18 Tahun Kemudian.
"Jadi, Pak, saya di sini bekerja sebagai Cleaning Service?"Raut wajah Alena seketika berubah kala pria dihadapannya mengatakan kalau dia terima di sini sebagai Cleaning Service. Tatakala dia dipanggil untuk datang ke perusahaan yang dimasuki surat lamaran kerja, dia pikir akan diterima dengan posisi yang bagus. Namun, ternyata ekspektasinya terlalu tinggi. Perasaan senang yang tadi dia rasakan seketika lenyap. Dan dia bertanya kembali untuk memastikan.
"Benar, Mbak. Bagaimana? Apakah Mbak terima?" Perubahan raut wajah Alena tentu terbaca oleh pria itu.
"Saya terima, Pak," jawab Alena akhirnya. Meski awalnya dia sedikit kecewa karena fakta tidak sesuai dengan keinginannya, dia tetap menerima pekerjaan itu. Karena yang penting dia punya pekerjaan dan penghasilan sendiri setelah selama ini dia bersusah payah mencari pekerjaan ke sana ke mari.
"Bagus kalau begitu. Tugas Mbak di sini adalah bertanggungjawab untuk kebersihan seluruh area kantor ini dan kerjakan dengan teliti," jelas pria berjas di hadapannya yang merupakan direktur di perusahaan ini.
"Baik, Pak. Jadi kapan saya mulai bekerja?"
"Di sini pakai sistem shift, seminggu masuk pagi dan pulang sore. Seminggu lagi masuk sore dan pulang malam. Begitu setiap minggunya," terang sang direktur. "Mulai besok kamu sudah boleh masuk. Besok pagi jam delapan kamu harus sudah ada di kantor dan pulang setengah empat sore," tambahnya.
"Baik, Pak."
"Oke."
"Kalau begitu saya permisi, ya, Pak. Terima kasih."
Pria itu mengangguk. Alena berdiri dan keluar dari ruangan tersebut.
Gadis itu mengehela napas lega seiring dengan langkahnya menuju keluar kantor. "Meskipun jadi CS nggak pa-pa, deh. Yang penting gue punya pekerjaan dan bisa bantuin Ibu memenuhi kebutuhan sehari-hari. Lagi pula gue cuman tamatan SMA. Seharusnya gue tahu diri. Ya, gue harus bersyukur." Perempuan itu lalu menengadah memandangi langit-langit kantor yang mewah, berdoa kepada penghuni langit. "Ya Allah makasih akhirnya hamba diterima bekerja dan hamba bakal punya penghasilan sendiri." Perempuan berusia delapan belas tahun itu lalu tersenyum dan mempercepat langkahnya keluar kantor. Tak sabar ingin cepat pulang ke rumah dan mengabari ibu tentang kabar gembira ini.
***"Stop, Pak." Alena mengetuk langit-langit angkot yang dia tumpangi kala kendaraan itu telah mendekati gang sempit di mana rumahnya berada. Angkot itu berhenti. Alena turun setelah membayar biaya angkot pada supirnya.Sepeninggal angkot, gadis itu melanjutkan perjalanannya memasuki gang sempit dengan berjalan kaki. Rumah kontrakan Alena berada di gang sempit. Yang mana gang itu hanya cukup dilewati dua motor yang berdampingan dengan rapat, tidak untuk mobil apalagi truk. Jalannya terbuat dari semen dan membentuk jalan setapak. Di sepanjang gang itu rumah-rumah kecil dan sederhana berjejer rapat.
"Assalamu'alaikum, Ibu!" Alena memanggil ibunya tatkala dia membuka pintu yang tidak dikunci. Gadis itu langsung masuk mencari ibunya. Namun, dia tak menemukan ibunya di rumah. Dia pun keheranan karena sebelum dia berangkat ke kantor tadi ibunya masih di rumah dan tidak ada rencana pergi ke mana-mana. Hari ini ibunya juga istirahat dari bekerja karena majikannya sekeluarga sedang ke luar kota.
