Malam ini Andrio dimintai stay di rumah oleh Alena karena katanya dia akan memberi kejutan setelah pulang dari pasar nanti. Ya, Alena mengabarkan ke suaminya kalau dia sekalian ingin ke pasar, berbelanja keperluan dapur yang habis. Andrio tahu kejutan itu ada hubungannya dengan Alena yang memintanya menikah lagi. Karenanya Andrio menunggu kejutan itu dengan ogah-ogahan, rebahan di sofa sambil nonton televisi di rumah. Apa yang tersaji dari televisi itu tak dia respons dengan baik karena pikirannya tak menentu. Kadang dia berpikir apa dia harus melakukan ini semua? Apa dia memang harus menuruti keinginan Alena untuk menikah lagi? Pernikahan itu belum dimulai, masih ada kemungkinan untuk gagal, masih ada kesempatan dia untuk mengubah keputusannya, bukan? Persetan dengan harta warisan yang akan orang tuanya hibahkan. Dia tak peduli. Andrio bangkit dari pembaringan, bersamaan dengan itu ... "Mas ...." Alena pulang. Andrio bergegas ke ruang tamu di mana sumber suara itu berasal. Ternya
Sepanjang perjalanan menuju rumah Anjani, di dalam mobil yang dingin itu, Anjani dan Andrio tak terlalu banyak bicara. Hanya Andrio sesekali menanyai hal penting seperti di mana rumah Anjani? Anjani tinggal sama siapa? Dan Anjani menjawab sekenanya. Anjani memang terlihat lebih banyak diam. Namun, tentu tak ada yang tahu isi hati manusia yang sesungguhnya. Diam-diam dia mengagumi sosok suami mantan bosnya itu. Dia tak menyangka kalau ternyata suami mantan bos nya ini memiliki wajah yang tampan, baik, perhatian pula. Berkali-kali, Anjani melirik ke samping mencuri-curi pandang ke arah Andrio yang sibuk menyetir. Anjani berdeham membuat Andrio menoleh ke arahnya. "Kalau boleh tahu Bapak kerjanya apa, ya?" tanya Anjani memberanikan diri. Ya, karena sampai sejauh ini Anjani belum tahu apa pekerjaan calon suaminya ini. Baik calon ibu mertuanya mau pun Alena tidak ada yang memberitahu. Andrio menghela napas. Sudah dibilang jangan panggil 'Pak' tapi Anjani masih saja memanggilnya begitu
"Dari mana aja?" Begitu masuk rumah, Andrio langsung berhadapan dengan istrinya yang kini bersidekap dada menatapnya tajam. Andrio mengelus dadanya. "Kaget aku," "Jawab, dari mana?!" Alena memasang tampak sok galak. "Aku cuman ngantar Anjani pulang," jawab Andrio. Lantas pria itu berjalan masuk mendului Alena. Alena mengiringi suaminya. "Kenapa nggak izin aku?" "Ya, 'kan kamu lagi tidur, masak aku bangunin. Oh iya kamu 'kan tadi tidur, sekarang kenapa bangun?" Alena diam. Sebenarnya tadi dia cuman pura-pura tidur dan sebenarnya dia menguping semua percakapan Andrio dan Anjani, sebelum dia bergegas ke kamar dan pura-pura tidur ketika Andrio mengambil jaket. Dan sepanjang percakapan itu memang tidak ada yang aneh. Bahkan Alena bisa merasakan hubungan suaminya dengan Anjani masih canggung. "Hei, kok diam?" "Ya, aku kebangun, liat di luar kamu udah nggak ada." Alena beralasan. Andrio tak menanggapi lagi. Langkahnya berhenti di depan sofa ruang tengah. "Terus ngapain aja tadi d
