Mobil Andrio tiba di depan gedung apartemen Alena yang menjulang tinggi ketika hari sudah gelap. "Udah sampai, nih," ucap Andrio. "Nggak mampir dulu?" Sebelum turun, Alena menawarkan Andrio mampir, tapi Andrio terlihat ragu. "Sebentar aja. Rumah lo 'kan jauh. Istirahat dulu di apartemen gue. Minum dulu, baru pulang. Lo juga udah ngantarin gue dan bantuin gue ngurusin anak-anak itu 'kan?" Setelah berpikir lama, Andrio akhirnya mengangguk. "Oke, deh." Andrio mematikan mesin mobilnya dan mencabut kunci mobilnya. "Oke, ayo turun." Alena tersenyum senang dan turun lebih dulu, kemudian disusul Andrio. Alena dan Andrio menyusuri lorong menuju ruang apartemen Alena berada. Lorong itu tampak sepi, tak terlihat orang-orang lewat. Di kiri-kanan lorong itu terdapat pintu-pintu. Alena berhenti di depan pintu nomor 121. "Ini apartemen gue," katanya sambil membuka kunci pintu ruangan itu. Setelah pintu dibuka, Alena masuk lebih dulu dan diiringi Andrio. Selagi Alena menutup pintu kembali, And
Andrio berbaring menatap langit-langit kamarnya. Dia mengingat kembali apa yang sudah dia dan Alena lakukan tadi. Ketika Alena mencium bibirnya. Kejadian itu begitu cepat hingga dia tak sempat menolak. Dia tak menyangka Alena senekat itu. Dan anehnya dirinya juga tidak menolak dan malah membalas ciuman itu. Andrio masih ingat jelas bagaimana kejadian itu terjadi "Jadi maaf, ya. Gue pulang sekarang." Andrio baru akan berbalik badan ketika tiba-tiba dia merasa pergelangan tangannya dipegang. Andrio berbalik lagi. "Apa lagi, Al?" Dia melihat Alena maju mendekatkan diri padanya. Manik hitam gadis itu menusuk matanya lekat. Dia merasakan telapak tangan gadis itu menyentuh dadanya dan mengusapnya. "Please, temanin gue di sini. Sebentar, aja, ya." Permintaan itu lebih terdengar seperti rayuan yang tak ingin ditolak. Sepersekian detik kemudian, Alena berjinjit. Sekonyong-konyong Andrio merasakan sesuatu yang lembut sekaligus hangat dan basah, melumat bibirnya. Andrio awalnya terkejut,
"Mami nggak masalah kalau nanti aku koas, tinggal sendirian lagi?" Pagi itu Alyssa dan Rista tengah menikmati sarapan di meja makan, hanya berdua. Tidak ada Bagas yang biasa ikut meramaikan suasana di meja makan. Suasana jadi terasa sepi. Serasa ada yang kurang. Sebenarnya sejak kemarin Alyssa keberatan ayahnya pergi ke luar negeri. Bukan masalah sepi atau dia tidak punya teman. Tapi ada hal yang lebih serius daripada itu. Yang mengganggu pikirannya sejak kemarin. Dia kepikiran maminya. Bagaimana nanti kalau dia sedang di rumah sakit, maminya tinggal sendirian dan teror itu mengganggu maminya lagi? Siapa yang bisa mengatasi itu? "Ya mau gimana lagi?" Tidak seperti Alyssa, Rista sama sekali tidak keberatan akan hal itu. "Lagian akhir-akhir ini teror itu udah nggak ada lagi 'kan? Bener kata Papi, teror itu agaknya nggak serius. Ujung-ujungnya dia berhenti sendiri." "Papi perginya di waktu yang nggak tepat," balas Alyssa lagi terdengar kesal. "Udah tahu kita lagi ada masalah teror.
