Xavier baru saja selesai menelpon adiknya, sekarang dia ada di dalam mobil, menunggu kedatangan adiknya. Dia sama sekali tidak ada niatan untuk melepaskan borgolnya bersama Bianca. Lelaki itu masih berantipasi jika saja Bianca akan kabur.
Jendela mobil diketuk membuat perhatian Xavier teralihkan, lelaki itu membuka kunci pada mobilnya dan membiarkan Raylin untuk masuk.
"Bianca," pekik Raylin terkejut. "Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Raylin dengan heran.
"Mom memintanya mengambil bunga," ungkap Xavier tidak membiarkan Bianca untuk menjawab. Lelaki itu mulai melajukan mobilnya kembali.
"Hei, tangan kalian!" Raylin kembali terkejut ketika melihat tangan kakaknya dan Bianca sedang terborgol.
"Dia takut aku akan kabur," sind
Bunyi berisik dari orang-orang yang berteriak membuat perhatian Bianca teralihkan. Wanita itu merasa penasaran dan mulai menghampiri asal suara. Dia merasa kaget ketika melihat Xavier sedang dipapah oleh Alexander. Di belakangnya beberapa penjaga mengikuti mereka."Apa yang terjadi?" tanya Bianca mencoba mendekat, tapi tak ada yang menjawab pertanyaannya.Meskipun begitu, Bianca tetap mengikuti ke mana Alexander membawa Xavier. Mereka menaiki tangga menuju kamar Xavier."Di mana nyonya Maria?" tanya Alexander pada Bianca."Nyonya baru saja keluar bersama Raylin tadi. Tuan Jaccob yang menjemput mereka." jawab Bianca.Alexander mendesah kasar, wajahnya terlihat cemas ketika menatap Xavier. "Tolong jaga tuan sebentar, aku
Xavier benar-benar telah keterlaluan mengerjai Bianca. Lelaki itu bahkan menyuruh Bianca untuk menggosok seluruh tubuhnya. Seolah urat malu lelaki itu telah putus, dia hanya memakai pakaian dalam ketika Bianca membantunya untuk mandi.Bianca sendiri terlihat pasrah. Meskipun begitu, sejak tadi dia hanya memejamkan mata saat menyentuh tubuh Xavier. Jantung wanita itu berdegup sangat kencang, saat tak sengaja melihat singa milik Xavier yang menyembul di balik pakaian segitiga itu."Kau sudah bersih saat ini." Tiba-tiba Bianca berdiri. Wanita itu memunggungi Xavier, tak ingin melihat lelaki tersebut."Bagaimana kau tahu tubuhku sudah bersih, jika sedari tadi kau memejamkan mata," sindir Xavier. Entah mengapa ada perasaan senang ketika dia menggoda wanita tersebut."Ke
"Xavier, kemarilah," kata Maria begitu wanita itu melihat putranya. Tangannya melambai dengan senyum paling manis, wanita paruh baya itu sedang duduk di meja makan bersama Bianca.Xavier tersenyum, tak mampu menolak pesona ibunya. Lelaki itu berjalan dengan pincang menuju kursi di samping ibunya. "Apa ini?" tanyanya heran melihat meja yang berantakan."Mommy sedang membuat kue dari resep yang diberikan Bianca. Rasanya benar-benar lezat, kau mau mencoba?" tanya Maria menatap putranya.Tak ingin mengecewakan sang ibu, Xavier mengangguk. Sesekali dia melirik ke arah Bianca yang sedang menghias roti.Maria mengambil roti yang ada di depannya. Roti itu benar-benar terlihat menggoda dengan sentuhan buah berry di atasnya. Warnanya yang merah membuat roti tersebut bertambah mena
Merasakan ciumannya tak bersambut, membuat Xavier menghentikan aktivitasnya. Perlahan lelaki itu melepaskan ciumannya dan menjauhkan wajahnya.Wajahnya menegang, saat tahu ternyata ini semua nyata. Yang Xavier pikirkan tadi hanyalah halusinasi saja. Kini lelaki itu menjadi gugup, menatap Manda dengan salah tingkah."Sepertinya aku terlalu banyak minum alkohol," gumamnya dengan senyuman paksa.Wajah Bianca masih kaku seperti tadi. Tapi menyadari pelukan Xavier terlepas, dengan cepat dia beranjak dari sana. Dia menatap Xavier dengan pandangan rumit."Kau merebut ciuman pertamaku," bisik Manda merasa marah. Wanita itu sampai berkaca-kaca dengan tangan yang menyentuh bibir.Hal ini membuat Xavier salah tingkah, dia belum pernah d
