"Lalu?" "Mami ketakutan karena hal itu. Mami bahkan nggak berani tinggal sendirian besok. Gimana, ya, Kak. Mami benar-benar nggak ada temen." Andrio terdiam, sebelum akhirnya menjawab. "Kamu udah kasih tahu Papi kamu?" Alyssa menggeleng. Gadis itu lalu ikut mencomot kue lapis dan memakannya. "Kenapa?" "Malas," jawabnya sambil mengunyah. "Palingan Papi sibuk di sana. Lagian 'kan Papi jauh, nggak bisa lakuin apa-apa juga." "Tapi paling nggak 'kan dia tahu. Siapa tahu Papi kamu punya solusi untuk hal ini." "Iya, tapi aku butuh pertolongan cepat, Kak. Dan aku harap kamu bisa nolongin keluarga aku. Cuman kamu yang aku harapin sekarang, Kak." Andrio menghela napas "Lalu kamu maunya aku gimana?" Andrio sebenarnya datang ke sini karena ada hal penting juga yang ingin dia sampaikan pada gadis itu. Namun, melihat keadaannya sekarang, dia ragu ini waktu yang tepat. "Kamu bisa 'kan temenin Mami di rumah besok?" Andrio tertegun mendengarnya. Dia berhenti mengunyah. "Ya, nggak bisalah, Sa.
"Kakak kok diam?" teguran Alyssa menyadarkan Andrio seketika. "Itu nggak bener 'kan, Kak?" Alyssa memastikan lagi. "Sa." Andrio malah memanggilnya. "Kenapa, Kak?" Perasaan Alyssa mulai waswas. "Mimpi kamu itu benar, Sa." Andrio mengatakannya tanpa menatap wajah Alyssa yang memandangnya dengan raut terkejut. Andrio fokus menatap pangkuan gadis itu. "Maksud kamu apa, Kak?" Alyssa pura-pura tak mengerti. "Ya, mimpi kamu memang benar." Andrio memberanikan diri menatap Alyssa. "Semua yang ada dalam mimpi kamu itu benar. Kakak memang nggak bisa mencintai kamu. Dan Kakak ingin mengakhiri hubungan ini." Andrio menatap Alyssa serius. Alyssa malah tertawa sumbang. "Kenapa ketawa, Sa? Kakak kali ini serius." Alyssa masih tersenyum. "Kamu pasti nge-prank aku 'kan? Atau kamu mau nguji aku?" Alyssa menggeleng. "Aku nggak percaya, Kak." "Kakak serius, Alyssa. Ini bukan prank atau bercanda. Tadinya Kakak niat ke sini juga mau bahas masalah ini. Kakak mau jujur sama kamu. Terus terang selama
"Jadi lo udah mutusin Alyssa? Serius?" Alena menatap Andrio tak percaya. Andrio mengangguk serius. "Buat apa gue bohong." "Nggak maksud gue bukan gitu. Gue cuman nggak nyangka aja lo bisa mutusin Alyssa secepat itu?" Alena masih menatap Andrio yang duduk di hadapannya dengan pandangan tak percaya. Seminggu sudah terlewati sejak Andrio memutuskan Alyssa di rumahnya malam itu. Dan tanpa terasa hari ini bertemu lagi dengan hari minggu. Dan seperti biasa--sejak Andrio menyatakan cinta padanya--Alena sering mengajak Andrio ketemuan di waktu senggang mereka. Saat ini mereka ketemuan di sebuah kafe. "Buat apa lagi nunggu lama-lama. Lebih cepat lebih baik 'kan?" "Tapi dia nggak marah atau lakuin hal-hal aneh 'kan?" tanya Alena lagi. "Sepertinya nggak. Sampai sejauh ini aman-aman aja. Gue juga nggak denger kabar buruk dari orang tuanya." "Lo yakin?" "Yakin nggak yakin. Memangnya kenapa, Al?" "Gue cuman takut Alyssa nekat lagi." Walau sebenarnya Alena sangat ingin Alyssa melakukan sesua
