Maria masih menatap tajam tiga lelaki di depannya. Kakinya menyilang dengan anggun. Di belakang Maria, ada Jacob yang senantiasa menemani. Jacob memegang pundak Maria, seakan menahan wanita paruh baya itu agar tidak kelewatan ketika marah.
"Siapa yang bisa menjelaskan tentang ini?" tanya Maria dengan dingin. Wanita yang biasanya lembut itu berubah seperti singa yang siap menerkam mangsanya
"Aku benar-benar tidak tahu, jadi aku tak bisa menjelaskan," ucap Scoot angkat tangan dengan masalah yang terjadi. Hal ini membuat Xavier dan Noah meliriknya tajam.
"Xavier, Noah," panggil Maria menatap mereka.
Xavier menghembuskan nafas pelan, duduk dengan tegak dan menatap ibunya. "Dia yang membunuh James," ucap Xavier dengan singkat.
Mar
Ruang makan malam ini terlihat ramai daripada biasanya. Ada Scoot yang memutuskan untuk menginap bersama Noah, ada Raylin dan juga orang tua Xavier yang singgah mengunjungi Xavier.Tia menghidangkan banyak makanan di meja, dibantu oleh Raylin. Meskipun sebatas pembantu dan tuan rumah, tapi mereka tampak akrab."Di mana, Mom?" tanya Xavier pada ayahnya yang duduk di depannya.Jacob tampak mencari keberadaan istrinya, bibirnya melengkung membentuk senyuman ketika melihat istrinya baru saja datang.Rahang Xavier mengetat melihat ibunya datang bersama Bianca. Ibunya bahkan dengan telaten membantu Bianca berjalan. Suasana berubah menjadi lebih canggung, Xavier tak melepaskan pandangannya dari Bianca."Aku akan makan di luar."Xavier baru saja ingin beranjak, tapi suara ibunya yang tegas tanpa bisa dibantah membuat Xavier mengurungkan niatnya."Pergilah, dan jangan kembali." Begitulah ucapan Maria pada anaknya.Dengan terpaksa, Xavie
"Kau yakin tidak ikut pulang?" tanya Maria pada anak perempuannya setelah melepaskan pelukan.Hari ini, Jacob mengajak Maria untuk pulang. Meskipun mereka sudah menghabiskan banyak waktu, tapi tetap saja, lelaki itu selalu mempunyai rasa cemburu ketika Maria lebih dekat dengan anak-anaknya."Aku akan di sini beberapa hari lagi, Mom." Raylin tersenyum, mencoba meyakinkan orang tuanya agar tak merasa khawatir."Baiklah, cepatlah pulang. Mom akan kesepian di rumah sendirian.""Ehmm." Jacob berdehem, menatap Maria dengan kesal. Membuat Maria hanya bisa memutar bola mata dengan malas."Lihatlah, daddy bahkan cemburu denganmu," bisik Maria yang membuat Raylin terkekeh."Ayolah, ha
Menyadari posisi mereka saat ini, Xavier langsung mendorong tubuh Bianca begitu saja. Xavier berdiri, mengibaskan tangan pada dadanya, seolah jijik telah bersentuhan dengan Bianca."Jangan mengambil kesempatan, jalang. Aku tak akan pernah masuk dalam perangkapmu," kata Xavier dengan dingin.Melihat itu, Bianca memutar bola matanya malas. Dia juga tak sudi bersentuhan dengan Xavier. Dengan tertatih, Bianca mencoba bangun lalu menyilangkan tangannya di dada."Bisakah aku mempunyai privasi, aku tak suka seseorang masuk ke ruanganku tanpa izin."Xavier yang mendengar itu melongo, tapi tiba-tiba dia terkekeh. "Apa kau sedang bermimpi? Ruanganmu? Bahkan kau ada di rumahku saat ini, dan kau berlagak seolah tuan rumah?" ucap Xavier menggelengkan kepala sambil berdecak.
