Mobil BMW hitam milik Andrio menepi di jalanan tanah kuning yang ada di antara hutan-hutan. Sejak tadi Alena yang menyetir mobil Andrio karena dia lebih tahu alamat rumah anak jalanan itu dan dia minta ke Andrio mengizinkannya untuk menyetir mobil tersebut. "Kita udah sampai, yuk turun," ajak Alena yang keluar lebih dulu. Andrio masih sibuk memperhatikan daerah itu yang terlihat sepi. Sebelum akhirnya dia juga ikut turun. "Rumah anak jalanannya di mana?" tanya Andrio sambil mengedar pandang ke sekeliling wilayah itu yang didominasi pepohonan. "Di sana." Alena menunjuk arah dalam jalanan tanah kuning. "Masuk ke sana." Alena berjalan lebih dulu. Andrio mengiring di belakangnya. Selama dalam perjalanan menuju ke mari tadi, Alena bercerita ke Andrio bagaimana bisa dia bertemu anak jalanan itu hingga menolong mereka dan membuatkannya rumah kardus di daerah ini. Alena juga bercerita mengenai Bu Ratih yang selama ini telah menolongnya. Bu Ratih yang belum lama meninggal melimpahkan seluru
"Kalian tadi udah benar. Kakak pacarnya Kak Alena." Andrio menyengir lebar sambil melirik Alena yang menatapnya tajam. "Tuh 'kan bener. Kenapa tadi Kak Alena bilang bukan?" tanya Boby sambil menatap Alena seolah menginterogasi gadis itu "Kak Alena-nya malu mau ngakuin Kakak sebagai pacarnya." Sebelum Alena menjawab, Andrio menyahut lebih dulu. "Oh gitu. Ih Kak Alena malu-malu segala." Mereka lantas tertawa. "Andrio!" desis Alena menatap Andrio kian tajam. "Oh iya Kakak ke sini mau ngajakin kalian ke apartemen Kakak seperti janji Kakak kemarin." Alena langsung mengutarakan niatnya ke sini sekaligus mengalihkan topik pembicaraan, berharap anak-anak itu tidak mengejeknya lagi. "Jadi 'kan?" "Jadi dong, Kak," jawab Boby mewakili teman-temannya. "Kami malah nungguin dari tadi. Kirain Kak Alena nggak jadi datang." "Maaf, ya. Kakak emang agak telat tadi." "Iya, Kak, nggak pa-pa." "Ya udah kalian siap-siap dulu, gih. Kakak tungguin di depan, ya." "Siap, Kak." Alena pun keluar dari r
"Kak Andrio! Kak Alena!" Alena membelalak dan sontak berbalik mendengar suara itu. Boby terlihat berdiri menatapnya panik. "Kenapa, Boby? Udah siap?" tanyanya. "Kita nggak jadi jalan, Kak, hari ini." "Lho, kenapa?" Alena langsung terheran, begitu pun Andrio. "Salah satu teman kami sakit, Kak," Alena pun terkejut. "Siapa yang sakit?" "Reyhan, Kak." "Ya ampun." Alena melirik Andrio sekilas. "Reyhan sakit apa?" "Reyhan demam tinggi, Kak. Dia lagi baring di kamar. Sebenarnya emang dari tadi dia nggak keluar kamar, kami kira dia cuman tidur. Ternyata pas kami periksa badannya panas," jelas Boby panjang lebar. "Kakak mau liat keadaannya sekarang." Tiba-tiba Andrio menyahut. "Ayo, Kak." Boby, Andrio dan Alena langsung bergegas masuk ke rumah kardus yang kecil dan sempit itu. Boby mengantar mereka sampai ke kamarnya. Di dalam kamar mereka yang berantakan, Reyhan terlihat meringkuk di atas kasur ampar. Andrio langsung berjongkok di dekat anak itu. Andrio memegangi lengan anak itu.
