Belakangan ini sejak Alena tak lagi tinggal bersamanya, Mbah Nani sering sakit-sakitan, sakit pinggang, sakit lutut. Alena takut sakit Mbah kian parah jika tak diobati. Karenanya Alena menyarankan agar orang tua itu rutin periksa ke rumah sakit agar diberi resep obat juga sama dokter. Hari ini jadwal Mbah Nani chek-up ke rumah sakit, ditemani oleh Alena. Dan ketika nama lengkap Mbah Nani dipanggil, orang tua itu memandang ke Alena yang duduk di sampingnya. "Alena, kamu tunggu sini saja, yo. Mbah mau cek dulu." "Mbah bisa sendiri?" "Bisalah, cuma ke situ sebentar, kamu jangan ke mana-mana," "Iya, Mbah." Orang tua itu berdiri, masuk ke ruang dokter yang memanggilnya barusan. Alena di tempat duduknya merenung. Dia tiba-tiba mengingat suara dokter yang memanggil Mbah tadi, suaranya laki-laki. Tapi Alena merasa tak asing dengan suara itu. "Apa cuman perasaan gue aja, ya," gumamnya. Lalu gadis itu kembali bermain ponsel. Sekitar setengah jam Alena menunggu, akhirnya Mbah Nani kelu
Andrio memeluk tubuh Alena dari belakang. Tangannya yang berbungkus jas kedokteran melingkar di pinggang gadis itu, erat. Matanya terpejam menghidu aroma harum rambut Alena yang dia rindukan. "Gue kangen banget sama lo, Al," bisik pemuda itu. "Andrio, apa-apaan! Lepasin!" Alena berdesis sambil berusaha melepas lingkaran lengan Andrio di perutnya. Gadis itu melirik ke orang-orang yang berlalu-lalang di halaman itu. Dia sungguh malu dengan apa yang Andrio lakukan terhadapnya. "Ini tempat umum, Andrio!" Alena sedikit bersyukur karena Mbah Nani tidak melihat interaksi mereka. "Oh, jadi kalau nggak di tempat umum, mau, ya, dipeluk kayak gini." Mendengar itu, Alena makin geram dan mencubit lengan Andrio tapi agaknya lelaki itu tak kesakitan sama sekali. Lelaki itu malah makin memperkuat pelukannya. "Apa lo nggak kangen sama gue? Ke mana aja lo selama ini? Apa lo nggak capek menghindar dari gue?" "Gue nggak kangen sama lo," "Masak, sih?" Alena lalu teringat sesuatu. Andrio masih pacar
Alena menatap Andrio. Lalu mengangguk. "Sekarang lo percaya 'kan, Al, kalau gue tuh sayang sama lo, bukan Alyssa. Gue sendiri nggak ngerti kenapa jalan hidup gue begini? Kenapa takdir gue kayak gini, gue seolah dituntut untuk melakukan apa yang orang-orang sekitar gue inginkan. Gue kadang merasa hidup ini nggak adil, Al." Alena masih terdiam. Tapi dia sangat mengerti apa yang Andrio rasakan. Apa yang Andrio pikirkan sama dengan yang pernah dia pikirkan. Hidup kadang memang tidak adil. Andrio meraih lengan Alena dan menggenggamnya. "Al, kadang gue merasa nggak sanggup menjalani ini semua. Tapi gue nggak bisa berbuat apa-apa." "Kenapa lo nggak bisa cinta sama Alyssa?" tanya Alena kemudian. "Gue nggak tahu," jawab Andrio. "Terlebih lo muncul lagi di kehidupan gue kayak gini, gue merasakan kalau perasaan gue ke elo kian besar, Al. Gue pengin bisa memilih lo, bukan Alyssa. Tolong jangan paksa gue untuk mencintai dia." Alena sendiri juga tak mengerti kenapa dirinya, Alyssa dan Andrio b
Alena berjalan kembali menuju mobil. Dia masih tak habis pikir apa yang telah dia alami barusan. Dia benar-benar tidak menyangka kalau selama ini Andrio masih punya perasaan terhadapnya, padahal mereka sudah lama tak berkomunikasi. Alena juga tak menyangka, Andrio menjalin hubungan dengan Alyssa karena gadis manja itu mengancam bunuh diri. Sebenarnya, Alena juga tak habis pikir dengan jalan pikiran gadis itu. Sesampainya di depan mobilnya, Alena membuka pintu bagian kemudi. Dia tersenyum menemukan Mbah Nani duduk di kursi sebelahnya sambil bersandar. "Maaf, Mbah. Lama, ya, nungguin aku?" Alena masuk ke mobil dan menutup pintu. Mbah Nani mengangkat kepalanya, lalu tersenyum dan menggeleng. Alena yang duduk di samping Mbah Nani tersenyum tipis menatap orang tua itu. "Oh, iya, obat Mbah tadi udah sama Mbah, 'kan?" Alena celingukan membongkar isi tasnya. "Iya," sahut Mbah Nani. "Mbah simpan di dalam tas Mbah." "Oke." Lalu Alena menghidupkan mesin mobilnya hingga menimbulkan suara.