Sejak hari itu, Xavier sedikit menjauh dari Bianca. Lelaki itu tak ingin menanggung resiko oleh perasaan yang diciptakan Bianca. Dia tidak mau mengkhianati kekasihnya dengan membiarkan Bianca mempunyai perasaan padanya.Tapi kehadiran Bianca di rumah, serta apapun yang dilakukan wanita itu sungguh mengusik pikiran Xavier. Lelaki itu sekarang lebih sering memperhatikan Bianca dalam diam. Entah apa yang dia rasakan kini, dia tak tahu. Tapi ada secercah rasa gundah jika sehari saja dia tak melihat Bianca."Xavier, apa kau tak mendengarkan penjelasanku?"Ucapan itu membuat Xavier tersentak, dia menoleh dan melihat Noah ada di depannya. Lelaki itu memegang sebuah kertas sambil menatap dirinya tajam.Embusan napas pelan terdengar dari bibir Xavier. Lelaki itu memejamkan matany
Hari itu juga, Xavier dan Noah mendatangi tempat yang disinyalir menjadi asal Bianca. Keduanya pergi diam-diam, bahkan tak ada orang rumah yang tahu kemana tujuan mereka. Hal yang pertama kali Noah datangi adalah kampus Bianca. Noah bahkan mengajak Xavier untuk masuk ke tempat tersebut. Dia mengingat lagi laporan yang didapatnya kemarin, dan membawa Xavier ke orang-orang yang kenal Bianca. "Kau lihat, mereka benar-benar mengenal Bianca, Xavier," keluh Noah menggebu karena sahabatnya itu masih belum percaya seratus persen. "Bagaimana jika mereka dibayar Constantine untuk berpura-pura?" tuduh Xavier. "Kau selalu berburuk sangka," gumam Noah tak suka. Menghela napas kasar, Xavier mulai duduk dengan tegak. Keduanya sedang ada di kantin kampus, memesan minuman dan mengintrogasi beberapa orang yang dibawa oleh anak buah Xavier. Baru saja Xavier ingin menyeruput minumannya, seorang wanita datang menggebrak meja dengan marah. Mata Xavi
Xavier masih terdiam saat melihat Bianca. Lelaki itu masih memikirkan, kata-kata apa yang tepat untuk meminta maaf pada wanita itu. Ketika matanya tidak sengaja berpapasan dengan Bianca, Xavier mengalihkan wajahnya. Lelaki itu masih belum siap bertatap muka dengan Bianca. Akhirnya dia memilih berbalik dan menuju ke kamarnya.Hari mulai larut, tapi Xavier benar-benar tak bisa tidur. Lelaki itu memilih untuk menikmati malamnya dengan sebotol wine. Membiarkan suasana menjadi sunyi agar dirinya bisa merasa nyaman.Tapi meskipun alkoholnya habis sekali pun, Xavier tetap saja gelisah. Rasa bersalahnya pada Bianca selalu menghantui pikirannya. Yang akhirnya membuat Xavier nekat mencari Bianca. Lelaki itu tak tahu apa yang dipikirkannya saat ini. Dia hanya menuruti kata hatinya saja.Xavier kira, Bianca sudah tertidur. Tapi begitu dia membuka pintu kamar, Bianca masih terjaga dan sedang membaca buku. Xavier terlihat kikuk, karena Bianca menatapnya lekat."Ada apa
Tangisan Bianca semakin kencang, membuat Xavier merasa tak tega. Akhirnya dia memberanikan diri untuk memeluk wanita itu. "Bianca," panggil Xavier dengan lirih. Xavier mengusap-usap punggung Bianca lembut, berusaha menenangkan wanita itu agar tangisannya terhenti. Setelah beberapa saat, tangisan Bianca mulai reda. Wanita itu merasa lega sekarang. Dia melepaskan pelukan Xavier dan mengusap sisa air matanya dengan kasar. "Terima kasih." Ucapan Bianca membuat dahi Xavier berkerut dalam. Dia menatap wanita itu dengan heran. Seolah tahu apa yang tak dipahami Xavier, Bianca tersenyum tipis. "Terima kasih karena pada akhirnya kau percaya padaku. Meskipun itu terlambat tapi tidak apa-apa, daripada tidak sama sekali," ungkap Bianca. "Aku tak pantas mendapat kata terima kasih darimu, Bianca. Aku benar-benar lelaki tak berperasaan yang bodoh. Jangan begitu baik padaku, kau seharusnya marah karena sikapku yang kejam," kata Xavier.