"Oh, iya. Katanya mau kasih kejutannya di mobil, mana?" tanya Andrio kala teringat dengan kejutan yang Alena janjikan. Alena mengerling ke lelaki itu. "Hmmm penasaran, ya." "Iya, dong." "Bentar." Alena merogoh saku yang ada di belakang kursi mobil tempat dia duduk. Dan mengambil sesuatu dari sana. "Ini dia!" Alena menunjukan sebuah selebaran di hadapan Andrio dengan tersenyum lebar. Andrio menatap selebaran itu sekilas. "Apaan tuh?" "Nggak bisa baca? Ini selebaran lomba nyanyi." "Lomba nyanyi?" Kedua alis Andrio bertaut. "Iya. Lo masih suka nyanyi 'kan?" Andrio mengangguk. "Suka." "Gue mau lo ikut ini. Lo harus ikut lomba bernyanyi." Alena tersenyum. Tawa Andrio pecah memenuhi ruang mobil itu membuat senyum Alena berubah menjadi tatapan heran. "Kok ketawa, sih. Gue nggak lagi melucu, Andrio, gue serius." Alena terlihat kesal. "Gue emang suka nyanyi, sih," jawab Andrio setelah tawanya mereda. "Gue sadar suara gue juga bagus. Tapi di luaran sana masih banyak orang yang suaran
"Hari ini lo mau ajak gue ke mana?" Alena baru saja selesai mandi ketika dia mendengar pintu apartemennya diketuk. Gadis itu membuka pintu dalam keadaan memakai pakaian sederhana dengan rambut digelung handuk. Ternyata tamu itu adalah Andrio. Sore ini, lelaki itu baru saja pulang koas dan langsung mampir ke sini, katanya mau mengajak Alena ke suatu tempat. Dia juga ingin memberi Alena kejutan. Karenanya Alena bertanya. "Liat aja nanti," jawab Andrio. Alena mencebik. "Sok rahasia. Ya udah gue ganti baju dulu, tunggu di dalam." Andrio mengangguk dan mereka masuk ke apartemen itu. "Duduk di sini, Andrio." Alena mempersilakan Andrio duduk di sofa. Dia takut kalau lelaki itu malah mengikutinya sampai ke kamar. Pasalnya, akhir-akhir ini Andrio suka berbuat hal-hal yang tak terduga. Lelaki itu cenderung agresif. Dan itu membuat Alena merasa waswas. "Iya." Andrio pun duduk di sofa. Sembari menunggu Alena berpakaian, lelaki itu melepas jas kedokterannya yang masih dia kenakan. Hingga h
Alena dan Andrio akhirnya pulang, setelah berdiskusi panjang lebar dengan ibu panti asuhan yang berakhiran dengan mereka gagal menitipkan anak jalanan itu ke panti. "Gue 'kan bilang juga apa. Jangan dititipin ke panti asuhan," ucap Alena ketika mereka telah di dalam mobil menuju ke apartemennya. "Lagian lo juga sembarangan aja, anak-anak itu juga belum tentu mau. Belum lagi ngurusin berkas-berkas mereka. Gue aja nggak tahu akte, KK mereka segala macam di mana? Ribet urusannya." Alena terlihat kesal dan melempar pandang ke jalanan tol. "Gue 'kan cuma mau yang terbaik buat mereka, Al. Tinggal di panti asuhan jauh lebih baik daripada mereka tinggal di rumah kardus. Kalau masalah berkas-berkas tinggal tanya aja ke mereka." "Kalau memang lo mau yang terbaik ya kita 'kan bisa nolongin mereka. Beliin mereka rumah yang lebih bagus yang bisa buat mereka tinggal ramai. Atau sekolahin mereka kalau mau. Nggak perlu melibatkan pihak lain." "'Kan udah pernah gue bilang sebelumnya, lo nggak bisa
Hari-hari terus berlalu. Sejak perdebatan kecil di dalam mobil tempo hari, lambat laun hubungan Alena dan Andrio kembali membaik. Mereka kembali ketemuan seperti biasa. Saling bertukar cerita dan melempar canda. Mereka juga sering berciuman. Sampai suatu hari Andrio menepati satu janjinya lagi yaitu, mengikuti audisi lomba bernyanyi yang diadakan di Jakarta Concert Hall. Di sana Andrio langsung bertemu para juri. Di hadapan para juri, lelaki itu membawakan lagu Immortal Love Song dari Maha Dewa, diiringi petikan gitarnya. Di sana juga ada Alena yang menyaksikan penampilan Andrio bersama penonton lain. Dari kejauhan Alena berteriak ringan menyemangati Andrio. Namun, sayangnya Andrio tidak lolos. Dia tidak diterima para juri. Andrio pun mundur dan keluar dari ruangan itu dengan perasaan sedikit kecewa. Alena menghampirinya dan tetap menyemangati lelaki itu. "Nggak pa-pa, yang penting lo udah nyoba," ucap gadis itu saat mereka berjalan beriringan menuju keluar gedung yang ramai. Andri