Sepanjang hari, Bianca benar-benar merasa kesal karena ucapan Xavier. Bagi Bianca, Xavier adalah sosok yang penuh percaya diri. Memang siapa yang mau menggoda lelaki kejam seperti dia? Itulah yang ada di pikiran Bianca.Keringat membasahi wajahnya, rasa lelah karena seharian bekerja membuat tubuhnya kembali merasa lemas. Ketika hari mulai sore, Bianca kembali ke kamarnya.Bianca sedikit terkejut mendapati setumpuk baju di ranjang. Dengan jalan yang tertatih, wanita itu mendekati dan menemukan secarik kertas di atas baju.'Aku mendengar kau akan tetap di sini, jadi pakailah pakaianku untuk sementara.'Bianca tersenyum tipis membaca pesan dari Raylin. Dia segera mengambil dan menata baju tersebut di lemari yang ada di depan ranjang. Merasa gerah, akhirnya Bianca memutuskan
Bianca mencoba berdiri, kepalanya menoleh kesana kemari dengan panik. Ketika dia berbalik dan ingin pergi, tangannya tiba-tiba ditarik oleh lelaki di belakangnya."Hei, kau kabur lagi, ya?" tanya lelaki itu menatap Bianca tajam."Lepas ... tolong lepaskan aku!" Bianca mencoba berontak, tapi genggaman tangan lelaki itu sangat kuat, membuat tangannya malah merasakan sakit.Mata Bianca melotot melihat beberapa anak buah Xavier sudah ada di depannya. Wanita itu hanya bisa mengumpat dalam hati ketika rencana kaburnya gagal.Tujuh orang lelaki datang mengerubungi Bianca, meskipun mereka terlihat lelah, tapi wajah mereka tetap segarang biasanya."Jika Xavier tahu tawanannya lepas, matilah kalian semua!" seru Scoot. Dia adalah lelaki
Suara ketikan di keyboard memenuhi ruangan bernuansa klasik tersebut. Karena ada urusan mendadak, mengharuskan Xavier datang ke perusahaan.Dia adalah tipikal orang yang suka bekerja di rumah, karena baginya keramaian bisa mengusik ketenangannya. Hanya untuk pekerjaan-pekerjaan tertentu saja dia akan datang. Seperti saat ini.Pintu ruangan diketuk, membuat perhatian Xavier teralihkan. Dia mempersilahkan masuk seseorang yang ternyata sekretarisnya."Selamat siang, Tuan. Ini berkas yang Anda minta." kata Devan.Xavier hanya mengangguk dan mulai memeriksa berkas di depannya. Setelah semuanya sesuai, dia menutup kembali berkas tersebut."Saya juga ingin menyampaikan, pertemuan makan siang Anda dengan tuan Edmund satu jam la
Xavier baru saja selesai menelpon adiknya, sekarang dia ada di dalam mobil, menunggu kedatangan adiknya. Dia sama sekali tidak ada niatan untuk melepaskan borgolnya bersama Bianca. Lelaki itu masih berantipasi jika saja Bianca akan kabur.Jendela mobil diketuk membuat perhatian Xavier teralihkan, lelaki itu membuka kunci pada mobilnya dan membiarkan Raylin untuk masuk."Bianca," pekik Raylin terkejut. "Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Raylin dengan heran."Mom memintanya mengambil bunga," ungkap Xavier tidak membiarkan Bianca untuk menjawab. Lelaki itu mulai melajukan mobilnya kembali."Hei, tangan kalian!" Raylin kembali terkejut ketika melihat tangan kakaknya dan Bianca sedang terborgol."Dia takut aku akan kabur," sind
Bunyi berisik dari orang-orang yang berteriak membuat perhatian Bianca teralihkan. Wanita itu merasa penasaran dan mulai menghampiri asal suara. Dia merasa kaget ketika melihat Xavier sedang dipapah oleh Alexander. Di belakangnya beberapa penjaga mengikuti mereka."Apa yang terjadi?" tanya Bianca mencoba mendekat, tapi tak ada yang menjawab pertanyaannya.Meskipun begitu, Bianca tetap mengikuti ke mana Alexander membawa Xavier. Mereka menaiki tangga menuju kamar Xavier."Di mana nyonya Maria?" tanya Alexander pada Bianca."Nyonya baru saja keluar bersama Raylin tadi. Tuan Jaccob yang menjemput mereka." jawab Bianca.Alexander mendesah kasar, wajahnya terlihat cemas ketika menatap Xavier. "Tolong jaga tuan sebentar, aku