"Urusan itu biar nanti kita pikirin. Sekarang urus Reyhan dulu," jawab Alena akhirnya. Gadis itu seperti tak mau membahas masalah itu dulu. "Sekarang gini aja. Gue balik ke tempat tadi buat jemput Boby atau siapa buat jagain Reyhan di sini. Abis itu gue antar lo pulang. Besok kita ke sini lagi, jemput mereka." Alena menatap Andrio tak suka. "Memangnya kenapa kalau gue di sini? Lo kenapa kayak nggak suka gue bantuin mereka?" Jeda sejenak. "Gue jadi nyesel udah ngasih tahu lo tentang mereka. Gue pikir lo dukung gue!" Alena lalu mengalihkan tatapannya. Andrio menghela napas. "Bukan gue nggak dukung lo. Tapi gue cuma kasih saran yang terbaik. Mereka ke panti asuhan. Itu yang terbaik. Mau sampai kapan lo ngurusin mereka coba? Mereka bukan sepenuhnya tanggung jawab kita. Lo hanya orang yang mau membantu mereka tapi bukan tanggung jawab lo juga--" "Lo tuh nggak pernah hidup susah, Andrio! Nggak kayak gue. Jadi lo nggak tahu apa yang pernah gue dan anak-anak itu rasain! Udahlah kalau lo
Alena pun membuka kaca jendela tersebut pelan. "Ada apa, Dek?" tanyanya. "Minta sedekah, Kak. Kami belum makan, Kak," kata anak perempuan itu sambil menyodorkan kaleng kecil. Alena kasihan melihatnya. "Bentar, ya." Alena lalu merogoh tasnya untuk mengambil uang. Alena mengeluarkan selembar uang kertas berwarna hijau dan memasukkan ke dalam kaleng anak itu. "Ini, Dek." "Makasih, Kak." "Sama-sama." Alena tersenyum. Anak perempuan itu berlalu. Kembali berjalan di sisi mobil-mobil lain dan mengetuk kaca jendelanya. Alena masih memperhatikan pemandangan itu. Perasaannya sungguh teriris tiap melihat anak-anak jalanan itu. Nasib anak itu lebih menyedihkan daripada nasibnya dulu. Waktu seusia mereka, Alena tidak pernah disuruh oleh ibunya untuk meminta-minta seperti itu, meski hidup mereka susah. "Gue kasihan lihat anak-anak itu," gumam Alena kemudian tanpa mengalihkan pandangannya. "Di usia dini di mana mereka harus sekolah, mereka justru udah cari duit." Andrio hanya diam mendengarnya.
Mobil Andrio tiba di depan gedung apartemen Alena yang menjulang tinggi ketika hari sudah gelap. "Udah sampai, nih," ucap Andrio. "Nggak mampir dulu?" Sebelum turun, Alena menawarkan Andrio mampir, tapi Andrio terlihat ragu. "Sebentar aja. Rumah lo 'kan jauh. Istirahat dulu di apartemen gue. Minum dulu, baru pulang. Lo juga udah ngantarin gue dan bantuin gue ngurusin anak-anak itu 'kan?" Setelah berpikir lama, Andrio akhirnya mengangguk. "Oke, deh." Andrio mematikan mesin mobilnya dan mencabut kunci mobilnya. "Oke, ayo turun." Alena tersenyum senang dan turun lebih dulu, kemudian disusul Andrio. Alena dan Andrio menyusuri lorong menuju ruang apartemen Alena berada. Lorong itu tampak sepi, tak terlihat orang-orang lewat. Di kiri-kanan lorong itu terdapat pintu-pintu. Alena berhenti di depan pintu nomor 121. "Ini apartemen gue," katanya sambil membuka kunci pintu ruangan itu. Setelah pintu dibuka, Alena masuk lebih dulu dan diiringi Andrio. Selagi Alena menutup pintu kembali, And
Andrio berbaring menatap langit-langit kamarnya. Dia mengingat kembali apa yang sudah dia dan Alena lakukan tadi. Ketika Alena mencium bibirnya. Kejadian itu begitu cepat hingga dia tak sempat menolak. Dia tak menyangka Alena senekat itu. Dan anehnya dirinya juga tidak menolak dan malah membalas ciuman itu. Andrio masih ingat jelas bagaimana kejadian itu terjadi "Jadi maaf, ya. Gue pulang sekarang." Andrio baru akan berbalik badan ketika tiba-tiba dia merasa pergelangan tangannya dipegang. Andrio berbalik lagi. "Apa lagi, Al?" Dia melihat Alena maju mendekatkan diri padanya. Manik hitam gadis itu menusuk matanya lekat. Dia merasakan telapak tangan gadis itu menyentuh dadanya dan mengusapnya. "Please, temanin gue di sini. Sebentar, aja, ya." Permintaan itu lebih terdengar seperti rayuan yang tak ingin ditolak. Sepersekian detik kemudian, Alena berjinjit. Sekonyong-konyong Andrio merasakan sesuatu yang lembut sekaligus hangat dan basah, melumat bibirnya. Andrio awalnya terkejut,