"Xavier," panggil Bianca sekali lagi, karena lelaki itu tak merespon. Dia yang awalnya rebahan di sofa, kini beranjak untuk mendekati Xavier. "Hey, ada apa?" tanya Bianca sekali lagi dengan raut wajah yang cemas, apalagi saat melihat Xavier terlihat begitu serius. Embusan napas kasar terdengar dari bibir Xavier. Dia yang tadinya sedang mengancingkan baju kemejanya, mulai terhenti. Dia berbalik untuk menatap Bianca, sedangkan tubuhnya menyandar pada lemari. "Ada masalah dengan pengiriman barang-barangku, Bianca. Seseorang telah mencurinya," jawab Xavier terkesan lemas. "Barang apa?" tanya Bianca dengan dahi berkerut dalam. Seulas senyum tipis terukir di bibir Xavier. Dia mengacak-acak rambut Bianca dengan sedikit kasar. "Kau tak akan paham, sekalipun aku menjelaskan."Lelaki itu kembali merapikan pakaiannya, setelah siap, dia menatap Bianca dengan lekat. Kedua tangannya menangkup pipi Bianca, tatapannya begitu lembut pada wanita itu. "Jangan khawatir, semuanya pasti akan baik-baik
"Maafkan aku, Bianca, tapi aku tidak bisa meneruskan ini," lirih Xavier masih dengan napas terengah begitu ciumannya terlepas. Dia memejamkan mata, sambil menyatukan keningnya di kening Bianca. Lelaki itu masih berada di atas tubuh Bianca, dengan tangan sedikit menopang agar tak menindih wanita itu. Bianca mengangguk pelan, dia ikut memejamkan mata, seolah meresap kehangatan napas Xavier yang menerpa wajahnya. Tangannya masih melingkar apik di leher Xavier, dengan kaki yang sudah terbuka. "Maafkan aku," ucap Xavier sekali lagi. Dia mengecup kening Bianca lalu bangun dengan perlahan. Penampilan mereka benar-benar sudah berantakan saat ini. Xavier yang bertelanjang dada dengan pakaian yang sudah tercecer di lantai, dengan Bianca yang kancing blousenya sudah terlepas sebagian. Rambut wanita itu bahkan terlihat acak-acakan saat mencoba untuk bangun. "Apa semua ini salah bagimu, Xavier? Apa kali ini kau akan bilang kau kalap lagi?" tanya Bianca dengan tatapan
"Xavier," ucap Bianca lirih begitu ciuman mereka terlepas. Napasnya tampak kepayahan, akibat Xavier tak membiarkannya bernapas sedikit pun. Matanya juga tampak sendu dengan jantung yang berdegup kencang. Tangan Bianca masih mencengkram bahu Xavier dengan keras. Xavier tak menjawab, lelaki itu malah membawa Bianca berenang ke tepian. Tapi bukannya mengajak wanita itu naik, Xavier malah menggendong Bianca dalam air. Dia membiarkan kaki wanita itu melingkar pada pinggulnya, dengan tangan yang memeluk lehernya erat. Mata Xavier menatap wajah Bianca tanpa berkedip, kedua tangannya bahkan sudah menangkup pipi wanita itu. Lagi-lagi, tanpa aba-aba, dia kembali mencium bibir Bianca. Kali ini ciuman itu terkesan sedikit liar, keduanya saling membalas dengan rakus. Melumat bahkan menggigit kecil bibir satu sama lain. Berpindah posisi kepala saling miring dari kiri ke kanan. Langit seolah mendukung, sore yang beranjak malam menampilkan senja yang begitu indah. Angin bertiup lembut mengiringi