"Ibu!" panggilnya lagi sambil masuk ke kamar, tapi ibunya juga tak ada di sana. "Apa Ibu main ke rumah tetangga?" gumamnya.
Alena pun keluar rumah. Bu Sari, tetangga sebelahnya yang tengah melayani pembeli nasi kuning menyadari keberadaan Alena. "Eh, Alena, tadi saya lihat Ibu kamu di bawa warga ke rumah sakit." Bu Sari langsung mengabarkan.
Alena syok. "Ibu masuk rumah sakit? Kok bisa?"
Bu Sari menggeleng. "Saya nggak tahu. Sebaiknya kamu segera susul ibumu ke rumah sakit."
Alena mengangguk. "Makasih, Bu, infonya."
"Iya."
Alena pun kembali mengunci pintunya. Dan segera menghubungi sahabatnya, Farah. "Farah lo lagi sibuk nggak? Tolongin antarin gue ke rumah sakit. Gue buru-buru, Ibu gue masuk rumah sakit," jelasnya begitu sambungan telepon diangkat lawan bicaranya. Wajah Alena terlihat panik.
"Ini gue baru pulang dari kampus. Gue langsung ke rumah lo, ya?"
"Iya, iya, gue tunggu di depan gang aja." Alena mematikan ponselnya dan memasukkannya ke saku jins. Buru-buru keluar gang menunggu jemputan Farah di depan.
***Setelah menanyai ruangan ibunya di rawat melalui resepsionis, Alena dan Farah berjalan tergesa di sepanjang lorong rumah sakit menuju ruang tempat ibunya dirawat. Perasaan Alena kian cemas. Tiap detik waktu terasa berjalan sangat lambat. Membuatnya kian cepat memacu langkah agar cepat mengetahui keadaan ibunya.Sesampainya di ruangan ibunya, Alena langsung menghampiri ibunya yang tampak terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Farah mengiringi Alena. Mereka berdua berdiri di sisi ranjang itu.
"Ibu ...." Alena membungkuk menatap ibunya dengan rasa khawatir yang menjadi. "Keadaan Ibu gimana? Kata dokter Ibu sakit apa? Kenapa bisa sampai masuk rumah sakit?" tanya Alena beruntun. Sementara Farah di samping Alena hanya diam memandang iba Leyla.
"Alena, Ibu mau cerita sesuatu sama kamu." Bukannya menjawab pertanyaan anaknya, Leyla malah bicara hal lain.
"Cerita apa, Bu?"
"Maafkan Ibu sebelumnya karena sudah merahasiakan ini dari kamu. Sekarang Ibu rasa sudah waktunya buat kamu tahu semuanya ...." Alena mengernyit. Perasaannya semakin tak nyaman. "Ini tentang ayah kandung kamu,"
Alena tertegun.
Ayah kandungnya?
Kenapa tiba-tiba ibunya membicarakan itu?
Bukankah selama ini ibu sudah menceritakan yang sebenarnya tentang itu?
Apakah selama ini ibu menyembunyikan sesuatu tentang ayah kandungnya?
Hmmm kira-kira rahasia apa ya yg disembunyiin ibu Alena? Pasti readers udh pada tahu kan? Kira2 gimana ya reaksi Alena?
