*** 5 jam sebelum kejadian Bianca tertembak***
"Kau yakin, dia teman bisnisnya?" tanya James yang saat ini mengawasi orang yang duduk di seberang mejanya.
"Ya, saya sudah menyelidikinya. Kita harus segera bertindak, dia kemungkinan tahu semuanya soal orang itu." Alexander menjawabnya dengan penuh keyakinan.
"Bagaimana menurutmu?" James menoleh ke arah sampingnya. Melihat sahabatnya yang sedang menghisap sebuah rokok di tangannya dengan santai. Raut wajahnya terlihat tenang, tapi James yakin, jika di dalam hati Xavier sedang bergejolak menahan rasa untuk tidak segera menerkam mangsanya.
"Lalu apa rencanamu, Alex?" tanya Xavier dengan tenang, namun sorot matanya tajam, seolah mampu membuat orang yang diajaknya berbicara itu terbelah dengan mudah.
"Kita harus mengikutinya, Tuan." Alexander menjawabnya dengan kepala sedikit menunduk.
"Kenapa harus?" tanya Xavier mengangkat salah satu alisnya.
"Karena kesempatan tak datang dua kali, dan saya yakin, jika kedepannya orang itu tahu kita sedang menyelidikinya." jawab Alexander.
Xavier terkekeh, dia mematikan puntung rokoknya dan meneguk segelas Red Wine di depannya. Dia menyadarkan tubuhnya di sofa, dan menatap Alexander dengan tatapan memuji.
"Aku suka gaya pikiranmu." kata Xavier.
Alexander tersenyum sedikit membalas ucapan Xavier. Sedangkan James masih diam mengamati keadaannya. Entah mengapa dia merasa ada yang tidak beres di sini. Tapi James memilih untuk diam tanpa memberitahukan Xavier tentang apa yang ada di dalam benaknya.
Hampir satu jam mereka duduk di sana. Mata mereka bertiga tak lepas dari seorang lelaki yang berpenampilan nyentrik. Rambutnya yang gondrong terkuncir rapi di kepalanya. Hidungnya bertindik, dan ada sebuah tato di samping mata kirinya. Lelaki itu duduk diapit oleh dua wanita seksi.
"Dia bergerak." kata Alexander.
James yang melihat hal itu menatap dua orang yang ada di depannya. "Ayo," ajaknya untuk mengikuti lelaki tersebut.
Xavier mengangguk, dia segera berdiri dan mengikuti langkah James yang keluar dari bar ini. Di pertengahan jalan, mereka berpisah dengan Alexander yang katanya akan menjemput bawahan Xavier yang lain.
"Apa kau tak merasa aneh?" tanya James. Dia yang sedari tadi menahan rasa penasaran ini akhirnya menumpahkannya ke sahabatnya.
"Apa?" tanya Xavier balik dengan acuh.
"Entahlah, aku merasa jika ini terlalu mudah." gumam James.
"Aku tak peduli itu mudah bahkan sulit sekali pun. Yang terpenting aku bisa menangkap dia dan memaksanya untuk membawaku ke bos mereka. Aku masih penasaran siapa dalang di balik semua ini. Orang itu benar-benar menyembunyikan dirinya dengan sempurna." Xavier berbicara panjang lebar, tapi James menghiraukannya.
Mereka berjalan sedikit jauh dari lelaki yang sedang diintainya. Melihat orang itu masuk ke dalam mobil, Xavier dan James dengan cepat ikut masuk ke dalam mobil mereka dan mulai mengikuti orang itu.
"Di mana Alex?" tanya James.
"Sebentar lagi pasti menyusul, dia membawa beberapa orang." jawab Xavier.
James hanya mengangguk-anggukan kepalanya, sambil terus mengawasi mobil yang ada di depannya. Semakin lama mereka mengikuti mobil itu, semakin sepi jalanan yang mereka lewati. Mereka keluar dari perbatasan kota, bahkan sepanjang jalan hanya ada hutan yang sangat gelap.
Mobil di depan mereka memasuki jalan setapak di antara dua pohon pinus yang menjulang tinggi. Xavier memelankan laju mobilnya, sedikit memberikan jarak antara mobilnya. Sampai matanya menangkap sebuah hunian di dalam hutan ini, mobil di depannya masuk begitu gerbang dibuka.