Dua minggu telah berlalu. Selama dua minggu itu, Anjani dan Andrio melakukan pendekatan sampai mengenal satu sama lain. Meski sudah cukup mengenal, mereka masih saja canggung. Hingga tibalah hari itu, hari di mana pernikahan Anjani dan Andrio dilaksanakan. Pernikahan itu resmi dan tidak diadakan secara sembunyi-sembunyi karena pernikahan tersebut direstui oleh Alena, sebagai istri pertama Andrio, juga diizinkan oleh atasan Andrio. Pernikahan itu diadakan sederhana saja di sebuah masjid sekitar kediaman Alena dan Andrio. Di sana ada para kerabat, juga keluarga inti dari keluarga Alena, keluarga Andrio, termasuk keluarga inti Anjani yang rela datang jauh-jauh dari Desa Cikidang ke Jakarta. Pembacaan ayat suci Al-Qur'an yang dilantunkan oleh qori'ah memenuhi ruang masjid besar tersebut. Alena yang duduk di antara keluarganya--Bagas, Rista, dan Alyssa--terus mencuri-curi pandang ke arah Andrio dan Anjani yang duduk agak jauh di sebelah Andrio. "Sabar, ya, Nak." Bagas mengusap bahu Al
Acara pernikahan yang di tambah dengan resepsi sederhana di masjid itu akhirnya selesai pukul tujuh malam. Setelahnya, seluruh kerabat dan keluarga inti pulang ke rumah masing-masing. Dan Anjani, sejak itu tinggal di rumah megah milik Alena dan Andrio, tentu saja. Keluarga Anjani yang datang dari kampung--ibu Anjani dan Rara, adik tengahnya--ikut menginap di rumah itu sebelum besok kembali ke kampung halaman. Rumah megah yang dulunya sepi itu ramai seketika. Barang-barang keluarga Anjani dibawa oleh beberapa petugas yang Andrio sewa. Mereka datang langsung dari Cikidang ke masjid, tempat acara itu dilaksanakan. Sejak turun dari mobil, ibu Anjani dan adiknya tak berhenti kagum dengan rumah megah itu. Bahkan ketika Alena mengajaknya masuk, kekaguman mereka bertambah. "Impen naon nya Bu urang tiasa lebet ka imah sebagus ieu," (Mimpi apa ya Bu kita bisa masuk ke rumah sebagus ini), bisik Rara pada ibunya dengan bahasa Sunda yang kental ketika orang-orang tak memperhatikan mereka. "He
Anjani mendapati Andrio berjalan menuju ruang tengah. Tentu masih mengenakan jas hitam. Perempuan itu dengan perasaan sungkan mendekati pria yang telah menjadi suaminya itu. "Mas," panggilnya memberanikan diri. Andrio mengernyit, sedikit heran mendengar Anjani memanggilnya demikian. Ya, memang sudah sepantasnya Anjani memanggilnya begitu karena mereka sudah menikah, hanya saja Andrio tak menyangka Anjani punya inisiatif seperti itu. "Kamu panggil saya, Mas?" Andrio bertanya retoris. "Iya, Mbak Alena yang suruh." "Oh." Andrio pun langsung paham. Bahkan bahasa panggilan Anjani ke Alena pun sudah berubah. Itu semua pasti Alena yang minta. "Permisi, Tuan, Nyonya ..." Panggilan itu menyadarkan keduanya yang masih diliputi kecanggungan. Rupanya Bi Juminten yang mendatangi mereka. "Iya, ada apa Bi Jum?" tanya Andrio. "Sesuai perintah Bu Alena, kamar khusus untuk Tuan dan Nyonya sudah disiapkan. Pakaian ganti buat Nyonya juga," beritahu Bi Juminten. "Oh iya iya." Andrio mengangguk-a
"Anjani, salaki anjeun ieu jalmi jegud. Tingal imahna sagede ieu. Kamar na oge sebagus ieu." (Anjani, suamimu ini orang kaya lho. Lihat rumahnya sebesar ini. Kamarnya juga sebagus ini). Bu Dedeh mengedar pandang ke ruangan kamar tersebut. Yang beliau tak tahu adalah rumah itu dibeli hasil dari jerih payah Andrio bersama Alena waktu masih menjabat sebagai CEO. "Iya terus kenapa, Bu?" "Niat mimiti anjeun nikah sami Andrio ngan kanggo kaasih anjeunna turunan 'pan?" (Niat awal kamu menikah sama Andrio cuman buat kasih dia keturunan 'kan?) Anjani mengangguk. "Cobi anjeun ngamanah-ngamanah deui. Naon anjeun nggak pengin gaduh salaki jegud? Anjeun nggak peryogi cape-cape damel deui. cicing di imah semewah ieu saban dinten. Anjeun oge nggak peryogi cape-cape beberes imah margi atos aya asisten laki-rabi." (Coba kamu pikir-pikir lagi. Apa kamu nggak pengin punya suami kaya? Kamu nggak perlu capek-capek kerja lagi. Tinggal di rumah semewah ini setiap hari. Kamu juga nggak perlu capek-capek