"Sebenarnya ... Ibu bohong ... tentang Ayah kamu selama ini." Dengan susah payah, Leyla menuntaskan kalimatnya. Suaranya terdengar semakin melemah. "Ayah kamu ... nggak meninggalkan Ibu. Dia ada ... di dekat kamu." "Bohong gimana, Bu?" Pikiran Alena mulai berspekulasi. "Ayah kamu nggak meninggalkan Ibu seperti yang pernah Ibu ceritakan. Ayah sama Ibu nggak pernah menikah." Alena tertegun. Jadi ibu dan ayah tidak pernah menikah? Itu artinya ibunya hamil di luar nikah dan dirinya adalah anak haram? "Kenapa bisa, Bu? Jadi siapa sebenarnya Ayah aku?" Mata Leyla yang sedari tadi menatap Alena, beralih menatap langit-langit ruangan bercat putih bersih. "Ayah kamu adalah orang yang selama ini kamu anggap sebagai Kakek kamu. Bagaskara." Alena lebih syok lagi. Kakek Bagaskara? Bukannya kakek Bagaskara itu suami nenek Rista, adik dari neneknya? Bagaimana bisa Bagaskara adalah ayahnya? Alena tak mengerti bagaimana semuanya bisa terjadi. "Ibu nggak bohong, 'kan, Bu?" Alena rasanya tak pe
Rumah kecil nan sederhana itu mendadak ramai oleh para tetangga yang melayat. Halaman rumah yang tak begitu luas di penuhi sandal jepit dan beberapa motor. Bendera kuning di mana-mana. Sayup-sayup suara bacaan Yasin terdengar. Menandakan penghuni rumah itu sedang berduka. Berdasarkan pernyataan dokter Leyla meninggal karena sel kanker yang tumbuh di paru-parunya telah menyebar dan merusak ke bagian tubuhnya yang lain. Kali pertama mendengar itu Alena begitu syok. Pasalnya selama ini dia tidak tahu kalau ibunya ternyata menderita penyakit mematikan. Selama ini ibunya menyembunyikan penyakit itu darinya. Alena sangat terpukul menyesali semua yang terjadi. Seandainya dia mengetahui hal itu dan ibunya segera ditangani mungkin keadaannya tidak seperti ini. Mungkin ibunya tidak akan meninggal secepat ini. Karena dia akan melakukan apa pun agar dia punya uang untuk berobat ibunya sampai sembuh. Dan kini penyesalan itu tiada arti. Di tengah rumah, Alena menangis histeris di depan jenazah s
"Anak haram, Alena anak haram." "Woi ada anak haram woi ada anak haram!" Begitu anak-anak komplek mengatainya setiap kali dia bergabung untuk main bersama mereka. Tak jarang Alena di jauhi oleh teman-teman sebayanya di komplek karena julukan yang melekat pada dirinya yang dia sendiri masih belum mengerti apa sebabnya. Kadang Alena menjawab. "Aku bukan anak haram!" Lalu salah satu anak komplek menjawab. "Tapi kata Mama aku, kamu anak haram. Buktinya Bapak kamu nggak ada." "Iya, aku nggak pernah lihat Bapak kamu di rumah kamu. Kamu aja nggak tahu 'kan Bapak kamu siapa dan di mana? Itu artinya kamu memang anak haram yang bapaknya nggak jelas!" sahut anak yang lainnya. "Aku tahu. Kata Ibu aku, Bapak aku sibuk kerja di luar negeri," jawab Alena. "Bilang aja Bapak kamu memang nggak ada. Nggak usah cari alasan sibuk kerja ke luar negeri segala!" balasnya lagi sambil tertawa hingga bahunya berguncang-guncang. Dan ketika Alena kalah debat sama mereka, ujung-ujungnya Alena menangis dan
"Farah!" Langkah Farah di ruang tamu terhenti. Alena berdiri di belakang gadis itu. "Maafin gue. Jangan marah, ya? Gue tadi cuman ... cuman." Alena tak melanjutkan ucapannya dan malah menangis. Membuat Farah menghadap ke arahnya. "Gue cuman nggak bisa makan. Gue sedih. Ibu gue udah nggak ada." Alena melanjutkan bicaranya dengan linangan air mata dan sesegukan. "Gue tahu," balas Farah yang masih terdengar agak emosi. "Gue ngerti perasaan lo. Tapi itu nggak bisa lo jadiin alasan untuk nggak makan. Lo tetap harus lanjutin hidup lo. Percuma juga lo bersikap kaya gini nggak akan bisa ngembaliin Ibu lo yang udah meninggal." "Gue sedih karena Ibu gue meninggal dalam keadaan belum bahagia. Dan gue yang nggak bisa berbuat apa-apa sekarang merasa jadi anak yang nggak berguna." Farah mendekat ke Alena. Merangkul gadis itu dengan perasaan kasihan, lalu mengajaknya duduk di kursi. "Iya, gue ngerti ...," ucap Farah lembut. Alena menatap Farah dengan air mata berlinang. "Lo nggak ngerti, Far.
