"Farah!"
Langkah Farah di ruang tamu terhenti.
Alena berdiri di belakang gadis itu. "Maafin gue. Jangan marah, ya? Gue tadi cuman ... cuman." Alena tak melanjutkan ucapannya dan malah menangis. Membuat Farah menghadap ke arahnya.
"Gue cuman nggak bisa makan. Gue sedih. Ibu gue udah nggak ada." Alena melanjutkan bicaranya dengan linangan air mata dan sesegukan.
"Gue tahu," balas Farah yang masih terdengar agak emosi. "Gue ngerti perasaan lo. Tapi itu nggak bisa lo jadiin alasan untuk nggak makan. Lo tetap harus lanjutin hidup lo. Percuma juga lo bersikap kaya gini nggak akan bisa ngembaliin Ibu lo yang udah meninggal."
"Gue sedih karena Ibu gue meninggal dalam keadaan belum bahagia. Dan gue yang nggak bisa berbuat apa-apa sekarang merasa jadi anak yang nggak berguna."
Farah mendekat ke Alena. Merangkul gadis itu dengan perasaan kasihan, lalu mengajaknya duduk di kursi. "Iya, gue ngerti ...," ucap Farah lembut.
Alena menatap Farah dengan air mata berlinang. "Lo nggak ngerti, Far. Lo nggak bisa ngerti karena lo nggak ngerasain apa yang gue alami. Sejak dulu hidup kami tuh susah. Untuk makan pas-pasan aja Ibu mesti kerja jadi ART pergi pagi pulang malam. Ibu sering kecapekan dan mungkin karena itu juga Ibu sampai sakit dan menahankan penyakitnya karena dia nggak mau gue khawatir."
Alena lalu mengalihkan pandangannya. "Dulu gue pernah janji sama Ibu kalau gue bakal berusaha jadi orang sukses. Dan kalau gue udah sukses nanti, gue bakal beliin Ibu makanan yang enak biar nggak makan makanan sisa majikannya lagi. Beliin Ibu baju yang bagus biar ibu nggak dijulidin sama tetangga karena pakai baju sobek yang dijahit. Beliin Ibu rumah yang besar biar nggak ngontrak-ngontrak lagi. Pokoknya gue bakal bikin hidup Ibu enak dan nggak dipandang sebelah mata lagi sama keluarga yang lain. Dan Ibu juga janji bakal nemenin gue terus. Melihat gue sukses dan menikmati hasilnya. Tapi ternyata ... Ibu malah pergi duluan sebelum gue sempat membuktikan semuanya ... Sekarang apa? Semuanya udah terlambat. Nggak ada gunanya juga gue hidup kalau Ibu udah nggak ada." Tangis Alena pecah. Dia menutup wajah yang memerah dengan kedua telapak tangannya. Dia tak bisa menahan kesedihannya hingga tanpa sadar menceritakan apa yang dia pikirkan sejak tadi.
Farah mengusap bahu Alena. Dia hanya bisa berusaha menghibur sahabatnya itu meski dia tahu hiburan itu tak akan bisa menghilangkan kesedihan Alena sepenuhnya. "Lo nggak boleh ngomong begitu, Al. Meskipun Ibu lo nggak ada di dunia, lo tetap harus buktiin. Ibu lo di akhirat pasti ngeliat lo dan beliau bisa tahu kalau anaknya sukses. Jadi, ada atau nggaknya Ibu lo, lo tetap harus buktiin biar Ibu lo bangga, Al."
Alena kemudian menatap Farah. "Maksud lo gue tetap harus berjuang lanjutin hidup gue dan jadi orang sukses?"
"Iya, dong, Al." Farah tersenyum. "Makanya lo harus makan, ya. Biar lo sehat terus dan bisa kerja. Biar lo juga bisa do'ain Ibu lo di sana. Lo anak satu-satunya Tante Leyla, Al. Siapa lagi yang akan mendo'akan beliau kalau lo juga pergi?"
Alena diam. Lalu berkata. "Gue udah nggak semangat hidup." Alena masih menangis sambil menggeleng. "Gue nggak bisa ... Gue rasanya mau mati aja."