"Xavier," panggil Bianca sekali lagi, karena lelaki itu tak merespon. Dia yang awalnya rebahan di sofa, kini beranjak untuk mendekati Xavier. "Hey, ada apa?" tanya Bianca sekali lagi dengan raut wajah yang cemas, apalagi saat melihat Xavier terlihat begitu serius. Embusan napas kasar terdengar dari bibir Xavier. Dia yang tadinya sedang mengancingkan baju kemejanya, mulai terhenti. Dia berbalik untuk menatap Bianca, sedangkan tubuhnya menyandar pada lemari. "Ada masalah dengan pengiriman barang-barangku, Bianca. Seseorang telah mencurinya," jawab Xavier terkesan lemas. "Barang apa?" tanya Bianca dengan dahi berkerut dalam. Seulas senyum tipis terukir di bibir Xavier. Dia mengacak-acak rambut Bianca dengan sedikit kasar. "Kau tak akan paham, sekalipun aku menjelaskan."Lelaki itu kembali merapikan pakaiannya, setelah siap, dia menatap Bianca dengan lekat. Kedua tangannya menangkup pipi Bianca, tatapannya begitu lembut pada wanita itu. "Jangan khawatir, semuanya pasti akan baik-baik
"Maafkan aku, Bianca, tapi aku tidak bisa meneruskan ini," lirih Xavier masih dengan napas terengah begitu ciumannya terlepas. Dia memejamkan mata, sambil menyatukan keningnya di kening Bianca. Lelaki itu masih berada di atas tubuh Bianca, dengan tangan sedikit menopang agar tak menindih wanita itu. Bianca mengangguk pelan, dia ikut memejamkan mata, seolah meresap kehangatan napas Xavier yang menerpa wajahnya. Tangannya masih melingkar apik di leher Xavier, dengan kaki yang sudah terbuka. "Maafkan aku," ucap Xavier sekali lagi. Dia mengecup kening Bianca lalu bangun dengan perlahan. Penampilan mereka benar-benar sudah berantakan saat ini. Xavier yang bertelanjang dada dengan pakaian yang sudah tercecer di lantai, dengan Bianca yang kancing blousenya sudah terlepas sebagian. Rambut wanita itu bahkan terlihat acak-acakan saat mencoba untuk bangun. "Apa semua ini salah bagimu, Xavier? Apa kali ini kau akan bilang kau kalap lagi?" tanya Bianca dengan tatapan
"Xavier," ucap Bianca lirih begitu ciuman mereka terlepas. Napasnya tampak kepayahan, akibat Xavier tak membiarkannya bernapas sedikit pun. Matanya juga tampak sendu dengan jantung yang berdegup kencang. Tangan Bianca masih mencengkram bahu Xavier dengan keras. Xavier tak menjawab, lelaki itu malah membawa Bianca berenang ke tepian. Tapi bukannya mengajak wanita itu naik, Xavier malah menggendong Bianca dalam air. Dia membiarkan kaki wanita itu melingkar pada pinggulnya, dengan tangan yang memeluk lehernya erat. Mata Xavier menatap wajah Bianca tanpa berkedip, kedua tangannya bahkan sudah menangkup pipi wanita itu. Lagi-lagi, tanpa aba-aba, dia kembali mencium bibir Bianca. Kali ini ciuman itu terkesan sedikit liar, keduanya saling membalas dengan rakus. Melumat bahkan menggigit kecil bibir satu sama lain. Berpindah posisi kepala saling miring dari kiri ke kanan. Langit seolah mendukung, sore yang beranjak malam menampilkan senja yang begitu indah. Angin bertiup lembut mengiringi
"Grace, apa yang kau lakukan di sini?" tanya Xavier dengan dahi berkerut dalam saat menatap sang kekasih. "Siapa dia?" tanya Xavier lagi, melirik sadis lelaki yang ada di samping Grace. Grace terkekeh, saat melihat tatapan cemburu dari Xavier. Dia menggenggam tangan lelaki itu dengan lembut. "Dia David, klien baruku. Kami baru saja membicarakan bisnis di sini," kata Grace. Tiba-tiba saja dia berjinjit untuk lebih mendekat ke arah Xavier, dengan nada yang berbisik, dia mulai berkata, "Kau tahu, dia menawariku menjadi model iklan sebuah produk dari perusahaannya, dan harganya benar-benar fantastis." "Grace." Xavier sedikit menggeram setelah mendengar ucapan Grace, dia menatap tajam kekasihnya. Dengan nada yang angkuh, dia mulai berkata, "Aku bahkan bisa memberikanmu semuanya, kenapa kau masih saja menerima pekerjaan seperti ini? Bukankah kau hilang akan libur panjang untuk menemaniku?" Mata Grace melotot, dia langsung menarik tangan Xavier untuk sedikit menjauh dari David dan juga
"Bianca…." "Bi…." Xavier memanggil-manggil nama wanita yang sekarang menjadi asistennya tersebut, dia juga mengguncang kecil baju Bianca untuk membangunkan wanita itu. Tatapan Xavier begitu lekat, saat memandangi wajah pulas Bianca yang tertidur. Hal ini tentu saja membuat Bianca terusik, dia melenguh sebentar, mencoba mengganti posisi kepalanya ke samping untuk kembali tidur. Tapi ketika dia merasakan sentuhan pada bahunya, tiba-tiba saja dia merasa terkejut. Wanita itu bangun dengan wajah yang kaget, apalagi saat melihat Xavier ada di depannya. Alis Xavier terangkat sebelah melihat hal itu, dia tidak tahan untuk tersenyum karena tingkah Bianca terlihat menggemaskan. Apalagi dengan mata bulat sempurna Bianca yang melotot dengan tubuh yang menegang. "Kau tidak apa-apa?" tanya Xavier yang masih duduk di meja, menatap Bianca lekat. "Xavier…." Bianca sendiri tampak salah tingkah, wanita itu menjadi gugup lalu berpura-pura sibu