Alena ingat waktu dia masih kecil, usianya masih lima tahunan. Ibunya sering mengajaknya berkunjung ke rumah nenek. Waktu itu dia dan ibunya masih tinggal di kontrakan yang lama yaitu di Karawang sebelum akhirnya ibunya membawanya pindah ke Jakarta dan mengontrak di sini agar bisa dekat dengan nenek. Di usianya yang amat kecil, Alena sering menyaksikan pertengkaran ibu dengan kakek tirinya. Orang tua itu tak suka kalau ibunya berulang ke rumah nenek. Ada satu pertengkaran hebat yang membekas di ingatan Alena dan masih dia ingat sampai sekarang. Kurang lebih seperti ini; "Sudah berkali-kali aku peringatkan jangan pernah datang ke mari kalau tujuan kau cuman bawa masalah!" teriak kakek di depan ibunya yang tengah menggendong Alena. "Ibu kau tuh sudah tua. Jangan kau bebankan pikirannya dengan memikirkan masalah kau yang tidak ada ujung pangkalnya itu!" Konon, Leyla datang menemui orang tuanya tiap kali ada masalah, terutama masalah keuangan. Dan suami baru ibunya tidak suka itu. "Dia
Alena berusaha menghindarinya dengan mengalihkan wajahnya dan menahan dada orang tua itu dengan kedua tangan sekuat tenaga. Dia merasa takut luar biasa juga ingin menangis. Tapi kakeknya juga berusaha mencumbuinya. Alena terus berusaha memberontak, menampar, menendang tapi sia-sia, tenaganya tak lebih kuat dari tenaga orang tua itu. Masih berusaha memberontak, Alena melirik vas bunga yang ada di atas nakas dekat posisinya saat ini. Dia berusaha meraih vas bunga tersebut lalu menghantamkan ujungnya yang tajam ke kepala orang tua itu tanpa ampun. Orang tua itu berteriak kesakitan dan terbaring di tempat tidur. Tak menyia-nyiakan kesempatan, Alena bergegas bangun. Namun, orang tua itu masih bisa menarik lengan bajunya sampai kain di bagian bahunya terkoyak menimbulkan suara berderik dan menampakan bahu mulus gadis itu. "Mau ke mana kamu!" Alena mendorong pria tua itu sebelum akhirnya berlari menuju pintu, membukanya dan keluar dari kamar. Tak peduli dengan baju bagian bahunya yang so
Alena mengerjap-ngerjap kala dia tersadar dan mendapati dirinya terbaring di kursi dalam ruangan asing. Pelan, Alena bangun dan duduk di atas kursi kayu rotan itu. Dia mengedar pandang. Di mana dia sekarang? Alena pun teringat kejadian beberapa jam lalu. Terakhir kali dia ingin terjun ke sungai tapi tiba-tiba kepalanya pusing. Setelah itu dia tak ingat apa-apa lagi. Dan sekarang dia malah berada di sini. Apa mungkin dia sudah berada di alam yang berbeda? "Alhamdulillah, Nduk, kamu akhirnya sadar juga," Lamunan Alena tersadarkan oleh sebuah suara yang kental dengan logat Jawa. Seorang Nenek muncul sambil membawa segelas air putih. Nenek itu duduk di sampingnya yang masih sibuk bertanya-tanya. "Minum dulu, Nduk." Meski masih bingung, Alena menerima gelas kaca berisi air putih hangat dari tangan Nenek dan meneguknya hingga setengah. Setelah Alena selesai minum, orang tua itu meletakkan gelas kaca itu ke meja di samping kursi. "Tadi Mbah liat kamu pingsan di tepi jalan. Kata warga