Alena sedang menghadap laptop, mengetik laporan ketika ruangannya di ketuk dari luar.Alena menoleh ke arah pintu. "Masuk!"Tak lama kemudian pintu ruangan itu dibuka disusul suara seorang perempuan. "Permisi, Bu!""Iya?"Perempuan berpenampilan modis itu mendekat ke meja Alena seraya memegangi beberapa map. "Ini ada beberapa berkas yang harus Ibu tandatangani,"Alena melirik beberapa map itu sekilas. "Iya, letakan saja di situ.""Harus ditandatangani sekarang, Bu.""Oh, oke." Alena pun mengambil pena, membuka lembaran kertas dalam map itu. Dan menandatanganinya. Juga pada berkas-berkas lainnya. Setelah dirasa semua berkas ditandatangani Alena menutup map-map itu. "Sudah."Perempuan itu mengambil map-map itu. "Terima kasih, Bu.""Sama-sama.""Permisi." Perempuan itu berlalu dari sana.Alena menghela napas. Dia melirik jam branded yang melingkar di tangannya. "Bentar lagi istirahat." Alena tampak berpikir. "Akhir-akhir ini gue sering makan di luar sendirian, bosan," keluh gadis itu. Se
Beberapa hari terlewati. Semuanya berjalan sebagaimana mestinya. Andrio dan Alyssa menjalani koas seperti biasa dan Alena menjalani rutinitasnya bekerja di perusahaan seperti biasa pula. Setelah cukup sabar menanti, akhirnya Andrio punya waktu luang untuk ketemu dengan Alena. Bahkan lelaki itu yang mengajak Alena ketemu lebih dulu di hari minggu siang. Andrio juga menjemput Alena di apartemen gadis itu. Dan sekarang di sinilah mereka. Mereka makan di sebuah restoran. "Gue nggak nyangka akhirnya kita bisa ketemuan juga," ucap Alena sambil membersihkan sisa makanan di tepi bibirnya dengan tisu. "Gue kira lo sengaja emang nggak mau ketemu sama gue." Andrio yang baru menyelesaikan makannya pun langsung menyeruput sisa jus apelnya. Sebelum kemudian menjawab. "Nggak mungkin gue nggak mau ketemu sama lo. Tapi emang waktu gue padat banget." Andrio menautkan jari-jari kedua tangannya dan fokus menghadap Alena. "Oh, iya? Sepadat apa, sih?" Alena pura-pura tertarik mendengarkan. Dan selagi
Andrio serta-merta menggeleng mendengarnya. "Nggak gitu, Al. Gue beneran cinta sama lo!" "Ya udah, kalau gitu buktiin! Gue butuh pembuktian, bukan sekadar omong doang." Andrio menghela napas. "Gue mau banget putus dari dia, Al. Tapi gue juga butuh waktu. Apalagi sekarang dia sering curhat ke gue tentang masalahnya." "Masalah apa?" "Akhir-akhir ini rumahnya lagi diteror. Dan sekarang sampai beberapa hari ke depan, Om Bagas nggak ada di rumah. Alyssa curhat ke gue kalau dia takut maminya kenapa-kenapa. Rumahnya nggak ada orang. Dia juga kadang ngajakin gue nginap ke rumahnya, tapi gue tolak." Alena terdiam mendengarnya. Teror yang dimaksud itu pasti teror ulahnya. Dan Alena pun menyadari dirinya terlalu terburu-buru. Seharusnya dia tak perlu mendesak Andrio seperti itu. Dia juga khawatir kalau sikapnya barusan justru membuat Andrio tidak nyaman. Harusnya dia bisa mengertikan Andrio. Dia juga tidak ingin Andrio curiga padanya kalau dirinya sedang dimanfaatkan. Alena tahu, Andrio lela