"Tolong, Al. Jangan ngomong begitu. Pada dasarnya, semua manusia akan pergi meninggalkan dunia ini, Al. Nggak cuman Ibu lo. Orang tua gue pasti juga bakal ninggalin gue. Lo, gue, semuanya bakal mati. Kita hanya menunggu giliran. Kita manusia selayaknya wayang yang digerakkan oleh dayangnya. Cepat atau lambat kita semua akan meninggal, tak terkecuali Ibu lo."
"Gue tahu, tapi gue belum siap aja. Gue nggak sanggup sendirian."
Rasa kecewa yang tadi Farah rasakan seketika menguap. Tak tega rasanya jika dia harus marah pada Alena yang tengah berkabung. Dia merasa sudah menjadi sahabat yang jahat. Seharusnya dia bisa mengerti keadaan Alena saat ini. Seharusnya dia tak perlu marah seperti tadi. Dia jadi merasa bersalah.
"Al, maafin gue, ya? Seharusnya gue nggak bersikap kayak tadi," ucap Farah setelah beberapa saat hening menyisakan suara tangis Alena.
Alena menatap Farah. "Gue yang minta maaf."
"Gue yang minta maaf, Al."
Alena hanya tersenyum.
"Sekarang lo makan, ya? Kita makan sama-sama di meja makan aja."
Alena mengangguk.
***
Malam harinya, tahlilan malam kedua kembali digelar. Rumah kecil itu dipenuhi suara-suara bacaan Yasin. Para tetangganya-lah yang membantu Alena menyiapkan acara itu, termasuk Bu Sari, penjual nasi kuning di sebelah rumah Alena. Meski waktu Leyla masih hidup, para tetangganya itu kadang menjulidinya, namun, setelah Leyla tiada mereka berempati dan menolong anak gadis seorang wanita yang dulu pernah mereka katai, mereka melakukan itu untuk menebus dosa-dosa mereka. Orang tua Farah juga membantu dan menghibur Alena. Namun, pada siang hari mereka kembali ke rumahnya masing-masing sebentar hingga hanya Farah yang menemani Alena.
Alena merasa sangat miris. Disaat seperti ini, keluarganya tak ada yang datang. Alena tak tahu apa yang harus dia lakukan jika tak ada tetangga-tetangganya itu. Dia sangat berhutang budi pada para tetangganya. Keadaan ini membuat kesedihannya menjadi.
"Alena,"
Namun, tiba-tiba seseorang menghampirinya dan memeluknya sambil menangis. Membuatnya agak terkejut.
"Nenek?" Dalam pelukan orang tua itu, Alena tercenung.
Ada apa dengan nenek? Kenapa nenek tiba-tiba memeluknya sambil menangis?
Tak lama kemudian, orang tua itu melepas pelukannya. "Maafin Nenek, ya, Alena ...."
Alena tidak salah lihat. Neneknya benar-benar menangis sambil menatapnya.
"Iya, Nek," jawab Alena sekenanya. Dia pikir neneknya minta maaf karena telah menyadari kesalahannya terhadap ibunya selama ini. Tak dia sangka, nenek ternyata sudah menyadari kesalahannya dan mau minta maaf.
"Sekarang kamu benar-benar sebatang kara. Nenek janji tidak akan biarkan kamu sendirian. Mulai sekarang kamu tinggal di rumah nenek saja, ya?"
Alena menatap neneknya tak percaya. Tapi dia juga terharu. Tak menyangka dengan sikap neneknya yang berubah baik bahkan neneknya menawarkan tinggal di rumahnya. Ini merupakan suatu keajaiban mengingat bagaimana sikap neneknya dulu terhadap dirinya dan ibunya.
"Kamu mau, 'kan?"
Alena pasti langsung mengiyakan seandainya tak ada hal yang tiba-tiba mengganggu pikirannya dan membuatnya ragu. "Tapi, Nek, bagaimana dengan Kakek?"
Ada apa ya dengan kakek Alena? Penasaran nggak sih? Gulir bab selanjutnya, ya.