18 Tahun yang lalu. Pagi itu Mbah Nani sedang sibuk menjalani rutinitasnya--menyapu halaman dengan sapu lidi--ketika tiba-tiba seorang wanita kenalannya datang ke rumahnya. "Assalamualaikum, Mbok Nani!"--Mbah Nani waktu masih muda dipanggil 'Mbok' oleh orang-orang. Mbah Nani yang tengah membungkuk itu pun menegakkan tubuhnya kala melihat tamu datang. "Waalaikumussalam, Asri, ono opo?" Mbah Nani juga melirik wanita mengenakan daster yang berdiri di samping Asri. Perut wanita itu buncit seperti orang hamil. "Tolong saya, Mbok ...." "Sebentar-sebentar." Mbah Nani mengangkat tangannya. "Kamu sepertinya pengin membicarakan babagan sing penting? Sebaiknya kita bicara di dalam rumah." Mbah Nani menyandarkan batang sapunya ke dinding rumah. Lalu berbalik badan masuk ke rumahnya. Asri memberi kode pada wanita di sampingnya untuk ikut masuk. "Maaf, Mbok, sebelumnya ...," ucap wanita bernama Asri itu ketika mereka duduk-duduk di sofa jati milik Mbok Nani. "Saya bawa perempuan hamil namanya
"Kamu nggak coba telepon suamimu?" tanya Mama Marissa.Alena hanya menggeleng."Ini Mama telepon dari tadi nggak diangkat-angkat." Wajah Mama Marissa tampak cemas sambil menatap layar ponsel. Hal itu juga menular ke Alena. Alena jadi mendadak khawatir. Kenapa suaminya tidak mengangkat telepon dari mamanya? Apa sengaja karena ingin memberi suprise? Alena masih berusaha berpikir positif."Mungkin masih di jalan kali, Ma." Putra ikut berbicara dan menenangkan."Aneh," gumam Marissa masih menatap layar ponsel. "Bikin khawatir aja ""Jangan mikir aneh-aneh deh, Ma. Berdoa aja semoga Andrio baik-baik aja dan segera sampai. Mungkin terjebak macet di jalan." Lagi sang papa mertua menenangkan istrinya.Mama Marissa hanya diam masih sibuk dengan ponselnya.Ting Tong!Tak lama kemudian terdengar suara bel menggema. Alena langsung menatap mama mertuanya. "Nah itu pasti Mas Andrio, Ma.""Biar saya ya yang bukain pintu," ucap Bi Jum yang kebetulan lewat di depan meja makan."I-iya, Bi," sahut Alena.
Dua jam kemudian masakan Alena dan Bi Jum sudah terhidang rapi di meja makan bak sajian restoran yang siap disantap."Waduh enak nih keliatannya ...." Mama Marissa menatap hidangan makanan yang terlihat menggugah selera itu. "Oma jadi nggak sabar buat cicipin." Marissa menyengir lebar melirik cucu kesayangannya sudah duduk di kursi makan di sampingnya."Tunggu Papa!" seru balita itu semangat."Iya, Oma ngerti. Kita tunggu Papa dulu ya baru boleh makan?"Si bocah mengangguk antusias.Alena yang mendengar percakapan itu dari ambang pintu dapur hanya tersenyum simpul. Dia lalu teringat sesuatu dan merogoh ponsel di saku celana kainnya lalu perlahan berjalan ke arah ruang tengah. Hendak menelepon suaminya.***Pria itu duduk bersandar di kursi penumpang. Matanya sejak tadi memindai jalanan yang padat akan kendaraan di depannya. Sesekali macet menghampiri membuatnya semakin gelisah saja. Karena hal itu membuatnya makin lama untuk segera sampai ke rumah.Namun, dia tak lupa ada hal lain yang
Dua tahun kemudianDua tahun sejak kepergian Andrio berlalu. Anak-anak mereka telah tumbuh kian besar dan bisa bicara dengan fasih. Hari-hari yang Alena lalui tanpa Andrio memang terasa berbeda. Walau kadang ditemani keluarganya yang membantunya--entah itu ibu mertuanya, mami dan papi. Malam-malam Alena dia lalui dengan tidur sendiri. Masalah-masalah yang menderanya dia hadapi sendiri.Walau hampir setiap hari mereka bertukar kabar melalui chat dan video call-an. Tetap saja Alena merasa berbeda. Dua