinta Bianca dengan wajah memelas. Meraih tangan Maria lagi dalam genggaman. Dahi Maria yang melihat itu berkerut dalam. Tapi dia tidak ingin ada masalah yang tidak diinginkan terjadi. Akhirnya wanita paruh baya itu mengangguk,
"Xavier, astaga … aku benar-benar merindukanmu!" Begitu Xavier baru saja membuka pintu rumahnya, Grace datang menghampiri dirinya dengan manja. Wanita itu bahkan langsung memeluknya begitu saja, tanpa rasa malu meskipun ada orang lain di sini. Xavier sendiri tampak menikmati pelukan tersebut, dia mengecup kepala kekasihnya berkali-kali sebelum melepaskan. Dia mulai menarik Grace untuk duduk di sofa. "Pergilah, Alexander. Aku tidak membutuhkanmu sekarang!" usir Xavier ketika melihat asistennya masih ada di sini. Tatapan matanya begitu datar, mengawasi Alexander sampai lelaki itu menghilang di balik dinding. Setelah memastikan tak ada orang lain lagi, Xavier mulai menatap kekasihnya. "Ke mana saja kau selama ini? Tak ada kabar, bahkan teleponmu tidak bisa dihubungi. Aku sudah melacak dirimu, tapi hasilnya sia-sia. Apa selama ini kau selingkuh di belakangku?" tanya Xavier beruntun dengan nada yang mendesak. Dia memang begitu merindukan kekasihnya, tapi menghilangnya wanita itu selam