Alena ingat waktu dia masih kecil, usianya masih lima tahunan. Ibunya sering mengajaknya berkunjung ke rumah nenek. Waktu itu dia dan ibunya masih tinggal di kontrakan yang lama yaitu di Karawang sebelum akhirnya ibunya membawanya pindah ke Jakarta dan mengontrak di sini agar bisa dekat dengan nenek. Di usianya yang amat kecil, Alena sering menyaksikan pertengkaran ibu dengan kakek tirinya. Orang tua itu tak suka kalau ibunya berulang ke rumah nenek. Ada satu pertengkaran hebat yang membekas di ingatan Alena dan masih dia ingat sampai sekarang. Kurang lebih seperti ini; "Sudah berkali-kali aku peringatkan jangan pernah datang ke mari kalau tujuan kau cuman bawa masalah!" teriak kakek di depan ibunya yang tengah menggendong Alena. "Ibu kau tuh sudah tua. Jangan kau bebankan pikirannya dengan memikirkan masalah kau yang tidak ada ujung pangkalnya itu!" Konon, Leyla datang menemui orang tuanya tiap kali ada masalah, terutama masalah keuangan. Dan suami baru ibunya tidak suka itu. "Dia
Alena berusaha menghindarinya dengan mengalihkan wajahnya dan menahan dada orang tua itu dengan kedua tangan sekuat tenaga. Dia merasa takut luar biasa juga ingin menangis. Tapi kakeknya juga berusaha mencumbuinya. Alena terus berusaha memberontak, menampar, menendang tapi sia-sia, tenaganya tak lebih kuat dari tenaga orang tua itu. Masih berusaha memberontak, Alena melirik vas bunga yang ada di atas nakas dekat posisinya saat ini. Dia berusaha meraih vas bunga tersebut lalu menghantamkan ujungnya yang tajam ke kepala orang tua itu tanpa ampun. Orang tua itu berteriak kesakitan dan terbaring di tempat tidur. Tak menyia-nyiakan kesempatan, Alena bergegas bangun. Namun, orang tua itu masih bisa menarik lengan bajunya sampai kain di bagian bahunya terkoyak menimbulkan suara berderik dan menampakan bahu mulus gadis itu. "Mau ke mana kamu!" Alena mendorong pria tua itu sebelum akhirnya berlari menuju pintu, membukanya dan keluar dari kamar. Tak peduli dengan baju bagian bahunya yang so
Alena mengerjap-ngerjap kala dia tersadar dan mendapati dirinya terbaring di kursi dalam ruangan asing. Pelan, Alena bangun dan duduk di atas kursi kayu rotan itu. Dia mengedar pandang. Di mana dia sekarang? Alena pun teringat kejadian beberapa jam lalu. Terakhir kali dia ingin terjun ke sungai tapi tiba-tiba kepalanya pusing. Setelah itu dia tak ingat apa-apa lagi. Dan sekarang dia malah berada di sini. Apa mungkin dia sudah berada di alam yang berbeda? "Alhamdulillah, Nduk, kamu akhirnya sadar juga," Lamunan Alena tersadarkan oleh sebuah suara yang kental dengan logat Jawa. Seorang Nenek muncul sambil membawa segelas air putih. Nenek itu duduk di sampingnya yang masih sibuk bertanya-tanya. "Minum dulu, Nduk." Meski masih bingung, Alena menerima gelas kaca berisi air putih hangat dari tangan Nenek dan meneguknya hingga setengah. Setelah Alena selesai minum, orang tua itu meletakkan gelas kaca itu ke meja di samping kursi. "Tadi Mbah liat kamu pingsan di tepi jalan. Kata warga