Dua hari berlalu sejak Alena mempertanyakan status hubungan mereka. Dan kini Andrio sudah menyiapkan semuanya. Andrio sudah menyiapkan suprise untuk Alena. Dia juga tidak ingin gadis itu terlalu lama menunggu dan membuatnya merasa digantung. Dan kini lelaki itu siap menjemput gadis itu ke kediamannya. Sengaja dia tak memberitahu Alena terlebih dulu. Karena ingin membuat kejutan dengan datang langsung ke apartemen gadis itu. Ya, malam ini Andrio akan menyatakan perasaannya pada gadis itu dan menembak gadis itu menjadi pacarnya di tempat yang spesial. Andrio senyum-senyum sendiri membayanginya. Andrio tak sabar menanti momen itu. Jantungnyabahkan sudah berdebar sejak tadi. Namun, tiba-tiba ponselnya berbunyi. Andrio sedikit terheran. Siapa pula yang menghubunginya saat-saat seperti ini? Apa mungkin Alena? Andrio pun melirik layar ponselnya di sampingnya. Keheranannya makin menjadi melihat nama 'Tante Rista' terpampang di layar. "Ngapain Tante Rista nelepon?" gumamnya. Namun, diangk
"Kamu nggak coba telepon suamimu?" tanya Mama Marissa.Alena hanya menggeleng."Ini Mama telepon dari tadi nggak diangkat-angkat." Wajah Mama Marissa tampak cemas sambil menatap layar ponsel. Hal itu juga menular ke Alena. Alena jadi mendadak khawatir. Kenapa suaminya tidak mengangkat telepon dari mamanya? Apa sengaja karena ingin memberi suprise? Alena masih berusaha berpikir positif."Mungkin masih di jalan kali, Ma." Putra ikut berbicara dan menenangkan."Aneh," gumam Marissa masih menatap layar ponsel. "Bikin khawatir aja ""Jangan mikir aneh-aneh deh, Ma. Berdoa aja semoga Andrio baik-baik aja dan segera sampai. Mungkin terjebak macet di jalan." Lagi sang papa mertua menenangkan istrinya.Mama Marissa hanya diam masih sibuk dengan ponselnya.Ting Tong!Tak lama kemudian terdengar suara bel menggema. Alena langsung menatap mama mertuanya. "Nah itu pasti Mas Andrio, Ma.""Biar saya ya yang bukain pintu," ucap Bi Jum yang kebetulan lewat di depan meja makan."I-iya, Bi," sahut Alena.
Dua jam kemudian masakan Alena dan Bi Jum sudah terhidang rapi di meja makan bak sajian restoran yang siap disantap."Waduh enak nih keliatannya ...." Mama Marissa menatap hidangan makanan yang terlihat menggugah selera itu. "Oma jadi nggak sabar buat cicipin." Marissa menyengir lebar melirik cucu kesayangannya sudah duduk di kursi makan di sampingnya."Tunggu Papa!" seru balita itu semangat."Iya, Oma ngerti. Kita tunggu Papa dulu ya baru boleh makan?"Si bocah mengangguk antusias.Alena yang mendengar percakapan itu dari ambang pintu dapur hanya tersenyum simpul. Dia lalu teringat sesuatu dan merogoh ponsel di saku celana kainnya lalu perlahan berjalan ke arah ruang tengah. Hendak menelepon suaminya.***Pria itu duduk bersandar di kursi penumpang. Matanya sejak tadi memindai jalanan yang padat akan kendaraan di depannya. Sesekali macet menghampiri membuatnya semakin gelisah saja. Karena hal itu membuatnya makin lama untuk segera sampai ke rumah.Namun, dia tak lupa ada hal lain yang
