18 Tahun yang lalu. Pagi itu Mbah Nani sedang sibuk menjalani rutinitasnya--menyapu halaman dengan sapu lidi--ketika tiba-tiba seorang wanita kenalannya datang ke rumahnya. "Assalamualaikum, Mbok Nani!"--Mbah Nani waktu masih muda dipanggil 'Mbok' oleh orang-orang. Mbah Nani yang tengah membungkuk itu pun menegakkan tubuhnya kala melihat tamu datang. "Waalaikumussalam, Asri, ono opo?" Mbah Nani juga melirik wanita mengenakan daster yang berdiri di samping Asri. Perut wanita itu buncit seperti orang hamil. "Tolong saya, Mbok ...." "Sebentar-sebentar." Mbah Nani mengangkat tangannya. "Kamu sepertinya pengin membicarakan babagan sing penting? Sebaiknya kita bicara di dalam rumah." Mbah Nani menyandarkan batang sapunya ke dinding rumah. Lalu berbalik badan masuk ke rumahnya. Asri memberi kode pada wanita di sampingnya untuk ikut masuk. "Maaf, Mbok, sebelumnya ...," ucap wanita bernama Asri itu ketika mereka duduk-duduk di sofa jati milik Mbok Nani. "Saya bawa perempuan hamil namanya
"Jadi begitu ceritanya, Alena ...," ucap Mbah Nani kala beliau mengakhiri ceritanya. Alena sejak tadi terperangah mendengar cerita Mbah tentang masa lalu ibunya yang baru dia ketahui sekarang. Ternyata perjuangan ibunya mempertahankannya seberat itu? Mata Alena terasa memanas. Hingga dia akhirnya menangis di hadapan Mbah karena tak sanggup menahan kesedihannya. Jadi benar gara-gara kesalahan ibunya yang demikian keluarganya mengucilkannya. "Makasih, Mbah. Makasih Mbah udah nolongin Ibu," ucap Alena sambil menangis. Mbah Nani tersenyum hangat. "Iya, Nduk. Dulu kamu masih dalam perut ibumu. Sekarang kamu sudah dewasa dan Mbah ketemu sama kamu. Mbah ndak nyangka ketemu kamu. Rencana Gusti Allah sungguh indah. Dia mempertemukan kita kembali dengan cara seperti ini." Alena mengangguk. Dia juga tak habis pikir, dunia begitu sempit, takdir sungguh ajaib. "Takdir Allah memang indah, ya, Mbah? Aku juga berutang budi sama Mbah udah nolongin aku yang hampir mau mati. Mungkin Mbah memang orang
"Nenek?" Alena mengernyit heran menatap neneknya yang mendekat. "Alena, kamu baik-baik aja, 'kan?" tanya Rina. Alena mengangguk. "Dari mana Nenek tahu aku di sini? Nenek kenal Mbah Nani juga?" Alena menatap neneknya penuh tanya lalu menatap Mbah Nani yang berdiri di belakang neneknya. "Tadi Nenek panik pas tahu kamu ndak ada, kata Kakek kamu pergi ndak tahu ke mana." Mendengar kata 'kakek' Alena langsung ketakutan. Tapi Rina tak menyadari perubahan bahasa tubuh cucunya dan terus berbicara. "Nenek langsung cariin kamu, bawa foto kamu, tanyain ke orang-orang yang lewat di jalan. Katanya mereka lihat kamu mau bunuh diri di jembatan, tapi tiba-tiba kamu pingsan dan ditolongi sama orang. Nenek juga dikasih alamat rumah Mbah yang nolongin kamu. Kamu kenapa nekat bunuh diri, Alena?" "Alena ...." Alena terbata-bata. Dia menatap ke lain arah. Seketika ingatannya kembali pada kejadian dia hampir diperkosa kakeknya. Alena lantas menggeleng. "Alena takut," lirih gadis itu. "Ayok kita pulang.