18 Tahun yang lalu. Pagi itu Mbah Nani sedang sibuk menjalani rutinitasnya--menyapu halaman dengan sapu lidi--ketika tiba-tiba seorang wanita kenalannya datang ke rumahnya. "Assalamualaikum, Mbok Nani!"--Mbah Nani waktu masih muda dipanggil 'Mbok' oleh orang-orang. Mbah Nani yang tengah membungkuk itu pun menegakkan tubuhnya kala melihat tamu datang. "Waalaikumussalam, Asri, ono opo?" Mbah Nani juga melirik wanita mengenakan daster yang berdiri di samping Asri. Perut wanita itu buncit seperti orang hamil. "Tolong saya, Mbok ...." "Sebentar-sebentar." Mbah Nani mengangkat tangannya. "Kamu sepertinya pengin membicarakan babagan sing penting? Sebaiknya kita bicara di dalam rumah." Mbah Nani menyandarkan batang sapunya ke dinding rumah. Lalu berbalik badan masuk ke rumahnya. Asri memberi kode pada wanita di sampingnya untuk ikut masuk. "Maaf, Mbok, sebelumnya ...," ucap wanita bernama Asri itu ketika mereka duduk-duduk di sofa jati milik Mbok Nani. "Saya bawa perempuan hamil namanya
"Jadi begitu ceritanya, Alena ...," ucap Mbah Nani kala beliau mengakhiri ceritanya. Alena sejak tadi terperangah mendengar cerita Mbah tentang masa lalu ibunya yang baru dia ketahui sekarang. Ternyata perjuangan ibunya mempertahankannya seberat itu? Mata Alena terasa memanas. Hingga dia akhirnya menangis di hadapan Mbah karena tak sanggup menahan kesedihannya. Jadi benar gara-gara kesalahan ibunya yang demikian keluarganya mengucilkannya. "Makasih, Mbah. Makasih Mbah udah nolongin Ibu," ucap Alena sambil menangis. Mbah Nani tersenyum hangat. "Iya, Nduk. Dulu kamu masih dalam perut ibumu. Sekarang kamu sudah dewasa dan Mbah ketemu sama kamu. Mbah ndak nyangka ketemu kamu. Rencana Gusti Allah sungguh indah. Dia mempertemukan kita kembali dengan cara seperti ini." Alena mengangguk. Dia juga tak habis pikir, dunia begitu sempit, takdir sungguh ajaib. "Takdir Allah memang indah, ya, Mbah? Aku juga berutang budi sama Mbah udah nolongin aku yang hampir mau mati. Mungkin Mbah memang orang
"Nenek?" Alena mengernyit heran menatap neneknya yang mendekat. "Alena, kamu baik-baik aja, 'kan?" tanya Rina. Alena mengangguk. "Dari mana Nenek tahu aku di sini? Nenek kenal Mbah Nani juga?" Alena menatap neneknya penuh tanya lalu menatap Mbah Nani yang berdiri di belakang neneknya. "Tadi Nenek panik pas tahu kamu ndak ada, kata Kakek kamu pergi ndak tahu ke mana." Mendengar kata 'kakek' Alena langsung ketakutan. Tapi Rina tak menyadari perubahan bahasa tubuh cucunya dan terus berbicara. "Nenek langsung cariin kamu, bawa foto kamu, tanyain ke orang-orang yang lewat di jalan. Katanya mereka lihat kamu mau bunuh diri di jembatan, tapi tiba-tiba kamu pingsan dan ditolongi sama orang. Nenek juga dikasih alamat rumah Mbah yang nolongin kamu. Kamu kenapa nekat bunuh diri, Alena?" "Alena ...." Alena terbata-bata. Dia menatap ke lain arah. Seketika ingatannya kembali pada kejadian dia hampir diperkosa kakeknya. Alena lantas menggeleng. "Alena takut," lirih gadis itu. "Ayok kita pulang.