"Mami nggak masalah kalau nanti aku koas, tinggal sendirian lagi?" Pagi itu Alyssa dan Rista tengah menikmati sarapan di meja makan, hanya berdua. Tidak ada Bagas yang biasa ikut meramaikan suasana di meja makan. Suasana jadi terasa sepi. Serasa ada yang kurang. Sebenarnya sejak kemarin Alyssa keberatan ayahnya pergi ke luar negeri. Bukan masalah sepi atau dia tidak punya teman. Tapi ada hal yang lebih serius daripada itu. Yang mengganggu pikirannya sejak kemarin. Dia kepikiran maminya. Bagaimana nanti kalau dia sedang di rumah sakit, maminya tinggal sendirian dan teror itu mengganggu maminya lagi? Siapa yang bisa mengatasi itu? "Ya mau gimana lagi?" Tidak seperti Alyssa, Rista sama sekali tidak keberatan akan hal itu. "Lagian akhir-akhir ini teror itu udah nggak ada lagi 'kan? Bener kata Papi, teror itu agaknya nggak serius. Ujung-ujungnya dia berhenti sendiri." "Papi perginya di waktu yang nggak tepat," balas Alyssa lagi terdengar kesal. "Udah tahu kita lagi ada masalah teror.
"Kamu nggak coba telepon suamimu?" tanya Mama Marissa.Alena hanya menggeleng."Ini Mama telepon dari tadi nggak diangkat-angkat." Wajah Mama Marissa tampak cemas sambil menatap layar ponsel. Hal itu juga menular ke Alena. Alena jadi mendadak khawatir. Kenapa suaminya tidak mengangkat telepon dari mamanya? Apa sengaja karena ingin memberi suprise? Alena masih berusaha berpikir positif."Mungkin masih di jalan kali, Ma." Putra ikut berbicara dan menenangkan."Aneh," gumam Marissa masih menatap layar ponsel. "Bikin khawatir aja ""Jangan mikir aneh-aneh deh, Ma. Berdoa aja semoga Andrio baik-baik aja dan segera sampai. Mungkin terjebak macet di jalan." Lagi sang papa mertua menenangkan istrinya.Mama Marissa hanya diam masih sibuk dengan ponselnya.Ting Tong!Tak lama kemudian terdengar suara bel menggema. Alena langsung menatap mama mertuanya. "Nah itu pasti Mas Andrio, Ma.""Biar saya ya yang bukain pintu," ucap Bi Jum yang kebetulan lewat di depan meja makan."I-iya, Bi," sahut Alena.
Dua jam kemudian masakan Alena dan Bi Jum sudah terhidang rapi di meja makan bak sajian restoran yang siap disantap."Waduh enak nih keliatannya ...." Mama Marissa menatap hidangan makanan yang terlihat menggugah selera itu. "Oma jadi nggak sabar buat cicipin." Marissa menyengir lebar melirik cucu kesayangannya sudah duduk di kursi makan di sampingnya."Tunggu Papa!" seru balita itu semangat."Iya, Oma ngerti. Kita tunggu Papa dulu ya baru boleh makan?"Si bocah mengangguk antusias.Alena yang mendengar percakapan itu dari ambang pintu dapur hanya tersenyum simpul. Dia lalu teringat sesuatu dan merogoh ponsel di saku celana kainnya lalu perlahan berjalan ke arah ruang tengah. Hendak menelepon suaminya.***Pria itu duduk bersandar di kursi penumpang. Matanya sejak tadi memindai jalanan yang padat akan kendaraan di depannya. Sesekali macet menghampiri membuatnya semakin gelisah saja. Karena hal itu membuatnya makin lama untuk segera sampai ke rumah.Namun, dia tak lupa ada hal lain yang