"Bianca, kau sudah siap?" Wanita yang baru saja merapikan rambutnya itu segera menoleh ketika mendengar namanya dipanggil. Dia dengan cepat berdiri, berjalan menuju pintu dan membukanya. Bisa Bianca lihat, Noah tengah berdiri di depan kamarnya dengan wajah terlihat datar tanpa emosi. "Hai, Noah," sapa Bianca, meskipun begitu dia tetap memberikan senyum manisnya pada lelaki itu. . "Apa kau sudah siap? Xavier memintaku mengajakmu ke kantor sekarang," kata Noah to the point, mengungkapkan alasannya menghampiri Bianca di pagi hari. "Ah, ya, bisakah kau tunggu sebentar, aku akan mengambil tasku," kata Bianca. Dia bahkan tak menunggu respon Noah dan kembali masuk begitu saja. Kakinya yang masih pincang saat dibawa berjalan, membuatnya tampak kesusahan. Bahkan beberapa kali dia meloncat dengan satu kaki, agar langkahnya tak terlalu lambat. Bianca kembali ke meja riasnya, memoles lipstik di bibirnya dengan tergesa, lalu mengambil tas yang te
"Hai," sapa Grace yang semakin membuat Bianca kikuk. Wanita itu memaksakan senyuman, lalu menyambut uluran tangan kekasih Xavier. Dia mengangguk kecil saat berkata, "Bianca." "Apa kita pernah bertemu sebelumnya? Wajahmu terasa tak asing," ucap Grace berbasa-basi. Tapi hal ini membuat Bianca merasa bingung, pasalnya dia baru pertama kali bertemu dengan Grace, kenapa wanita itu mengatakan hal yang demikian? "Sepertinya kau salah orang, aku baru pertama kali di sini," kata Bianca. "Dia akan menjadi asistenku di kantor mulai besok," tutur Xavier menyela ikut mendekat, lalu merangkul tubuh Grace dari samping. "Benarkah? Bukankah sudah ada Scoot dan Alexander?" pekik Grace seolah terkejut. Hal ini membuat Xavier terkekeh. "Aku masih perlu banyak orang untuk mengurusi bisnis-bisnisku, agar aku mempunyai banyak waktu luang untukmu," ungkapnya sambil mencuri ciuman dari Grace. Maria yang sejak tadi diam memperhatikan menjadi tak tahan lagi. Wanita paruh baya itu berdehem keras, sampai
"Bianca," panggil Maria sedikit terengah saat tangannya ditarik untuk berjalan cepat oleh Bianca. Wanita yang sudah menginjak usia matang itu sedikit kepayahan, mengikuti langkah lebar Bianca. "Berhenti, Bianca, sebenarnya ada apa ini?" tanya Maria yang tidak tahan, akhirnya menghempaskan genggaman tangan wanita itu. Entah kenapa dia merasa penasaran dengan sikap Bianca yang tiba-tiba panik sejak tak sengaja menabrak seseorang tadi. Maria ingat, jika lelaki itu memanggil nama Bianca. Dan sedetik kemudian, Bianca mulai menariknya untuk mengajak kabur. Apa mereka saling mengenal? Pikir Maria bertanya-tanya. Dia menatap Bianca dengan lekat, seolah menunggu jawaban wanita itu. "Jangan di sini, Nyonya. Aku akan menjelaskan semuanya. Tapi tolong jangan di sini," pinta Bianca dengan wajah memelas. Meraih tangan Maria lagi dalam genggaman. Dahi Maria yang melihat itu berkerut dalam. Tapi dia tidak ingin ada masalah yang tidak diinginkan terjadi. Akhirnya wanita paruh baya itu mengangguk,
"Xavier, astaga … aku benar-benar merindukanmu!" Begitu Xavier baru saja membuka pintu rumahnya, Grace datang menghampiri dirinya dengan manja. Wanita itu bahkan langsung memeluknya begitu saja, tanpa rasa malu meskipun ada orang lain di sini. Xavier sendiri tampak menikmati pelukan tersebut, dia mengecup kepala kekasihnya berkali-kali sebelum melepaskan. Dia mulai menarik Grace untuk duduk di sofa. "Pergilah, Alexander. Aku tidak membutuhkanmu sekarang!" usir Xavier ketika melihat asistennya masih ada di sini. Tatapan matanya begitu datar, mengawasi Alexander sampai lelaki itu menghilang di balik dinding. Setelah memastikan tak ada orang lain lagi, Xavier mulai menatap kekasihnya. "Ke mana saja kau selama ini? Tak ada kabar, bahkan teleponmu tidak bisa dihubungi. Aku sudah melacak dirimu, tapi hasilnya sia-sia. Apa selama ini kau selingkuh di belakangku?" tanya Xavier beruntun dengan nada yang mendesak. Dia memang begitu merindukan kekasihnya, tapi menghilangnya wanita itu selam