"Nah, ini masakan Mbah, kamu harus cobain. Mbah ambilkan piring dulu." Mbah berdiri berjalan menuju rak piring. Untuk menenangkan pikiran Alena, Mbah Nani mengajaknya makan siang, melanjutkan aktivitas mereka yang sempat tertunda karena kedatangan Rina. Selagi Mbah mengambil piring, Alena mengedar pandang ke ruangan dapur itu. Dia baru sadar rumah Mbah cukup bagus. Dibanding rumah kontrakan Alena, rumah Mbah Nani lebih besar. Berlantai poslen. Alat rumah tangganya juga lengkap. Ada kulkas satu pintu. Tempat cuci piring yang bagus dan lengkap dengan meja memasaknya dan kitchen cabinet. Satu set meja makan dan kursi seperti yang Alena duduki sekarang. Rumah Mbah Nani bahkan lebih bagus dari rumah neneknya. "Mbah ambilin, yo ...." Suara Mbah serta merta mengagetkan Alena dari keterasyikannya memperhatikan seluk beluk rumah ini. Alena menatap orang tua itu yang sibuk melayaninya. "Makasih, Mbah," ucap Alena ketika Mbah meyodorkan sepiring nasi dengan ayam penyet dan sayur di hadapannya
Lima hari sudah Alena menginap di rumah Mbah Nani. Dan dia masih belum ingin pulang. Dua hari yang lalu neneknya sempat datang lagi membawakannya baju sekaligus membujuknya untuk pulang, tapi Alena tidak mau. Katanya dia masih ingin di sini. Rina masih memberi Alena kesempatan berpikir dan menenangkan diri sampai gadis itu siap untuk pulang. Jujur saja dia lebih nyaman tinggal bersama Mbah Nani. Mbah Nani memperlakukannya dengan sangat baik. Di rumah Mbah Nani yang sepi itu, dia juga membantu orang tua itu jaga warteg. Mata pencaharian satu-satunya Mbah Nani. Baru beberapa hari mereka kenal, tapi Alena merasa sudah akrab sekali seperti sudah mengenal sejak lama bahkan dibanding nenek kandungnya. Saat ini Alena sedang membantu Nani mengelap dan menyusun piring sambil bercerita segala hal. "Hidup sekarang ini apa-apa semua serba uang," ucap Mbah Nani melanjutkan percakapannya dengan Alena yang membahas betapa sulitnya hidup tanpa uang. "Bahkan keadilan pun bisa dibayar dengan uang,
"Kamu nggak coba telepon suamimu?" tanya Mama Marissa.Alena hanya menggeleng."Ini Mama telepon dari tadi nggak diangkat-angkat." Wajah Mama Marissa tampak cemas sambil menatap layar ponsel. Hal itu juga menular ke Alena. Alena jadi mendadak khawatir. Kenapa suaminya tidak mengangkat telepon dari mamanya? Apa sengaja karena ingin memberi suprise? Alena masih berusaha berpikir positif."Mungkin masih di jalan kali, Ma." Putra ikut berbicara dan menenangkan."Aneh," gumam Marissa masih menatap layar ponsel. "Bikin khawatir aja ""Jangan mikir aneh-aneh deh, Ma. Berdoa aja semoga Andrio baik-baik aja dan segera sampai. Mungkin terjebak macet di jalan." Lagi sang papa mertua menenangkan istrinya.Mama Marissa hanya diam masih sibuk dengan ponselnya.Ting Tong!Tak lama kemudian terdengar suara bel menggema. Alena langsung menatap mama mertuanya. "Nah itu pasti Mas Andrio, Ma.""Biar saya ya yang bukain pintu," ucap Bi Jum yang kebetulan lewat di depan meja makan."I-iya, Bi," sahut Alena.
Dua jam kemudian masakan Alena dan Bi Jum sudah terhidang rapi di meja makan bak sajian restoran yang siap disantap."Waduh enak nih keliatannya ...." Mama Marissa menatap hidangan makanan yang terlihat menggugah selera itu. "Oma jadi nggak sabar buat cicipin." Marissa menyengir lebar melirik cucu kesayangannya sudah duduk di kursi makan di sampingnya."Tunggu Papa!" seru balita itu semangat."Iya, Oma ngerti. Kita tunggu Papa dulu ya baru boleh makan?"Si bocah mengangguk antusias.Alena yang mendengar percakapan itu dari ambang pintu dapur hanya tersenyum simpul. Dia lalu teringat sesuatu dan merogoh ponsel di saku celana kainnya lalu perlahan berjalan ke arah ruang tengah. Hendak menelepon suaminya.***Pria itu duduk bersandar di kursi penumpang. Matanya sejak tadi memindai jalanan yang padat akan kendaraan di depannya. Sesekali macet menghampiri membuatnya semakin gelisah saja. Karena hal itu membuatnya makin lama untuk segera sampai ke rumah.Namun, dia tak lupa ada hal lain yang