Alena duduk menatap kaca rias di kamarnya. Memperhatikan pantulan wajahnya yang sudah polos tanpa make-up. Pikirannya menerawang atas apa yang sudah terjadi belakangan ini. "Malam ini malam pertama Mas Andrio dengan Anjani. Mas Andrio pasti tidur dengan Anjani ...." Lalu mereka melakukan hal yang Alena tak sanggup membayangkannya. Mata Alena terasa memanas seiring dengan pandangannya yang memburam. "Ya Allah beginikah rasanya dimadu. Meski aku sudah mengizinkan dan berusaha menerima. Kenapa rasanya tetap sakit?" Dada Alena tiba-tiba sesak. Lalu bulir bening meleleh di pipi tanpa bisa dicegah. Suara derit engsel pintu kamar terdengar seketika mengejutkan Alena hingga bahunya tersentak. Refleks Alena mengusap pipinya yang basah. Dia berusaha menetralkan wajahnya. Namun, tetap tak mengalihkan pandangannya dari pantulan wajahnya di kaca. Melalui sudut matanya, Alena bisa melihat sosok laki-laki sedang berjalan ke arahnya. Pria itu Andrio. Lalu tanpa di duga, Andrio ikut bercermin, di
"Kamu nggak coba telepon suamimu?" tanya Mama Marissa.Alena hanya menggeleng."Ini Mama telepon dari tadi nggak diangkat-angkat." Wajah Mama Marissa tampak cemas sambil menatap layar ponsel. Hal itu juga menular ke Alena. Alena jadi mendadak khawatir. Kenapa suaminya tidak mengangkat telepon dari mamanya? Apa sengaja karena ingin memberi suprise? Alena masih berusaha berpikir positif."Mungkin masih di jalan kali, Ma." Putra ikut berbicara dan menenangkan."Aneh," gumam Marissa masih menatap layar ponsel. "Bikin khawatir aja ""Jangan mikir aneh-aneh deh, Ma. Berdoa aja semoga Andrio baik-baik aja dan segera sampai. Mungkin terjebak macet di jalan." Lagi sang papa mertua menenangkan istrinya.Mama Marissa hanya diam masih sibuk dengan ponselnya.Ting Tong!Tak lama kemudian terdengar suara bel menggema. Alena langsung menatap mama mertuanya. "Nah itu pasti Mas Andrio, Ma.""Biar saya ya yang bukain pintu," ucap Bi Jum yang kebetulan lewat di depan meja makan."I-iya, Bi," sahut Alena.
Dua jam kemudian masakan Alena dan Bi Jum sudah terhidang rapi di meja makan bak sajian restoran yang siap disantap."Waduh enak nih keliatannya ...." Mama Marissa menatap hidangan makanan yang terlihat menggugah selera itu. "Oma jadi nggak sabar buat cicipin." Marissa menyengir lebar melirik cucu kesayangannya sudah duduk di kursi makan di sampingnya."Tunggu Papa!" seru balita itu semangat."Iya, Oma ngerti. Kita tunggu Papa dulu ya baru boleh makan?"Si bocah mengangguk antusias.Alena yang mendengar percakapan itu dari ambang pintu dapur hanya tersenyum simpul. Dia lalu teringat sesuatu dan merogoh ponsel di saku celana kainnya lalu perlahan berjalan ke arah ruang tengah. Hendak menelepon suaminya.***Pria itu duduk bersandar di kursi penumpang. Matanya sejak tadi memindai jalanan yang padat akan kendaraan di depannya. Sesekali macet menghampiri membuatnya semakin gelisah saja. Karena hal itu membuatnya makin lama untuk segera sampai ke rumah.Namun, dia tak lupa ada hal lain yang