Dua tahun kemudianDua tahun sejak kepergian Andrio berlalu. Anak-anak mereka telah tumbuh kian besar dan bisa bicara dengan fasih. Hari-hari yang Alena lalui tanpa Andrio memang terasa berbeda. Walau kadang ditemani keluarganya yang membantunya--entah itu ibu mertuanya, mami dan papi. Malam-malam Alena dia lalui dengan tidur sendiri. Masalah-masalah yang menderanya dia hadapi sendiri.Walau hampir setiap hari mereka bertukar kabar melalui chat dan video call-an. Tetap saja Alena merasa berbeda. Dua tahun dia lewati semua penuh kesabaran dan harapan. Sampai tibalah hari ini. Hari di mana Andrio harusnya pulang."Pagi, Mama ...." Terdengar sayup-sayup suara mungil membangunkan, disusul kecupan hangat di pipi. Wanita itu sontak membuka mata. Lantas menoleh ke samping. Wajah balita mungil dan menggemaskan tersenyum menyambutnya.Alena tersenyum. "Pagi juga, Sayang ....""Bangun, Mama.""Iya, ini Mama udah bangun. Sini peluk dulu." Alena meraih badan mungil itu dan mendekapnya penuh cinta
"Suami gue selingkuh, Al ....""Selingkuh gimana, Far? Lo tahu dari mana itu selingkuhannya? Siapa tahu emang cuman teman kan?""Bukan teman, Al. Tapi selingkuhannya. Udah setahun Al, gue sering baca chatingan mereka. Dari chatingannya jelas-jelas mereka ada hubungan spesial. Gue yang lebih tahu.”"Maaf, Far, co-coba sekarang lo cerita yang jelas sama gue ...."Alena sontak memejamkan mata dan menggelengkan kepala kencang-kencang setiap teringat cerita perselingkuhan sahabatnya itu.Waktu Farah memberitahu kalau pernikahannya sedang dilanda perselingkuhan oleh suaminya. Alena syok tak menyangka dan meminta sahabatnya itu bercerita dari awal pertemuannya dengan calon suaminya hingga bagaimana perselingkuhan itu terjadi. Farah mengadu padanya sambil menangis tersedu-sedu.Farah sudah menikah lima tahun lalu yang itu artinya Farah menikah beberapa bulan setelah dia menikah dengan Andrio, tepat mereka kehilangan kontak satu sama lain hingga Alena pun tidak tahu kapan Farah menikah. Farah j
Mereka akhirnya tiba di rumah Alena. Farah begitu kagum melihat rumah Alena sampai-sampai perempuan itu membuka mulut. Rumah sahabatnya itu begitu mewah, bergaya minimalis modern.Dari depan, rumahnya terlihat tinggi dan megah karena berlantai tiga. Dinding dan tiang-tiang rumahnya terlihat kokoh karena dibangun dengan material batu. Dengan jendela lebar dan pintu yang terbuat dari kaca. Langit-langitnya tinggi. Sementara pagarnya terbuat dari besi yang tingginya melebihi kepala orang dewasa. Bahkan ketika dia sudah turun dari mobil itu pun dia masih saja terpana. "Rumah kalian semewah ini?" Farah menatap Alena tidak percaya.Alena tertawa. "Ah, elo mah berlebihan. Rumah lo emangnya nggak semewah ini?"Farah terdiam, mengingat sesuatu. Lebih tepatnya mengingat masa lalu sahabatnya itu. "Ya maksud gue ... Eng, iya Alhamdulillah kehidupan lo sekarang udah sukses dan nyaman banget." Farah tersenyum kaku. "Gue harus banget berterima kasih sama Andrio atas semua ini."Alena mengernyit hera
"Farah?" tebak Andrio lebih dulu membuat Alena menoleh ke suaminya. Ternyata Andrio juga bisa mengenalnya."Iya, gue Farah," sahut perempuan itu kemudian.Alena kembali menatap perempuan yang mengaku Farah itu. Dia melotot tak percaya. "Farah?! Ya ampun!" Alena sontak berdiri. "Gue hampir nggak bisa ngenalin lo tahu, lo berubah banget!" Alena serta-merta memeluk Farah erat-erat. Sementara yang dipeluk juga membalas hal serupa.Mereka saling berpelukan erat. Tubuh kedua wanita itu bahkan bergerak-gerak ke kiri dan kanan karena Alena begitu antusias. Alena kemudian melepas pelukannya. "Apa kabar lo? Kebetulan banget ya kita ketemuan di sini?""Iya, maaf ya gue nggak ada kabar selama ini," jawab Farah. "Iya, nih. Nomor WA lo udah lama nggak aktif, abis itu nggak ada ngasih kabar ke gue juga. Sombong lo.""Bukannya gitu." Farah menyengir terlihat tak nyaman.Alena tertawa. "Iya, iya, gue cuman bercanda kok."Farah lalu menatap Andrio dan anak-anak mereka. "Kalian pada mau ke mana nih?""M
