Karena Anjani sudah mengirim pesan seperti itu. Mau tidak mau secepatnya Alena harus memberitahu suaminya tentang rencananya itu. Dia berharap suaminya setuju dengan permintaannya ini. Memang dulu Andrio berkali-kali mengatakan dia tidak ingin menikah lagi hanya untuk punya anak. Namun, Alena pikir itu mungkin karena Andrio tidak ingin menyakiti perasaannya. Jadi, jika istrinya sendiri yang meminta, Andrio pasti setuju. Maka, hari ini ketika Andrio sudah makan dan istirahat, Alena langsung mengajak suaminya bicara serius di kamar. "Mas sebenarnya dari kemarin aku mau ngomongin hal penting." "Tentang apa?" "Hmm tentang masa depan kita, Mas. Nasib pernikahan kita." "Memangnya ada apa dengan pernikahan kita?" Sebelum bicara, Alena menatap suaminya lekat-lekat dalam pembaringan. Perempuan itu kemudian bangun, menyandarkan tubuhnya di kepala ranjang. Melihat gelagat istrinya, Andrio pun ikut mengubah posisinya. Mereka duduk dan menyandar berhadap-hadapan. "Aku minta kamu nikah lagi
Keesokan paginya ketika pertama kali membuka mata, Alena mendapati dirinya berbaring di tempat tidur dalam keadaan tubuh berbungkus selimut. Suaminya sudah tak ada di sisinya. Dan keadaan tempat tidurnya berantakan. "Ini jam berapa, sih? Mas Andrio udah berangkat kerja, ya?" gumamnya. Alena menggerakkan sedikit kakinya yang masih dalam selimut. Dan merasakan kulit pahanya saling bersentuhan. Saat itu lah dia sadar ada yang tidak beres. Alena menyibak selimutnya. Matanya membelalak mendapati tubuhnya polos tak tertutup sehelai benang pun. Sekonyong-konyong kejadian Andrio menciumi bibirnya pun terlintas di pikiran. Jadi, Andrio, suaminya sendiri yang sudah menelanjanginya seperti ini. Jantungnya tiba-tiba berdegup kencang mengetahui fakta itu. Ini bukan pertama kali, tentu saja. Tidak heran sebenarnya. Hanya saja Alena tak menyangka Andrio melakukannya ketika mereka baru saja bertengkar. Saat Alena kalut dengan pikirannya sendiri, pintu kamar tiba-tiba di buka. Alena terkejut dan
Alena merasa mabuk dibuat kelakuan suaminya yang tak biasa. Sikap Andrio benar-benar aneh. Tidak seperti Andrio yang dia kenal selama ini. Sikap manis dan perhatiannya cenderung berlebihan. Walau sesungguhnya Alena tahu, Andrio melakukan itu semua agar dirinya tidak menyuruh suaminya itu menikah lagi. Tekat Alena sudah bulat. Alena pun tahu dia tidak akan bisa memengaruhi Andrio seorang diri. Karenanya dia meminta bantuan ibu mertuanya. Hari ini, setelah Andrio berangkat kerja, dengan mengendarai mobil sendiri, Alena mengunjungi rumah mertuanya. Dan sesampainya di rumah--dan kebetulan ibu mertuanya itu ada di rumah--Alena memberanikan diri mengajak Marissa bicara baik-baik. "Aku minta maaf sebelumnya, Ma, udah bikin Mama dan Mas Andrio ribut. Dan aku ke sini mau bicara sesuatu yang penting sama Mama," jelas Alena saat Marissa menanyai maksud kedatangannya. Mereka duduk berhadap-hadapan di kursi taman belakang rumah Marissa. "Bicara penting apa?" "Aku setuju sama usul Mama untuk