Dua tahun kemudianDua tahun sejak kepergian Andrio berlalu. Anak-anak mereka telah tumbuh kian besar dan bisa bicara dengan fasih. Hari-hari yang Alena lalui tanpa Andrio memang terasa berbeda. Walau kadang ditemani keluarganya yang membantunya--entah itu ibu mertuanya, mami dan papi. Malam-malam Alena dia lalui dengan tidur sendiri. Masalah-masalah yang menderanya dia hadapi sendiri.Walau hampir setiap hari mereka bertukar kabar melalui chat dan video call-an. Tetap saja Alena merasa berbeda. Dua tahun dia lewati semua penuh kesabaran dan harapan. Sampai tibalah hari ini. Hari di mana Andrio harusnya pulang."Pagi, Mama ...." Terdengar sayup-sayup suara mungil membangunkan, disusul kecupan hangat di pipi. Wanita itu sontak membuka mata. Lantas menoleh ke samping. Wajah balita mungil dan menggemaskan tersenyum menyambutnya.Alena tersenyum. "Pagi juga, Sayang ....""Bangun, Mama.""Iya, ini Mama udah bangun. Sini peluk dulu." Alena meraih badan mungil itu dan mendekapnya penuh cinta
"Suami gue selingkuh, Al ....""Selingkuh gimana, Far? Lo tahu dari mana itu selingkuhannya? Siapa tahu emang cuman teman kan?""Bukan teman, Al. Tapi selingkuhannya. Udah setahun Al, gue sering baca chatingan mereka. Dari chatingannya jelas-jelas mereka ada hubungan spesial. Gue yang lebih tahu.”"Maaf, Far, co-coba sekarang lo cerita yang jelas sama gue ...."Alena sontak memejamkan mata dan menggelengkan kepala kencang-kencang setiap teringat cerita perselingkuhan sahabatnya itu.Waktu Farah memberitahu kalau pernikahannya sedang dilanda perselingkuhan oleh suaminya. Alena syok tak menyangka dan meminta sahabatnya itu bercerita dari awal pertemuannya dengan calon suaminya hingga bagaimana perselingkuhan itu terjadi. Farah mengadu padanya sambil menangis tersedu-sedu.Farah sudah menikah lima tahun lalu yang itu artinya Farah menikah beberapa bulan setelah dia menikah dengan Andrio, tepat mereka kehilangan kontak satu sama lain hingga Alena pun tidak tahu kapan Farah menikah. Farah j
Mereka akhirnya tiba di rumah Alena. Farah begitu kagum melihat rumah Alena sampai-sampai perempuan itu membuka mulut. Rumah sahabatnya itu begitu mewah, bergaya minimalis modern.Dari depan, rumahnya terlihat tinggi dan megah karena berlantai tiga. Dinding dan tiang-tiang rumahnya terlihat kokoh karena dibangun dengan material batu. Dengan jendela lebar dan pintu yang terbuat dari kaca. Langit-langitnya tinggi. Sementara pagarnya terbuat dari besi yang tingginya melebihi kepala orang dewasa. Bahkan ketika dia sudah turun dari mobil itu pun dia masih saja terpana. "Rumah kalian semewah ini?" Farah menatap Alena tidak percaya.Alena tertawa. "Ah, elo mah berlebihan. Rumah lo emangnya nggak semewah ini?"Farah terdiam, mengingat sesuatu. Lebih tepatnya mengingat masa lalu sahabatnya itu. "Ya maksud gue ... Eng, iya Alhamdulillah kehidupan lo sekarang udah sukses dan nyaman banget." Farah tersenyum kaku. "Gue harus banget berterima kasih sama Andrio atas semua ini."Alena mengernyit hera
"Farah?" tebak Andrio lebih dulu membuat Alena menoleh ke suaminya. Ternyata Andrio juga bisa mengenalnya."Iya, gue Farah," sahut perempuan itu kemudian.Alena kembali menatap perempuan yang mengaku Farah itu. Dia melotot tak percaya. "Farah?! Ya ampun!" Alena sontak berdiri. "Gue hampir nggak bisa ngenalin lo tahu, lo berubah banget!" Alena serta-merta memeluk Farah erat-erat. Sementara yang dipeluk juga membalas hal serupa.Mereka saling berpelukan erat. Tubuh kedua wanita itu bahkan bergerak-gerak ke kiri dan kanan karena Alena begitu antusias. Alena kemudian melepas pelukannya. "Apa kabar lo? Kebetulan banget ya kita ketemuan di sini?""Iya, maaf ya gue nggak ada kabar selama ini," jawab Farah. "Iya, nih. Nomor WA lo udah lama nggak aktif, abis itu nggak ada ngasih kabar ke gue juga. Sombong lo.""Bukannya gitu." Farah menyengir terlihat tak nyaman.Alena tertawa. "Iya, iya, gue cuman bercanda kok."Farah lalu menatap Andrio dan anak-anak mereka. "Kalian pada mau ke mana nih?""M