"Grace, apa yang kau lakukan di sini?" tanya Xavier dengan dahi berkerut dalam saat menatap sang kekasih. "Siapa dia?" tanya Xavier lagi, melirik sadis lelaki yang ada di samping Grace. Grace terkekeh, saat melihat tatapan cemburu dari Xavier. Dia menggenggam tangan lelaki itu dengan lembut. "Dia David, klien baruku. Kami baru saja membicarakan bisnis di sini," kata Grace. Tiba-tiba saja dia berjinjit untuk lebih mendekat ke arah Xavier, dengan nada yang berbisik, dia mulai berkata, "Kau tahu, dia menawariku menjadi model iklan sebuah produk dari perusahaannya, dan harganya benar-benar fantastis." "Grace." Xavier sedikit menggeram setelah mendengar ucapan Grace, dia menatap tajam kekasihnya. Dengan nada yang angkuh, dia mulai berkata, "Aku bahkan bisa memberikanmu semuanya, kenapa kau masih saja menerima pekerjaan seperti ini? Bukankah kau hilang akan libur panjang untuk menemaniku?" Mata Grace melotot, dia langsung menarik tangan Xavier untuk sedikit menjauh dari David dan juga
"Bianca…." "Bi…." Xavier memanggil-manggil nama wanita yang sekarang menjadi asistennya tersebut, dia juga mengguncang kecil baju Bianca untuk membangunkan wanita itu. Tatapan Xavier begitu lekat, saat memandangi wajah pulas Bianca yang tertidur. Hal ini tentu saja membuat Bianca terusik, dia melenguh sebentar, mencoba mengganti posisi kepalanya ke samping untuk kembali tidur. Tapi ketika dia merasakan sentuhan pada bahunya, tiba-tiba saja dia merasa terkejut. Wanita itu bangun dengan wajah yang kaget, apalagi saat melihat Xavier ada di depannya. Alis Xavier terangkat sebelah melihat hal itu, dia tidak tahan untuk tersenyum karena tingkah Bianca terlihat menggemaskan. Apalagi dengan mata bulat sempurna Bianca yang melotot dengan tubuh yang menegang. "Kau tidak apa-apa?" tanya Xavier yang masih duduk di meja, menatap Bianca lekat. "Xavier…." Bianca sendiri tampak salah tingkah, wanita itu menjadi gugup lalu berpura-pura sibu
"Bianca, kau sudah siap?" Wanita yang baru saja merapikan rambutnya itu segera menoleh ketika mendengar namanya dipanggil. Dia dengan cepat berdiri, berjalan menuju pintu dan membukanya. Bisa Bianca lihat, Noah tengah berdiri di depan kamarnya dengan wajah terlihat datar tanpa emosi. "Hai, Noah," sapa Bianca, meskipun begitu dia tetap memberikan senyum manisnya pada lelaki itu. . "Apa kau sudah siap? Xavier memintaku mengajakmu ke kantor sekarang," kata Noah to the point, mengungkapkan alasannya menghampiri Bianca di pagi hari. "Ah, ya, bisakah kau tunggu sebentar, aku akan mengambil tasku," kata Bianca. Dia bahkan tak menunggu respon Noah dan kembali masuk begitu saja. Kakinya yang masih pincang saat dibawa berjalan, membuatnya tampak kesusahan. Bahkan beberapa kali dia meloncat dengan satu kaki, agar langkahnya tak terlalu lambat. Bianca kembali ke meja riasnya, memoles lipstik di bibirnya dengan tergesa, lalu mengambil tas yang te