"Pakaian udah, dalaman udah, pembersih muka udah, pomade udah, jam tangan udah, berkas-berkasnya udah, tiket udah, foto-foto aku sama anak-anak juga udah, hmmm apa lagi, ya ...." Alena mengecek barang-barang yang sudah dia masukkan dalam koper Andrio. "Iya semuanya udah beres."Setelah dirasa semuanya sudah lengkap, Alena pun menutup koper itu lalu menyeretnya dekat pintu agar mudah di bawa keluar. Ada dua koper yang siap Andrio bawa. Sebagian besar isinya adalah pakaian dan barang-barang penting.Bersamaan dengan itu, Andrio keluar dari kamar mandi yang ada di kamarnya. Pria itu baru saja selesai mandi, bertelanjang dada dengan handuk kecil melilit pinggangnya, sedangkan handuk kecil lain menyampir di bahunya. "Udah beresin semua? Makasih, ya, sayang," ucapnya saat melihat kesibukan istrinya menata koper. Dia lalu menatap cermin sambil mengeringkan rambut dengan handuk kecil.Alena menoleh. "Udah beres. Cepetan pakai bajunya. Udah kusiapin di lemari paling depan," beritahu Alena. "Ak
Malam harinya, Alena gelisah seorang diri di kamar. Anna dalam gendongannya sejak tadi tak berhenti menangis kencang. Kekhawatiran Alena terjawab ketika dia menempelkan jemari di kening si bayi yang terasa sangat panas. "Ya ampun, Nak. Badanmu panas banget ...." Alena berdiri menggendong anaknya, mencoba mendiamkan meski rasanya mustahil karena bayi itu sedang demam tinggi.Alena melirik jam di dinding yang menunjukkan pukul tujuh. Lalu dia meraih ponsel di atas nakas, mengecek pesan dari Andrio, tapi tidak ada.Alena menarik napas, lalu mengembuskannya kembali. Hal itu dia lakukan berkali-kali sampai perasaannya tenang. "Aku nggak boleh panik. Sebaiknya aku cari tahu di g****e pertolongan pertama waktu bayi lagi demam, apa, ya?" Sambil menggendong bayi dengan tangan sebelah, dia mengotak-atik ponselnya.Dia membaca sekilas informasi yang dia dapat dari g****e. Lalu dia menghubungi Bi Jum lewat chat, minta siapkan air hangat dan kain buat kompresan. "Sabar, ya, Nak. Mama siapin air ha
Satu tahun kemudian ...."Kupandang langit penuh bintang bertaburan ... berkelap-kelip seumpama intan berlian ...." Alena bernyanyi kecil sambil mendorong baby stroller, berjalan mengelilingi taman rumah. Di dalam kereta bayi itu ada Anna dan Kenzy.Satu tahun berlalu, tidak banyak yang berubah dari kehidupan Alena dan Andrio selain anak-anak mereka yang sudah tumbuh besar. Alena yang juga sudah terbiasa mengurusi anak-anaknya.Kenzy sudah berusia satu tahun sepuluh bulan, sedangkan Anna berusia satu tahun satu bulan. Kenzy sudah biasa bicara dengan pengucapan yang jelas, sudah mengerti diajak bicara dan sudah bisa berjalan sendiri tanpa dipimpin, sedangkan Anna sudah bisa bicara namun masih tidak jelas pengucapannya, bisa berjalan dengan dipimpin dan bisa mengerti diajak bicara juga."Mau nyanyi apalagi?" tanya Alena pada anak-anaknya. "Lagu kupu-kupu yang lucu mau?""Mau ...," jawab Kenzy sambil mendongak menatapnya, sedangkan Anna hanya menatap ke segala arah."Oke, kita nyanyi lagu