Dua tahun kemudianDua tahun sejak kepergian Andrio berlalu. Anak-anak mereka telah tumbuh kian besar dan bisa bicara dengan fasih. Hari-hari yang Alena lalui tanpa Andrio memang terasa berbeda. Walau kadang ditemani keluarganya yang membantunya--entah itu ibu mertuanya, mami dan papi. Malam-malam Alena dia lalui dengan tidur sendiri. Masalah-masalah yang menderanya dia hadapi sendiri.Walau hampir setiap hari mereka bertukar kabar melalui chat dan video call-an. Tetap saja Alena merasa berbeda. Dua tahun dia lewati semua penuh kesabaran dan harapan. Sampai tibalah hari ini. Hari di mana Andrio harusnya pulang."Pagi, Mama ...." Terdengar sayup-sayup suara mungil membangunkan, disusul kecupan hangat di pipi. Wanita itu sontak membuka mata. Lantas menoleh ke samping. Wajah balita mungil dan menggemaskan tersenyum menyambutnya.Alena tersenyum. "Pagi juga, Sayang ....""Bangun, Mama.""Iya, ini Mama udah bangun. Sini peluk dulu." Alena meraih badan mungil itu dan mendekapnya penuh cinta
"Suami gue selingkuh, Al ....""Selingkuh gimana, Far? Lo tahu dari mana itu selingkuhannya? Siapa tahu emang cuman teman kan?""Bukan teman, Al. Tapi selingkuhannya. Udah setahun Al, gue sering baca chatingan mereka. Dari chatingannya jelas-jelas mereka ada hubungan spesial. Gue yang lebih tahu.”"Maaf, Far, co-coba sekarang lo cerita yang jelas sama gue ...."Alena sontak memejamkan mata dan menggelengkan kepala kencang-kencang setiap teringat cerita perselingkuhan sahabatnya itu.Waktu Farah memberitahu kalau pernikahannya sedang dilanda perselingkuhan oleh suaminya. Alena syok tak menyangka dan meminta sahabatnya itu bercerita dari awal pertemuannya dengan calon suaminya hingga bagaimana perselingkuhan itu terjadi. Farah mengadu padanya sambil menangis tersedu-sedu.Farah sudah menikah lima tahun lalu yang itu artinya Farah menikah beberapa bulan setelah dia menikah dengan Andrio, tepat mereka kehilangan kontak satu sama lain hingga Alena pun tidak tahu kapan Farah menikah. Farah j
Mereka akhirnya tiba di rumah Alena. Farah begitu kagum melihat rumah Alena sampai-sampai perempuan itu membuka mulut. Rumah sahabatnya itu begitu mewah, bergaya minimalis modern.Dari depan, rumahnya terlihat tinggi dan megah karena berlantai tiga. Dinding dan tiang-tiang rumahnya terlihat kokoh karena dibangun dengan material batu. Dengan jendela lebar dan pintu yang terbuat dari kaca. Langit-langitnya tinggi. Sementara pagarnya terbuat dari besi yang tingginya melebihi kepala orang dewasa. Bahkan ketika dia sudah turun dari mobil itu pun dia masih saja terpana. "Rumah kalian semewah ini?" Farah menatap Alena tidak percaya.Alena tertawa. "Ah, elo mah berlebihan. Rumah lo emangnya nggak semewah ini?"Farah terdiam, mengingat sesuatu. Lebih tepatnya mengingat masa lalu sahabatnya itu. "Ya maksud gue ... Eng, iya Alhamdulillah kehidupan lo sekarang udah sukses dan nyaman banget." Farah tersenyum kaku. "Gue harus banget berterima kasih sama Andrio atas semua ini."Alena mengernyit hera
"Farah?" tebak Andrio lebih dulu membuat Alena menoleh ke suaminya. Ternyata Andrio juga bisa mengenalnya."Iya, gue Farah," sahut perempuan itu kemudian.Alena kembali menatap perempuan yang mengaku Farah itu. Dia melotot tak percaya. "Farah?! Ya ampun!" Alena sontak berdiri. "Gue hampir nggak bisa ngenalin lo tahu, lo berubah banget!" Alena serta-merta memeluk Farah erat-erat. Sementara yang dipeluk juga membalas hal serupa.Mereka saling berpelukan erat. Tubuh kedua wanita itu bahkan bergerak-gerak ke kiri dan kanan karena Alena begitu antusias. Alena kemudian melepas pelukannya. "Apa kabar lo? Kebetulan banget ya kita ketemuan di sini?""Iya, maaf ya gue nggak ada kabar selama ini," jawab Farah. "Iya, nih. Nomor WA lo udah lama nggak aktif, abis itu nggak ada ngasih kabar ke gue juga. Sombong lo.""Bukannya gitu." Farah menyengir terlihat tak nyaman.Alena tertawa. "Iya, iya, gue cuman bercanda kok."Farah lalu menatap Andrio dan anak-anak mereka. "Kalian pada mau ke mana nih?""M