"Di mana Alex? Kenapa lama sekali," keluh James sedikit cemas. Mereka hanya berdua, dan sedang ada di wilayah musuh.
"Dia datang," gumam Xavier melihat mobil melaju di belakangnya.
James dan Xavier keluar, menghampiri mobil Alexander.
"Mana yang lainnya?" tanya James tajam pada Alexander yang hanya membawa 3 orang saja bersamanya.
"Maaf, lainnya ada di mansion, Tuan. Jika saya menjemput mereka, itu membutuhkan waktu lama." jawab Alexander.
"Kau kan bisa menghubungi Noah, dia pasti langsung datang tanpa harus kau jemput." James meninggikan nada suaranya, terlihat sekali dia kesal dengan sikap ceroboh Alexander.
"Sudahlah, ayo." Xavier tak mempersalahkan hal itu, dia malah mengajak semua berpencar.
Xavier bersama salah satu anak buahnya ke sisi timur. James dan Alexander ke sisi selatan. Sedangkan 4 anak buah lainnya berpencar ke utara dan barat. Mereka mencari celah untuk bisa masuk ke dalam.
Ketika Xavier sedang berjalan mengendap, dia tak sengaja bertemu dengan salah satu penjaga mansion tersebut. Penjaga itu langsung berteriak, sehingga teman-temannya ikut keluar. Mereka menembakkan asal pistol mereka ke arah Xavier dan anak buahnya.
Ternyata bunyi tembakan terdengar di seluruh mansion, banyak penjaga yang langsung keluar dan mendapati beberapa penyusup.
Di posisi James dan Alexander. Mereka berdua tampak kewalahan karena menghadapi 5 orang sekaligus. James dan Alexander berlari sampai akhirnya sampai di mobil mereka. Tanpa pikir panjang, Alexander mengajak James untuk masuk dan pergi dari sana.
"Kau gila!" seru James pada Alexander. "Xavier masih ada di sana, kita tidak boleh kabur!" teriak James.
"Kita harus memanggil bantuan, Tuan." jawab Alexander.
Mobil yang ditumpangi mereka melaju ke jalanan yang tadi dilewati oleh James. Melihat sikap tenang Alexander membuat James sedikit curiga. Tiba-tiba James menoleh ke belakang ketika melihat ada 2 buah mobil SUV mengejar mereka.
"Sial, kita dibuntuti, cepat Alex." James merasa sedikit panik dengan situasi saat ini. Tapi dia merasa marah, bukannya mengebut, Alexander malah menghentikan mobilnya di sisi jalan.
"Apa kau gila? Kenapa berhenti?" teriak James panik.
Melihat Alexander yang tiba-tiba menodongkan pistol padanya, James menyadari semuanya. Dia menjadi sangat marah, tapi karena keadaanya terjepit, dia segera keluar dari mobil dan berlari ke dalam hutan. Dia sesekali menoleh ke arah belakang, ternyata banyak orang yang mengejar dirinya.
Karena merasa gugup, James tak sengaja tersandung oleh akar pohon. Dia akhirnya terjatuh, kakinya yang terasa sakit tak mampu membuat dirinya berjalan. James dengan sekuat tenaga tertatih merangkak menjauhi beberapa orang di depannya.
"Kau tidak bisa lari lagi, James." Alexander berjalan mendekat dengan senyum sinis di wajahnya. Lelaki itu menampakkan topeng yang selama ini menutupi wajahnya.
"Bajingan, kau ternyata seorang pengkhianat. Aku akan memberitahukan Xavier tentang hal ini." teriak James.
Alexander yang mendengar itu terkekeh, dia mengeluarkan pistol dan menembak kaki James.
DOR...
"Kau tak akan bisa memberitahukan ini pada Xavier. Karena sebentar lagi kau akan mati."
Tepat setelah berkata seperti itu, Alexander dan orang-orang yang ada di sana memberondong James dengan tembakan peluru. Setelah melihat James tak berdaya, mereka segera pergi dari sana. Meninggalkan James yang sedang sekarat.
~
Di posisi Xavier saat ini. Xavier sedang ada di jalan raya. Entah di mana anak buahnya yang lain, saat ini dia hanya sendiri, dikepung oleh beberapa orang berbadan besar. Lengan tangan kanannya terasa sakit akibat terkena tembakan peluru. Meskipun dia terjepit, dia tak merasa takut dengan situasi saat ini.