"Nah, ini masakan Mbah, kamu harus cobain. Mbah ambilkan piring dulu." Mbah berdiri berjalan menuju rak piring. Untuk menenangkan pikiran Alena, Mbah Nani mengajaknya makan siang, melanjutkan aktivitas mereka yang sempat tertunda karena kedatangan Rina. Selagi Mbah mengambil piring, Alena mengedar pandang ke ruangan dapur itu. Dia baru sadar rumah Mbah cukup bagus. Dibanding rumah kontrakan Alena, rumah Mbah Nani lebih besar. Berlantai poslen. Alat rumah tangganya juga lengkap. Ada kulkas satu pintu. Tempat cuci piring yang bagus dan lengkap dengan meja memasaknya dan kitchen cabinet. Satu set meja makan dan kursi seperti yang Alena duduki sekarang. Rumah Mbah Nani bahkan lebih bagus dari rumah neneknya. "Mbah ambilin, yo ...." Suara Mbah serta merta mengagetkan Alena dari keterasyikannya memperhatikan seluk beluk rumah ini. Alena menatap orang tua itu yang sibuk melayaninya. "Makasih, Mbah," ucap Alena ketika Mbah meyodorkan sepiring nasi dengan ayam penyet dan sayur di hadapannya
Lima hari sudah Alena menginap di rumah Mbah Nani. Dan dia masih belum ingin pulang. Dua hari yang lalu neneknya sempat datang lagi membawakannya baju sekaligus membujuknya untuk pulang, tapi Alena tidak mau. Katanya dia masih ingin di sini. Rina masih memberi Alena kesempatan berpikir dan menenangkan diri sampai gadis itu siap untuk pulang. Jujur saja dia lebih nyaman tinggal bersama Mbah Nani. Mbah Nani memperlakukannya dengan sangat baik. Di rumah Mbah Nani yang sepi itu, dia juga membantu orang tua itu jaga warteg. Mata pencaharian satu-satunya Mbah Nani. Baru beberapa hari mereka kenal, tapi Alena merasa sudah akrab sekali seperti sudah mengenal sejak lama bahkan dibanding nenek kandungnya. Saat ini Alena sedang membantu Nani mengelap dan menyusun piring sambil bercerita segala hal. "Hidup sekarang ini apa-apa semua serba uang," ucap Mbah Nani melanjutkan percakapannya dengan Alena yang membahas betapa sulitnya hidup tanpa uang. "Bahkan keadilan pun bisa dibayar dengan uang,
Mbah Nani menghentikan pekerjaannya dari membereskan piring dan mendatangi Rina. Alena berinisiatif melanjutkan pekerjaan Mbah Nani menyusun piring di raknya. "Ada apa, Bu?" "Ada apa ada apa?! Saya ke sini mau jemput cucu saya lah!" Alena tertegun mendengar jawaban Nenek yang kasar. Apakah neneknya marah? Tapi Alena tak berani menghampiri. Dia hanya meneruskan pekerjaannya sambil mendengarkan percakapan itu. "Oh, Alena-nya lagi bantuin saya bersihin piring. Silakan duduk dulu, Bu." Mbah Nani tetap tenang dan menyambut tamunya dengan sopan. "Alena, kapan kamu mau pulang?" Bukannya duduk atau menjawab Mbah Nani, Rina malah langsung menghampiri Alena. Perasaan Alena kian cemas. Sepertinya neneknya benar-benar marah. Alena menghentikan pekerjaannya dan berbalik menghadap neneknya yang sudah bersidekap dada memperhatikannya. "Emm ... aku ...." Alena mendadak kelu. Keberaniannya yang ingin menjawab tadi seketika lenyap menatap sorot mata neneknya yang tajam. Nyalinya ciut. "Kenapa? K
Leyla Prameswari Binti Imran S Tanggal lahir: 11 Mei 1986 Tanggal Wafat: 18 Juni 2021 Alena menatap lekat tulisan hitam pada batu nisan bercat putih berbahan kayu di atas gundukan tanah bertabur bunga kertas merah itu. Sejak tadi gadis berpakaian serba putih itu berbicara sambil tangannya membelai permukaan nisan. Di sampingnya ada Mbah Nani yang pertama kali berkunjung ke makam Leyla. "Ibu, sekarang aku nggak punya siapa-siapa lagi. Ibu udah ninggalin aku. Nenek juga udah nggak menganggap aku, Bu." Di depan makam ibunya, Alena berkeluh kesah menceritakan apa yang dia alami seolah ibunya mendengar. "Aku sebatang kara. Apa yang harus aku lakuin, Bu? Rasanya aku pengin ikut Ibu aja." Mata Alena terasa memanas. Air mata menggenang di pelupuk matanya dan siap tumpah kapan saja. Alena benar-benar merasa di ambang batas. Terlebih ketik