"Mi ... Mami!" Rista langsung keluar mendengar Alyssa menjerit-jerit. "Apa, Sa?" Tanpa disuruh lagi, Rista melihat isi kotak dalam tangan Alyssa. Wanita pun membelalak. Kotak itu berisi batu nisan yang terbuat dari kayu berwarna putih dan bertuliskan nama lengkap Rista dengan spidol hitam. "Apa maksudnya ini, Mi? Maksud si peneror itu apa, sih? Dia mau bikin Mami mati? Siapa sih pelakunya?" Alyssa tampak geram. Dia menatap nanar halaman rumahnya yang luas dan sepi. "Woi, siapa pun yang melakukan ini keluar! Jangan sembunyi! Jangan jadi pengecut! Gue nggak takut!" "Alyssa." Rista menginterupsi membuat Alyssa menatapnya. "Percuma kamu teriak-teriak. Orang yang mengirimkan ini pasti udah pergi jauh." "Aku mau tanya satpam dulu." Alyssa lalu berlari ke arah post satpam di dekat gerbang sambil membawa benda itu. "Pak! Pak Safril!" Alyssa berteriak-teriak memanggil satpamnya yang tak terlihat di postnya. Tak lama kemudian seorang laki-laki berseragam putih biru khas satpam muncul dari
"Halo, Kak Andrio," sapa Alyssa lebih dulu begitu sambungannya terangkat. "Halo, Sa. Ada apa?" "Kak, tolongin gue, Kak." "Tolong apa, Sa?" "Mami, Kak Andrio. Mami dalam bahaya. Teror itu ... Teror itu ada lagi, Kak. Se-sekarang, sekarang ada kiriman batu nisan atas na-nama Mami, Kak." Alyssa terlampau panik hingga dia sulit menjelaskannya. Rasanya dia ingin menangis sekarang. "Papi lagi nggak ada. Tolongin gue ke sini, Kak. Datang ke sini, temenin Mami." Andrio terdengar menghela napas. "Tapi sekarang Kakak lagi mau berangkat ke rumah sakit, Sa." Alyssa rasanya tak percaya dengan apa yang dia dengar. Andrio lagi-lagi menolak permintannya, bahkan disaat genting seperti ini. "Nggak bisa izin, ya, Kak." Alyssa masih berharap Andrio mau menolongnya. "Kenapa nggak kamu aja yang izin, Sa. Itu 'kan masalah keluarga kamu." "Kak!" Alyssa benar-benar tak percaya dengan ucapan Andrio. "Kakak kok ngomongnya gitu? Keluargaku lagi ada masalah. Papi juga lagi nggak ada. Aku nggak tahu lagi
"Kak Andrio!" Mata Alyssa membuka lebar. Dia sedikit lega begitu dia membuka mata yang dia lihat pertama kali adalah langit-langit kamarnya. Namun, napasnya masih tersengal. Dahinya berkilat karena keringat. Alyssa menangis tanpa suara. Dia sangat bersyukur kalau semua itu hanya mimpi. Mimpi itu sangat buruk. Dan terasa sangat nyata sampai-sampai rasa sakit hati yang dia rasakan dimimpi tadi masih terasa sampai sekarang. Alyssa memegangi dadanya yang berdegup kencang. Lalu gadis itu bangun dari pembaringan. Mengedar pandang ke dalam kamarnya memastikan di mana dia berada sekarang. Ternyata benar, dia habis bermimpi. Alyssa menepuk-nepuk pipinya lagi, memastikan kalau ini hanya mimpi. Setelah berusaha menyadarkan dirinya, Alyssa pun yakin kalau barusan dia hanya bermimpi. "Untung aja bukan kenyataan," gumamnya sambil menghela napas dan mengusap dadanya. Mimpi itu sangat menyeramkan. Dia bermimpi maminya dapat teror kiriman batu nisan atas nama maminya. Lalu saat dia minta tolong ke
Rista membelalak. Dia terkejut dengan apa yang dia lihat. Serta-merta dia menjerit dan melemparkan benda itu ke teras. Rista ketakutan sambil menggeleng kencang-kencang. Dia pun segera masuk ke dalam rumah, mengunci pintu dengan tangan gemetar. Lalu bersembunyi di kamar. Di dalam kamar, Rista terduduk di balik pintu. Ucapan Alyssa tadi subuh langsung membayanginya. "Tadi aku mimpi buruk, Mi. Aku mimpi teror itu datang lagi." "Mimpi Alyssa benar-benar jadi kenyataan," lirihnya. Telapak tangannya kini sudah berkeringat dingin. Dia sungguh takut, sangat takut. Terlebih ketika tulisan namanya di batu nisan itu kembali membayangi. Apa maksud dari teror itu? Apakah si peneror itu akan membunuhnya? Rista menggeleng sambil masih memeluk lutut. "Aku takut ...," lirihnya. "Aku takut!" Rista berteriak tertahan. *** Malam harinya. Alyssa baru pulang dari rumah sakit. Seperti biasa, gadis itu pulang-pergi ke rumah sakit menggunakan motor saja agar sampai lebih cepat. Alyssa langsung me