Mobil BMW hitam milik Andrio menepi di jalanan tanah kuning yang ada di antara hutan-hutan. Sejak tadi Alena yang menyetir mobil Andrio karena dia lebih tahu alamat rumah anak jalanan itu dan dia minta ke Andrio mengizinkannya untuk menyetir mobil tersebut. "Kita udah sampai, yuk turun," ajak Alena yang keluar lebih dulu. Andrio masih sibuk memperhatikan daerah itu yang terlihat sepi. Sebelum akhirnya dia juga ikut turun. "Rumah anak jalanannya di mana?" tanya Andrio sambil mengedar pandang ke sekeliling wilayah itu yang didominasi pepohonan. "Di sana." Alena menunjuk arah dalam jalanan tanah kuning. "Masuk ke sana." Alena berjalan lebih dulu. Andrio mengiring di belakangnya. Selama dalam perjalanan menuju ke mari tadi, Alena bercerita ke Andrio bagaimana bisa dia bertemu anak jalanan itu hingga menolong mereka dan membuatkannya rumah kardus di daerah ini. Alena juga bercerita mengenai Bu Ratih yang selama ini telah menolongnya. Bu Ratih yang belum lama meninggal melimpahkan seluru
"Kamu nggak coba telepon suamimu?" tanya Mama Marissa.Alena hanya menggeleng."Ini Mama telepon dari tadi nggak diangkat-angkat." Wajah Mama Marissa tampak cemas sambil menatap layar ponsel. Hal itu juga menular ke Alena. Alena jadi mendadak khawatir. Kenapa suaminya tidak mengangkat telepon dari mamanya? Apa sengaja karena ingin memberi suprise? Alena masih berusaha berpikir positif."Mungkin masih di jalan kali, Ma." Putra ikut berbicara dan menenangkan."Aneh," gumam Marissa masih menatap layar ponsel. "Bikin khawatir aja ""Jangan mikir aneh-aneh deh, Ma. Berdoa aja semoga Andrio baik-baik aja dan segera sampai. Mungkin terjebak macet di jalan." Lagi sang papa mertua menenangkan istrinya.Mama Marissa hanya diam masih sibuk dengan ponselnya.Ting Tong!Tak lama kemudian terdengar suara bel menggema. Alena langsung menatap mama mertuanya. "Nah itu pasti Mas Andrio, Ma.""Biar saya ya yang bukain pintu," ucap Bi Jum yang kebetulan lewat di depan meja makan."I-iya, Bi," sahut Alena.
Dua jam kemudian masakan Alena dan Bi Jum sudah terhidang rapi di meja makan bak sajian restoran yang siap disantap."Waduh enak nih keliatannya ...." Mama Marissa menatap hidangan makanan yang terlihat menggugah selera itu. "Oma jadi nggak sabar buat cicipin." Marissa menyengir lebar melirik cucu kesayangannya sudah duduk di kursi makan di sampingnya."Tunggu Papa!" seru balita itu semangat."Iya, Oma ngerti. Kita tunggu Papa dulu ya baru boleh makan?"Si bocah mengangguk antusias.Alena yang mendengar percakapan itu dari ambang pintu dapur hanya tersenyum simpul. Dia lalu teringat sesuatu dan merogoh ponsel di saku celana kainnya lalu perlahan berjalan ke arah ruang tengah. Hendak menelepon suaminya.***Pria itu duduk bersandar di kursi penumpang. Matanya sejak tadi memindai jalanan yang padat akan kendaraan di depannya. Sesekali macet menghampiri membuatnya semakin gelisah saja. Karena hal itu membuatnya makin lama untuk segera sampai ke rumah.Namun, dia tak lupa ada hal lain yang
Dua tahun kemudianDua tahun sejak kepergian Andrio berlalu. Anak-anak mereka telah tumbuh kian besar dan bisa bicara dengan fasih. Hari-hari yang Alena lalui tanpa Andrio memang terasa berbeda. Walau kadang ditemani keluarganya yang membantunya--entah itu ibu mertuanya, mami dan papi. Malam-malam Alena dia lalui dengan tidur sendiri. Masalah-masalah yang menderanya dia hadapi sendiri.Walau hampir setiap hari mereka bertukar kabar melalui chat dan video call-an. Tetap saja Alena merasa berbeda. Dua