Salah satu dari mereka maju, menghadiahkan bogeman yang hampir saja mengenai Xavier. Untung saja Xavier cepat menghindar. Tapi dia benar-benar terdesak saat ini, orang yang ada di belakangnya melihat gerakan Xavier. Dia segera meninju wajah Xavier begitu Xavier mengelak ke belakang.
Pistol yang ada di tangan Xavier terlempar. Tubuhnya terhuyung ke samping. Tapi tak sampai Xavier menahannya, sebuah tinju datang lagi dari sisi kanannya.
Xavier kalah jumlah, dan kalah tenaga. Dia tak bisa berbuat apa pun ketika beberapa orang mulai merangsek maju dan memukuli badannya.
Brak...
Di tengah-tengah kesadarannya yang mulai habis, dia bisa melihat Noah datang membawa beberapa anak buahnya. Mereka saling adu kekuatan, sampai Noah akhirnya mengakhirinya dengan tembakan tepat di dahi musuh satu-persatu.
"Kau tak apa?" tanya Noah membantu Xavier untuk berdiri.
"Ya, aku tak apa. Cari James dan Alexander di sekitar sini."
Para anak buah Xavier yang datang bersama Noah segera berpencar, tapi mereka berkelompok. Sedangkan Xavier masuk ke dalam mobil dibantu oleh Noah. Noah membantu mengikat lengan Xavier agar tak banyak mengeluarkan darah.
"Kita harus pergi dulu, Xavier. Lukamu harus segera diobati." kata Noah.
"Sebentar lagi, kita tunggu yang lainnya."
Akhirnya hampir 15 menit, anak buah Xavier kembali. Tapi mereka hanya menemukan Alexander yang pingsan dengan wajah babak belur. Noah mengajak mereka kembali karena keadaan tak memungkinkan untuk menyusup lagi ke dalam. Akhirnya mereka pergi dari sana tanpa James.
"Mobil siapa itu?" gumam Noah yang ternyata di dengar oleh Xavier yang memejamkan matanya.
"Berhenti sebentar." perintah Xavier.
Akhirnya mereka semua keluar, mengecek mobil yang ada di depan mereka. Tapi mereka tak menemukan sesuatu, di saat mereka memutuskan untuk meninggalkannya, Noah mendengar suara meminta tolong.
"Kau dengar itu? Sepertinya dari arah sana," ucap Noah sambil menunjuk ke arah dalam hutan. "Kita harus memeriksanya." imbuhnya.
Xavier mengangguk, dia berjalan bersama Noah memasuki hutan lebih dalam. Di malam yang hanya diterangi cahaya bulan itu, matanya membulat melihat seseorang yang dikenalnya tergeletak tak berdaya dengan banyak darah di dadanya.
Melihat seorang wanita yang berlari ingin kabur, refleks Xavier mengeluarkan pistolnya dan menembak wanita itu. Tatapan Xavier sangat tajam, dalam hatinya bergejolak kemarahan yang membara melihat kejadian di depan matanya.
**
Sinokmput
Duka mendalam bukan hanya dirasakan oleh keluarga James. Xavier sendiri merasa sangat kehilangan karena kematian sahabatnya. Lelaki itu hanya diam mengamati proses pemakaman yang begitu khidmat.Jaccob berjalan mendekat ke arah anaknya. Dia menepuk pundak anaknya, menyampaikan dengan isyarat jika dirinya ikut berduka dengan hal ini. Sedangkan Maria tak kuasa untuk tidak memeluk anak pertamanya. Wanita yang sudah berumur itu jelas masih terlihat cantik. Matanya terlihat sembab karena menangis. Maria juga merasa kehilangan, apalagi Maria sudah mengenal James sejak Xavier duduk di bangku Junior High School. James adalah salah satu sahabat Xavier yang selalu ada untuk Xavier."Jangan berlarut dalam kesedihan, jaga dirimu baik-baik. Mommy akan pulang sekarang." kata Maria."Thanks, Mom." Hanya kalimat itu yang keluar dari mulut Xavier. Dia bahkan mengabaikan ketika kedua orang tuanya beranjak pergi dari sana.Satu-persatu orang yang ada di sana membubarkan dir