Alyssa mondar-mandir di kamarnya sambil menempelkan benda pipih itu ke telinganya. Menunggu sambungannya diangkat oleh Andrio. Ya, Alyssa sedang menelepon Andrio. Hingga akhirnya teleponnya diangkat. "Halo, Kak Andrio," sapa Alyssa lebih dulu. "..." "Kak Andrio lagi sibuk nggak?" "..." "Hmmm Kak Andrio bisa ke sini sekarang nggak? Ada yang mau aku omongin, penting, Kak. Please kali ini datang, ya." Alyssa terlihat harap-harap cemas. Tentu saja dia sangat berharap kekasihnya itu datang kali ini. Tidak menolak permintaannya dan beralasan lagi seperti sebelum-sebelumnya. "..." Alyssa langsung tersenyum lebar mendengar.kata singkat namun berarti itu. "Oke, Kak. Sekarang aku tunggu, ya. Kalau perlu jangan lama, ya." "..." "Oke, see you, Kak." Alyssa meloncat kegirangan di kamarnya. Kali ini Andrio tidak menolak permintannya. Sungguh dia merindukan kekasihnya itu. Mereka memang lumayan lama tidak berjumpa. Dilihat dari gelagat Andrio, lelaki itu sama sekali tak keberatan dimint
"Kamu nggak coba telepon suamimu?" tanya Mama Marissa.Alena hanya menggeleng."Ini Mama telepon dari tadi nggak diangkat-angkat." Wajah Mama Marissa tampak cemas sambil menatap layar ponsel. Hal itu juga menular ke Alena. Alena jadi mendadak khawatir. Kenapa suaminya tidak mengangkat telepon dari mamanya? Apa sengaja karena ingin memberi suprise? Alena masih berusaha berpikir positif."Mungkin masih di jalan kali, Ma." Putra ikut berbicara dan menenangkan."Aneh," gumam Marissa masih menatap layar ponsel. "Bikin khawatir aja ""Jangan mikir aneh-aneh deh, Ma. Berdoa aja semoga Andrio baik-baik aja dan segera sampai. Mungkin terjebak macet di jalan." Lagi sang papa mertua menenangkan istrinya.Mama Marissa hanya diam masih sibuk dengan ponselnya.Ting Tong!Tak lama kemudian terdengar suara bel menggema. Alena langsung menatap mama mertuanya. "Nah itu pasti Mas Andrio, Ma.""Biar saya ya yang bukain pintu," ucap Bi Jum yang kebetulan lewat di depan meja makan."I-iya, Bi," sahut Alena.
Dua jam kemudian masakan Alena dan Bi Jum sudah terhidang rapi di meja makan bak sajian restoran yang siap disantap."Waduh enak nih keliatannya ...." Mama Marissa menatap hidangan makanan yang terlihat menggugah selera itu. "Oma jadi nggak sabar buat cicipin." Marissa menyengir lebar melirik cucu kesayangannya sudah duduk di kursi makan di sampingnya."Tunggu Papa!" seru balita itu semangat."Iya, Oma ngerti. Kita tunggu Papa dulu ya baru boleh makan?"Si bocah mengangguk antusias.Alena yang mendengar percakapan itu dari ambang pintu dapur hanya tersenyum simpul. Dia lalu teringat sesuatu dan merogoh ponsel di saku celana kainnya lalu perlahan berjalan ke arah ruang tengah. Hendak menelepon suaminya.***Pria itu duduk bersandar di kursi penumpang. Matanya sejak tadi memindai jalanan yang padat akan kendaraan di depannya. Sesekali macet menghampiri membuatnya semakin gelisah saja. Karena hal itu membuatnya makin lama untuk segera sampai ke rumah.Namun, dia tak lupa ada hal lain yang