Alena melakukan semua yang ibu mertuanya suruh. Sebelum mereka meyakinkan Andrio. Alena mengajak Anjani melakukan tes kesuburan. Tes kesuburan yang Anjani lakukan sederhana saja. Dia hanya ditanya periode menstruasi oleh dokter dan beberapa pertanyaan lainnya yang bisa membantu dokter untuk mendiagnosis apakah Anjani subur atau tidak. Berdasarkan jawaban-jawaban Anjani yang mengarah ke hal positif, dokter mendiagnosis bahwa Anjani subur. Alena pun lega mendengarnya. Kabar itu dia beritahu pada ibu mertuanya yang senang bukan main mendengar kabar baik itu. Setelah tes kesuburan Anjani dilakukan barulah mereka menjalankan rencana selanjutnya yaitu meyakinkan Andrio. Hari itu hari libur. Seperti kesepakatannya dengan ibu mertua, Alena harus bisa membuat Andrio ada di rumah di hari itu. Karenanya dia tak berencana ke mana-mana. Alena mengatakan ke Andrio kalau dia ingin di rumah saja menghabiskan waktu berdua dengan suami tercinta. Waktu itu Andrio sedang santai bersama Alena sembari
Andrio duduk merenung di sofa sambil meremas rambutnya karena frustrasi. Tidak pernah dia bayangkan sebelum bahwa dia akan menduakan Alena dengan menikah lagi. Sia-sia semua yang dia lakukan terhadap istrinya. Nyatanya istrinya itu tetap memintanya menikah lagi. Semua ini hanya karena Alena tidak bisa memberi keturunan. Padahal Andrio yakin ini hanya masalah waktu dan masih banyak cara yang bisa mereka lakukan untuk bisa punya anak selain dengan dia menikah lagi. Dan untuk kesekian kali seumur hidupnya dia harus melakukan sesuatu berdasarkan keinginan orang lain. Kenapa? Kenapa orang lain tidak bisa mengerti dengan kemauannya? Mungkinkah dia memang ditakdirkan seperti ini? Tangan Andrio yang meremas kepala sejak tadi kini terkepal seiring dengan bulir bening lolos dari matanya yang memerah. *** "Rencana kita berhasil, Alena," ucap Marissa tampak senang saat mereka dalam perjalanan. "Iya, Ma. Aku juga nggak nyangka Mas Andrio akhirnya mau nurut. Padahal kemarin-kemarin ada aja ya
Setelah puas berbincang-bincang dan mengenal sosok Anjani lebih jauh, Marissa dan Alena pulang. Di dalam perjalanan, mereka membicarakan Anjani. "Jadi Anjani itu bukan berasal dari keluarga berada, ya, Alena?" "Bukan, Ma. Tapi aku kagum sama dia. Dia perempuan pekerja keras, dia bekerja di sini jadi tulang punggung keluarganya. Anaknya juga baik dan sopan 'kan? Dan yang paling penting dia subur, Ma. Jadi aku rasa nggak ada masalah," jelas Alena. Alena tahu ibu mertuanya ini selalu mendambakan perempuan yang berasal dari keluarga kaya. Ya, wajarlah, secara mereka--keluarga Andrio--juga kalangan berada. Sejak kecil Andrio tidak pernah hidup susah. Itu karena orang tuanya selalu bekerja keras. Dulu saja, Marissa menginginkan Alyssa menjadi menantu, tentu karena dia tahu Alyssa berasal dari keluarga terpandang. Alyssa bahkan seorang dokter sama seperti Andrio. Namun, sayang takdir berkata lain. Marissa tidak tahu bahwa Alena sebenarnya berasal dari keluarga miskin. "Iya, kamu benar," j
Malam ini Andrio dimintai stay di rumah oleh Alena karena katanya dia akan memberi kejutan setelah pulang dari pasar nanti. Ya, Alena mengabarkan ke suaminya kalau dia sekalian ingin ke pasar, berbelanja keperluan dapur yang habis. Andrio tahu kejutan itu ada hubungannya dengan Alena yang memintanya menikah lagi. Karenanya Andrio menunggu kejutan itu dengan ogah-ogahan, rebahan di sofa sambil nonton televisi di rumah. Apa yang tersaji dari televisi itu tak dia respons dengan baik karena pikirannya tak menentu. Kadang dia berpikir apa dia harus melakukan ini semua? Apa dia memang harus menuruti keinginan Alena untuk menikah lagi? Pernikahan itu belum dimulai, masih ada kemungkinan untuk gagal, masih ada kesempatan dia untuk mengubah keputusannya, bukan? Persetan dengan harta warisan yang akan orang tuanya hibahkan. Dia tak peduli. Andrio bangkit dari pembaringan, bersamaan dengan itu ... "Mas ...." Alena pulang. Andrio bergegas ke ruang tamu di mana sumber suara itu berasal. Ternya