"Dad," sapa Xavier begitu dia sampai di ruang tamu. Dia menoleh ke sana ke mari, mencari keberadaan ibunya. "Di mana Mom?" tanya Xavier."Mommy sedang ada di rumah. Raylin baru saja pulang." jawab Jacob.Xavier mengangguk-anggukan kepalanya. Dia duduk di depan ayahnya, menunggu hal apa yang akan disampaikan oleh ayahnya."Jujur pada Dad, Xavier. Apa kau berurusan dengan Constantin?" tanya Jacob menatap anaknya dengan tajam."Dia mengusik wilayahku lebih dulu, Dad," jawab Xavier dengan santai."Apa kematian James ada hubungannya dengan ini?" tanya Jacob kembali.Xavier tak menjawab, tapi dari sorot mata yang dilihat oleh Jacob, dia yakin jika tebakannya memang benar. Hal ini membuat Jacob menghela nafas pelan, tubuhnya langsung menyandar ke sofa."Seharusnya kau hanya perlu meneruskan usaha Daddy, kenapa kau harus berurusan dengan barang terkutuk seperti itu? Daddy yakin, jika mommy tahu hal ini dia akan marah padamu." Jacob memberi pu
Lampu yang remang dengan musik yang begitu keras menyambutnya ketika dia masuk ke dalam. Xavier mengedarkan pandangannya mencari sosok yang dikenalnya. Tiba-tiba Noah mendekat dan membisikkan sesuatu padanya, tangan Noah terulur menunjuk tempat paling pojok ruangan bar ini.Xavier mengangguk, dia berjalan melewati lautan manusia yang sedang asyik berjoget. Banyak tatapan liar dari para wanita penghibur, tapi Xavier mengabaikan mereka.Salah satu wanita tiba-tiba menghadang jalannya, berpose menggoda sambil mengelus sensual dada Xavier. "Tuan, aku bisa menemanimu malam ini."Tapi Xavier hanya terkekeh, dia mencekal tangan wanita itu lalu mendorongnya. Xavier terlihat acuh meskipun wanita tadi nampak mengumpat padanya."Kau bersenang-senang?" tanya Xavier ketika sampai di
Hari masih pagi, tapi suara berisik itu benar-benar mengganggu tidur Xavier. Dengan malas dia terpaksa membuka matanya, bangun dan berjalan ke kamar mandi untuk membasuh wajahnya.Ketika dia membuka pintunya, suara teriakan nyaring langsung memenuhi indra pendengarannya. Seorang wanita cantik dengan mata coklat, bergaya sangat anggun itu langsung memeluknya. Xavier hanya bisa pasrah ketika adiknya itu mulai bermanja-manja padanya."Kau benar mengganggu tidurku, Raylin." keluh Xavier."Oh, ayolah. Sudah 6 bulan kita tak bertemu, tapi kau tetap saja menyebalkan. Aku menunggumu di depan pintu sejak tadi," ucap Raylin merajuk."Kau bisa langsung masuk ke kamar, kenapa harus di depan pintu?" tanya Xavier dengan alis berkerut.Seda
"Kenapa kalian diam saja, cepat tolong," teriak Raylin pada penjaga di depan pintu. Sedangkan para penjaga itu tampak kebingungan. Dia tak mungkin menolong wanita itu karena dia tawanan dari tuan mereka. Tapi melihat keseriusan Raylin yang marah, akhirnya dengan terpaksa mereka menolong wanita itu. Raylin berjalan dengan langkah cepat, diikuti seorang penjaga yang menggendong tubuh Bianca. Raylin menyuruh penjaga itu masuk ke kamar tamu, dan meletakkan tubuh Bianca di ranjang. Setelahnya Raylin memanggil dokter untuk datang ke sini. Sedangkan salah satu penjaga yang ada di depan gudang tadi langsung menemui Xavier untuk memberikan laporan. Tentu saja hal ini membuat Xavier sangat marah, dia langsung pergi meninggalkan teman-temannya di ruang kerja untuk menyusul adiknya itu.