tahun dia lewati semua penuh kesabaran dan harapan. Sampai tibalah hari ini. Hari di mana Andrio harusnya pulang."Pagi, Mama ...." Terdengar sayup-sayup suara mungil membangunkan, disusul kecupan hangat di pipi. Wanita itu sontak membuka mata. Lantas menoleh ke samping. Wajah balita mungil dan menggemaskan tersenyum menyambutnya.Alena tersenyum. "Pagi juga, Sayang ....""Bangun, Mama.""Iya, ini Mama udah bangun. Sini peluk dulu." Alena meraih badan mungil itu dan mendekapnya penuh cinta
"Suami gue selingkuh, Al ....""Selingkuh gimana, Far? Lo tahu dari mana itu selingkuhannya? Siapa tahu emang cuman teman kan?""Bukan teman, Al. Tapi selingkuhannya. Udah setahun Al, gue sering baca chatingan mereka. Dari chatingannya jelas-jelas mereka ada hubungan spesial. Gue yang lebih tahu.”"Maaf, Far, co-coba sekarang lo cerita yang jelas sama gue ...."Alena sontak memejamkan mata dan menggelengkan kepala kencang-kencang setiap teringat cerita perselingkuhan sahabatnya itu.Waktu Farah memberitahu kalau pernikahannya sedang dilanda perselingkuhan oleh suaminya. Alena syok tak menyangka dan meminta sahabatnya itu bercerita dari awal pertemuannya dengan calon suaminya hingga bagaimana perselingkuhan itu terjadi. Farah mengadu padanya sambil menangis tersedu-sedu.Farah sudah menikah lima tahun lalu yang itu artinya Farah menikah beberapa bulan setelah dia menikah dengan Andrio, tepat mereka kehilangan kontak satu sama lain hingga Alena pun tidak tahu kapan Farah menikah. Farah j
Mereka akhirnya tiba di rumah Alena. Farah begitu kagum melihat rumah Alena sampai-sampai perempuan itu membuka mulut. Rumah sahabatnya itu begitu mewah, bergaya minimalis modern.Dari depan, rumahnya terlihat tinggi dan megah karena berlantai tiga. Dinding dan tiang-tiang rumahnya terlihat kokoh karena dibangun dengan material batu. Dengan jendela lebar dan pintu yang terbuat dari kaca. Langit-langitnya tinggi. Sementara pagarnya terbuat dari besi yang tingginya melebihi kepala orang dewasa. Bahkan ketika dia sudah turun dari mobil itu pun dia masih saja terpana. "Rumah kalian semewah ini?" Farah menatap Alena tidak percaya.Alena tertawa. "Ah, elo mah berlebihan. Rumah lo emangnya nggak semewah ini?"Farah terdiam, mengingat sesuatu. Lebih tepatnya mengingat masa lalu sahabatnya itu. "Ya maksud gue ... Eng, iya Alhamdulillah kehidupan lo sekarang udah sukses dan nyaman banget." Farah tersenyum kaku. "Gue harus banget berterima kasih sama Andrio atas semua ini."Alena mengernyit hera
"Farah?" tebak Andrio lebih dulu membuat Alena menoleh ke suaminya. Ternyata Andrio juga bisa mengenalnya."Iya, gue Farah," sahut perempuan itu kemudian.Alena kembali menatap perempuan yang mengaku Farah itu. Dia melotot tak percaya. "Farah?! Ya ampun!" Alena sontak berdiri. "Gue hampir nggak bisa ngenalin lo tahu, lo berubah banget!" Alena serta-merta memeluk Farah erat-erat. Sementara yang dipeluk juga membalas hal serupa.Mereka saling berpelukan erat. Tubuh kedua wanita itu bahkan bergerak-gerak ke kiri dan kanan karena Alena begitu antusias. Alena kemudian melepas pelukannya. "Apa kabar lo? Kebetulan banget ya kita ketemuan di sini?""Iya, maaf ya gue nggak ada kabar selama ini," jawab Farah. "Iya, nih. Nomor WA lo udah lama nggak aktif, abis itu nggak ada ngasih kabar ke gue juga. Sombong lo.""Bukannya gitu." Farah menyengir terlihat tak nyaman.Alena tertawa. "Iya, iya, gue cuman bercanda kok."Farah lalu menatap Andrio dan anak-anak mereka. "Kalian pada mau ke mana nih?""M