Sepanjang perjalanan menuju rumah Anjani, di dalam mobil yang dingin itu, Anjani dan Andrio tak terlalu banyak bicara. Hanya Andrio sesekali menanyai hal penting seperti di mana rumah Anjani? Anjani tinggal sama siapa? Dan Anjani menjawab sekenanya. Anjani memang terlihat lebih banyak diam. Namun, tentu tak ada yang tahu isi hati manusia yang sesungguhnya. Diam-diam dia mengagumi sosok suami mantan bosnya itu. Dia tak menyangka kalau ternyata suami mantan bos nya ini memiliki wajah yang tampan, baik, perhatian pula. Berkali-kali, Anjani melirik ke samping mencuri-curi pandang ke arah Andrio yang sibuk menyetir. Anjani berdeham membuat Andrio menoleh ke arahnya. "Kalau boleh tahu Bapak kerjanya apa, ya?" tanya Anjani memberanikan diri. Ya, karena sampai sejauh ini Anjani belum tahu apa pekerjaan calon suaminya ini. Baik calon ibu mertuanya mau pun Alena tidak ada yang memberitahu. Andrio menghela napas. Sudah dibilang jangan panggil 'Pak' tapi Anjani masih saja memanggilnya begitu
"Kamu nggak coba telepon suamimu?" tanya Mama Marissa.Alena hanya menggeleng."Ini Mama telepon dari tadi nggak diangkat-angkat." Wajah Mama Marissa tampak cemas sambil menatap layar ponsel. Hal itu juga menular ke Alena. Alena jadi mendadak khawatir. Kenapa suaminya tidak mengangkat telepon dari mamanya? Apa sengaja karena ingin memberi suprise? Alena masih berusaha berpikir positif."Mungkin masih di jalan kali, Ma." Putra ikut berbicara dan menenangkan."Aneh," gumam Marissa masih menatap layar ponsel. "Bikin khawatir aja ""Jangan mikir aneh-aneh deh, Ma. Berdoa aja semoga Andrio baik-baik aja dan segera sampai. Mungkin terjebak macet di jalan." Lagi sang papa mertua menenangkan istrinya.Mama Marissa hanya diam masih sibuk dengan ponselnya.Ting Tong!Tak lama kemudian terdengar suara bel menggema. Alena langsung menatap mama mertuanya. "Nah itu pasti Mas Andrio, Ma.""Biar saya ya yang bukain pintu," ucap Bi Jum yang kebetulan lewat di depan meja makan."I-iya, Bi," sahut Alena.
Dua jam kemudian masakan Alena dan Bi Jum sudah terhidang rapi di meja makan bak sajian restoran yang siap disantap."Waduh enak nih keliatannya ...." Mama Marissa menatap hidangan makanan yang terlihat menggugah selera itu. "Oma jadi nggak sabar buat cicipin." Marissa menyengir lebar melirik cucu kesayangannya sudah duduk di kursi makan di sampingnya."Tunggu Papa!" seru balita itu semangat."Iya, Oma ngerti. Kita tunggu Papa dulu ya baru boleh makan?"Si bocah mengangguk antusias.Alena yang mendengar percakapan itu dari ambang pintu dapur hanya tersenyum simpul. Dia lalu teringat sesuatu dan merogoh ponsel di saku celana kainnya lalu perlahan berjalan ke arah ruang tengah. Hendak menelepon suaminya.***Pria itu duduk bersandar di kursi penumpang. Matanya sejak tadi memindai jalanan yang padat akan kendaraan di depannya. Sesekali macet menghampiri membuatnya semakin gelisah saja. Karena hal itu membuatnya makin lama untuk segera sampai ke rumah.Namun, dia tak lupa ada hal lain yang