Alena dan Mbah Nani berjalan menyusuri jalanan sepi sambil bercakap-cakap. "Mbah tahu, 'kan, seberapa menderitanya Ibu." Alena melanjutkan perbincangannya dengan Mbah Nani. "Ibu tak hanya membesarkan aku seorang diri. Tapi Ibu juga dicemooh oleh keluarganya sendiri. Bahkan Nenek Rina tidak menyukai Ibu, anaknya sendiri." "Iya, Alena, Mbah paham apa yang dirasakan Ibu kamu dulu, Mbah juga paham bagaimana perasaanmu sekarang." "Sejak aku kecil Ibu bekerja semrawutan demi membesarkan aku. Bekerja sebagai ART di rumah ke rumah. Aku ingat, Ibu juga pernah jadi penjual asongan. Aku pernah diajak ke perempatan lampu merah, ke perumahan komplek, berjalan di bawah terik matahari hanya untuk menawarkan minuman botol yang untungnya nggak seberapa. Tak jarang Ibu dicelakai pedagang asongan lain karena nggak mau tersaingi. Waktu itu aku masih kecil. Aku nggak bisa ngelakuin apa-apa selain mengikuti apa kata Ibu." Alena bercerita sambil menangis. Mbah Nani yang melihatnya ikut menangis. "Makany
"Kamu nggak coba telepon suamimu?" tanya Mama Marissa.Alena hanya menggeleng."Ini Mama telepon dari tadi nggak diangkat-angkat." Wajah Mama Marissa tampak cemas sambil menatap layar ponsel. Hal itu juga menular ke Alena. Alena jadi mendadak khawatir. Kenapa suaminya tidak mengangkat telepon dari mamanya? Apa sengaja karena ingin memberi suprise? Alena masih berusaha berpikir positif."Mungkin masih di jalan kali, Ma." Putra ikut berbicara dan menenangkan."Aneh," gumam Marissa masih menatap layar ponsel. "Bikin khawatir aja ""Jangan mikir aneh-aneh deh, Ma. Berdoa aja semoga Andrio baik-baik aja dan segera sampai. Mungkin terjebak macet di jalan." Lagi sang papa mertua menenangkan istrinya.Mama Marissa hanya diam masih sibuk dengan ponselnya.Ting Tong!Tak lama kemudian terdengar suara bel menggema. Alena langsung menatap mama mertuanya. "Nah itu pasti Mas Andrio, Ma.""Biar saya ya yang bukain pintu," ucap Bi Jum yang kebetulan lewat di depan meja makan."I-iya, Bi," sahut Alena.
Dua jam kemudian masakan Alena dan Bi Jum sudah terhidang rapi di meja makan bak sajian restoran yang siap disantap."Waduh enak nih keliatannya ...." Mama Marissa menatap hidangan makanan yang terlihat menggugah selera itu. "Oma jadi nggak sabar buat cicipin." Marissa menyengir lebar melirik cucu kesayangannya sudah duduk di kursi makan di sampingnya."Tunggu Papa!" seru balita itu semangat."Iya, Oma ngerti. Kita tunggu Papa dulu ya baru boleh makan?"Si bocah mengangguk antusias.Alena yang mendengar percakapan itu dari ambang pintu dapur hanya tersenyum simpul. Dia lalu teringat sesuatu dan merogoh ponsel di saku celana kainnya lalu perlahan berjalan ke arah ruang tengah. Hendak menelepon suaminya.***Pria itu duduk bersandar di kursi penumpang. Matanya sejak tadi memindai jalanan yang padat akan kendaraan di depannya. Sesekali macet menghampiri membuatnya semakin gelisah saja. Karena hal itu membuatnya makin lama untuk segera sampai ke rumah.Namun, dia tak lupa ada hal lain yang