"Pakaian udah, dalaman udah, pembersih muka udah, pomade udah, jam tangan udah, berkas-berkasnya udah, tiket udah, foto-foto aku sama anak-anak juga udah, hmmm apa lagi, ya ...." Alena mengecek barang-barang yang sudah dia masukkan dalam koper Andrio. "Iya semuanya udah beres."Setelah dirasa semuanya sudah lengkap, Alena pun menutup koper itu lalu menyeretnya dekat pintu agar mudah di bawa keluar. Ada dua koper yang siap Andrio bawa. Sebagian besar isinya adalah pakaian dan barang-barang penting.Bersamaan dengan itu, Andrio keluar dari kamar mandi yang ada di kamarnya. Pria itu baru saja selesai mandi, bertelanjang dada dengan handuk kecil melilit pinggangnya, sedangkan handuk kecil lain menyampir di bahunya. "Udah beresin semua? Makasih, ya, sayang," ucapnya saat melihat kesibukan istrinya menata koper. Dia lalu menatap cermin sambil mengeringkan rambut dengan handuk kecil.Alena menoleh. "Udah beres. Cepetan pakai bajunya. Udah kusiapin di lemari paling depan," beritahu Alena. "Ak
Malam harinya, Alena gelisah seorang diri di kamar. Anna dalam gendongannya sejak tadi tak berhenti menangis kencang. Kekhawatiran Alena terjawab ketika dia menempelkan jemari di kening si bayi yang terasa sangat panas. "Ya ampun, Nak. Badanmu panas banget ...." Alena berdiri menggendong anaknya, mencoba mendiamkan meski rasanya mustahil karena bayi itu sedang demam tinggi.Alena melirik jam di dinding yang menunjukkan pukul tujuh. Lalu dia meraih ponsel di atas nakas, mengecek pesan dari Andrio, tapi tidak ada.Alena menarik napas, lalu mengembuskannya kembali. Hal itu dia lakukan berkali-kali sampai perasaannya tenang. "Aku nggak boleh panik. Sebaiknya aku cari tahu di g****e pertolongan pertama waktu bayi lagi demam, apa, ya?" Sambil menggendong bayi dengan tangan sebelah, dia mengotak-atik ponselnya.Dia membaca sekilas informasi yang dia dapat dari g****e. Lalu dia menghubungi Bi Jum lewat chat, minta siapkan air hangat dan kain buat kompresan. "Sabar, ya, Nak. Mama siapin air ha
Satu tahun kemudian ...."Kupandang langit penuh bintang bertaburan ... berkelap-kelip seumpama intan berlian ...." Alena bernyanyi kecil sambil mendorong baby stroller, berjalan mengelilingi taman rumah. Di dalam kereta bayi itu ada Anna dan Kenzy.Satu tahun berlalu, tidak banyak yang berubah dari kehidupan Alena dan Andrio selain anak-anak mereka yang sudah tumbuh besar. Alena yang juga sudah terbiasa mengurusi anak-anaknya.Kenzy sudah berusia satu tahun sepuluh bulan, sedangkan Anna berusia satu tahun satu bulan. Kenzy sudah biasa bicara dengan pengucapan yang jelas, sudah mengerti diajak bicara dan sudah bisa berjalan sendiri tanpa dipimpin, sedangkan Anna sudah bisa bicara namun masih tidak jelas pengucapannya, bisa berjalan dengan dipimpin dan bisa mengerti diajak bicara juga."Mau nyanyi apalagi?" tanya Alena pada anak-anaknya. "Lagu kupu-kupu yang lucu mau?""Mau ...," jawab Kenzy sambil mendongak menatapnya, sedangkan Anna hanya menatap ke segala arah."Oke, kita nyanyi lagu