Dua tahun kemudianDua tahun sejak kepergian Andrio berlalu. Anak-anak mereka telah tumbuh kian besar dan bisa bicara dengan fasih. Hari-hari yang Alena lalui tanpa Andrio memang terasa berbeda. Walau kadang ditemani keluarganya yang membantunya--entah itu ibu mertuanya, mami dan papi. Malam-malam Alena dia lalui dengan tidur sendiri. Masalah-masalah yang menderanya dia hadapi sendiri.Walau hampir setiap hari mereka bertukar kabar melalui chat dan video call-an. Tetap saja Alena merasa berbeda. Dua tahun dia lewati semua penuh kesabaran dan harapan. Sampai tibalah hari ini. Hari di mana Andrio harusnya pulang."Pagi, Mama ...." Terdengar sayup-sayup suara mungil membangunkan, disusul kecupan hangat di pipi. Wanita itu sontak membuka mata. Lantas menoleh ke samping. Wajah balita mungil dan menggemaskan tersenyum menyambutnya.Alena tersenyum. "Pagi juga, Sayang ....""Bangun, Mama.""Iya, ini Mama udah bangun. Sini peluk dulu." Alena meraih badan mungil itu dan mendekapnya penuh cinta
"Suami gue selingkuh, Al ....""Selingkuh gimana, Far? Lo tahu dari mana itu selingkuhannya? Siapa tahu emang cuman teman kan?""Bukan teman, Al. Tapi selingkuhannya. Udah setahun Al, gue sering baca chatingan mereka. Dari chatingannya jelas-jelas mereka ada hubungan spesial. Gue yang lebih tahu.”"Maaf, Far, co-coba sekarang lo cerita yang jelas sama gue ...."Alena sontak memejamkan mata dan menggelengkan kepala kencang-kencang setiap teringat cerita perselingkuhan sahabatnya itu.Waktu Farah memberitahu kalau pernikahannya sedang dilanda perselingkuhan oleh suaminya. Alena syok tak menyangka dan meminta sahabatnya itu bercerita dari awal pertemuannya dengan calon suaminya hingga bagaimana perselingkuhan itu terjadi. Farah mengadu padanya sambil menangis tersedu-sedu.Farah sudah menikah lima tahun lalu yang itu artinya Farah menikah beberapa bulan setelah dia menikah dengan Andrio, tepat mereka kehilangan kontak satu sama lain hingga Alena pun tidak tahu kapan Farah menikah. Farah j
Mereka akhirnya tiba di rumah Alena. Farah begitu kagum melihat rumah Alena sampai-sampai perempuan itu membuka mulut. Rumah sahabatnya itu begitu mewah, bergaya minimalis modern.Dari depan, rumahnya terlihat tinggi dan megah karena berlantai tiga. Dinding dan tiang-tiang rumahnya terlihat kokoh karena dibangun dengan material batu. Dengan jendela lebar dan pintu yang terbuat dari kaca. Langit-langitnya tinggi. Sementara pagarnya terbuat dari besi yang tingginya melebihi kepala orang dewasa. Bahkan ketika dia sudah turun dari mobil itu pun dia masih saja terpana. "Rumah kalian semewah ini?" Farah menatap Alena tidak percaya.Alena tertawa. "Ah, elo mah berlebihan. Rumah lo emangnya nggak semewah ini?"Farah terdiam, mengingat sesuatu. Lebih tepatnya mengingat masa lalu sahabatnya itu. "Ya maksud gue ... Eng, iya Alhamdulillah kehidupan lo sekarang udah sukses dan nyaman banget." Farah tersenyum kaku. "Gue harus banget berterima kasih sama Andrio atas semua ini."Alena mengernyit hera