"Kakak," ucap Raylin tercekat. Suasana menjadi tegang, di belakang Xavier, Noah dan Scoot baru saja datang. Xavier masih menatap adiknya tanpa berkedip, seolah matanya itu mampu menguliti adiknya. "Hai, Xavier, apa kabar?" William memecah suasana, dia menampilkan senyuman di bibirnya. Dia yang tak mengetahui permasalahannya tak mengerti dengan situasi yang terjadi di depannya. "Aku baik, kau boleh pulang, William." Xavier bahkan tak menatap ke arah William. Noah yang ada di belakang mencoba memberi isyarat pada William. Membuat William akhirnya pamit pada mereka dan beranjak pergi dari sana. "Jangan gegabah, Xavier. Dia adikmu," ucap Scoot memperingati. Tapi Xavier seolah ta
"Apa dia mencoba kabur?" tanya Scoot melihat seorang wanita di depannya. "Sepertinya iya," gumam Noah menimpali. Xavier masih diam menatap tajam Bianca. Melihat bekas darah yang menetes di lantai, Xavier yakin jika wanita itu mencabut paksa selang infusnya. Xavier mendekati Bianca, kakinya menendang tubuh Bianca. Tapi wanita itu sama sekali tak meresponnya. "Dia tak mungkin bangun, bodoh. Dia pingsan." Scoot mencemooh Xavier, dia langsung bergerak menggendong tubuh Bianca dan membawanya kembali ke kamar tamu. Xavier yang melihat itu mendengus, padahal dia ingin menyeret saja wanita itu. Benar-benar merepotkan. Akhirnya dia berjalan mengikuti Scoot, sedangkan Noah memanggil Tia untuk membersihkan lantai yang terkena
Setelah memastikan tak ada yang melihatnya, Raylin segera mengunci kamar tamu. Dia berbalik, dan betapa terkejutnya dia melihat Bianca yang tergolek lemas di lantai.Raylin segera menghampiri Bianca, mencoba mengguncang tubuh Bianca. "Kau tak apa?" tanya Raylin pelan.Mata Bianca berkedip, dia hanya bisa mengangguk pada Raylin. Dirinya benar- benar sangat lemas. Raylin yang melihat itu membantu Bianca untuk berbaring di ranjang. Meski tampak kesusahan, tapi akhirnya dia berhasil juga."Apa yang sebenarnya kakak lakukan padamu?" gumam Raylin dengan nafas terengah setelah mengangkat Bianca.Melihat luka Bianca yang kembali berdarah, Raylin berinisiatif untuk mengobatinya. Untung saja tadi William meninggalkan beberapa peralatan P3K di kamar ini.
"Xavier," panggil Bianca sekali lagi, karena lelaki itu tak merespon. Dia yang awalnya rebahan di sofa, kini beranjak untuk mendekati Xavier. "Hey, ada apa?" tanya Bianca sekali lagi dengan raut wajah yang cemas, apalagi saat melihat Xavier terlihat begitu serius. Embusan napas kasar terdengar dari bibir Xavier. Dia yang tadinya sedang mengancingkan baju kemejanya, mulai terhenti. Dia berbalik untuk menatap Bianca, sedangkan tubuhnya menyandar pada lemari. "Ada masalah dengan pengiriman barang-barangku, Bianca. Seseorang telah mencurinya," jawab Xavier terkesan lemas. "Barang apa?" tanya Bianca dengan dahi berkerut dalam. Seulas senyum tipis terukir di bibir Xavier. Dia mengacak-acak rambut Bianca dengan sedikit kasar. "Kau tak akan paham, sekalipun aku menjelaskan."Lelaki itu kembali merapikan pakaiannya, setelah siap, dia menatap Bianca dengan lekat. Kedua tangannya menangkup pipi Bianca, tatapannya begitu lembut pada wanita itu. "Jangan khawatir, semuanya pasti akan baik-baik
"Maafkan aku, Bianca, tapi aku tidak bisa meneruskan ini," lirih Xavier masih dengan napas terengah begitu ciumannya terlepas. Dia memejamkan mata, sambil menyatukan keningnya di kening Bianca. Lelaki itu masih berada di atas tubuh Bianca, dengan tangan sedikit menopang agar tak menindih wanita itu. Bianca mengangguk pelan, dia ikut memejamkan mata, seolah meresap kehangatan napas Xavier yang menerpa wajahnya. Tangannya masih melingkar apik di leher Xavier, dengan kaki yang sudah terbuka. "Maafkan aku," ucap Xavier sekali lagi. Dia mengecup kening Bianca lalu bangun dengan perlahan. Penampilan mereka benar-benar sudah berantakan saat ini. Xavier yang bertelanjang dada dengan pakaian yang sudah tercecer di lantai, dengan Bianca yang kancing blousenya sudah terlepas sebagian. Rambut wanita itu bahkan terlihat acak-acakan saat mencoba untuk bangun. "Apa semua ini salah bagimu, Xavier? Apa kali ini kau akan bilang kau kalap lagi?" tanya Bianca dengan tatapan