Dua tahun kemudianDua tahun sejak kepergian Andrio berlalu. Anak-anak mereka telah tumbuh kian besar dan bisa bicara dengan fasih. Hari-hari yang Alena lalui tanpa Andrio memang terasa berbeda. Walau kadang ditemani keluarganya yang membantunya--entah itu ibu mertuanya, mami dan papi. Malam-malam Alena dia lalui dengan tidur sendiri. Masalah-masalah yang menderanya dia hadapi sendiri.Walau hampir setiap hari mereka bertukar kabar melalui chat dan video call-an. Tetap saja Alena merasa berbeda. Dua tahun dia lewati semua penuh kesabaran dan harapan. Sampai tibalah hari ini. Hari di mana Andrio harusnya pulang."Pagi, Mama ...." Terdengar sayup-sayup suara mungil membangunkan, disusul kecupan hangat di pipi. Wanita itu sontak membuka mata. Lantas menoleh ke samping. Wajah balita mungil dan menggemaskan tersenyum menyambutnya.Alena tersenyum. "Pagi juga, Sayang ....""Bangun, Mama.""Iya, ini Mama udah bangun. Sini peluk dulu." Alena meraih badan mungil itu dan mendekapnya penuh cinta
"Suami gue selingkuh, Al ....""Selingkuh gimana, Far? Lo tahu dari mana itu selingkuhannya? Siapa tahu emang cuman teman kan?""Bukan teman, Al. Tapi selingkuhannya. Udah setahun Al, gue sering baca chatingan mereka. Dari chatingannya jelas-jelas mereka ada hubungan spesial. Gue yang lebih tahu.”"Maaf, Far, co-coba sekarang lo cerita yang jelas sama gue ...."Alena sontak memejamkan mata dan menggelengkan kepala kencang-kencang setiap teringat cerita perselingkuhan sahabatnya itu.Waktu Farah memberitahu kalau pernikahannya sedang dilanda perselingkuhan oleh suaminya. Alena syok tak menyangka dan meminta sahabatnya itu bercerita dari awal pertemuannya dengan calon suaminya hingga bagaimana perselingkuhan itu terjadi. Farah mengadu padanya sambil menangis tersedu-sedu.Farah sudah menikah lima tahun lalu yang itu artinya Farah menikah beberapa bulan setelah dia menikah dengan Andrio, tepat mereka kehilangan kontak satu sama lain hingga Alena pun tidak tahu kapan Farah menikah. Farah j
Mereka akhirnya tiba di rumah Alena. Farah begitu kagum melihat rumah Alena sampai-sampai perempuan itu membuka mulut. Rumah sahabatnya itu begitu mewah, bergaya minimalis modern.Dari depan, rumahnya terlihat tinggi dan megah karena berlantai tiga. Dinding dan tiang-tiang rumahnya terlihat kokoh karena dibangun dengan material batu. Dengan jendela lebar dan pintu yang terbuat dari kaca. Langit-langitnya tinggi. Sementara pagarnya terbuat dari besi yang tingginya melebihi kepala orang dewasa. Bahkan ketika dia sudah turun dari mobil itu pun dia masih saja terpana. "Rumah kalian semewah ini?" Farah menatap Alena tidak percaya.Alena tertawa. "Ah, elo mah berlebihan. Rumah lo emangnya nggak semewah ini?"Farah terdiam, mengingat sesuatu. Lebih tepatnya mengingat masa lalu sahabatnya itu. "Ya maksud gue ... Eng, iya Alhamdulillah kehidupan lo sekarang udah sukses dan nyaman banget." Farah tersenyum kaku. "Gue harus banget berterima kasih sama Andrio atas semua ini."Alena mengernyit hera
"Farah?" tebak Andrio lebih dulu membuat Alena menoleh ke suaminya. Ternyata Andrio juga bisa mengenalnya."Iya, gue Farah," sahut perempuan itu kemudian.Alena kembali menatap perempuan yang mengaku Farah itu. Dia melotot tak percaya. "Farah?! Ya ampun!" Alena sontak berdiri. "Gue hampir nggak bisa ngenalin lo tahu, lo berubah banget!" Alena serta-merta memeluk Farah erat-erat. Sementara yang dipeluk juga membalas hal serupa.Mereka saling berpelukan erat. Tubuh kedua wanita itu bahkan bergerak-gerak ke kiri dan kanan karena Alena begitu antusias. Alena kemudian melepas pelukannya. "Apa kabar lo? Kebetulan banget ya kita ketemuan di sini?""Iya, maaf ya gue nggak ada kabar selama ini," jawab Farah. "Iya, nih. Nomor WA lo udah lama nggak aktif, abis itu nggak ada ngasih kabar ke gue juga. Sombong lo.""Bukannya gitu." Farah menyengir terlihat tak nyaman.Alena tertawa. "Iya, iya, gue cuman bercanda kok."Farah lalu menatap Andrio dan anak-anak mereka. "Kalian pada mau ke mana nih?""M