tahun dia lewati semua penuh kesabaran dan harapan. Sampai tibalah hari ini. Hari di mana Andrio harusnya pulang."Pagi, Mama ...." Terdengar sayup-sayup suara mungil membangunkan, disusul kecupan hangat di pipi. Wanita itu sontak membuka mata. Lantas menoleh ke samping. Wajah balita mungil dan menggemaskan tersenyum menyambutnya.Alena tersenyum. "Pagi juga, Sayang ....""Bangun, Mama.""Iya, ini Mama udah bangun. Sini peluk dulu." Alena meraih badan mungil itu dan mendekapnya penuh cinta
"Suami gue selingkuh, Al ....""Selingkuh gimana, Far? Lo tahu dari mana itu selingkuhannya? Siapa tahu emang cuman teman kan?""Bukan teman, Al. Tapi selingkuhannya. Udah setahun Al, gue sering baca chatingan mereka. Dari chatingannya jelas-jelas mereka ada hubungan spesial. Gue yang lebih tahu.”"Maaf, Far, co-coba sekarang lo cerita yang jelas sama gue ...."Alena sontak memejamkan mata dan menggelengkan kepala kencang-kencang setiap teringat cerita perselingkuhan sahabatnya itu.Waktu Farah memberitahu kalau pernikahannya sedang dilanda perselingkuhan oleh suaminya. Alena syok tak menyangka dan meminta sahabatnya itu bercerita dari awal pertemuannya dengan calon suaminya hingga bagaimana perselingkuhan itu terjadi. Farah mengadu padanya sambil menangis tersedu-sedu.Farah sudah menikah lima tahun lalu yang itu artinya Farah menikah beberapa bulan setelah dia menikah dengan Andrio, tepat mereka kehilangan kontak satu sama lain hingga Alena pun tidak tahu kapan Farah menikah. Farah j
Mereka akhirnya tiba di rumah Alena. Farah begitu kagum melihat rumah Alena sampai-sampai perempuan itu membuka mulut. Rumah sahabatnya itu begitu mewah, bergaya minimalis modern.Dari depan, rumahnya terlihat tinggi dan megah karena berlantai tiga. Dinding dan tiang-tiang rumahnya terlihat kokoh karena dibangun dengan material batu. Dengan jendela lebar dan pintu yang terbuat dari kaca. Langit-langitnya tinggi. Sementara pagarnya terbuat dari besi yang tingginya melebihi kepala orang dewasa. Bahkan ketika dia sudah turun dari mobil itu pun dia masih saja terpana. "Rumah kalian semewah ini?" Farah menatap Alena tidak percaya.Alena tertawa. "Ah, elo mah berlebihan. Rumah lo emangnya nggak semewah ini?"Farah terdiam, mengingat sesuatu. Lebih tepatnya mengingat masa lalu sahabatnya itu. "Ya maksud gue ... Eng, iya Alhamdulillah kehidupan lo sekarang udah sukses dan nyaman banget." Farah tersenyum kaku. "Gue harus banget berterima kasih sama Andrio atas semua ini."Alena mengernyit hera
"Farah?" tebak Andrio lebih dulu membuat Alena menoleh ke suaminya. Ternyata Andrio juga bisa mengenalnya."Iya, gue Farah," sahut perempuan itu kemudian.Alena kembali menatap perempuan yang mengaku Farah itu. Dia melotot tak percaya. "Farah?! Ya ampun!" Alena sontak berdiri. "Gue hampir nggak bisa ngenalin lo tahu, lo berubah banget!" Alena serta-merta memeluk Farah erat-erat. Sementara yang dipeluk juga membalas hal serupa.Mereka saling berpelukan erat. Tubuh kedua wanita itu bahkan bergerak-gerak ke kiri dan kanan karena Alena begitu antusias. Alena kemudian melepas pelukannya. "Apa kabar lo? Kebetulan banget ya kita ketemuan di sini?""Iya, maaf ya gue nggak ada kabar selama ini," jawab Farah. "Iya, nih. Nomor WA lo udah lama nggak aktif, abis itu nggak ada ngasih kabar ke gue juga. Sombong lo.""Bukannya gitu." Farah menyengir terlihat tak nyaman.Alena tertawa. "Iya, iya, gue cuman bercanda kok."Farah lalu menatap Andrio dan anak-anak mereka. "Kalian pada mau ke mana nih?""M