"Xavier," ucap Bianca lirih begitu ciuman mereka terlepas. Napasnya tampak kepayahan, akibat Xavier tak membiarkannya bernapas sedikit pun. Matanya juga tampak sendu dengan jantung yang berdegup kencang. Tangan Bianca masih mencengkram bahu Xavier dengan keras. Xavier tak menjawab, lelaki itu malah membawa Bianca berenang ke tepian. Tapi bukannya mengajak wanita itu naik, Xavier malah menggendong Bianca dalam air. Dia membiarkan kaki wanita itu melingkar pada pinggulnya, dengan tangan yang memeluk lehernya erat. Mata Xavier menatap wajah Bianca tanpa berkedip, kedua tangannya bahkan sudah menangkup pipi wanita itu. Lagi-lagi, tanpa aba-aba, dia kembali mencium bibir Bianca. Kali ini ciuman itu terkesan sedikit liar, keduanya saling membalas dengan rakus. Melumat bahkan menggigit kecil bibir satu sama lain. Berpindah posisi kepala saling miring dari kiri ke kanan. Langit seolah mendukung, sore yang beranjak malam menampilkan senja yang begitu indah. Angin bertiup lembut mengiringi
"Grace, apa yang kau lakukan di sini?" tanya Xavier dengan dahi berkerut dalam saat menatap sang kekasih. "Siapa dia?" tanya Xavier lagi, melirik sadis lelaki yang ada di samping Grace. Grace terkekeh, saat melihat tatapan cemburu dari Xavier. Dia menggenggam tangan lelaki itu dengan lembut. "Dia David, klien baruku. Kami baru saja membicarakan bisnis di sini," kata Grace. Tiba-tiba saja dia berjinjit untuk lebih mendekat ke arah Xavier, dengan nada yang berbisik, dia mulai berkata, "Kau tahu, dia menawariku menjadi model iklan sebuah produk dari perusahaannya, dan harganya benar-benar fantastis." "Grace." Xavier sedikit menggeram setelah mendengar ucapan Grace, dia menatap tajam kekasihnya. Dengan nada yang angkuh, dia mulai berkata, "Aku bahkan bisa memberikanmu semuanya, kenapa kau masih saja menerima pekerjaan seperti ini? Bukankah kau hilang akan libur panjang untuk menemaniku?" Mata Grace melotot, dia langsung menarik tangan Xavier untuk sedikit menjauh dari David dan juga
"Bianca…." "Bi…." Xavier memanggil-manggil nama wanita yang sekarang menjadi asistennya tersebut, dia juga mengguncang kecil baju Bianca untuk membangunkan wanita itu. Tatapan Xavier begitu lekat, saat memandangi wajah pulas Bianca yang tertidur. Hal ini tentu saja membuat Bianca terusik, dia melenguh sebentar, mencoba mengganti posisi kepalanya ke samping untuk kembali tidur. Tapi ketika dia merasakan sentuhan pada bahunya, tiba-tiba saja dia merasa terkejut. Wanita itu bangun dengan wajah yang kaget, apalagi saat melihat Xavier ada di depannya. Alis Xavier terangkat sebelah melihat hal itu, dia tidak tahan untuk tersenyum karena tingkah Bianca terlihat menggemaskan. Apalagi dengan mata bulat sempurna Bianca yang melotot dengan tubuh yang menegang. "Kau tidak apa-apa?" tanya Xavier yang masih duduk di meja, menatap Bianca lekat. "Xavier…." Bianca sendiri tampak salah tingkah, wanita itu menjadi gugup lalu berpura-pura sibu