Dua tahun kemudianDua tahun sejak kepergian Andrio berlalu. Anak-anak mereka telah tumbuh kian besar dan bisa bicara dengan fasih. Hari-hari yang Alena lalui tanpa Andrio memang terasa berbeda. Walau kadang ditemani keluarganya yang membantunya--entah itu ibu mertuanya, mami dan papi. Malam-malam Alena dia lalui dengan tidur sendiri. Masalah-masalah yang menderanya dia hadapi sendiri.Walau hampir setiap hari mereka bertukar kabar melalui chat dan video call-an. Tetap saja Alena merasa berbeda. Dua tahun dia lewati semua penuh kesabaran dan harapan. Sampai tibalah hari ini. Hari di mana Andrio harusnya pulang."Pagi, Mama ...." Terdengar sayup-sayup suara mungil membangunkan, disusul kecupan hangat di pipi. Wanita itu sontak membuka mata. Lantas menoleh ke samping. Wajah balita mungil dan menggemaskan tersenyum menyambutnya.Alena tersenyum. "Pagi juga, Sayang ....""Bangun, Mama.""Iya, ini Mama udah bangun. Sini peluk dulu." Alena meraih badan mungil itu dan mendekapnya penuh cinta
"Suami gue selingkuh, Al ....""Selingkuh gimana, Far? Lo tahu dari mana itu selingkuhannya? Siapa tahu emang cuman teman kan?""Bukan teman, Al. Tapi selingkuhannya. Udah setahun Al, gue sering baca chatingan mereka. Dari chatingannya jelas-jelas mereka ada hubungan spesial. Gue yang lebih tahu.”"Maaf, Far, co-coba sekarang lo cerita yang jelas sama gue ...."Alena sontak memejamkan mata dan menggelengkan kepala kencang-kencang setiap teringat cerita perselingkuhan sahabatnya itu.Waktu Farah memberitahu kalau pernikahannya sedang dilanda perselingkuhan oleh suaminya. Alena syok tak menyangka dan meminta sahabatnya itu bercerita dari awal pertemuannya dengan calon suaminya hingga bagaimana perselingkuhan itu terjadi. Farah mengadu padanya sambil menangis tersedu-sedu.Farah sudah menikah lima tahun lalu yang itu artinya Farah menikah beberapa bulan setelah dia menikah dengan Andrio, tepat mereka kehilangan kontak satu sama lain hingga Alena pun tidak tahu kapan Farah menikah. Farah j
Mereka akhirnya tiba di rumah Alena. Farah begitu kagum melihat rumah Alena sampai-sampai perempuan itu membuka mulut. Rumah sahabatnya itu begitu mewah, bergaya minimalis modern.Dari depan, rumahnya terlihat tinggi dan megah karena berlantai tiga. Dinding dan tiang-tiang rumahnya terlihat kokoh karena dibangun dengan material batu. Dengan jendela lebar dan pintu yang terbuat dari kaca. Langit-langitnya tinggi. Sementara pagarnya terbuat dari besi yang tingginya melebihi kepala orang dewasa. Bahkan ketika dia sudah turun dari mobil itu pun dia masih saja terpana. "Rumah kalian semewah ini?" Farah menatap Alena tidak percaya.Alena tertawa. "Ah, elo mah berlebihan. Rumah lo emangnya nggak semewah ini?"Farah terdiam, mengingat sesuatu. Lebih tepatnya mengingat masa lalu sahabatnya itu. "Ya maksud gue ... Eng, iya Alhamdulillah kehidupan lo sekarang udah sukses dan nyaman banget." Farah tersenyum kaku. "Gue harus banget berterima kasih sama Andrio atas semua ini."Alena mengernyit hera
"Farah?" tebak Andrio lebih dulu membuat Alena menoleh ke suaminya. Ternyata Andrio juga bisa mengenalnya."Iya, gue Farah," sahut perempuan itu kemudian.Alena kembali menatap perempuan yang mengaku Farah itu. Dia melotot tak percaya. "Farah?! Ya ampun!" Alena sontak berdiri. "Gue hampir nggak bisa ngenalin lo tahu, lo berubah banget!" Alena serta-merta memeluk Farah erat-erat. Sementara yang dipeluk juga membalas hal serupa.Mereka saling berpelukan erat. Tubuh kedua wanita itu bahkan bergerak-gerak ke kiri dan kanan karena Alena begitu antusias. Alena kemudian melepas pelukannya. "Apa kabar lo? Kebetulan banget ya kita ketemuan di sini?""Iya, maaf ya gue nggak ada kabar selama ini," jawab Farah. "Iya, nih. Nomor WA lo udah lama nggak aktif, abis itu nggak ada ngasih kabar ke gue juga. Sombong lo.""Bukannya gitu." Farah menyengir terlihat tak nyaman.Alena tertawa. "Iya, iya, gue cuman bercanda kok."Farah lalu menatap Andrio dan anak-anak mereka. "Kalian pada mau ke mana nih?""M