"Pakaian udah, dalaman udah, pembersih muka udah, pomade udah, jam tangan udah, berkas-berkasnya udah, tiket udah, foto-foto aku sama anak-anak juga udah, hmmm apa lagi, ya ...." Alena mengecek barang-barang yang sudah dia masukkan dalam koper Andrio. "Iya semuanya udah beres."Setelah dirasa semuanya sudah lengkap, Alena pun menutup koper itu lalu menyeretnya dekat pintu agar mudah di bawa keluar. Ada dua koper yang siap Andrio bawa. Sebagian besar isinya adalah pakaian dan barang-barang penting.Bersamaan dengan itu, Andrio keluar dari kamar mandi yang ada di kamarnya. Pria itu baru saja selesai mandi, bertelanjang dada dengan handuk kecil melilit pinggangnya, sedangkan handuk kecil lain menyampir di bahunya. "Udah beresin semua? Makasih, ya, sayang," ucapnya saat melihat kesibukan istrinya menata koper. Dia lalu menatap cermin sambil mengeringkan rambut dengan handuk kecil.Alena menoleh. "Udah beres. Cepetan pakai bajunya. Udah kusiapin di lemari paling depan," beritahu Alena. "Ak
Malam harinya, Alena gelisah seorang diri di kamar. Anna dalam gendongannya sejak tadi tak berhenti menangis kencang. Kekhawatiran Alena terjawab ketika dia menempelkan jemari di kening si bayi yang terasa sangat panas. "Ya ampun, Nak. Badanmu panas banget ...." Alena berdiri menggendong anaknya, mencoba mendiamkan meski rasanya mustahil karena bayi itu sedang demam tinggi.Alena melirik jam di dinding yang menunjukkan pukul tujuh. Lalu dia meraih ponsel di atas nakas, mengecek pesan dari Andrio, tapi tidak ada.Alena menarik napas, lalu mengembuskannya kembali. Hal itu dia lakukan berkali-kali sampai perasaannya tenang. "Aku nggak boleh panik. Sebaiknya aku cari tahu di g****e pertolongan pertama waktu bayi lagi demam, apa, ya?" Sambil menggendong bayi dengan tangan sebelah, dia mengotak-atik ponselnya.Dia membaca sekilas informasi yang dia dapat dari g****e. Lalu dia menghubungi Bi Jum lewat chat, minta siapkan air hangat dan kain buat kompresan. "Sabar, ya, Nak. Mama siapin air ha
Satu tahun kemudian ...."Kupandang langit penuh bintang bertaburan ... berkelap-kelip seumpama intan berlian ...." Alena bernyanyi kecil sambil mendorong baby stroller, berjalan mengelilingi taman rumah. Di dalam kereta bayi itu ada Anna dan Kenzy.Satu tahun berlalu, tidak banyak yang berubah dari kehidupan Alena dan Andrio selain anak-anak mereka yang sudah tumbuh besar. Alena yang juga sudah terbiasa mengurusi anak-anaknya.Kenzy sudah berusia satu tahun sepuluh bulan, sedangkan Anna berusia satu tahun satu bulan. Kenzy sudah biasa bicara dengan pengucapan yang jelas, sudah mengerti diajak bicara dan sudah bisa berjalan sendiri tanpa dipimpin, sedangkan Anna sudah bisa bicara namun masih tidak jelas pengucapannya, bisa berjalan dengan dipimpin dan bisa mengerti diajak bicara juga."Mau nyanyi apalagi?" tanya Alena pada anak-anaknya. "Lagu kupu-kupu yang lucu mau?""Mau ...," jawab Kenzy sambil mendongak menatapnya, sedangkan Anna hanya menatap ke segala arah."Oke, kita nyanyi lagu