"Pakaian udah, dalaman udah, pembersih muka udah, pomade udah, jam tangan udah, berkas-berkasnya udah, tiket udah, foto-foto aku sama anak-anak juga udah, hmmm apa lagi, ya ...." Alena mengecek barang-barang yang sudah dia masukkan dalam koper Andrio. "Iya semuanya udah beres."Setelah dirasa semuanya sudah lengkap, Alena pun menutup koper itu lalu menyeretnya dekat pintu agar mudah di bawa keluar. Ada dua koper yang siap Andrio bawa. Sebagian besar isinya adalah pakaian dan barang-barang penting.Bersamaan dengan itu, Andrio keluar dari kamar mandi yang ada di kamarnya. Pria itu baru saja selesai mandi, bertelanjang dada dengan handuk kecil melilit pinggangnya, sedangkan handuk kecil lain menyampir di bahunya. "Udah beresin semua? Makasih, ya, sayang," ucapnya saat melihat kesibukan istrinya menata koper. Dia lalu menatap cermin sambil mengeringkan rambut dengan handuk kecil.Alena menoleh. "Udah beres. Cepetan pakai bajunya. Udah kusiapin di lemari paling depan," beritahu Alena. "Ak
Malam harinya, Alena gelisah seorang diri di kamar. Anna dalam gendongannya sejak tadi tak berhenti menangis kencang. Kekhawatiran Alena terjawab ketika dia menempelkan jemari di kening si bayi yang terasa sangat panas. "Ya ampun, Nak. Badanmu panas banget ...." Alena berdiri menggendong anaknya, mencoba mendiamkan meski rasanya mustahil karena bayi itu sedang demam tinggi.Alena melirik jam di dinding yang menunjukkan pukul tujuh. Lalu dia meraih ponsel di atas nakas, mengecek pesan dari Andrio, tapi tidak ada.Alena menarik napas, lalu mengembuskannya kembali. Hal itu dia lakukan berkali-kali sampai perasaannya tenang. "Aku nggak boleh panik. Sebaiknya aku cari tahu di g****e pertolongan pertama waktu bayi lagi demam, apa, ya?" Sambil menggendong bayi dengan tangan sebelah, dia mengotak-atik ponselnya.Dia membaca sekilas informasi yang dia dapat dari g****e. Lalu dia menghubungi Bi Jum lewat chat, minta siapkan air hangat dan kain buat kompresan. "Sabar, ya, Nak. Mama siapin air ha
Satu tahun kemudian ...."Kupandang langit penuh bintang bertaburan ... berkelap-kelip seumpama intan berlian ...." Alena bernyanyi kecil sambil mendorong baby stroller, berjalan mengelilingi taman rumah. Di dalam kereta bayi itu ada Anna dan Kenzy.Satu tahun berlalu, tidak banyak yang berubah dari kehidupan Alena dan Andrio selain anak-anak mereka yang sudah tumbuh besar. Alena yang juga sudah terbiasa mengurusi anak-anaknya.Kenzy sudah berusia satu tahun sepuluh bulan, sedangkan Anna berusia satu tahun satu bulan. Kenzy sudah biasa bicara dengan pengucapan yang jelas, sudah mengerti diajak bicara dan sudah bisa berjalan sendiri tanpa dipimpin, sedangkan Anna sudah bisa bicara namun masih tidak jelas pengucapannya, bisa berjalan dengan dipimpin dan bisa mengerti diajak bicara juga."Mau nyanyi apalagi?" tanya Alena pada anak-anaknya. "Lagu kupu-kupu yang lucu mau?""Mau ...," jawab Kenzy sambil mendongak menatapnya, sedangkan Anna hanya menatap ke segala arah."Oke, kita nyanyi lagu