"Pakaian udah, dalaman udah, pembersih muka udah, pomade udah, jam tangan udah, berkas-berkasnya udah, tiket udah, foto-foto aku sama anak-anak juga udah, hmmm apa lagi, ya ...." Alena mengecek barang-barang yang sudah dia masukkan dalam koper Andrio. "Iya semuanya udah beres."Setelah dirasa semuanya sudah lengkap, Alena pun menutup koper itu lalu menyeretnya dekat pintu agar mudah di bawa keluar. Ada dua koper yang siap Andrio bawa. Sebagian besar isinya adalah pakaian dan barang-barang penting.Bersamaan dengan itu, Andrio keluar dari kamar mandi yang ada di kamarnya. Pria itu baru saja selesai mandi, bertelanjang dada dengan handuk kecil melilit pinggangnya, sedangkan handuk kecil lain menyampir di bahunya. "Udah beresin semua? Makasih, ya, sayang," ucapnya saat melihat kesibukan istrinya menata koper. Dia lalu menatap cermin sambil mengeringkan rambut dengan handuk kecil.Alena menoleh. "Udah beres. Cepetan pakai bajunya. Udah kusiapin di lemari paling depan," beritahu Alena. "Ak
Malam harinya, Alena gelisah seorang diri di kamar. Anna dalam gendongannya sejak tadi tak berhenti menangis kencang. Kekhawatiran Alena terjawab ketika dia menempelkan jemari di kening si bayi yang terasa sangat panas. "Ya ampun, Nak. Badanmu panas banget ...." Alena berdiri menggendong anaknya, mencoba mendiamkan meski rasanya mustahil karena bayi itu sedang demam tinggi.Alena melirik jam di dinding yang menunjukkan pukul tujuh. Lalu dia meraih ponsel di atas nakas, mengecek pesan dari Andrio, tapi tidak ada.Alena menarik napas, lalu mengembuskannya kembali. Hal itu dia lakukan berkali-kali sampai perasaannya tenang. "Aku nggak boleh panik. Sebaiknya aku cari tahu di g****e pertolongan pertama waktu bayi lagi demam, apa, ya?" Sambil menggendong bayi dengan tangan sebelah, dia mengotak-atik ponselnya.Dia membaca sekilas informasi yang dia dapat dari g****e. Lalu dia menghubungi Bi Jum lewat chat, minta siapkan air hangat dan kain buat kompresan. "Sabar, ya, Nak. Mama siapin air ha
Satu tahun kemudian ...."Kupandang langit penuh bintang bertaburan ... berkelap-kelip seumpama intan berlian ...." Alena bernyanyi kecil sambil mendorong baby stroller, berjalan mengelilingi taman rumah. Di dalam kereta bayi itu ada Anna dan Kenzy.Satu tahun berlalu, tidak banyak yang berubah dari kehidupan Alena dan Andrio selain anak-anak mereka yang sudah tumbuh besar. Alena yang juga sudah terbiasa mengurusi anak-anaknya.Kenzy sudah berusia satu tahun sepuluh bulan, sedangkan Anna berusia satu tahun satu bulan. Kenzy sudah biasa bicara dengan pengucapan yang jelas, sudah mengerti diajak bicara dan sudah bisa berjalan sendiri tanpa dipimpin, sedangkan Anna sudah bisa bicara namun masih tidak jelas pengucapannya, bisa berjalan dengan dipimpin dan bisa mengerti diajak bicara juga."Mau nyanyi apalagi?" tanya Alena pada anak-anaknya. "Lagu kupu-kupu yang lucu mau?""Mau ...," jawab Kenzy sambil mendongak menatapnya, sedangkan Anna hanya menatap ke segala arah."Oke, kita nyanyi lagu