"Pakaian udah, dalaman udah, pembersih muka udah, pomade udah, jam tangan udah, berkas-berkasnya udah, tiket udah, foto-foto aku sama anak-anak juga udah, hmmm apa lagi, ya ...." Alena mengecek barang-barang yang sudah dia masukkan dalam koper Andrio. "Iya semuanya udah beres."Setelah dirasa semuanya sudah lengkap, Alena pun menutup koper itu lalu menyeretnya dekat pintu agar mudah di bawa keluar. Ada dua koper yang siap Andrio bawa. Sebagian besar isinya adalah pakaian dan barang-barang penting.Bersamaan dengan itu, Andrio keluar dari kamar mandi yang ada di kamarnya. Pria itu baru saja selesai mandi, bertelanjang dada dengan handuk kecil melilit pinggangnya, sedangkan handuk kecil lain menyampir di bahunya. "Udah beresin semua? Makasih, ya, sayang," ucapnya saat melihat kesibukan istrinya menata koper. Dia lalu menatap cermin sambil mengeringkan rambut dengan handuk kecil.Alena menoleh. "Udah beres. Cepetan pakai bajunya. Udah kusiapin di lemari paling depan," beritahu Alena. "Ak
Malam harinya, Alena gelisah seorang diri di kamar. Anna dalam gendongannya sejak tadi tak berhenti menangis kencang. Kekhawatiran Alena terjawab ketika dia menempelkan jemari di kening si bayi yang terasa sangat panas. "Ya ampun, Nak. Badanmu panas banget ...." Alena berdiri menggendong anaknya, mencoba mendiamkan meski rasanya mustahil karena bayi itu sedang demam tinggi.Alena melirik jam di dinding yang menunjukkan pukul tujuh. Lalu dia meraih ponsel di atas nakas, mengecek pesan dari Andrio, tapi tidak ada.Alena menarik napas, lalu mengembuskannya kembali. Hal itu dia lakukan berkali-kali sampai perasaannya tenang. "Aku nggak boleh panik. Sebaiknya aku cari tahu di g****e pertolongan pertama waktu bayi lagi demam, apa, ya?" Sambil menggendong bayi dengan tangan sebelah, dia mengotak-atik ponselnya.Dia membaca sekilas informasi yang dia dapat dari g****e. Lalu dia menghubungi Bi Jum lewat chat, minta siapkan air hangat dan kain buat kompresan. "Sabar, ya, Nak. Mama siapin air ha
Satu tahun kemudian ...."Kupandang langit penuh bintang bertaburan ... berkelap-kelip seumpama intan berlian ...." Alena bernyanyi kecil sambil mendorong baby stroller, berjalan mengelilingi taman rumah. Di dalam kereta bayi itu ada Anna dan Kenzy.Satu tahun berlalu, tidak banyak yang berubah dari kehidupan Alena dan Andrio selain anak-anak mereka yang sudah tumbuh besar. Alena yang juga sudah terbiasa mengurusi anak-anaknya.Kenzy sudah berusia satu tahun sepuluh bulan, sedangkan Anna berusia satu tahun satu bulan. Kenzy sudah biasa bicara dengan pengucapan yang jelas, sudah mengerti diajak bicara dan sudah bisa berjalan sendiri tanpa dipimpin, sedangkan Anna sudah bisa bicara namun masih tidak jelas pengucapannya, bisa berjalan dengan dipimpin dan bisa mengerti diajak bicara juga."Mau nyanyi apalagi?" tanya Alena pada anak-anaknya. "Lagu kupu-kupu yang lucu mau?""Mau ...," jawab Kenzy sambil mendongak menatapnya, sedangkan Anna hanya menatap ke segala arah."Oke, kita nyanyi lagu