Dua tahun kemudianDua tahun sejak kepergian Andrio berlalu. Anak-anak mereka telah tumbuh kian besar dan bisa bicara dengan fasih. Hari-hari yang Alena lalui tanpa Andrio memang terasa berbeda. Walau kadang ditemani keluarganya yang membantunya--entah itu ibu mertuanya, mami dan papi. Malam-malam Alena dia lalui dengan tidur sendiri. Masalah-masalah yang menderanya dia hadapi sendiri.Walau hampir setiap hari mereka bertukar kabar melalui chat dan video call-an. Tetap saja Alena merasa berbeda. Dua tahun dia lewati semua penuh kesabaran dan harapan. Sampai tibalah hari ini. Hari di mana Andrio harusnya pulang."Pagi, Mama ...." Terdengar sayup-sayup suara mungil membangunkan, disusul kecupan hangat di pipi. Wanita itu sontak membuka mata. Lantas menoleh ke samping. Wajah balita mungil dan menggemaskan tersenyum menyambutnya.Alena tersenyum. "Pagi juga, Sayang ....""Bangun, Mama.""Iya, ini Mama udah bangun. Sini peluk dulu." Alena meraih badan mungil itu dan mendekapnya penuh cinta
"Suami gue selingkuh, Al ....""Selingkuh gimana, Far? Lo tahu dari mana itu selingkuhannya? Siapa tahu emang cuman teman kan?""Bukan teman, Al. Tapi selingkuhannya. Udah setahun Al, gue sering baca chatingan mereka. Dari chatingannya jelas-jelas mereka ada hubungan spesial. Gue yang lebih tahu.”"Maaf, Far, co-coba sekarang lo cerita yang jelas sama gue ...."Alena sontak memejamkan mata dan menggelengkan kepala kencang-kencang setiap teringat cerita perselingkuhan sahabatnya itu.Waktu Farah memberitahu kalau pernikahannya sedang dilanda perselingkuhan oleh suaminya. Alena syok tak menyangka dan meminta sahabatnya itu bercerita dari awal pertemuannya dengan calon suaminya hingga bagaimana perselingkuhan itu terjadi. Farah mengadu padanya sambil menangis tersedu-sedu.Farah sudah menikah lima tahun lalu yang itu artinya Farah menikah beberapa bulan setelah dia menikah dengan Andrio, tepat mereka kehilangan kontak satu sama lain hingga Alena pun tidak tahu kapan Farah menikah. Farah j
Mereka akhirnya tiba di rumah Alena. Farah begitu kagum melihat rumah Alena sampai-sampai perempuan itu membuka mulut. Rumah sahabatnya itu begitu mewah, bergaya minimalis modern.Dari depan, rumahnya terlihat tinggi dan megah karena berlantai tiga. Dinding dan tiang-tiang rumahnya terlihat kokoh karena dibangun dengan material batu. Dengan jendela lebar dan pintu yang terbuat dari kaca. Langit-langitnya tinggi. Sementara pagarnya terbuat dari besi yang tingginya melebihi kepala orang dewasa. Bahkan ketika dia sudah turun dari mobil itu pun dia masih saja terpana. "Rumah kalian semewah ini?" Farah menatap Alena tidak percaya.Alena tertawa. "Ah, elo mah berlebihan. Rumah lo emangnya nggak semewah ini?"Farah terdiam, mengingat sesuatu. Lebih tepatnya mengingat masa lalu sahabatnya itu. "Ya maksud gue ... Eng, iya Alhamdulillah kehidupan lo sekarang udah sukses dan nyaman banget." Farah tersenyum kaku. "Gue harus banget berterima kasih sama Andrio atas semua ini."Alena mengernyit hera
"Farah?" tebak Andrio lebih dulu membuat Alena menoleh ke suaminya. Ternyata Andrio juga bisa mengenalnya."Iya, gue Farah," sahut perempuan itu kemudian.Alena kembali menatap perempuan yang mengaku Farah itu. Dia melotot tak percaya. "Farah?! Ya ampun!" Alena sontak berdiri. "Gue hampir nggak bisa ngenalin lo tahu, lo berubah banget!" Alena serta-merta memeluk Farah erat-erat. Sementara yang dipeluk juga membalas hal serupa.Mereka saling berpelukan erat. Tubuh kedua wanita itu bahkan bergerak-gerak ke kiri dan kanan karena Alena begitu antusias. Alena kemudian melepas pelukannya. "Apa kabar lo? Kebetulan banget ya kita ketemuan di sini?""Iya, maaf ya gue nggak ada kabar selama ini," jawab Farah. "Iya, nih. Nomor WA lo udah lama nggak aktif, abis itu nggak ada ngasih kabar ke gue juga. Sombong lo.""Bukannya gitu." Farah menyengir terlihat tak nyaman.Alena tertawa. "Iya, iya, gue cuman bercanda kok."Farah lalu menatap Andrio dan anak-anak mereka. "Kalian pada mau ke mana nih?""M