"Farah?" tebak Andrio lebih dulu membuat Alena menoleh ke suaminya. Ternyata Andrio juga bisa mengenalnya."Iya, gue Farah," sahut perempuan itu kemudian.Alena kembali menatap perempuan yang mengaku Farah itu. Dia melotot tak percaya. "Farah?! Ya ampun!" Alena sontak berdiri. "Gue hampir nggak bisa ngenalin lo tahu, lo berubah banget!" Alena serta-merta memeluk Farah erat-erat. Sementara yang dipeluk juga membalas hal serupa.Mereka saling berpelukan erat. Tubuh kedua wanita itu bahkan bergerak-gerak ke kiri dan kanan karena Alena begitu antusias. Alena kemudian melepas pelukannya. "Apa kabar lo? Kebetulan banget ya kita ketemuan di sini?""Iya, maaf ya gue nggak ada kabar selama ini," jawab Farah. "Iya, nih. Nomor WA lo udah lama nggak aktif, abis itu nggak ada ngasih kabar ke gue juga. Sombong lo.""Bukannya gitu." Farah menyengir terlihat tak nyaman.Alena tertawa. "Iya, iya, gue cuman bercanda kok."Farah lalu menatap Andrio dan anak-anak mereka. "Kalian pada mau ke mana nih?""M
"Pakaian udah, dalaman udah, pembersih muka udah, pomade udah, jam tangan udah, berkas-berkasnya udah, tiket udah, foto-foto aku sama anak-anak juga udah, hmmm apa lagi, ya ...." Alena mengecek barang-barang yang sudah dia masukkan dalam koper Andrio. "Iya semuanya udah beres."Setelah dirasa semuanya sudah lengkap, Alena pun menutup koper itu lalu menyeretnya dekat pintu agar mudah di bawa keluar. Ada dua koper yang siap Andrio bawa. Sebagian besar isinya adalah pakaian dan barang-barang penting.Bersamaan dengan itu, Andrio keluar dari kamar mandi yang ada di kamarnya. Pria itu baru saja selesai mandi, bertelanjang dada dengan handuk kecil melilit pinggangnya, sedangkan handuk kecil lain menyampir di bahunya. "Udah beresin semua? Makasih, ya, sayang," ucapnya saat melihat kesibukan istrinya menata koper. Dia lalu menatap cermin sambil mengeringkan rambut dengan handuk kecil.Alena menoleh. "Udah beres. Cepetan pakai bajunya. Udah kusiapin di lemari paling depan," beritahu Alena. "Ak
Malam harinya, Alena gelisah seorang diri di kamar. Anna dalam gendongannya sejak tadi tak berhenti menangis kencang. Kekhawatiran Alena terjawab ketika dia menempelkan jemari di kening si bayi yang terasa sangat panas. "Ya ampun, Nak. Badanmu panas banget ...." Alena berdiri menggendong anaknya, mencoba mendiamkan meski rasanya mustahil karena bayi itu sedang demam tinggi.Alena melirik jam di dinding yang menunjukkan pukul tujuh. Lalu dia meraih ponsel di atas nakas, mengecek pesan dari Andrio, tapi tidak ada.Alena menarik napas, lalu mengembuskannya kembali. Hal itu dia lakukan berkali-kali sampai perasaannya tenang. "Aku nggak boleh panik. Sebaiknya aku cari tahu di g****e pertolongan pertama waktu bayi lagi demam, apa, ya?" Sambil menggendong bayi dengan tangan sebelah, dia mengotak-atik ponselnya.Dia membaca sekilas informasi yang dia dapat dari g****e. Lalu dia menghubungi Bi Jum lewat chat, minta siapkan air hangat dan kain buat kompresan. "Sabar, ya, Nak. Mama siapin air ha
Satu tahun kemudian ...."Kupandang langit penuh bintang bertaburan ... berkelap-kelip seumpama intan berlian ...." Alena bernyanyi kecil sambil mendorong baby stroller, berjalan mengelilingi taman rumah. Di dalam kereta bayi itu ada Anna dan Kenzy.Satu tahun berlalu, tidak banyak yang berubah dari kehidupan Alena dan Andrio selain anak-anak mereka yang sudah tumbuh besar. Alena yang juga sudah terbiasa mengurusi anak-anaknya.Kenzy sudah berusia satu tahun sepuluh bulan, sedangkan Anna berusia satu tahun satu bulan. Kenzy sudah biasa bicara dengan pengucapan yang jelas, sudah mengerti diajak bicara dan sudah bisa berjalan sendiri tanpa dipimpin, sedangkan Anna sudah bisa bicara namun masih tidak jelas pengucapannya, bisa berjalan dengan dipimpin dan bisa mengerti diajak bicara juga."Mau nyanyi apalagi?" tanya Alena pada anak-anaknya. "Lagu kupu-kupu yang lucu mau?""Mau ...," jawab Kenzy sambil mendongak menatapnya, sedangkan Anna hanya menatap ke segala arah."Oke, kita nyanyi lagu