"Bianca, kau sudah siap?" Wanita yang baru saja merapikan rambutnya itu segera menoleh ketika mendengar namanya dipanggil. Dia dengan cepat berdiri, berjalan menuju pintu dan membukanya. Bisa Bianca lihat, Noah tengah berdiri di depan kamarnya dengan wajah terlihat datar tanpa emosi. "Hai, Noah," sapa Bianca, meskipun begitu dia tetap memberikan senyum manisnya pada lelaki itu. . "Apa kau sudah siap? Xavier memintaku mengajakmu ke kantor sekarang," kata Noah to the point, mengungkapkan alasannya menghampiri Bianca di pagi hari. "Ah, ya, bisakah kau tunggu sebentar, aku akan mengambil tasku," kata Bianca. Dia bahkan tak menunggu respon Noah dan kembali masuk begitu saja. Kakinya yang masih pincang saat dibawa berjalan, membuatnya tampak kesusahan. Bahkan beberapa kali dia meloncat dengan satu kaki, agar langkahnya tak terlalu lambat. Bianca kembali ke meja riasnya, memoles lipstik di bibirnya dengan tergesa, lalu mengambil tas yang te
"Hai," sapa Grace yang semakin membuat Bianca kikuk. Wanita itu memaksakan senyuman, lalu menyambut uluran tangan kekasih Xavier. Dia mengangguk kecil saat berkata, "Bianca." "Apa kita pernah bertemu sebelumnya? Wajahmu terasa tak asing," ucap Grace berbasa-basi. Tapi hal ini membuat Bianca merasa bingung, pasalnya dia baru pertama kali bertemu dengan Grace, kenapa wanita itu mengatakan hal yang demikian? "Sepertinya kau salah orang, aku baru pertama kali di sini," kata Bianca. "Dia akan menjadi asistenku di kantor mulai besok," tutur Xavier menyela ikut mendekat, lalu merangkul tubuh Grace dari samping. "Benarkah? Bukankah sudah ada Scoot dan Alexander?" pekik Grace seolah terkejut. Hal ini membuat Xavier terkekeh. "Aku masih perlu banyak orang untuk mengurusi bisnis-bisnisku, agar aku mempunyai banyak waktu luang untukmu," ungkapnya sambil mencuri ciuman dari Grace. Maria yang sejak tadi diam memperhatikan menjadi tak tahan lagi. Wanita paruh baya itu berdehem keras, sampai
"Bianca," panggil Maria sedikit terengah saat tangannya ditarik untuk berjalan cepat oleh Bianca. Wanita yang sudah menginjak usia matang itu sedikit kepayahan, mengikuti langkah lebar Bianca. "Berhenti, Bianca, sebenarnya ada apa ini?" tanya Maria yang tidak tahan, akhirnya menghempaskan genggaman tangan wanita itu. Entah kenapa dia merasa penasaran dengan sikap Bianca yang tiba-tiba panik sejak tak sengaja menabrak seseorang tadi. Maria ingat, jika lelaki itu memanggil nama Bianca. Dan sedetik kemudian, Bianca mulai menariknya untuk mengajak kabur. Apa mereka saling mengenal? Pikir Maria bertanya-tanya. Dia menatap Bianca dengan lekat, seolah menunggu jawaban wanita itu. "Jangan di sini, Nyonya. Aku akan menjelaskan semuanya. Tapi tolong jangan di sini," pinta Bianca dengan wajah memelas. Meraih tangan Maria lagi dalam genggaman. Dahi Maria yang melihat itu berkerut dalam. Tapi dia tidak ingin ada masalah yang tidak diinginkan terjadi. Akhirnya wanita paruh baya itu mengangguk,
"Xavier, astaga … aku benar-benar merindukanmu!" Begitu Xavier baru saja membuka pintu rumahnya, Grace datang menghampiri dirinya dengan manja. Wanita itu bahkan langsung memeluknya begitu saja, tanpa rasa malu meskipun ada orang lain di sini. Xavier sendiri tampak menikmati pelukan tersebut, dia mengecup kepala kekasihnya berkali-kali sebelum melepaskan. Dia mulai menarik Grace untuk duduk di sofa. "Pergilah, Alexander. Aku tidak membutuhkanmu sekarang!" usir Xavier ketika melihat asistennya masih ada di sini. Tatapan matanya begitu datar, mengawasi Alexander sampai lelaki itu menghilang di balik dinding. Setelah memastikan tak ada orang lain lagi, Xavier mulai menatap kekasihnya. "Ke mana saja kau selama ini? Tak ada kabar, bahkan teleponmu tidak bisa dihubungi. Aku sudah melacak dirimu, tapi hasilnya sia-sia. Apa selama ini kau selingkuh di belakangku?" tanya Xavier beruntun dengan nada yang mendesak. Dia memang begitu merindukan kekasihnya, tapi menghilangnya wanita itu selam