"Pakaian udah, dalaman udah, pembersih muka udah, pomade udah, jam tangan udah, berkas-berkasnya udah, tiket udah, foto-foto aku sama anak-anak juga udah, hmmm apa lagi, ya ...." Alena mengecek barang-barang yang sudah dia masukkan dalam koper Andrio. "Iya semuanya udah beres."Setelah dirasa semuanya sudah lengkap, Alena pun menutup koper itu lalu menyeretnya dekat pintu agar mudah di bawa keluar. Ada dua koper yang siap Andrio bawa. Sebagian besar isinya adalah pakaian dan barang-barang penting.Bersamaan dengan itu, Andrio keluar dari kamar mandi yang ada di kamarnya. Pria itu baru saja selesai mandi, bertelanjang dada dengan handuk kecil melilit pinggangnya, sedangkan handuk kecil lain menyampir di bahunya. "Udah beresin semua? Makasih, ya, sayang," ucapnya saat melihat kesibukan istrinya menata koper. Dia lalu menatap cermin sambil mengeringkan rambut dengan handuk kecil.Alena menoleh. "Udah beres. Cepetan pakai bajunya. Udah kusiapin di lemari paling depan," beritahu Alena. "Ak
Malam harinya, Alena gelisah seorang diri di kamar. Anna dalam gendongannya sejak tadi tak berhenti menangis kencang. Kekhawatiran Alena terjawab ketika dia menempelkan jemari di kening si bayi yang terasa sangat panas. "Ya ampun, Nak. Badanmu panas banget ...." Alena berdiri menggendong anaknya, mencoba mendiamkan meski rasanya mustahil karena bayi itu sedang demam tinggi.Alena melirik jam di dinding yang menunjukkan pukul tujuh. Lalu dia meraih ponsel di atas nakas, mengecek pesan dari Andrio, tapi tidak ada.Alena menarik napas, lalu mengembuskannya kembali. Hal itu dia lakukan berkali-kali sampai perasaannya tenang. "Aku nggak boleh panik. Sebaiknya aku cari tahu di g****e pertolongan pertama waktu bayi lagi demam, apa, ya?" Sambil menggendong bayi dengan tangan sebelah, dia mengotak-atik ponselnya.Dia membaca sekilas informasi yang dia dapat dari g****e. Lalu dia menghubungi Bi Jum lewat chat, minta siapkan air hangat dan kain buat kompresan. "Sabar, ya, Nak. Mama siapin air ha
Satu tahun kemudian ...."Kupandang langit penuh bintang bertaburan ... berkelap-kelip seumpama intan berlian ...." Alena bernyanyi kecil sambil mendorong baby stroller, berjalan mengelilingi taman rumah. Di dalam kereta bayi itu ada Anna dan Kenzy.Satu tahun berlalu, tidak banyak yang berubah dari kehidupan Alena dan Andrio selain anak-anak mereka yang sudah tumbuh besar. Alena yang juga sudah terbiasa mengurusi anak-anaknya.Kenzy sudah berusia satu tahun sepuluh bulan, sedangkan Anna berusia satu tahun satu bulan. Kenzy sudah biasa bicara dengan pengucapan yang jelas, sudah mengerti diajak bicara dan sudah bisa berjalan sendiri tanpa dipimpin, sedangkan Anna sudah bisa bicara namun masih tidak jelas pengucapannya, bisa berjalan dengan dipimpin dan bisa mengerti diajak bicara juga."Mau nyanyi apalagi?" tanya Alena pada anak-anaknya. "Lagu kupu-kupu yang lucu mau?""Mau ...," jawab Kenzy sambil mendongak menatapnya, sedangkan Anna hanya menatap ke segala arah."Oke, kita nyanyi lagu