"Hai," sapa Grace yang semakin membuat Bianca kikuk. Wanita itu memaksakan senyuman, lalu menyambut uluran tangan kekasih Xavier. Dia mengangguk kecil saat berkata, "Bianca." "Apa kita pernah bertemu sebelumnya? Wajahmu terasa tak asing," ucap Grace berbasa-basi. Tapi hal ini membuat Bianca merasa bingung, pasalnya dia baru pertama kali bertemu dengan Grace, kenapa wanita itu mengatakan hal yang demikian? "Sepertinya kau salah orang, aku baru pertama kali di sini," kata Bianca. "Dia akan menjadi asistenku di kantor mulai besok," tutur Xavier menyela ikut mendekat, lalu merangkul tubuh Grace dari samping. "Benarkah? Bukankah sudah ada Scoot dan Alexander?" pekik Grace seolah terkejut. Hal ini membuat Xavier terkekeh. "Aku masih perlu banyak orang untuk mengurusi bisnis-bisnisku, agar aku mempunyai banyak waktu luang untukmu," ungkapnya sambil mencuri ciuman dari Grace. Maria yang sejak tadi diam memperhatikan menjadi tak tahan lagi. Wanita paruh baya itu berdehem keras, sampai
"Bianca," panggil Maria sedikit terengah saat tangannya ditarik untuk berjalan cepat oleh Bianca. Wanita yang sudah menginjak usia matang itu sedikit kepayahan, mengikuti langkah lebar Bianca. "Berhenti, Bianca, sebenarnya ada apa ini?" tanya Maria yang tidak tahan, akhirnya menghempaskan genggaman tangan wanita itu. Entah kenapa dia merasa penasaran dengan sikap Bianca yang tiba-tiba panik sejak tak sengaja menabrak seseorang tadi. Maria ingat, jika lelaki itu memanggil nama Bianca. Dan sedetik kemudian, Bianca mulai menariknya untuk mengajak kabur. Apa mereka saling mengenal? Pikir Maria bertanya-tanya. Dia menatap Bianca dengan lekat, seolah menunggu jawaban wanita itu. "Jangan di sini, Nyonya. Aku akan menjelaskan semuanya. Tapi tolong jangan di sini," pinta Bianca dengan wajah memelas. Meraih tangan Maria lagi dalam genggaman. Dahi Maria yang melihat itu berkerut dalam. Tapi dia tidak ingin ada masalah yang tidak diinginkan terjadi. Akhirnya wanita paruh baya itu mengangguk,
"Xavier, astaga … aku benar-benar merindukanmu!" Begitu Xavier baru saja membuka pintu rumahnya, Grace datang menghampiri dirinya dengan manja. Wanita itu bahkan langsung memeluknya begitu saja, tanpa rasa malu meskipun ada orang lain di sini. Xavier sendiri tampak menikmati pelukan tersebut, dia mengecup kepala kekasihnya berkali-kali sebelum melepaskan. Dia mulai menarik Grace untuk duduk di sofa. "Pergilah, Alexander. Aku tidak membutuhkanmu sekarang!" usir Xavier ketika melihat asistennya masih ada di sini. Tatapan matanya begitu datar, mengawasi Alexander sampai lelaki itu menghilang di balik dinding. Setelah memastikan tak ada orang lain lagi, Xavier mulai menatap kekasihnya. "Ke mana saja kau selama ini? Tak ada kabar, bahkan teleponmu tidak bisa dihubungi. Aku sudah melacak dirimu, tapi hasilnya sia-sia. Apa selama ini kau selingkuh di belakangku?" tanya Xavier beruntun dengan nada yang mendesak. Dia memang begitu merindukan kekasihnya, tapi menghilangnya wanita itu selam