"Pakaian udah, dalaman udah, pembersih muka udah, pomade udah, jam tangan udah, berkas-berkasnya udah, tiket udah, foto-foto aku sama anak-anak juga udah, hmmm apa lagi, ya ...." Alena mengecek barang-barang yang sudah dia masukkan dalam koper Andrio. "Iya semuanya udah beres."Setelah dirasa semuanya sudah lengkap, Alena pun menutup koper itu lalu menyeretnya dekat pintu agar mudah di bawa keluar. Ada dua koper yang siap Andrio bawa. Sebagian besar isinya adalah pakaian dan barang-barang penting.Bersamaan dengan itu, Andrio keluar dari kamar mandi yang ada di kamarnya. Pria itu baru saja selesai mandi, bertelanjang dada dengan handuk kecil melilit pinggangnya, sedangkan handuk kecil lain menyampir di bahunya. "Udah beresin semua? Makasih, ya, sayang," ucapnya saat melihat kesibukan istrinya menata koper. Dia lalu menatap cermin sambil mengeringkan rambut dengan handuk kecil.Alena menoleh. "Udah beres. Cepetan pakai bajunya. Udah kusiapin di lemari paling depan," beritahu Alena. "Ak
Malam harinya, Alena gelisah seorang diri di kamar. Anna dalam gendongannya sejak tadi tak berhenti menangis kencang. Kekhawatiran Alena terjawab ketika dia menempelkan jemari di kening si bayi yang terasa sangat panas. "Ya ampun, Nak. Badanmu panas banget ...." Alena berdiri menggendong anaknya, mencoba mendiamkan meski rasanya mustahil karena bayi itu sedang demam tinggi.Alena melirik jam di dinding yang menunjukkan pukul tujuh. Lalu dia meraih ponsel di atas nakas, mengecek pesan dari Andrio, tapi tidak ada.Alena menarik napas, lalu mengembuskannya kembali. Hal itu dia lakukan berkali-kali sampai perasaannya tenang. "Aku nggak boleh panik. Sebaiknya aku cari tahu di g****e pertolongan pertama waktu bayi lagi demam, apa, ya?" Sambil menggendong bayi dengan tangan sebelah, dia mengotak-atik ponselnya.Dia membaca sekilas informasi yang dia dapat dari g****e. Lalu dia menghubungi Bi Jum lewat chat, minta siapkan air hangat dan kain buat kompresan. "Sabar, ya, Nak. Mama siapin air ha
Satu tahun kemudian ...."Kupandang langit penuh bintang bertaburan ... berkelap-kelip seumpama intan berlian ...." Alena bernyanyi kecil sambil mendorong baby stroller, berjalan mengelilingi taman rumah. Di dalam kereta bayi itu ada Anna dan Kenzy.Satu tahun berlalu, tidak banyak yang berubah dari kehidupan Alena dan Andrio selain anak-anak mereka yang sudah tumbuh besar. Alena yang juga sudah terbiasa mengurusi anak-anaknya.Kenzy sudah berusia satu tahun sepuluh bulan, sedangkan Anna berusia satu tahun satu bulan. Kenzy sudah biasa bicara dengan pengucapan yang jelas, sudah mengerti diajak bicara dan sudah bisa berjalan sendiri tanpa dipimpin, sedangkan Anna sudah bisa bicara namun masih tidak jelas pengucapannya, bisa berjalan dengan dipimpin dan bisa mengerti diajak bicara juga."Mau nyanyi apalagi?" tanya Alena pada anak-anaknya. "Lagu kupu-kupu yang lucu mau?""Mau ...," jawab Kenzy sambil mendongak menatapnya, sedangkan Anna hanya menatap ke segala arah."Oke, kita nyanyi lagu